Math bukan pria yang memiliki simpati pada manusia lain. Baginya, terlibat dengan penderitaan orang lain hanya akan membawa energi buruk di sekitarnya. Itulah mengapa ia tak pernah terganggu dengan apapun mengenai kehidupan orang lain. Namun, kepuasan yang ia dapatkan semalam dari Mesh, entah kenapa membuatnya semakin marah setiap terlintas lagi wajah Mesh yang mengerang membalas setiap sentuhan yang Math berikan. Karena di saat yang sama, tatapan mata Mesh selalu mengartikan hal sebaliknya.
Math mendesah, menghela nafas, berusaha menikmati secangkir capuccino sebagai pelengkap kenikmatan pagi itu. Sialnya, sekali lagi, bayangan Sorot mata Mesh mengganggu nikmatnya kopi pagi itu.
Math mengulum ludah, mengusir kesalnya yang semakin tak terarah. Ditenggaknya sisa kopi dengan kasar, lalu bangkit mencari asisten setianya.
"Lush!! Carikan aku alamat tempat tinggal Mesh Mayya, gadis yang aku tiduri semalam."
"Baik, tuan muda, tapi...."
"Waktumu hanya 15 menit."
"Oh, baiklah."
Lush bergerak cepat, mencari gambaran wajah Mesh Mayya hanya melalui sketsa yang dibuat Math dan keterangan dari beberapa pegawai di lobi hotel dan di bar tempat Math bertemu Mesh sebelumnya.
"Ini alamat tempat tinggalnya." Lush sang asisten memberikan selembar kertas, tepat setelah 15 menit waktu yang diberikan Math.
Math menyambar mantel panjangnya, topi Koboy pemberian sang kakek dan kunci mobil. Selembar kertas bertuliskan alamat tempat tinggal Mesh, tak lupa ia sisipkan ke kantong celananya.
"Haruskah aku temani, Tuan muda?" Lush menawarkan diri.
"Tidak perlu, aku hanya ada sedikit urusan dengannya."
Math berjalan cepat menuju mobil. Dengan kasar menginjak pedal gas, melaju dengan kecepatan tinggi, seakan mengejar Mesh Mayya adalah tujuan terjauhnya hari ini. Entah apa yang merasukinya, kali ini dia seperti bukan dirinya sendiri.
Perjalanan tak begitu jauh, namun cuaca hari ini sepertinya membuat Math tak bisa melaju terlalu kencang. Angin di musim panas, membuat debu dan butiran-butiran pasir tipis beterbangan di udara, ditambah dengan matahari yang mulai terik, menciptakan fatamorgana memilukan di atas pekatnya warna aspal.
Math memarkirkan mobilnya di sisi jalan, di depan pondok hunian yang bertuliskan "Malta House living". Math melihat sekeliling, jalanan sepi, tak ada manusia yang berlalu lalang, tampak seperti kota mati. Math mendekati pintu, dan mengetuknya dengan kepalan tangan.
Seorang wanita berusia lanjut membuka lubang kecil, hanya cukup untuk melihat siapa yang mengetuk pintu.
"Siapa? Ada perlu apa?" sambut si wanita lanjut usia.
"Tidak penting aku siapa, panggilkan Mesh Mayya kesini," ucap Math arogan.
"Gadis itu telah pulang ke rumah ibunya." meski kesal dengan ketidaksopanan Math, si wanita lanjut usia masih mau memberikan keterangan setaunya.
"Dimana?" Math masih mengejar.
"Kamu siapanya? Aku tidak mau memberikan alamat rumah siapapun jika tidak jelas siapa yang meminta dan untuk apa," ujar tegas si wanita tua.
"Aku kekasihnya!" Math asal menjawab.
Wanita tua itu tampak tak lagi bertanya. Entah karena kaget dengan sedikit bentakan Math, atau karena memang bisa menerima alasan Math. Si wanita tampak menuliskan sesuatu pada selembar kertas, lalu menyerahkannya untuk Math melalui lubang kecil yang sedari tadi dibuka si wanita tua. Math berpamitan seperlunya, segera menuju tempat yang ditunjukkan oleh si wanita tua.
"Kenapa aku harus sekeras ini mencari?" gumam Math kesal dengan isi kepalanya yang bising dipenuhi sorot mata dan gerak-gerik Mesh.
Sebuah pedesaan kuno, dengan rumah-rumah klasik berjajar rapi, jalanan yang hanya terbuat dari susunan-susunan batu-batu kali, pagar-pagar rumah yang terbuat dari batu kali yang ditata sedemikian rupa, membuat pemukiman itu memiliki daya nilai lebih karena ke-estetik-kannya. Ditambah dengan deretan bunga krisan warna warni di sepanjang pagar tiap rumah, membuat Mata pengunjung terbuai oleh konsep asri pemukiman itu.
Samar-samar terdengar keributan dari halaman sebuah rumah yang bisa dibilang paling besar di pedesaan itu. Di jalan depan rumah ya pun, terlihat kerumunan orang saling berbisik satu sama lain, saling mencibirkan bibir satu sama lain.
"Ada yang tahu rumah Mesh Mayya?" sapa Math pada salah satu orang yang berdiri mengintip ke dalam rumah dengan berjinjit dan mengintip dari pagar.
"Itu dia Mesh Mayya," ujar yang lain sambil menunjuk gadis yang setengah telanjang di tengah-tengah halaman.
"Apa yang terjadi?" ujar Math lalu keluar dari mobilnya.
"Orang tuanya berhutang banyak pada tengkulak. Mesh Mayya jadi bulan-bulanan si bos tengkulak. Sepertinya keperawanan Mesh Mayya jadi penawar hutang orang tuanya." ujar yang lain sambil tersenyum menyeringai.
"Kenapa tidak ada yang berani menolong?" Math mulai terlihat kesal.
"Tidak ada yang berani, bos tengkulak itu bisa saja tega membunuh siapa saja yang mengganggunya dalam hitungan detik."
Mendengar semua tuturan para warga, darah Math tiba-tiba mendidih, ditambah ia melihat sendiri bagaimana si preman merobek paksa rok indah Mesh Mayya. Masih terbayang betapa patut semalam Math menyibak rok indah itu, sekarang sudah berubah menjadi kain lusuh yang tak lagi berbentuk.
"DOR!! DOR!! DOR!!!"
Math melepaskan tiga kali tembakan ke udara, sambil berjalan ke tengah halaman. Sorot mata tajam dan kejam menjadi daya tarik lain dari seorang Math.
Tanpa ragu dan takut, Math melangkah mendekati ketua Bandit yang tak lagi memakai celana. Terlihat begitu menjijikkan bentuk tubuh dan hal lain yang ia banggakan terlihat lunglai sangat takut pada suara tembakan.
"Hentikan perlakuan menjijikkan yang sedang kalian pertontonkan!! Lihatlah, asetmu melunglai setelah mendengar tembakan dariku," gertak Math sambil mengarahkan tembakan pada aset yang tadinya dibanggakan si ketua tengkulak.
Pria-pria lain yang menjadi anak buah si tengkulak, maju memasang badan, dengan tubuh gempal bak pemain sumo, mereka mencoba menghadang Math yang sendirian. Sementara si bandit melanjutkan kekejiannya berusaha meraih Mesh Mayya.
Melihat kedatangan Math, mess Mayya merasa memiliki sedikit keberanian untuk mengerahkan kekuatan terakhirnya, setidaknya untuk melindungi diri sendiri dan keluarganya. Mesh Mayya merangkak berusaha bangun, lalu berlari menuju kain-kain yang dijemur sang ibu, dan menggunakannya untuk menutup kembali tubuh moleknya.
Math berusaha berpikir tenang, dia yang sendirian, hanya membawa sebuah pistol, tak akan sanggup melawan anak buah si Tengkulak dengan membawa kemenangan. Banyak pasang mata,namun tak ada satupun yang berani mendekat, tak ada bantuan yang bisa Math harapkan.
Math mengambil sebatang rokok dari sakunya, "Setidaknya aku harus menyesap sebelum habis karena babak belur," gumam Math sambil menyulut ujung rokoknya dengan api dari korek klasik bergambar kepala tengkorak miliknya.
...****************...
To be continue…
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 90 Episodes
Comments
𝐀⃝🥀senjaHIATᴳ𝐑᭄⒋ⷨ͢⚤🤎🍉
untung Math datang tepat waktu,hajar aja Math kalo perlu habisi para bandit itu, seenaknya sendiri melecehkan perempuan,beri mereka kematian yang menyakitkan,mereka semua pantas dihabisi😣😣😣
2024-09-26
1
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
semangaaaat Math 💪💪
2024-08-22
0
◌ᷟ⑅⃝ͩ● Marlina Bachtiar ●⑅⃝ᷟ◌ͩ
Kalian sudah sehati 😌
2024-08-22
0