NovelToon NovelToon

Duda Pilihan Orang Tua

Duda 1

Sepasang mata bulat itu tampak nanar melihat pemandangan yang berhasil menimbulkan rasa pedih di dalam hatinya. Suara bising lalu-lalang manusia, pun tak lantas mengusik perhatiannya. Fokusnya hanya tertuju pada sepasang anak manusia yang menampilkan raut bahagia dengan tawa yang begitu lepas. Lavina—wanita itu masih tak kuasa untuk bergerak dari tempatnya berdiri.

“Dicariin malah di sini.”

Suara serak seorang pria yang datang menghampiri Lavina, tak lantas membuat wanita itu tersadar. Tentu saja hal itu menarik perhatian Aidan selaku teman dekat Lavina. Ditolehkannya kepala untuk melihat apa yang menjadi pusat perhatian yang begitu menarik bagi temannya. Barulah saat itu kedua matanya menajam sempurna.

“Bangsat!” umpat Aidan refleks, bahkan dia tak lagi peduli akan di mana dirinya berada saat ini. Kemudian, dia kembali menoleh ke arah temannya itu. Menarik pelan pergelangan tangan Lavina. Membuat kesadaran wanita itu akhirnya kembali ke dunia.

“Aidan,” gumam Lavina yang masih cukup terdengar di telinga pria itu. Namun, pria itu tak kunjung membalas dan terus melangkah mendekati sepasang kekasih yang sedari tadi menjadi objek serius yang dipandangi Lavina. Kedua netranya terbelalak saat tahu ke mana tujuan Aidan. “Jangan gila, Dan!”

“Gue nggak gila!” Aidan sejenak menoleh ke Lavina dan menghentikan langkahnya. Matanya berkilat marah dan wajahnya menampilkan ekspresi yang cukup mengerikan. “Hadapi! Gue tau ini bukan kali pertamanya, lo diperlakukan seperti ini sama pria brengsek itu,” sambungnya lagi penuh penekanan di setiap katanya.

Tidak menunggu jawaban Lavina, Aidan kembali melanjutkan langkahnya. Tangannya masih setia menggenggam pergelangan tangan temannya. Begitu sampai di hadapan dua anak manusia itu, barulah Aidan melepaskan cekalannya.

“L—lavina,” gagap seorang pria yang sudah pias menatap kehadiran Lavina bersama Aidan. Tak terkecuali wanita yang saat ini menegakkan tubuhnya, setelah sedari tadi bergelayut manja di lengan Damar.

Lavina tak menampilkan ekspresi berlebih, meski kini hatinya meronta kesakitan. Dirinya tak mau menampilkan rasa sakitnya kepada dua manusia gila di hadapannya. Dia masih cukup waras untuk tidak memperlihatkan sisi lemahnya, terlebih sekarang mereka berada di tengah-tengah pusat perbelanjaan ibukota.

“Damar, mulai hari ini kita selesai!” Kalimat singkat itu keluar dari bilah bibir Lavina dengan tegas. Setelahnya, wanita itu memberikan sebuah hadiah manis di pipi pria yang tak lain adalah kekasihnya. Tak memedulikan bahwa saat ini dirinya sudah menjadi pusat perhatian banyak orang.

Plak!

“Vina! Kamu sal—“

“Tutup mulut busuk lo itu, sialan! Dan jangan pernah panggil nama gue ataupun ganggu gue lagi!”

Lavina menghela napas panjang. Kilasan ingatan memilukan itu kembali memutar tanpa bisa dicegah di pikirannya. Sudah dua tahun berlalu, tetapi rasanya masih membekas di hati. Bukan perkara karena dirinya sakit hati sebab diduakan berulang kali oleh sang mantan kekasih. Namun, dia menyesal dan merasa bodoh , karena terlalu naif dalam mencintai.

“Gak mau pulang lo?” Sebuah tepukan ringan mendarat di pundak Lavina. Kerutan dahi menjadi pemandangan pertama Lavina saat menoleh untuk melihat pelakunya. Siapa lagi kalau bukan sang sahabat—Aidan. “Malah bengong lagi,” dengkus pria itu.

Lantas Lavina terkekeh ringan. “Iya, ini mau pulang. Nebeng, ya,” balasnya menampakkan deretan gigi rapinya.

Mendengar hal yang sudah bisa dikatakan biasa Aidan dengar, hari ini membuat dirinya meringis pelan. “Sorry, Vin. Gue gak bawa motor. Ini juga dijemput sama abang gue,” ucap Aidan merasa tak enak.

Lavina yang sedang membereskan peralatan kerjanya, segera menoleh saat mendengar penuturan sang sahabat. Kemudian, dia berikan ulasan senyum pada Aidan. “Gak apa-apa, Dan. Santai aja,” terangnya, berharap temannya itu tak terlalu memikirkan.

“Besok, deh. Janji besok kita pulang bareng. Kalau hari ini emang gak bisa. Urgent banget mau buru-buru ke acara makan malam keluarga soalnya,” papar Aidan yang rupanya masih merasa tak enak sendiri.

“Loh! Sama kalau gitu. Yaudah, deh, lo buruan pulang. Gue juga mau pesen grab dulu.” Lavina menggerakkan tangannya seolah mengusir sang sahabat. Membuat Aidan mendengkus, tetapi tak urung juga melesat pergi. Meninggalkan Lavina yang kini hanya seorang diri di kubikel tempat kerjanya.

“Its oke! Mandiri, Lavina,” gumam wanita itu dan segera memesan grab untuk pulang.

***

Setelah dipaksa melakukan persiapan yang berlebihan untuk makan malam, yang entah bersama siapa. Akhirnya, Lavina beserta keluarganya tiba di sebuah restoran yang cukup bisa dikatakan mewah. Semakin menambah tanda tanya besar di kepala Lavina akan maksud makan malam tak biasa ini.

Akan tetapi, sebagai anak satu-satunya yang penurut. Lavina tak banyak bertanya dan mencoba untuk bersikap tak acuh. Tak ingin menambah beban pikiran dan rasa lelah setelah seharian bekerja.

“Makannya tunggu teman papa dan mama dulu, ya, Dek. Sepertinya, mereka masih terjebak macet.” Farhan—ayah Lavina membuka suara di keheningan itu.

Lavina mengangguk, mengerti. “Memangnya, makan malam ini dalam rangka apa, ya, Pa?” tanyanya yang tak lagi bisa menahan diri.

Baik sang ayah maupun sang ibu sama-sama melempar senyum ke arah Lavina. Kemudian, Arumi selaku ibu Lavina mendekat dan menggenggam tangan sang putri lembut. Menambah kerutan samar yang sudah tercetak di dahi si anak tunggal.

“Sebelumnya maaf, ya, Dek. Mama dan papa gak bilang dulu secara detail ke kamu,” ujar Arumi menggantung. Sengaja, demi melihat ekspresi sang putri lebih lanjut. Dirasa tak menampilkan raut yang berlebihan, wanita paru baya itu kembali melanjutkan perkataannya. “Kita berencana untuk mengenalkan Adek sama seseorang.”

Tentu saja Lavina tak bisa untuk menahan ekspresi terkejutnya. Sepasang mata bulatnya kian membesar dengan mulut yang ternganga. Namun, belum sempat dirinya bertanya lebih lanjut. Sang ayah kini kembali mengeluarkan suaranya.

“Adek, tenang dulu, ya. Makan malam ini Cuma sebatas silaturahmi dan perkenalan saja.” Farhan mengelus punggung putri semata wayangnya itu. Mencoba memberi rasa nyaman dan tenang.

“Beneran buat kenalan aja, kan? Gak lebih?” tanya Lavina menatap serius ke arah kedua orang tuanya secara bergantian. “Adek gak suka, ya, kalau sampek ada perjodohan kolot kayak jaman dulu,” sambungnya lagi berjaga-jaga.

Mendengar hal itu kedua orang tua Lavina menghela napas panjang. Baru hendak Farhan akan memberikan penjelasan berlebih. Suara berat menyela terlebih dulu. Membuat keluarga besar itu mau tak mau menoleh serempak ke arah sumber suara. Memastikan bahwa suara orang itu memang benar orang yang tengah ditunggu mereka.

"Selamat malam, Farhan.”

Farhan mengulas senyum lebar, lantas berdiri menyambut kedatangan temannya. Begitu juga dengan Arumi. Namun, tidak dengan Lavina yang kini terbelalak, menatap tak percaya orang yang ada di hadapannya. Tak jauh berbeda dengan orang yang ditatapnya.

“Aidan!”

“Kok, lo ada di sini?”

*

*

Hai selamat datang di cerita baru author

Semoga kalian suka, dan menikmati. Dan mohon dukungannya semua 😉

Duda 2

Pembicaraan orang tua di samping kanan kirinya tak terlalu dimengerti oleh Lavina. Setelah keterkejutannya akan kehadiran Aidan bersama kedua orang tuanya tadi. Pikiran Lavina disibukkan akan segala macam pertanyaan yang tentunya tak ada jawaban pasti.

Kini, selagi mereka menunggu makanan yang dipesan. Lavina tak terlalu memedulikan pembicaraan basa-basi yang terjadi. Bahkan, Aidan yang juga sama bertanya-tanyanya dan terlihat ingin mengajak sahabatnya itu berbicara, pun urung. Lantaran Lavina sudah masuk ke dalam dunianya sendiri. Sampai satu suara berhasil menginterupsi pembicaraan para orang tua serta menarik Lavina ke dunia.

“Selamat malam. Maaf, saya terlambat.”

“Abang?” Aidan tentu terkejut dengan kehadiran sang kakak yang tak lagi tinggal serumah dengannya.

Pria yang dipanggil Abang oleh Aidan itu tersenyum tipis dan mengangguk pelan ke arah sang adik. Lalu, dirinya membungkuk sopan ke teman orang tuanya, serta menyalami mereka sebagai mana orang tuanya sendiri.

“Kita masih belum lama juga kok di sini. Makanannya juga belum datang,” ujar Harun—ayah dari Aidan menatap si sulung yang baru tiba. “Kenalan dulu, ini temannya papa dan mama serta putrinya, Lavina,” lanjutnya tegas, tetapi masih terdengar hangat.

“Abyan, Om, Tante.” Pria bernama Abyan itu langsung menurut dan memberikan senyuman ramahnya.

Kemudian, dia mengalihkan tatapannya ke seorang wanita yang masih diam saja di sebelah Aidan. “Hai, saya Abyan,” ujarnya sembari mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.

“Eh... hai. Gue Lavina.” Wanita itu membalas jabatan tangan Abyan singkat.

Setelah acara kenalan dan basa-basi itu. Mereka tampak tenang menghabiskan makanan yang sudah mereka pesan sebelumnya. Meski sesekali ada saja celetukan dan obrolan santai, yang seakan mengatakan bahwa kedua keluarga itu begitu hangat. Dan tibalah mereka ke penghujung acara, di mana mereka memberitahukan alasan dan tujuan makan malam itu terjadi.

Farhan berdeham guna mengalihkan perhatian. Kemudian, pria paruh baya itu menatap putrinya lembut. Menyalurkan sebuah afeksi yang sialnya tak tersampaikan dengan baik ke putri kecilnya. Karena, saat ini Lavina merasa perasaannya tidak enak dan gelisah di tempatnya.

“Seperti yang papa bilang tadi. Kalau makan malam ini bertujuan untuk menjalin silaturahmi dan mengenalkan Adek sama seseorang. Sebenarnya, papa dan mama berniat menjodohkan Adek sama putranya Om Harun dan Tante Ira,” papar Farhan dengan hati-hati. Tak mau sampai putrinya itu terkejut atau parahnya tersinggung.

“Papa mau jodohin Adek sama Aidan? Kita, kan, udah temenan dari lama, Pa. Ya kali Adek nikah sama Aidan,” jawab Lavina sambil melirik sinis ke arah sahabatnya itu.

“Gue juga gak mau nikah sama lo, ya, Nyet.” Aidan membalas tak kalah sinis.

Tentu saja hal itu berhasil membuat para orang tua tertawa. Tak menyangka, respons Lavina akan sesantai itu. Padahal, mereka sudah harap-harap cemas sedari tadi. Khawatir Lavina akan marah atau lebih parahnya kabur.

“Tapi, Papa bukan mau jodohin Adek sama Aidan. Kalau sama Aidan, kan, gak usah kenalan dulu.” Farhan kembali mengambil alih perhatian putri semata wayangnya itu.

Kening Lavina berkerut bingung. Kepalanya sedikit meneleng, menatap ayahnya. Tidak mungkin juga, dia dijodohkan dengan kakak Aidan yang notabenenya sudah pernah menikah, kan?

“L—lalu?” tanyanya mendadak gugup.

Farhan tersenyum tipis membalas tatapan polos putrinya itu. “Adek, mau, ya, papa jodohin sama Abyan, kakaknya Aidan.”

“Hah?”

Dengan serempak Lavina dan Aidan menoleh ke arah Abyan yang masih tampak tenang, atau lebih tepatnya lempeng di tempatnya. Apakah hanya Lavina dan Aidan saja yang tidak tahu mengenai perjodohan ini? Melihat bagaimana reaksi Abyan tak seperti kedua muda-mudi itu.

“Papa gak lagi bercanda, kan?” Lavina segera menormalkan kembali pikiran dan ekspresinya, menatap sang ayah menuntut.

Bukan tanpa alasan Lavina tak langsung percaya akan pernyataan ayahnya itu. Wanita itu hanya memastikan, karena meski dirinya baru pertama kali bertemu dengan Abyan. Lavina sedikitnya tahu tentang status kakak dari sahabatnya itu.

“Papa serius, Dek. Abyan yang akan papa jodohkan sama kamu,” ujar Farhan tegas, mematahkan keraguan Lavina sebelumnya.

“T—tapi, kan ....”

“Apa kamu keberatan karena saya seorang duda?” Abyan membuka suaranya untuk pertama kali, setelah basa-basi yang dilakukannya tadi saat baru tiba.

Lavina jelas terkejut. Segera saja wanita itu menggeleng cepat. “Bukan seperti itu.”

“Berarti Adek terima perjodohan ini?” Arumi menyela cepat dengan senyuman lebar, yang diikuti oleh yang lainnya.

“Syukurlah kalau begitu. Kita tinggal mencari tanggal pernikahannya.” Farhan kembali bersuara, yang langsung diiyakan oleh keluarga Abyan. Tanpa menyadari bagaimana ekspresi pias Lavina.

“Sial! Kenapa jadi gini?” batin Lavina frustrasi.

***

Sudah tiga hari sejak perjodohan dengan kedok makan malam itu berlangsung. Sejak itu juga Lavina merasa memiliki sebuah beban berat. Padahal, kesehariannya masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Kepalanya kini mulai pusing, tetapi dia paksa untuk bertahan sampai dirinya bisa sampai ke kamarnya.

Wanita itu sepertinya masih belum menerima dan mencerna dengan baik perihal perjodohan dadakan itu. Memang sudah seharusnya sedari awal dia tak percaya akan perkataan kedua orang tuanya yang memberikan alibi perkenalan.

Nyatanya, tanpa bertanya berlebih lanjut. Kedua orang tuanya menentukan hari pernikahannya. Mengingat hal itu, ingin rasanya Lavina berteriak frustrasi. Wanita itu menarik kasar rambutnya, seakan dengan begitu ia bisa menghilangkan sakit dan frustrasi yang dirinya rasakan.

“Arghhh ... sial banget!” jeritnya dalam hati.

Cklek!

“Loh! Adek kenapa rambutnya ditarik seperti itu?” Arumi mendekat khawatir ke tempat sang anak.

Lavina menghela napas panjang dan melepaskan tangannya dari rambut panjangnya. Lantas, ia menatap sang ibu dengan sendu. Semakin menambah kekhawatiran yang dirasa oleh wanita paruh baya itu, tanpa Lavina sadari.

“Adek kenapa? Ada masalah di kantor?” tanya Arumi lembut. Tak lupa juga, dia memberikan usapan lembut di puncak kepala sang anak.

Kepala Lavina menggeleng pelan. Masih dengan menatap ibunya dengan sendu, kini wajahnya kian memelas. “Adek gak mau nikah sama duda itu, Ma,” cicitnya.

“Loh? Kenapa? Bukannya kemaren Adek nerima aja? Kenapa sekarang berubah pikiran?” Arumi menatap putrinya penasaran sekaligus bingung.

“Adek gak pernah bilang nerima. Tapi, kalian udah menyimpulkan sendiri,” sungut Lavina dengan bibir yang mengerucut lucu.

Arumi menghela napas panjang, kembali memberikan usapan lembut di puncak kepala sang anak yang sempat terhenti. “Gimana, ya, Dek. Selain karena tanggalnya sudah ditentukan. Nak Abyan juga orangnya baik. Makanya, mama dan papa mau jodohin kalian. Terlepas dari statusnya yang duda,” jelasnya dengan lembut.

“Ya tetep aja, Ma. Dia itu duda.” Lavina kembali merengek. Sangat wajar dan biasa, karena memang wanita itu putri semata wayang yang dimanja oleh kedua orang tuanya. “Pokoknya, Adek gak mau nikah sam—“

Belum selesai Lavina menyelesaikan perkataannya untuk membujuk sang ibu. Suara sang ayah lebih dulu menyela. “Kok Abyan ditinggal sendirian di luar?”

“Apa?” Lavina membelalakkan matanya terkejut. Untuk apa duda itu datang ke rumahnya malam-malam begini?

*

*

Halo semua selamat siang

Semoga kalian suka ya, teman-teman 😉

Duda 3

Lavina menatap kedua orang tuanya bergantian. Sebenarnya, wanita itu meminta penjelasan lebih tentang Abyan yang tiba-tiba ada di rumahnya. Terlebih, sekarang matahari sudah menyembunyikan dirinya.

Beruntung Arumi paham akan maksud sang anak. Ikatan batin seorang ibu itu begitu kuat. Maka tak heran, tanpa perlu berkata lebih untuk menyuarakan kegundahan. Seorang ibu akan memahaminya.

“Maaf, ya, Dek. Mama lupa bilang, tadi Mama ke sini niatnya buat manggil kamu. Soalnya Abyan udah dateng buat jemput,” tutur Arumi lembut, berharap putrinya bisa mengerti.

“Untuk apa dia datang ke sini? Udah malem juga.” Lavina masih menatap ibunya, meminta penjelasan lebih lagi

.

“Kalau siang kalian, kan, sama-sama kerja. Jadi, Abyan datang setelah pulang kerja untuk beli cincin pernikahan kalian,” jelas Arumi dengan sabarnya dan mempertahankan intonasi suaranya agar tetap lembut.

Tak bisa Lavina ungkiri, dia terkejut mendengar pernyataan sang ibu. Bagaimana bisa ibunya bilang dadakan? Padahal, dia baru saja akan meminta untuk membicarakan perihal perjodohan ini untuk dibatalkan.

Wanita itu menghela napas panjang, lalu kembali menatap kedua orang tuanya bergantian.

“Jadi? Ayo siap-siap, Adek. Kasihan Abyan nunggu lama,” ujar Farhan memecah keheningan.

"Pa, Ma, pernikahan ini udah gak bisa dibatalkan, ya?” Lavina bersuara lirih, tetapi berhasil menyentak kedua orang tuanya.

Suasana seketika hening, dan hanya terdengar deru napas dari ketiga manusia itu. Sampai deheman Farhan menjadi pemecah serta mengalihkan perhatian dua wanita cantik berbeda usia di kamar itu.

“Adek, kita bicarakan hal ini nanti, ya. Sekarang kamu cepat siap-siap dan ikut Abyan dulu. Bisa, Sayang?”

Lavina menatap tatapan lembut nan hangat dari sang ayah yang penuh harap itu dengan gamang. Namun, pada akhirnya wanita itu mengangguk, setelah sebelumnya dia menghembuskan napas berat.

“Baiklah. Adek siap-siap dulu.” Jawaban Lavina menciptakan seulas senyum tipis di wajah kedua orang tuanya.

“Pintarnya anak papa.” Farhan pun keluar bersama sang istri, meninggalkan Lavina yang berjalan lesu ke kamar mandi.

***

Setelah menempuh perjalanan kurang lebih setengah jam dalam keadaan hening. Sepasang anak manusia yang masih merasa asing itu tiba di sebuah mall besar di ibu kota. Mall yang sama yang membuat kenangan buruk bagi Lavina, hingga tanpa sadar wanita itu menghela napas kasar.

Jelas saja hal itu menarik perhatian Abyan, menatap Lavina yang masih duduk di samping kemudinya. “Kenapa?” tanyanya singkat.

Kepala Lavina menoleh dan menggeleng pelan. Menyebabkan tiga garis horizontal terbit tanpa bisa dicegah di dahi Abyan. Namun, sepertinya pria itu tak mau memperpanjang.

“Kamu sudah makan? Kalau belum kita bisa makan malam lebih dulu,” lontar Abyan mengganti topik. Karena, jujur saja dirinya belum sempat mengisi perut sejak siang tadi.

“Boleh.” Lavina menjawab seadanya.

Lagi dan lagi Abyan tak mempermasalahkan jawaban singkat wanita di sampingnya itu. Dirinya sudah lelah, maka dari itu dia tak mau menambah kelelahan lainnya yang disengaja.

Kedua anak manusia itu berjalan beriringan menuju sebuah restoran yang cukup terkenal akan makanan Indonesia. Tentunya mereka lebih dulu memutuskannya sebelum keluar dari mobil tadi. Tanpa berdekatan berlebih, mereka berjalan bak orang tak kenal hingga tiba di tempat tujuan.

“Kamu ada pantangan sama makanan tertentu?” Abyan bertanya sembari menatap menu makanan yang dia baca.

“Tidak ada.”

Kembali jawaban singkat pria itu terima. Lantas, Abyan memesan dua porsi makanan dan memusatkan perhatiannya kepada Lavina. Yang tampak sibuk mengedarkan pandangan, sangat kentara jika wanita itu tengah menghindarinya.

Abyan menarik napas pelan, mengontrol emosi yang bisa kapan saja meledak. Mengingat dirinya tengah begitu lelah sehabis kerja dan tinjau lapangan siang tadi.

“Lavina, apa kamu keberatan dengan perjodohan ini?" Pertanyaan itu akhirnya lolos dari bilah bibir Abyan dengan sempurna. Tak lagi peduli akan sebuah basa-basi.

Dengan refleks Lavina menoleh ke arah Abyan. Tanpa memberikan ekspresi berlebih, wanita itu menatap lurus pria yang dijodohkan dengannya.

“Kenapa lo terima perjodohan ini dengan pasrah?" Lavina membalas pertanyaan Abyan dengan sebuah pertanyaan dengan keterbalikannya.

“Saya sebelumnya sudah pernah menikah dengan orang pilihan saya sendiri. Berharap pilihan saya akan bisa menjadi pelabuhan terakhir bagi saya, dengan dasar saling suka dan cinta ... dulunya,” tutur Abyan tenang, bahkan terlihat sangat santai. “Nyatanya, pernikahan tak semudah itu dijalani, bahkan saya hanya bisa mempertahankan dalam waktu yang sangat singkat. Selama tiga tahun ini saya bertanya-tanya, apa yang salah? Lalu saya teringat akan restu orang tua saya yang sebelumnya sulit didapat. Singkatnya, saya percaya restu orang tua sebuah hal yang penting, karena firasat orang tua ada benarnya. Orang tua saya menjodohkan saya dengan kamu, berarti ada hal baik di balik itu semua. Jadi, tak ada alasan untuk saya menolak,” sambungnya diakhiri senyuman tipis.

Lavina terdiam mendengar penjelasan Abyan dan hanya ada dua perspektif yang terlintas di dalam kepalanya malam itu. Abyan sosok yang naif atau pria itu benar-benar sosok yang dewasa?

***

Suka tidak suka, mau tidak mau pernikahan tetap harus terlaksana. Tiada hentinya Lavina menghela napas kasar sedari dia bangun tidur sampai saat ini yang sudah dirias sebagai seorang pengantin. Diluar sana, terdengar suara pria yang dengan tegasnya mengambil tanggung jawab atas dirinya dari sang ayah.

Air mata yang sedari tadi susah payah dia tahan pada akhirnya meluncur dengan mudahnya. Kini, dia sudah sah menjadi seorang istri dari Abyan. Duda yang masih belum bisa dia terima kehadirannya. Namun, dia sudah tak memiliki jalan mundur.

Tok! Tok!

"Adek, ayo turun. Kita temui suamimu dan keluarga besar." Arumi—sang ibu datang menampilkan senyuman cerahnya, seolah memamerkan kebahagiaan. Berbanding terbalik dengan perasaan Lavina yang terasa redup.

Ibu dan anak itu turun dan Lavina langsung diantarkan ke tempat Abyan berada. Meski enggan dan terpaksa menerima pernikahan itu, tetap saja Lavina harus bersikap baik. Terlebih, sekarang dia berada di tengah-tengah keluarga besar.

"Saya harap kamu bisa nyaman dan bahagia bersama saya selayaknya kamu hidup bersama orang tua kamu sebelumnya," bisik Abyan begitu Lavina menyalami tangannya. Dan tanpa Abyan tahu, Lavina tertegun mendengarnya.

Apa yang kamu harapkan dengan pernikahan yang dipaksa ini, Abyan?

*

*

Kembali lagi sama author

Semoga kalian suka dan betah yaa

See you 😉

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!