Bab 2. Baju Merah Muda
POV Sri
Hidup seperti ini tidak ada siapa pun yang menginginkan. Namun jika sudah kehendak takdir, tidak ada siapa pun juga yang dapat menolak.
Bertemu Mas Sanjaya tidak menjadi penyesalan ku meski aku tidak diterima di dalam keluarganya. Memiki Menur Cantika adalah kebahagian terbesarku setelah kepergian Mas Sanjaya.
Anakku satu-satunya itu telah ku besarkan dengan sungguh-sungguh agar menjadi anak yang tumbuh sesuai dengan harapanku.
Namun akhir-akhir ini, anakku menunjukkan semakin banyak perubahan dalam dirinya. Entah itu sikap yang ia pendam selama ini, atau kah bentuk kekecewaan yang ia sembunyikan selama ini.
Apa yang anak ku lakukan, ia menutupinya tanpa mau terbuka seperti dulu lagi. Apa ini karena pengaruh pubertas yang sedang ia jalani? Aku jadi merasa sedikit menjauh dari anakku. Dan itu membuat ku sedih.
Teringat ucapannya kemarin yang mengatakan kalau ia ingin melanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi lagi.
"Bu, aku ingin kuliah."
Bukan aku melarangnya untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi. Hanya saja untuk masuk ke universitas yang mahal dan bagus pasti membutuhkan tidak sedikit biaya. Sedangkan uang tabungan yang ada hanya sekitar 4 juta rupiah saja. Harus kemana lagi aku mencari tambahan apalagi biaya pendidikan itu tentu harus sedia untuk waktu yang lama.
Waktuku sehari sudah nyaris ku pergunakan semuanya untuk menafkahi kebutuhan kami berdua. Di mulai berjualan kue selepas sholat subuh lalu di lanjutkan dengan menyetrika pakaian tetangga, juga membantu membersihkan rumah mereka jika ada yang meminta. Malamnya aku mempersiapkan lagi adonan kue yang akan aku jual esok subuh. Tentu aku juga membereskan pekerjaan rumahku seperti bersih-bersih, mencuci pakaian dan menjemur, juga memasak di sela-sela pekerjaan ku.
Tapi aku juga tidak ingin anakku kecewa. Karena yang ku tahu, Menur cukup pintar dalam pembelajaran. Nilainya bagus dan sering mendapat ranking di kelasnya. Aku tahu dari gurunya setiap kali aku mengambil raport milik anakku itu.
Dagangan kue ku sudah habis. Semoga saja terus seperti ini, agar aku bisa mengumpulkan uang lebih banyak lagi untuk mewujudkan keinginan anakku. Meskipun aku tidak bisa mengantarkannya pada universitas yang ia inginkan, setidaknya aku masih sanggup membiayai jika itu universitas biasa atau terbuka.
"Sri...,Sri...!"
"Eh, iya Bu Wita. Ada apa ya?"
Panggilan Bu Wita yang berulang kali tanpa aku sadari akhirnya membuyarkan lamunan ku.
"Ini baju-baju yang akan di setrika. Semuanya ada 15 pasang. Jangan sampai kurang ya."
"Loh, memangnya pernah ada yang kurang ya Bu?" Tanyaku.
Setahuku, aku selalu berhati-hati agar tidak ada pelanggan yang kecewa memakai jasaku.
"Kata Jelita, bajunya yang berwarna merah mudanya tidak ada. Padahal terakhir kali baju itu di berikan padamu buat di setrika."
Memang aku tidak pernah menghitung berapa jumlah pakaian yang diberikan kepadaku. Tetapi aku selalu memisahkan keranjang pakaian yang berbeda untuk setiap pelangganku agar tidak tercampur dengan milik orang lain.
"Maaf kalau saya sudah melakukan kesalahan. Nanti saya akan coba cari di rumah saya, mungkin tertinggal di sana." Ujar ku meminta maaf kepada Bu Wita, sungguh aku merasa tidak nyaman atas kejadian kecerobohanku ini.
"Ya, cari sampai ketemu! Karena itu baju kesayangan Jelita. Dan kalau tidak ketemu, aku terpaksa memotong gaji mu sesuai harga baju itu!"
Aku menelan salivaku. Baru kali ini pelanggan begitu kecewa padaku.
"Baik Bu."
Lalu aku pun membawa pakaian-pakaian itu ke rumahku.
"Sri... Sri...!"
Aku menoleh pada seseorang yang memanggil namaku. Ternyata dia adalah Mbak Surti, senyumku pun langsung terbit menyambut kedatangannya yang berjalan terengah-engah menghampiriku sambil tersenyum juga.
"Ono opo Mbak?" Tanya ku
"Sek, aku tak cari napas dulu."
Aku terkekeh sesaat. Memang Mbak Surti terlihat begitu kelelahan membawa badan yang jauh dari kata langsing itu. Setelah terlihat cukup tenang dengan napas yang mulai beraturan, ia kembali tersenyum padaku.
"Esok lusa, aku mau adakan pengajian di rumah. Opo kamu bisa buatkan aku 200 kue dengan jenis yang berbeda Sri? Buat 4 jenis saja kalau bisa."
Aku langsung senang mendengar permintaan Mbak Surti. Ini rejeki besar yang tidak mungkin aku tolak.
"Bisa Mbak. Mau di anter jam berapa?"
"Habis ashar yo Sri. Tapi ingat, lusa loh."
"Iyo Mbak, tak ingat baik-baik pesan sampean."
"Ya sudah, aku balik lagi yo. Tadi lagi ngepel lantai, lihat kamu lewat jadi tak tinggal sebentar. Hehehe..."
"Iya Mbak. Tidak apa-apa."
Mbak Surti berjalan kembali menuju rumahnya. Dan aku pun melanjutkan kembali langkah ku menuju rumahku. Rumah yang menjadi tempat teduhku bersama Menur. Walau sederhana, rumah itu aku beli dengan keringat ku sendiri dengan cara mencicil selama hampir 7 tahun lamanya.
Bukan rumah subsidi, melainkan rumah Bu Dharma yang sudah berpulang ke Rahmatullah 7 tahun yang lalu. Awalnya rumah itu aku kontrak. Tapi karena Bu Dharma yang baik hati itu kasihan melihat ku dan Menur yang masih kecil saat itu, ia pun memberikan kemudahan dengan menjual rumah itu padaku dengan cara seperti membayar kontrakan rumah seperti sebelumnya. Dan alhamdulillah rumah itu jadi milikku sekarang dengan surat-surat yang lengkap pula.
Tiba di rumah, aku tidak membuang waktuku dengan percuma. Tidak ada kata lelah untuk beristirahat. Aku segera membentang kain yang biasa aku pakai untuk alas menyetrika, kemudian mulai melakukan pekerjaan ku satu-persatu. Hingga terdengar suara adzan dzuhur yang menggema membelah langit, ku hentikan sejenak kegiatanku untuk segera bersimpuh kepada sang Khaliq.
Lega rasanya jika kewajiban sudah aku tunaikan. Ku pandangi jam dinding yang menunjukan waktu kepulangan Menur dari sekolah tinggal 35 menit lagi. Aku pun menuju dapur untuk membuat makan siang untuk kami berdua. Di pagi hari kami hanya sarapan kue-kue yang aku buat untuk berdagang keliling serta di titipkan ke warung-warung. Siang hari aku baru memasak sekaligus untuk makan malam kami nanti.
"Assalamualaikum..."
"Waalaikumsalam..., loh sudah pulang Nduk?"
Menur meletakkan sepatunya di rak sepatu, lalu tanpa menjawab pertanyaanku, ia masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya dari dalam. Aku pun mematikan kompor yang kebetulan tumis kangkung yang aku masak sudah matang, dan tinggal di tuang ke dalam wadah saja. Lalu kemudian aku menghampiri kamar putriku untuk mengajaknya makan bersama.
"Tok... Tok... Tok...!"
"Menur, Ibu sudah selesai masak, kamu pasti lapar pulang sekolah kan? Ayo, makan dulu Nduk."
Tidak lama pintu pun terbuka, dan putriku, Menur, terlihat sudah siap hendak pergi lagi. Baju berwarna merah muda yang ia kenakan tampak menyempurnakan penampilannya. Tapi, dari mana dia dapat baju itu? Karena setahu ku, aku belum pernah mencuci pakaian itu. Juga aku tidak pernah membelikannya baju itu.
Bersambung...
Jangan lupa like dan komen ya, terima kasih 🙏😊
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
ㅤㅤㅤ ㅤ🍃⃝⃟𝟰ˢ𝐀⃝🥀✰͜͡v᭄ʰᶦᵃᵗ
JD Menur tuh yg ambil bajunya
2024-11-03
0
𝕮𝖎ҋ𝖙𝖆🏘⃝AⁿᵘBoy🔰🍒⃞⃟🦅ᴳᴿ🐅
bajunya ternyata disewa Menur /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
tidak bayar dan tidak izin pulak
2024-10-03
1
🍌 ᷢ ͩ⏤͟͟͞R 𝐙⃝🦜𒈒⃟ʟʙᴄ
sudah kuduga klo menur yg ambil bajunya jelita, mau gaya ya mbok jangan nyolong nur nur..
2024-09-09
2