Pembicaraan orang tua di samping kanan kirinya tak terlalu dimengerti oleh Lavina. Setelah keterkejutannya akan kehadiran Aidan bersama kedua orang tuanya tadi. Pikiran Lavina disibukkan akan segala macam pertanyaan yang tentunya tak ada jawaban pasti.
Kini, selagi mereka menunggu makanan yang dipesan. Lavina tak terlalu memedulikan pembicaraan basa-basi yang terjadi. Bahkan, Aidan yang juga sama bertanya-tanyanya dan terlihat ingin mengajak sahabatnya itu berbicara, pun urung. Lantaran Lavina sudah masuk ke dalam dunianya sendiri. Sampai satu suara berhasil menginterupsi pembicaraan para orang tua serta menarik Lavina ke dunia.
“Selamat malam. Maaf, saya terlambat.”
“Abang?” Aidan tentu terkejut dengan kehadiran sang kakak yang tak lagi tinggal serumah dengannya.
Pria yang dipanggil Abang oleh Aidan itu tersenyum tipis dan mengangguk pelan ke arah sang adik. Lalu, dirinya membungkuk sopan ke teman orang tuanya, serta menyalami mereka sebagai mana orang tuanya sendiri.
“Kita masih belum lama juga kok di sini. Makanannya juga belum datang,” ujar Harun—ayah dari Aidan menatap si sulung yang baru tiba. “Kenalan dulu, ini temannya papa dan mama serta putrinya, Lavina,” lanjutnya tegas, tetapi masih terdengar hangat.
“Abyan, Om, Tante.” Pria bernama Abyan itu langsung menurut dan memberikan senyuman ramahnya.
Kemudian, dia mengalihkan tatapannya ke seorang wanita yang masih diam saja di sebelah Aidan. “Hai, saya Abyan,” ujarnya sembari mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan.
“Eh... hai. Gue Lavina.” Wanita itu membalas jabatan tangan Abyan singkat.
Setelah acara kenalan dan basa-basi itu. Mereka tampak tenang menghabiskan makanan yang sudah mereka pesan sebelumnya. Meski sesekali ada saja celetukan dan obrolan santai, yang seakan mengatakan bahwa kedua keluarga itu begitu hangat. Dan tibalah mereka ke penghujung acara, di mana mereka memberitahukan alasan dan tujuan makan malam itu terjadi.
Farhan berdeham guna mengalihkan perhatian. Kemudian, pria paruh baya itu menatap putrinya lembut. Menyalurkan sebuah afeksi yang sialnya tak tersampaikan dengan baik ke putri kecilnya. Karena, saat ini Lavina merasa perasaannya tidak enak dan gelisah di tempatnya.
“Seperti yang papa bilang tadi. Kalau makan malam ini bertujuan untuk menjalin silaturahmi dan mengenalkan Adek sama seseorang. Sebenarnya, papa dan mama berniat menjodohkan Adek sama putranya Om Harun dan Tante Ira,” papar Farhan dengan hati-hati. Tak mau sampai putrinya itu terkejut atau parahnya tersinggung.
“Papa mau jodohin Adek sama Aidan? Kita, kan, udah temenan dari lama, Pa. Ya kali Adek nikah sama Aidan,” jawab Lavina sambil melirik sinis ke arah sahabatnya itu.
“Gue juga gak mau nikah sama lo, ya, Nyet.” Aidan membalas tak kalah sinis.
Tentu saja hal itu berhasil membuat para orang tua tertawa. Tak menyangka, respons Lavina akan sesantai itu. Padahal, mereka sudah harap-harap cemas sedari tadi. Khawatir Lavina akan marah atau lebih parahnya kabur.
“Tapi, Papa bukan mau jodohin Adek sama Aidan. Kalau sama Aidan, kan, gak usah kenalan dulu.” Farhan kembali mengambil alih perhatian putri semata wayangnya itu.
Kening Lavina berkerut bingung. Kepalanya sedikit meneleng, menatap ayahnya. Tidak mungkin juga, dia dijodohkan dengan kakak Aidan yang notabenenya sudah pernah menikah, kan?
“L—lalu?” tanyanya mendadak gugup.
Farhan tersenyum tipis membalas tatapan polos putrinya itu. “Adek, mau, ya, papa jodohin sama Abyan, kakaknya Aidan.”
“Hah?”
Dengan serempak Lavina dan Aidan menoleh ke arah Abyan yang masih tampak tenang, atau lebih tepatnya lempeng di tempatnya. Apakah hanya Lavina dan Aidan saja yang tidak tahu mengenai perjodohan ini? Melihat bagaimana reaksi Abyan tak seperti kedua muda-mudi itu.
“Papa gak lagi bercanda, kan?” Lavina segera menormalkan kembali pikiran dan ekspresinya, menatap sang ayah menuntut.
Bukan tanpa alasan Lavina tak langsung percaya akan pernyataan ayahnya itu. Wanita itu hanya memastikan, karena meski dirinya baru pertama kali bertemu dengan Abyan. Lavina sedikitnya tahu tentang status kakak dari sahabatnya itu.
“Papa serius, Dek. Abyan yang akan papa jodohkan sama kamu,” ujar Farhan tegas, mematahkan keraguan Lavina sebelumnya.
“T—tapi, kan ....”
“Apa kamu keberatan karena saya seorang duda?” Abyan membuka suaranya untuk pertama kali, setelah basa-basi yang dilakukannya tadi saat baru tiba.
Lavina jelas terkejut. Segera saja wanita itu menggeleng cepat. “Bukan seperti itu.”
“Berarti Adek terima perjodohan ini?” Arumi menyela cepat dengan senyuman lebar, yang diikuti oleh yang lainnya.
“Syukurlah kalau begitu. Kita tinggal mencari tanggal pernikahannya.” Farhan kembali bersuara, yang langsung diiyakan oleh keluarga Abyan. Tanpa menyadari bagaimana ekspresi pias Lavina.
“Sial! Kenapa jadi gini?” batin Lavina frustrasi.
***
Sudah tiga hari sejak perjodohan dengan kedok makan malam itu berlangsung. Sejak itu juga Lavina merasa memiliki sebuah beban berat. Padahal, kesehariannya masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Kepalanya kini mulai pusing, tetapi dia paksa untuk bertahan sampai dirinya bisa sampai ke kamarnya.
Wanita itu sepertinya masih belum menerima dan mencerna dengan baik perihal perjodohan dadakan itu. Memang sudah seharusnya sedari awal dia tak percaya akan perkataan kedua orang tuanya yang memberikan alibi perkenalan.
Nyatanya, tanpa bertanya berlebih lanjut. Kedua orang tuanya menentukan hari pernikahannya. Mengingat hal itu, ingin rasanya Lavina berteriak frustrasi. Wanita itu menarik kasar rambutnya, seakan dengan begitu ia bisa menghilangkan sakit dan frustrasi yang dirinya rasakan.
“Arghhh ... sial banget!” jeritnya dalam hati.
Cklek!
“Loh! Adek kenapa rambutnya ditarik seperti itu?” Arumi mendekat khawatir ke tempat sang anak.
Lavina menghela napas panjang dan melepaskan tangannya dari rambut panjangnya. Lantas, ia menatap sang ibu dengan sendu. Semakin menambah kekhawatiran yang dirasa oleh wanita paruh baya itu, tanpa Lavina sadari.
“Adek kenapa? Ada masalah di kantor?” tanya Arumi lembut. Tak lupa juga, dia memberikan usapan lembut di puncak kepala sang anak.
Kepala Lavina menggeleng pelan. Masih dengan menatap ibunya dengan sendu, kini wajahnya kian memelas. “Adek gak mau nikah sama duda itu, Ma,” cicitnya.
“Loh? Kenapa? Bukannya kemaren Adek nerima aja? Kenapa sekarang berubah pikiran?” Arumi menatap putrinya penasaran sekaligus bingung.
“Adek gak pernah bilang nerima. Tapi, kalian udah menyimpulkan sendiri,” sungut Lavina dengan bibir yang mengerucut lucu.
Arumi menghela napas panjang, kembali memberikan usapan lembut di puncak kepala sang anak yang sempat terhenti. “Gimana, ya, Dek. Selain karena tanggalnya sudah ditentukan. Nak Abyan juga orangnya baik. Makanya, mama dan papa mau jodohin kalian. Terlepas dari statusnya yang duda,” jelasnya dengan lembut.
“Ya tetep aja, Ma. Dia itu duda.” Lavina kembali merengek. Sangat wajar dan biasa, karena memang wanita itu putri semata wayang yang dimanja oleh kedua orang tuanya. “Pokoknya, Adek gak mau nikah sam—“
Belum selesai Lavina menyelesaikan perkataannya untuk membujuk sang ibu. Suara sang ayah lebih dulu menyela. “Kok Abyan ditinggal sendirian di luar?”
“Apa?” Lavina membelalakkan matanya terkejut. Untuk apa duda itu datang ke rumahnya malam-malam begini?
*
*
Halo semua selamat siang
Semoga kalian suka ya, teman-teman 😉
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 55 Episodes
Comments
vj'z tri
buahahhahaha kena jebakan author ...ternyata sama Abang nya di jodohin 🤭🤭🤭 lanjutan
2024-09-01
2