Part 6 trauma
Pagi ini terlihat sangat cerah, secerah senyuman Karen yang tidak luntur dari wajahnya. Daren dan Darell dibuat terheran-heran dengan tingkah adiknya yang jarang sekali tersenyum seceria ini. Keduanya ingin bertanya terpaksa urung saat mendengar langkah kaki memasuki dapur, terlihat Kenan dengan setelan jas kantor yang melekat pada tubuhnya yang tegap. Tetapi ekspresi yang ditampilkan di wajah datar itu terlihat lesu dan tidak bersemangat ada apa?
"Sayang, makan yang banyak, ya." Gretta meletakan satu piring nasi goreng pada putrinya. "Mau Mami suapin?" tanya Gretta lembut.
Karen mengangguk senang. "Mau banget." Kapan lagi dirinya disuapin Mami-nya ini. Biasanya Mami-nya selalu sibuk dengan sang Papi, mengurus segala kebutuhan Papi-nya dari mulai pakaian sampai sarapan. Tetapi pagi ini berbeda, Mami-nya sedang marah dengan sang Papi membuat dirinya bisa bermanjaan dengan wanita berhati malaikat itu.
Kenan mendengus. Sedangkan Daren dan Darell memutar kedua bola matanya malas.
"Udah gede masih disuapin aja. Makan sendiri juga bisa kali." Mulut nyinyir Daren mendapatkan tatapan tajam dari Darell.
"Gak papa sekali-kali," kata Darell tersenyum tipis melihat adiknya yang kini melotot kesal pada kakak kembarnya.
Karen mengacungkan kedua jempolnya pada kakaknya. Gadis itu kini sudah anteng disuapin oleh Gretta.
"Sayang, kamu juga makan, ya. Anak kita bisa makan sendiri gak perlu kamu suapin gitu," ucap Kenan menahan iri pada putrinya. Semalam ia harus tidur di kamar tamu gara-gara Karen, dan pagi ini Gretta mengacuhkannya membiarkan dirinya menyiapkan segala kebutuhannya seorang diri.
Karen mendelik pada Papi-nya. "Apa, sih? Udah deh, Papi diem aja."
Daren dan Darell menahan tawa mendengarnya, terlebih melihat wajah kesal Kenan merupakan hiburan mereka. Sedangkan Gretta sudah tertawa sambil menutup mulutnya dengan gerakan anggun.
"Ketawa aja gak usah ditahan," ucap Kenan ketus pada kedua putra kembarnya. Tentu saja mereka lebih milih buat menahan tawa dari pada uang jajan mereka dipotong seperti adiknya, Karen.
"Sayang, kamu kenapa ketawain aku?" Kenan menatap istrinya dengan kesal.
"Diem, Mas. Aku lagi nyuapin Karen, kalo dia telat kamu yang aku salahin," jawab Gretta ketus. Membuat Karen tersenyum mengejek pada Papi-nya. Ia puas melihat Papi-nya tersiksa seperti ini, itung-itung sebagai balas dendam sudah menyiksa anaknya sendiri.
***
Suasana mobil yang dikendarai oleh Daren begitu hening. Karen melirik Kakaknya yang fokus pada jalanan, ia ragu bertanya pada kakaknya tentang apa yang ada di kepalanya. Eros, satu nama yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini. Dari mulai cowok itu yang mengikuti akun instagramnya, seringai tajam yang selalu cowok itu tunjukan jika bertemu dengannya, lalu mencegatnya di koridor sepi lalu memojokannya di tembok, dan terakhir saat cowok itu menghadangnya bersama para sahabatnya.
"Kenapa?" Karen tersentak dari lamunannya mendengar suara Daren.
"Hah?" Daren tersenyum geli melihat adiknya yang belum konek.
"Kamu mau tanya apa sama Kakak?" ulang Daren mengusap puncak kepala adiknya dengan lembut.
"Oh, itu?" Karen mengangguk kepalanya. Kakaknya selalu peka padanya, padahal ia hanya menatapnya saja langsung mengerti. "Kakak kenal Eros sejak kapan?"
Ciiiiiit
Sreet
Duk'
"Akh!" Karen meringis merasakan dahinya terbentur dashboard mobil gara-gara Kakaknya mengerem mobilnya mendadak.
"Kakak, apa-apaan, sih?" sentak Karen kesal. Kakaknya tidak hati-hati dalam mengendarai mobil sampai membuatnya merasakan sakit pada dahinya.
Daren menoleh pada adiknya dengan tatapan tajamnya. "Kamu suka sama dia?"
"Hah?! Siapa? Aku?" tanya Karen menunjuk dirinya sendiri.
Daren mencengkeram stir mobil dengan kuat menahan gejolak emosi yang berada di dadanya mendengar adiknya menanyai Eros.
"Gak usah deket-deket sama dia. Kamu harus jauh-jauh dari Eros, dia berbahaya buat kamu. Kakak gak mau tau kamu harus jauhin cowok itu, selain berbahaya dia cowok buruk gak pantas buat kamu. Jangan sampai kamu suka sama cowok brengsek kaya dia." Karen tertegun mendengar perkataan panjang lebar kakaknya.
"Kak? Bukannya dia temen Kakak?" Karen menatap Daren dengan bingung.
Daren yang ingin menjawab pertanyaan adiknya, urung saat mendengar suara klakson mobil yang terus bersahutan di belakang mobilnya. Mereka terlihat kesal karena mobilnya berhenti mendadak menghalangi jalan mobil lainnya. Daren mengusap wajahnya kasar, lalu kembali melajukan mobilnya menuju sekolah.
"Turutin aja gak usah ngebantah!"
Karen kembali menelan perkataannya saat melihat tatapan tajam yang dilayangkan Kakaknya padanya. Sepertinya ia salah berbicara, tapi kenapa? Kenapa Kakaknya marah seperti ini hanya karena ia bertanya tentang Eros.
Karen menatap gerbang sekolahnya yang hampir di tutup oleh satpam yang berjaga di depan gerbang. Gadis itu melirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya menunjukan pukul tujuh lebih lima belas menit. Pantes, ternyata sudah siang. Ini pasti gara-gara Kakaknya yang pake acara berhenti di tengah jalan segala.
Karen melirik malas Kakaknya yang sudah mengklakson mobilnya berkali-kali, mengode Pak Tono selaku satpam sekolah untuk membuka gerbangnya.
"Maaf, tapi kamu sudah telat, Daren. Saya tidak bisa menuruti keinginan kamu untuk memaksa saya membuka gerbang untuk kamu," kata Pak Tono yang menghampiri mobil Daren yang jendela kacanya sudah dibuka memperlihatkan wajah sangar khas seorang Daren. "Ternyata kamu tidak sendiri, ada adikmu juga."
"Gak usah banyak bacot! Buka pintunya!" bentak Daren emosi. Karen mendengus kesal pada Kakaknya yang terlalu bertele-tele menurutnya.
"Saya rasa Pak Tono dengar apa yang Kakak saya katakan." Karen angkat bicara saat melihat Pak Satpam hanya diam tanpa menuruti perintah Kakaknya. "Buka pintu gerbangnya! Kami tidak suka menunggu."
"Maaf, Nona muda dan Tuan muda yang terhormat. Meskipun kalian merupakan anak pemilik sekolah, bukan berarti kalian bisa bersikap seenaknya melanggar peraturan sekolah." Pak Tono menatap keduanya dengan tegas, pria berusia matang itu tidak takut dengan siapa berhadapannya saat ini.
"Bapak lupa? Pihak sekolah seharusnya memberikan kami privilage, karena kami merupakan anak dari pemilik sekolah. Kami bebas melakukan apapun semau kita." Karen tidak senang mendengar perkataan cukup berani dari pria yang bertugas sebagai satpam sekolahnya. Terlihat dari wajahnya yang sudah menampilkan emosi yang tidak bisa disembunyikan lagi.
"Mungkin, kamu juga lupa. Pak Kenan menolak pihak sekolah memberikan ketiga anaknya privilage di sekolah." Perkataan enteng dari satpam itu membuat Karen dan Daren terkejut, tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Tidak mungkin!" Karen kembali menormalkan ekspresinya yang semula terkejut, menjadi datar. Karen yakin sekali Mami-nya sudah meminta Papi-nya untuk mengistimewakan mereka di sekolah, tetapi kenapa Pak Tono mengatakan hal lain.
Melihat adiknya yang seperti ini, Daren turun dari mobil dan menarik kerah seragam satpam Pak Tono. Menatap tajam pria tua yang sudah berani melawan dirinya dan adiknya.
"Turutin keinginan gue, buka pintunya." Dengan tenang Daren mengode Pak Tono untuk membuka gerbang sekolahnya menggunakan dagu.
Pak Tono menggeleng kaku, ia tetap mempertahankan sikap profesionalnya bekerja. Ia mencoba tidak terpengaruh dengan tatapan penuh ancaman yang dilayangkan Daren padanya. Pria itu semakin tercekat saat bocah ingusan itu menguatkan cengkeramannya pada kerah seragamnya.
"Kamu tidak bisa mengancam saya!" ucap Pak Tono dengan terbata.
Daren tersenyum miring, cowok itu melepaskan cengkeramannya dengan kasar hampir membuat tubuh Pak Tono terhuyung ke belakang. Daren kembali memasuki mobilnya, bersiap untuk menjalankannya. Pak Tono ketar-ketir saat tahu apa yang akan dilakukan oleh Daren. Belum sempat ia berteriak menghentikannya, suara benturan benda keras terdengar membuat seluruh murid yang seharusnya sudah belajar di kelas dengan tenang harus keluar karena rasa penasaran akibat suara keras itu.
Karen menyentuh dadanya yang berdebar dengan kencang, bukan karena jatuh cinta. Melainkan ketakutan atas kejadian beberapa detik yang lalu, Karen melirik Kakaknya yang terlihat tenang setelah melakukan hal gila yang nyaris membuat dirinya mati di tempat.
Daren memarkirkan mobilnya di parkiran khusus mobil yang sudah di penuhi para murid yang mungkin penasaran apa yang baru saja terjadi. Dengan santai cowok itu keluar dari mobil dengan kaca mata hitam yang bertengger manis di hidungnya.
Menyugar rambutnya yang terlihat acak-acakan membuat para cewek berteriak kagum karena ketampanan luar biasa dari keturunan Geraldy. Mereka melupakan kejadian gila yang dilakukan oleh Daren beberapa saat lalu.
Dengan emosi yang siap meledak, Karen menyusul Kakaknya keluar dari mobil. Ia benar-benar tidak terima melihat Kakaknya masih bisa tebar pesona di depan para gadis. Sedangkan dirinya masih dilanda syok berat atas tindakannya.
"Kak, lo gila, ya?" Nafas Karen begitu memburu, gadis itu berkali-kali membuang nafas untuk mengurangi sesak di dada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments