"Pacar? What are you crazy?" Meledak sudah amarah Karen di depan Eros. "We are stranger, perlu gue ucapin berapa kali?"
Eros menhentikan mobilnya di jalanan yang cukup sepi. Cowok itu menatap Karen dengan dingin.
"Why? Lo keberatan?" tanya Eros dengan intonasi dingin.
Karen tidak bisa berkata-kata lagi. Kenapa harus ada spesies seperti Eros di dunia ini. Jika memang sudah seharusnya ada, kenapa harus mempertemukan dengan dirinya?
"Lo masih tanya?" Karen menatap Eros tak percaya. "Tanpa gue jawab seharusnya lo ngerti sendiri, anjing!"
Eros megetatkan rahangnya mendengar umpatan yang keluar dari mulut Karen.
"Sayangnya gue gak ngerti. Terus lo mau apa?" Eros menatap Karen dengan sorot menantang, cowok itu menikmati setiap perubahan ekspresi yang ditampilkan oleh Karen.
"Sialan!" Cukup, Karen tidak mau semakin berdebat panjang dengan cowok gilak ini. Ia memilih untuk keluar dari mobil, selagi mobil itu berhenyi di jalanan sepi. Ia menatap sejenak sekitar jalanan yang terlihat sepi, tidak ada angkutan umum yang lewat. Tanpa sadar ia mengigit bibir bawahnya dengan pelan, ia pulangnya bagaimana?
Karen tersenyum tipis, saat mengingat ia bisa menghubungi kedua sahabatnya. Jika tidak ia bisa meminta Aryan untuk menjemputnya. Ia segera turun tapi tangannya ke buru di tahan oleh Eros.
"Mau kabur?" Eros tersenyum sinis, membuat Karen berdecak keras. Menunjukan bahwa dirinya kesal setengah mati.
"Lepasin!" Karen membalas tatapan Eros tak kalah dingin.
Eros tanpa berkata melepaskan tangan Karen. Dan membiarkan gadis itu keluar dari mobil.
Kening Karen berkerut saat pintu mobil tidak bisa terbuka. Gadis itu kembali menatap Eros yang masih mempertahankan senyum sinis penuh keculasan pada bibirnya.
"Anjing lo! Buka pintunya," bentak Karen saat pintu mobil terkunci sehingga dirinya tidak bisa keluar.
Eros tidak merespon, cowok itu kembali menjalankan mobilnya tanpa memperdulikan Karen yang sudah berteriak memaki dirinya.
"Eros sialan! Lo budeg, ya? Gue bilang buka pintunya!" maki Karen pada Eros dengan wajah memerah penuh amarah.
Eros menoleh pada Karen, bukan karena gadis itu yang berteriak sambil memaki di dekat telinganya. Melainkan karena, Karen memanggil namanya. Cukup membuatnya terkejut, tapi dirinya sangat senang.
"Lo manggil nama gue. Berarti ucapan lo yang bilang kalo kita orang asing itu salah besar," kata Eros seraya melirik Karen sambil menunjukan seringai andalannya.
"What?" Sepertinya ia tidak sadar apa yang baru saja ia ucapkan. "Apa maksud lo?"
"Lo sendiri yang manggil nama gue, secara tidak langsung lo nunjukin kalo kita saling kenal," jelas Eros sambil fokus menyetir. "Bukan berarti ucapan lo yang bilang kita orang asing perlu diralat?" Eros semakin melebarkan seringainya saat melihat Karen yang berubah menjadi kikuk.
Gadis itu mencoba untuk tertawa meskipun terlihat kaku. "Gue gak pernah manggil nama lo, gak usah ge-er jadi orang," elak Karen sinis.
"Telinga gue masih berfungsi," kata Eros tenang.
"Bodo amat gue gak pernah manggil nama lo. Lo salah denger, lo kan budeg." Wajah Karen memerah menahan malu. Ia keceplosan memanggil nama cowok itu.
Eros hanya diam, sambil tersenyum geli. Karen selalu mengutamakan gengsinya, ia tidak mungkin salah dengar bahwa Karen memanggil namanya saat memaki dirinya. Ia sangat yakin, tapi melihat gadis itu yang mengelak ia hanya bisa diam.
***
Mobil itu berhenti tepat di depan gerbang kediaman Karen. Tidak perlu bertanya dari mana cowok itu tahu rumahnya, karena hampir setiap minggu Eros dan seluruh anggota Ravegaz lainnya datang ke rumahnya untuk sekedar berpesta kecil-kecilan. Makanya setiap malam minggu rumah Karen sudah seperti kuburan, eh, bercanda maksudnya.
Setiap pesta kecil-kecilan yang dibuat oleh Kakaknya, membuat keadaan rumahnya sangat ramai. Meskipun pesta itu diadakan di taman belakang yang luas, terdapat sebuah kolam renang dan lapangan basket yang cukup luas. Karen memilih untuk menginap di rumah kedua sahabatnya, daripada waktu istirahatnya terganggu oleh suara gelak tawa yang terdengar sampai kamarnya. Karena, letak kamarnya yang berada di lantai dua dekat sekali dengan taman belakang rumahnya.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Karen turun dari mobil itu. Hari sudah mulai gelap, waktu sudah menujukan pukul enam lebih. Saat di jalan saja suara adzan maghrib sudah berkumandang, ia jadi resah.
"Siniin kunci mobil lo, gue bakal buka pintu mobilnya," kata Eros memberi tawaran.
"Buat apa?" tanyanya datar.
"Kalo gak mau ya udah," ujar Eros santai. "gue gak bakal buka mobilnya," lanjutnya.
Karen menggeram tertahan. Keparat sialan. Ada manusia mengesalkan seperti Eros. Dengan kasar, Karen menyerahkan kunci mobil miliknya pada Eros. Tanpa berkata lagi Eros membuka pintu mobil yang semula terkunci. Karen dengan cepat keluar dari mobil Eros, bahkan gadis itu tidak mengucapkan makasih padanya. Ia hanya menggeleng pelan, lalu kembali menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Karen.
***
Daren menaiki undakan tangga dengan langkah gontai, tubuhnya terasa sangat remuk. Hari ini adalah hari paling berat baginya. Ia sangat kelelahan, dan membutuhkan istirahat dengan segera. Ia melanjutkan jalannya menuju kamarnya yang berada di lantai tiga, lift di rumahnya tidak bisa berfungsi untuk sementara waktu sehingga harus capek-capek menggunakan tangga. Sebelum melanjutkan menaiki tangga selanjutnya, Daren melirik kamar adiknya yang tertutup rapat. Cowok itu mengingat pertengkarannya dengan Karen di sekolah pagi tadi, setelah di gudang ia belum bertemu lagi dengan adiknya.
Ada keinginan untuk menghampiri kamar Karen, namun ia tidak mau jika kembali ribut dengan adiknya. Dan membuat Maminya tahu kalo hubungan mereka merenggang, ini bukan pertama kalinya Karen dan dirinya bertengkar.
Ia sudah sering, masalahnya tidak beda jauh dari Karen yang muak karena ia selalu ikut campur urusannya. Daren merasa perbuatannya yang selalu ikut campur, mengawasi Karen, dan melarang Karen yang akan melakukan sesuatu yang menurutnya tidak baik.
Baginya semuanya itu tidak ada yang salah, semuanya benar karena untuk kebikan Karen sendiri. Sebagai seorang Kakak, Daren hanya ingin melindungi adiknya dari hal buruk di luar sana yang bisa menghancurkan adiknya kapan saja.
Helaan nafas kasar keluar dari hidung Daren, ia mengurungkan niatnya untuk menghampiri kamar adiknya dan melanjutkan menaiki undakan tangga menuju kamarnya.
"Tuan muda," panggil seseorang dengan nada santun.
Daren yang baru menginjakan undakan tangga terakhir, menoleh pada Bima yang baru saja keluar dari ruang billiard. Pria muda itu menghampirinya dengan langkah pelan, sehingga tidak menimbulkan suara derap langkah kakinya.
"Kenapa?" tanya Daren datar.
"Nona Karen baru saja pulang sekitar jam lima lebih." Daren mernyengit samar saat mendengar ucapan pria di hadapannya yang berjalan menghampirinya. "Tetapi, mobil Nona baru saja diantar oleh seseorang beberapa waktu lalu."
Kedua mata Daren menyorot Bima tajam. Menyuruh pria itu menjelaskan secara rinci tidak setengah-tengah.
"Setelah saya lihat CCTV, nona Karen pulang diantar oleh seseorang menggunakan mobil hitam," jelas Bima tenang tidak terpengaruh oleh tatapan anak majikannya.
Bima, pria berusia sekitar tiga puluh tahunan itu sudah tujuh tahun bekerja pada keluarga Geraldy. Bima menjadi anak buah kepercayaan Kenan, yang selama dua tahun ini ditempatkan menjadi anak buah Daren, putra pertama Geraldy. Selama dua tahun ini ia sudah mengetahui kebiasaan Daren, dari mulai cara bicaranya, perilakunya, sifat, dan lain sebagainya. Sudah hapal di luar kepala, ia hanya menanggapi emosi dan sikap arogan Daren dengan tenang tanpa tepengaruh sedikitpun.
"Siapa yang mengantar Karen?" Nada bicara Daren terdengar seperti orang menahan geraman.
"Saya tidak tahu, Tuan. Melihat spesifik mobilnya sepertinya salah satu teman anda," jawab Bima.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments