Perlahan, kursi di sekelilingnya mulai terisi. Hari itu adalah penayangan perdana film tersebut, dan bioskop pun penuh sesak dengan penggemar horor yang siap menikmati ketegangan yang akan datang. Di sini, Dira memiliki kehidupan yang tampak bebas dan jauh dari pengawasan orang tua, yang mengarah ke rasa kebebasan yang mungkin kurang bertanggung jawab. Ini terlihat dari leluconnya tentang kemungkinan dipanggil BK (Bimbingan Konseling) dan perilaku impulsifnya, seperti pergi menonton film horor sendiri setelah mengantar sahabatnya.
Saat menunggu bioskop penuh dan film dimulai, Dira tak menyadari bahwa ia perlahan terlelap. Ketiduran di kursinya yang nyaman, dia terlewatkan momen demi momen film yang sudah ia tunggu-tunggu. Hingga tiba-tiba suara gemuruh tepuk tangan menggema di seluruh teater, membangunkan Dira dengan kaget. Tubuhnya tersentak, matanya terbuka lebar.
“Hah? Udah beres? Kapan mulainya?!” ucapnya setengah bingung. “Sial, gue ketiduran!” Dira menggeplak dahinya sendiri, kesal. Dengan langkah lunglai, ia keluar dari bioskop, merasa kecewa berat karena film yang ia antisipasi malah terlewat begitu saja. Setelah keluar dari teater, Dira turun ke lantai satu, berusaha mengobati kekecewaannya dengan membeli segelas minuman boba favoritnya. Setelahnya, ia memutuskan untuk mampir ke toko makeup di mall itu, berharap bisa membeli beberapa koleksi terbaru.
“Mbak, Smokey eye shadow dari brand Folloura masih ada, nggak?” tanya Dira pada seorang karyawan toko dengan antusias. “Oh, untuk koleksi Smokey eye dari Folloura, kebetulan belum ada di mall Bandung. Baru tersedia di Pik, Jakarta,” jawab karyawan itu ramah.“Oh, yaudah deh. Makasih, Mbak,” balas Dira sambil menghela napas kecewa. Tak ada hasil dari pencariannya kali ini, tapi dia tetap berusaha mengusir rasa kecewanya. Mungkin minggu depan dia bisa berburu makeup di tempat lain.
Dira akhirnya memutuskan untuk pulang. Waktu terasa berlalu begitu cepat—dari saat ia pulang sekolah, menonton bioskop, hingga sekarang, ketika jam di dashboard motornya sudah menunjuk pukul sembilan malam. Jalanan mulai lengang, angin malam menyapu wajahnya, menambah nuansa dingin yang menusuk kulit.
Saat berhenti di lampu merah, pandangan Dira tak sengaja menangkap sosok yang ia kenal: Andika. Dia sedang membonceng seorang perempuan. Dira memperhatikan lebih saksama, dan langsung mengenali gaya perempuan itu berpakaian ketat dengan gaya rambut yang familiar. “si anj*ng!” umpat Dira, rahangnya mengeras melihat pemandangan itu."Bisa-bisanya dia nyebar gosip gue lonte sekolah, padahal dia sendiri selingkuh sama cabe-cabean dari Paskal," lanjutnya, kesal.
Dira memalingkan wajahnya, mencoba meredam amarah yang tiba-tiba berkobar. Dalam pikirannya, bayangan gosip-gosip yang Andika sebar menggelitik luka lama. Namun melihat apa yang ada di depan matanya, membuat kebenciannya semakin mendalam. Lampu berubah hijau, dan Dira segera memutar gas, melesat ke jalan dengan
pikiran yang tak sepenuhnya tenang. Dira akhirnya sampai di rumah. Keadaan begitu sepi, dan seluruh ruangan gelap gulita. Dengan langkah santai, dia menyalakan saklar lampu ruang tamu. Namun, begitu lampu menyala, ia terhenti seketika—ibunya sudah ada di sana, duduk di sofa dengan tatapan tajam yang langsung menusuk ke arahnya.
Jantung Dira berdebar tak karuan, terkejut melihat sosok ibunya yang pulang lebih awal dari biasanya. Wajah ibunya terlihat dingin, diam membisu, tapi sorot matanya jelas menyimpan pertanyaan yang belum terucap.
"Eh... Ibu udah pulang," ucap Dira dengan senyum menyeringai, berusaha terlihat santai meskipun rasa gugup mulai merayap di dadanya. Ibunya tetap diam, tanpa sepatah kata pun keluar, membuat suasana di antara mereka terasa semakin tegang. Dira tahu, ini bukan pertemuan biasa ada sesuatu yang akan terjadi. “Kamu dari mana aja, kok baru pulang jam segini?” suara Ibu Maura terdengar datar, tapi ada kekhawatiran yang jelas di balik nada tegasnya. Ia tetap duduk di sofa, dengan tatapan yang tak lepas dari wajah Dira.
Dira menelan ludah, berusaha mengatur nada bicaranya agar terdengar tenang. “Tadi abis nonton film, Bu. Habis itu mampir beli boba, makanya pulangnya agak telat,” jawabnya, mencoba menghindari tatapan tajam ibunya. Ibu Maura adalah seorang janda yang telah mengurus Dira seorang diri sejak usia delapan tahun, setelah bercerai dari ayahnya. Meski hubungan Dira dan ayahnya masih terjalin dengan baik—ayahnya bahkan sudah memiliki keluarga baru tanggung jawab sehari-hari ada di pundak Maura. Dia selalu berusaha memberi kebebasan pada Dira, tapi malam ini terasa berbeda. Jam sudah menunjukkan lewat dari pukul sembilan malam, dan rasa khawatir sebagai seorang ibu tak bisa lagi ia abaikan.
Dira melihat kerutan di dahi ibunya semakin dalam. Meski Maura jarang marah, Dira tahu betul bahwa ketika ibunya seperti ini, ia harus berhati-hati dengan setiap kata yang keluar. "Ma, gak ada apa-apa kok. Gue cuma telat dikit..." ucap Dira, mencoba menenangkan suasana.Namun, Maura tetap diam, seolah menimbang-nimbang sesuatu di dalam benaknya.
Biasanya, Bu, tadi kan Dira ada les matematika, terus, mampir sebentar ke mall, beli ini,” kata Dira sambil menunjukkan belanjaannya. Ibu Maura menyipitkan matanya, nada suaranya menegang. “Jangan bohong, Dira. Tadi guru lesmu sudah laporan ke Ibu kalau kamu sudah bolos les matematika selama seminggu. Kamu ke mana saja?”
Dira merasakan jantungnya berdebar kencang. "Mampus, gue ketahuan," pikirnya panik,
menyadari kebohongannya terungkap. "Ibu nggak mau tau, besok kamu harus masuk les lagi. Nilai matematika kamu itu, hancur! Ini lihat sendiri!" suara Ibu Maura meninggi, seraya mengacungkan selembar kertas ujian ke arah Dira, "masa nilai matematika cuma 50? udah kayak diskon Ramadan aja!" lanjutnya, sinis.
Dira terpaku menatap kertas itu, matanya melebar, seakan tak percaya "Ibu dapat darimana kertas ujian itu?" tanyanya, bingung. Dira yakin betul sudah membuang kertas ujiannya yang memalukan itu. Ibu Maura menghela napas panjang, tatapannya tajam "kamu pikir ibu nggak mantau kamu, cuma karena ibu lagi di luar kota?" Nadanya penuh teguran,"Jangan seenaknya Dira Ibu selalu tahu dengan apa yang kamu lakukan selama ini" Dira menatap tajam ke arah Bi Mina, pembantu yang sedang sibuk membereskan meja makan. Tatapan itu membuat Bi Mina tertunduk, seperti merasa bersalah."Jadi ibu kerja sama Bi Mina buat mantau aku?" gumam
Dira dalam hati, penuh kekesalan yang terpendam.
Dengan wajah tanpa ekspresi, Dira berbalik menghadap ibunya. "Ya udah, Bu. Dira besok
bakal les lagi, sekarang Dira mau mandi terus tidur, badan Dira udah lengket banget, "ebelum beranjak, ia menyerahkan sebuah amplop ke tangan ibunya, lalu berlari menaiki tangga menuju kamar.
"NADIRAAAA!" Suara teriakan ibunya bergema dari lantai bawah, tetapi Dira tak menggubris. Begitu masuk ke kamarnya, ia langsung mengunci pintu, menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur. "Ah, elah. Bi Mina cepu banget, sih," Dira mendengus kesal, hatinya masih terbakar amarah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
and_waeyo
Semangatt nulisnya kak, jan sampai kendor❤️🔥
2024-09-15
0