Bab 4 Hidupku Seperti Dongeng

Siswa itu berjalan mendekati Nuha...

Nuha merasakan kehadirannya yang duduk di sampingnya memiliki aura yang tenang dan nyaman, seolah mirip dengan dirinya yang pendiam. Dia tersenyum kecil, senang dengan perasaan ini.

Di sisi lain, Sifa tidak berhenti berceloteh, mencoba mengajak Asa untuk bicara.

"Asa, meskipun kita beda banget, gue yakin kita bisa berteman, kan?" Sifa menyodorkan senyum lebarnya, penuh percaya diri.

"Serah lo deh," Asa menjawab tanpa antusias, wajahnya tetap masam.

"Asaa... jangan gitu dong!" Sifa menggoda lagi, nadanya ceria, menarik lengan Asa dengan manja.

"Idih. I don’t care!!"

"Asaa... yaa... ayolah!"

"Bodo!"

"Kita bestie-an yaaa!"

"Karepmu, Sifa! Elo tu menggelikan. Iuh." Asa menggerutu sambil memutar matanya.

"Heh hee~" Sifa mengedipkan mata dan memberikan tanda hati dengan tangannya, seolah dia sudah menang.

Asa hanya bisa menghela napas panjang. “Elo nih kebangetan. Ngomongnya ngalor-ngidul ga jelas!”

Sifa tertawa kecil, lalu mendekatkan diri ke Asa. "By the way, Asa, gue punya mimpi besar, nih."

Asa mengangkat alisnya, menatap dengan pandangan curiga. "Apaan lagi?"

"Gue mau punya tujuh pacar!" kata Sifa, penuh antusias.

"APA?!" Asa tercengang. "Lo serius?!"

Sifa mengangguk. "Yup! Satu dari tiap kelas! Satu dari kelas kita, satu dari kelas bahasa, kelas MIPA, kelas seni, kelas olahraga, kakak kelas, dan... yang terakhir guru."

Asa memandang Sifa dengan tatapan tak percaya. "Lo... gila, ya? Semua cowok itu serigala, Sifa! Lo bakal kena makan kalau lo nggak hati-hati."

Sifa hanya terkekeh, "Serigala atau bukan, gue yakin bisa handle mereka!"

"Astaga..."

Nuha, yang duduk di belakang mereka, memperhatikan percakapan itu dengan senyum tipis. Meski tidak ikut dalam obrolan, dia merasa senang bisa melihat energi positif dari Sifa, meski Asa terlihat jengkel.

Nuha lalu melirik ke arah gadis di sebelahnya yang tampak sangat tenang, bahkan lebih tenang dari dirinya.

-NANA ISFANI-

Memiliki rambut hitam lurus yang diikat rapi menjadi dua, jepit rambut berbentuk ikan duyung menghiasi kepalanya, dan matanya terlihat sayu, hampir seperti mengantuk. Kulitnya putih pucat dengan tinggi badan 145cm.

Setelah ragu sejenak, Nuha memutuskan untuk berkenalan. Dia mengangkat sedikit suaranya, "Hai, aku Nuha. Namamu siapa?"

Gadis itu menoleh dengan senyuman tipis, matanya menyipit. "Iyes? Oh, salam kenal, Nuha! Aku Fani. Senang bertemu denganmu." Fani menjulurkan tangannya.

Nuha menghela napas lega, senang perkenalannya diterima. Dia merasakan hangatnya persahabatan mulai muncul. Namun, momen itu tak berlangsung lama.

Tiba-tiba, Fani merintih pelan. "Aduh... kenapa hatiku... sakit sekali?" Suaranya lemah, dan dia memegang dadanya. "It’s so hurt... very hurt..." keluhnya.

Nuha terkejut, "Fani? Kamu kenapa?!" Dia mencoba mendekat dan menyentuh bahu Fani, tapi Fani justru meringis kesakitan lebih parah. "Ini makin sakit! Tolong, Nuha! Kenapa ini?!"

Nuha panik, "Fani... aku... maaf! Aku nggak bermaksud! Aku... aku nggak tahu harus gimana!" Dia mulai frustasi, kepalanya tertunduk, dan tangannya menggenggam rok seragamnya kuat-kuat.

Sementara itu, Fani semakin kesakitan. Darah mulai mengalir dari ujung bibirnya, dan wajahnya menjadi semakin pucat. "Sakit... sangat sakit," bisik Fani, terengah-engah.

Suasana kelas mendadak kacau, semua siswa terkejut dan mulai berbisik-bisik. Beberapa orang mencoba mendekat, namun Nuha hanya bisa menunduk, merasa bersalah dan tidak tahu harus berbuat apa.

"Pak Guru!" teriak salah seorang siswa dari belakang, membuat keributan semakin menjadi-jadi.

Nuha tetap terpaku di tempatnya, menahan air matanya yang mulai menggenang. "Bukan... bukan ini yang aku mau," bisiknya dalam hati, penuh rasa bersalah.

Nuha berlari keluar kelas dengan air mata mengalir deras di pipinya. Hatinya terasa begitu hancur. Di lorong sekolah, langkahnya terhenti ketika Kak Muha muncul dari arah berlawanan, menghadangnya dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Nuha! Ada apa? Kenapa kamu menangis?” tanya Kak Muha, suaranya cemas sambil meraih bahu adiknya dengan lembut.

“Kakak...” Nuha terisak, suaranya penuh dengan keputusasaan. “Apa yang salah dengan aku, Kak? Kenapa aku selalu menyakiti orang lain? Aku sudah nggak kuat lagi, Kak!” Nuha berteriak, mencengkeram lengan Kak Muha begitu erat hingga pria itu merasa nyeri.

“Aku hanya ingin berteman… tapi kenapa malah begini?!” Tangis Nuha semakin pecah, air matanya bercucuran, jatuh membasahi seragamnya dan lantai sekolah. “Kenapa aku selalu bikin orang lain sakit?!”

Kak Muha berusaha menenangkan, menarik Nuha ke dalam pelukannya. “Nuha, kakak ngerti perasaanmu. Ini bukan salahmu… Kamu nggak jahat, kamu nggak salah.”

Nuha menggigit bibir, mencoba menahan tangis yang semakin kuat. “Tapi, Kak... semua orang benci sama aku. Aku nggak bisa lagi berteman sama siapa pun. Aku benci diriku sendiri!”

Kak Muha mempererat pelukannya, berbisik lembut di telinga adiknya, “Kamu nggak sendiri, Nuha. Kakak ada di sini, selalu. Kamu cuma perlu waktu. Semua ini pasti bisa kamu lalui.”

Nuha hanya bisa menangis, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan kakaknya yang penuh kasih sayang. Suaranya serak dan lemah, tapi rasa sakit di hatinya tidak bisa segera hilang.

Di sisi lain, di ujung lorong, seorang pemuda berdiri memperhatikan adegan itu dari kejauhan. Dia mengenali Nuha, gadis SMP yang pernah dia temui sebelumnya. Melihat Nuha menangis, senyum tipis muncul di wajahnya.

“Gadisku menangis,” gumam pemuda itu pelan, suaranya nyaris tak terdengar. “Tapi setidaknya, dia punya kakak yang selalu ada di sampingnya. Kamu kuat, Nuha. Kamu pasti bisa melewati semua ini.”

Dia menarik napas dalam-dalam, memandang Nuha sekali lagi sebelum melangkah masuk ke ruang guru. Ada sesuatu yang perlu dia bicarakan dengan guru matematikanya—hal penting yang sudah menunggunya.

Sementara itu, di dalam kelas, Fani sudah mulai merasa lebih baik. Asa dan Sifa duduk di sampingnya, mencoba membuat suasana lebih ringan.

“Kamu udah mendingan, Fani?” tanya Sifa, matanya penuh kekhawatiran.

Fani mengangguk pelan. “Iya, sakitnya udah berkurang,” jawabnya dengan suara lemah. “Aku nggak marah sama Nuha, kok. Aku ngerti, mungkin dia nggak sengaja.”

Asa melirik Fani, sedikit bingung. “Serius? Gue tadi sempet ketemu sama dia. Gue pikir dia cewek yang biasa aja. Tapi, sepertinya dia memiliki sesuatu”

Fani matanya menatap kosong ke depan. “Aku rasa, dia kesepian. Sama kayak aku.”

Sifa mengernyitkan dahi, tidak begitu paham. “Maksudmu?”

Fani menghela napas panjang sebelum menjawab, “Ibuku keras banget sama aku. Dia nggak pernah kasih aku kesempatan buat punya teman. Aku udah lama ngerasa sendirian... dan mungkin Nuha juga begitu. Dia juga pasti merasa nggak punya siapa-siapa.”

Sifa menatap Fani dalam-dalam, seakan baru memahami betapa berat beban yang dipikul gadis itu. “Fani, kamu nggak harus ngerasa sendirian lagi. Kita ada di sini buat kamu.”

Senyum tipis terlukis di wajah Fani, meski matanya masih tampak lelah. “Terima kasih. Aku bener-bener menghargai kalian.”

Sifa memegang tangan Fani dengan lembut, memberikan dorongan semangat. “Kita ini tim. Kita akan jadi bestie. Kalau ada apa-apa, kamu bisa cerita ke kita. Nggak ada yang harus kamu hadapi sendirian.”

Fani memandang Sifa dan Asa, hatinya hangat oleh perhatian mereka. Pertemuan dengan Nuha, serta kehadiran Asa dan Sifa, membuatnya berpikir ulang tentang semua yang dia hadapi selama ini.

"Ajak Nuha juga ya," pinta Fani.

Episodes
1 Bab 1 Hidupku Seperti Dongeng
2 Bab 2 Hidupku Seperti Dongeng
3 Bab 3 Hidupku Seperti Dongeng
4 Bab 4 Hidupku Seperti Dongeng
5 Bab 5 Hidupku Seperti Dongeng
6 Bab 6 Hidupku Seperti Dongeng
7 Bab 7 Hidupku Seperti Dongeng
8 Bab 8 Hidupku Seperti Dongeng
9 Bab 9 Hidupku Seperti Dongeng
10 Bab 10 Hidupku Seperti Dongeng
11 Bab 11 Hidupku Seperti Dongeng
12 Bab 12 Hidupku Seperti Dongeng
13 Bab 13 Hidupku Seperti Dongeng
14 Bab 14 Hidupku Seperti Dongeng
15 Bab 15 Hidupku Seperti Dongeng
16 Bab 16 Hidupku Seperti Dongeng
17 Bab 17 Hidupku Seperti Dongeng
18 Bab 18 Hidupku Seperti Dongeng
19 Bab 19 Hidupku Seperti Dongeng
20 Bab 20 Hidupku Seperti Dongeng
21 Bab 21 Hidupku Seperti Dongeng
22 Bab 22 Hidupku Seperti Dongeng
23 Bab 23 Hidupku Seperti Dongeng
24 Bab 24 Hidupku Seperti Dongeng
25 Bab 25 Hidupku Seperti Dongeng
26 Bab 26 Hidupku Seperti Dongeng
27 Bab 27 Hidupku Seperti Dongeng
28 Bab 28 Hidupku Seperti Dongeng
29 Bab 29 Hidupku Seperti Dongeng
30 Bab 30 Hidupku Seperti Dongeng
31 Bab 31 Hidupku Seperti Dongeng
32 Bab 32 Hidupku Seperti Dongeng
33 Bab 33 Hidupku Seperti Dongeng
34 Bab 34 Hidupku Seperti Dongeng
35 Bab 35 Hidupku Seperti Dongeng
36 Bab 36 Hidupku Seperti Dongeng
37 Bab 37 Hidupku Seperti Dongeng
38 Bab 38 Hidupku Seperti Dongeng
39 Bab 39 Hidupku Seperti Dongeng
40 Bab 40 Hidupku Seperti Dongeng
41 Bab 41 Hidupku Seperti Dongeng
42 Bab 42 Hidupku Seperti Dongeng
43 Bab 43 Hidupku Seperti Dongeng
44 Bab 44 Hidupku Seperti Dongeng
45 Bab 45 Hidupku Seperti Dongeng
46 Bab 46 Hidupku Seperti Dongeng
47 Bab 47 Hidupku Seperti Dongeng
48 Bab 48 Hidupku Seperti Dongeng
49 Bab 49 Hidupku Seperti Dongeng
50 Bab 50 Hidupku Seperti Dongeng
51 Bab 51 Hidupku Seperti Dongeng
52 Bab 52 Hidupku Seperti Dongeng
53 Bab 53 Hidupku Seperti Dongeng
54 Bab 54 Hidupku Seperti Dongeng
55 Bab 55 Hidupku Seperti Dongeng
56 Bab 56 Hidupku Seperti Dongeng
57 Bab 57 Hidupku Seperti Dongeng
58 Bab 58 Hidupku Seperti Dongeng
Episodes

Updated 58 Episodes

1
Bab 1 Hidupku Seperti Dongeng
2
Bab 2 Hidupku Seperti Dongeng
3
Bab 3 Hidupku Seperti Dongeng
4
Bab 4 Hidupku Seperti Dongeng
5
Bab 5 Hidupku Seperti Dongeng
6
Bab 6 Hidupku Seperti Dongeng
7
Bab 7 Hidupku Seperti Dongeng
8
Bab 8 Hidupku Seperti Dongeng
9
Bab 9 Hidupku Seperti Dongeng
10
Bab 10 Hidupku Seperti Dongeng
11
Bab 11 Hidupku Seperti Dongeng
12
Bab 12 Hidupku Seperti Dongeng
13
Bab 13 Hidupku Seperti Dongeng
14
Bab 14 Hidupku Seperti Dongeng
15
Bab 15 Hidupku Seperti Dongeng
16
Bab 16 Hidupku Seperti Dongeng
17
Bab 17 Hidupku Seperti Dongeng
18
Bab 18 Hidupku Seperti Dongeng
19
Bab 19 Hidupku Seperti Dongeng
20
Bab 20 Hidupku Seperti Dongeng
21
Bab 21 Hidupku Seperti Dongeng
22
Bab 22 Hidupku Seperti Dongeng
23
Bab 23 Hidupku Seperti Dongeng
24
Bab 24 Hidupku Seperti Dongeng
25
Bab 25 Hidupku Seperti Dongeng
26
Bab 26 Hidupku Seperti Dongeng
27
Bab 27 Hidupku Seperti Dongeng
28
Bab 28 Hidupku Seperti Dongeng
29
Bab 29 Hidupku Seperti Dongeng
30
Bab 30 Hidupku Seperti Dongeng
31
Bab 31 Hidupku Seperti Dongeng
32
Bab 32 Hidupku Seperti Dongeng
33
Bab 33 Hidupku Seperti Dongeng
34
Bab 34 Hidupku Seperti Dongeng
35
Bab 35 Hidupku Seperti Dongeng
36
Bab 36 Hidupku Seperti Dongeng
37
Bab 37 Hidupku Seperti Dongeng
38
Bab 38 Hidupku Seperti Dongeng
39
Bab 39 Hidupku Seperti Dongeng
40
Bab 40 Hidupku Seperti Dongeng
41
Bab 41 Hidupku Seperti Dongeng
42
Bab 42 Hidupku Seperti Dongeng
43
Bab 43 Hidupku Seperti Dongeng
44
Bab 44 Hidupku Seperti Dongeng
45
Bab 45 Hidupku Seperti Dongeng
46
Bab 46 Hidupku Seperti Dongeng
47
Bab 47 Hidupku Seperti Dongeng
48
Bab 48 Hidupku Seperti Dongeng
49
Bab 49 Hidupku Seperti Dongeng
50
Bab 50 Hidupku Seperti Dongeng
51
Bab 51 Hidupku Seperti Dongeng
52
Bab 52 Hidupku Seperti Dongeng
53
Bab 53 Hidupku Seperti Dongeng
54
Bab 54 Hidupku Seperti Dongeng
55
Bab 55 Hidupku Seperti Dongeng
56
Bab 56 Hidupku Seperti Dongeng
57
Bab 57 Hidupku Seperti Dongeng
58
Bab 58 Hidupku Seperti Dongeng

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!