Bab 4. Salah Paham
Pov Sri
Sudah hampir jam 11 tetapi anakku, Menur belum pulang juga. Bahkan aku sampai selesai membuat kue yang akan ku jual besok pagi. Tetapi anakku itu masih belum kembali sejak siang tadi.
Kemana anak itu?! Hatiku cemas dan gelisah, Menur belum pulang juga. Apalagi siang tadi dia pergi dengan keadaan marah. Aku takut anak ku berbuat macam-macam di luar sana yang tanpa aku ketahui.
Aku coba menelpon Menur beberapa kali. Tetapi panggilan telepon ku di abaikan dan terkadang di tolak jika terus-terusan ku lakukan. Pesan juga tidak di baca olehnya. Aku bingung harus mencari Menur kemana. Sedangkan tak seorang pun temannya yang aku ketahui nomor telponnya.
"Haaah..."
Aku membuang napas kasar sambil menutup wajahku. Ingin marah tapi rasa khawatir lebih mendominasi hatiku. Ku lihat jam dinding terus berlalu hingga menunjukan angka setengah 12 malam. Tuhan, kemana anakku berada.
Aku kembali meraih handphone ku dan mencoba menghubungi Menur kembali.
"Triiing....! Triiing...!"
Dering handphone yang familiar di telingaku berbunyi di depan pintu rumah begitu nada tersambung ku pun berbunyi saat menghubungi kontak Menur. Segera ku lihat siapa yang ada depan pintu, karena firasat ku mengatakan itu adalah Menur, putriku.
Dan benar saja, ketika aku membuka pintu, Menur sedang menolak panggilanku.
"Kok baru pulang kamu, Menur?" Tanya ku mencoba membuka obrolan.
"Jangan banyak tanya deh Bu, aku capek?!"
Bukannya ia merasa takut, tetapi Menur malah menjawabku dengan acuhnya. Dan itu membuatku sedikit kesal.
"Apa seperti itu caramu menjawab Ibumu?!"
"Ibu yang mulai duluan kan?!"
Lagi-lagi pembicaraan kami mulai tegang. Aku pun menghela napas panjang agar tidak mudah tersulut emosi menghadapi putriku ini.
"Nduk, Ibu mau bicara sebentar." Kataku dengan mencoba mengubah nada menjadi lembut seperti biasanya.
"Jangan lama-lama Bu, aku ngantuk, mau tidur!"
"Duduk dulu."
Menur menurut dan menghempaskan bobot tubuhnya dengan kasar di atas kursi rotan yang beralaskan busa tipis. Walau demikian, ia masih menurut mau duduk dan di ajak bicara.
"Nduk, maaf kalau Ibu lancang. Jelita anaknya Bu Wita, kehilangan baju yang mirip dengan kamu pakai sekarang. Bukan maksud Ibu mau menuduh mu, hanya saja Ibu rasanya tidak pernah membelikannya pakaian itu."
"Ibu masih saja curiga dengan baju ini?! Aku tidak mencuri. Ini milik Bunga yang di pinjam sama Jelita dan sudah sebulan lebih tidak di kembalikan. Saat ku lihat di keranjang ada baju yang mirip dengan apa yang di ceritakan Bunga, aku mengambil gambar baju itu dan mengirimkan ke Bunga. Dan ternyata benar ini baju Bunga. Bunga memberikan bajunya ini padaku. Lalu apa aku mencuri baju yang di hadiahkan pemilik aslinya padaku Bu?!"
Aku tertegun sesaat mendengar cerita putriku. Aku baru tahu ada kejadian seperti ini di antara mereka.
"Ibu tidak menyalahkan juga tidak membenarkan. Jika memang baju ini diberikan padamu, ada baiknya kamu bicarakan dulu kepada Jelita sebelum mengambilnya."
"Buat apa?! Toh ini bukan bajunya Bu!"
"Setidaknya, kamu tidak di tuduh mencuri Nduk."
"Aku tidak peduli Bu. Bagiku yang salah itu Jelita yang tidak tahu diri."
Menur beranjak dari duduknya dan tanpa pamit meninggalkan aku yang masih duduk di kursi sambil memandangi punggungnya yang menghilang di balik pintu kamarnya.
Aku menghela napas panjang, meskipun mungkin cara Menur salah, tetapi memang benar dia tidak mencuri milik Jelita karena baju itu pun bukan milik Jelita yang sebenarnya.
Aku lalu beranjak, dan menutup pintu rumah, kemudian menguncinya. Setelah itu, ku rebahkan tubuh ini yang sudah lelah dengan segala aktifitas serta pikiran yang ada. Memaksakan diri untuk memejamkan mata, karena subuh aku mesti bangun lagi menyelesaikan kue ku yang harus di goreng subuh hari.
***
"Kok cuma sedikit kue mu hari ini Sri? Aku sampai tidak kebagian." Kata salah satu tetangga ku yang menjadi langganan pembeli kue ku setiap pagi.
Meski mata ku tertutup, namun tadi malam kepala ku tak berhenti berpikir sehingga membuat ku bangun kesiangan dan hanya menjual kue yang ku olah tadi malam.
Biasanya di subuh hari, aku membuat beberapa jenis kue yang hanya bertahan sehari dan mesti di buat subuh. Namun karena waktu yang tidak mencukupi, aku terpaksa menjual kue seadanya.
"Maaf yo Mbak, saya kesiangan jadi tidak sempat buat kue seperti biasa."
"Oalah Sri, bisa kesiangan juga toh sampean."
"Hehehe, iyo Mbak. Maaf..."
"Wes aku pesan kue saja buat besok biar kebagian. Kue seperti biasa ya Sri 15 belas aja."
"Monggo Mbak, terima kasih. Besok saya bawakan." Jawabku sambil tersenyum.
Untunglah aku masih memiliki pelanggan kue yang setia dan menyukai kue buatan ku.
"Kok yo masih mau beli dagangannya?!"
"Loh kenapa Bu Wita? Biasanya sampean juga beli."
"Sekarang tidak lagi. Tidak sudi aku membeli jualan Ibu yang anak tukang maling pakaian!"
"Loh, kok Bu Wita ngomong begitu?"
Astagfirullah...
Ucapan Bu Wita membuat ku sampai berucap istighfar. Ia yang datang-datang memprovokasi tetangga yang lain juga menuduh anakku tanpa tahu kejadian sebenarnya membuatku menjadi kesal.
"Maaf Bu Wita, tapi itu tidak benar." Kataku menyela pembicaraan mereka.
Bu Wita menatapku dengan tatapan sinis yang menunjukan bahwa ia tidak suka pdaku. Bahkan bibirnya terlihat tersungging seolah-olah menatap rendah diriku.
"Ini! Ini dia..! Orang tua yang tidak mau anaknya disalahkan yang jelas-jelas sudah salah. Sudah ketangkap depan mata masih berusaha mengelak!"
"Ini sebenarnya ada apa toh Sri?" Tanya tetangga ku yang tadi memesan kue padaku, bernama Welas.
"Anu Mbak Welas. Bu Wita ini salah paham terhadap Menur anak saya." Jawabku kepada Mbak Welas.
"Salah paham opo toh?! Masih mau ngeles aja kamu?!"
"Mbok ya sabar dulu Bu Wita, dengarkan dulu penjelasan Sri." Ujar Mbak Welas.
"Huh!"
Bu Wita mengalihkan pandangannya kelain sambil melipat tangan di depan dada.
Aku menghela napas panjang untuk memperbesar rasa kesabaran yang aku punya.
"Begini Mbak Welas. Jelita kehilangan baju berwarna merah muda. Lalu dia melihat Menur memakai baju itu yang kebetulan diberikan kepada saya untuk di setrika."
"Nah, ngaku kan?! Maling, bener toh?!"
"Bu, tolong biarkan Sri selesai dulu berbicara, baru menyela." Ujar Mbak Welas mulai ikutan terpancing.
Lagi-lagi aku menghela napas panjang sebelum melanjutkan lagi apa yang ingin aku sampaikan.
"Menur memang memakai baju yang harusnya saya setrika. Tetapi kata Menur, baju itu diberikan Bunga kepadanya. Karena pada dasarnya, baju itu milik Bunga yang di pinjam Jelita, yang sudah sebulan lamanya tidak di kembalikan."
"Jadi Menur tidak mencuri?" Tanya Mbak Welas.
"Tidak Mbak. Hanya saja cara Menur mungkin salah karena tidak bilang kepada Jelita, apa yang dikatakan Bunga kepadanya, bahwa Bunga memberikan baju itu kepada Menur."
"Nah, kalau begini sudah jelaskan Bu Wita?"
"Hah!"
Bu Wita berlalu pergi dengan dengusan napas yang terdengar kasar. Tanpa pamit, ia meninggalkan kami begitu saja dengan raut wajah kesal dan juga marah.
Aku tidak tahu apa kemarahannya itu masih di tujukan padaku dan anakku Menur atau kepada anaknya sendiri, entahlah. Yang jelas, aku sudah lega Menur tidak lagi di salah pahami.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Diny Julianti (Dy)
jelasin dong dia juga udah ganti 250rb
2024-11-29
1
ㅤㅤㅤ ㅤ🍃⃝⃟𝟰ˢ𝐀⃝🥀✰͜͡v᭄ʰᶦᵃᵗ
tenyata oh ternyata bukan baju jelita
2024-11-03
1
𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆🏘⃝AⁿᵘBoy🔰🍒⃞⃟🦅ᴳᴿ🐅
oooooooooooooohh gitu ceritanya salah' mya si paham 🔥🔥
Menur enggak salah', jelita juga enggak salah' apalagi bunga
2024-10-05
1