Cahaya lembut lampu temaram di kafe menyelimuti ruangan yang sempit, mengalir dengan aroma kopi dan sisa-sisa kue yang menggoda. Dr. Smith menghilangkan letih di wajahnya saat ia melangkah memasuki kafe kecil itu. Tali dasi yang longgar menggantung di lehernya, tanda betapa banyaknya ia berjuang menghadapi malam sebelumnya. Ia hanya ingin menikmati secangkir kopi sebelum kembali ke apartemennya.
Dari sudut ruangan, Ara duduk sendiri, menyelami tumpukan buku di depan layarnya. Sesekali, ia menulis sesuatu di catatan kecilnya. Matanya berbinar saat melihat Dr. Smith mendekat, tanpa menyadari pertemuan ini takkan berlangsung seperti yang ia harapkan.
"Selamat malam, Dokter," Ara menyungging senyum. "Apa yang membawa Anda ke sini?"
Dr. Smith tertegun, memandangi Ara dengan ekspresi kosong. Tangan kanannya menggaruk kepala. Ia merasa bahwa wajah ini — wajah ceria ini — cukup familiar. Namun, dia tidak terlalu peduli.
"Biasanya aku lebih suka kafe yang lebih tenang,” katanya singkat.
"Iya, tempat ini memang agak ramai, tetapi suasananya nyaman," Ara menjawab penuh semangat. Memperkenalkan diri atau menjelaskan ketulusan hatinya terasa tidak perlu.
Dr. Smith meraih kursi dan duduk di seberang Ara, menatapnya dengan rasa ingin tahu. Di benaknya, Ada sesuatu yang membuatnya ingin mengenal lebih jauh.
"Saya tahu Anda dari rumor-rumor di praktik," Ara mengubah topik, berusaha menciptakan kebersamaan di antara mereka.
"Oh, ya?" Dr. Smith mengangkat alis. "Rumor apa?"
"Bahwa Anda punya metode unik untuk perawatan kulit,” Ara menjawab sambil menyesap cappuccino-nya.
"Metode lebih tepatnya, pengalaman," Dr. Smith menjawab datar. Lalu suasana hening, rasa awkward menggelayuti di antara mereka berdua.
Tak lama kemudian, Ara memperhatikan wajah dokter tersebut. Ada gelisah di mata Dr. Smith, seperti menyimpan banyak beban.
"Dokter, Anda terlihat lelah. Apakah semuanya baik-baik saja di rumah sakit?"
"Waktu kerja tidak bersahabat," jawab Dr. Smith sambil memandangi rempah-rempah di meja, menghindari tatapan Ara.
"Anda butuh istirahat," Ara mengusulkan. "Kesehatan itu penting, bukan hanya untuk pasien, tapi juga untuk diri Anda sendiri."
Dr. Smith mengangkat bahu. "Rasa sakit, kepedihan; itu hal normal bagi kami. Kami sudah terbiasa."
"Jangan sampai kebiasaan itu merenggut hidup Anda," Ara menggoda, berusaha meringankan atmosfer. "Apa Anda tidak mau menjalin hubungan dengan kehidupan yang lebih berarti di luar pekerjaan?"
"Hubungan? Sangat rumit," jawabnya, mengernyitkan dahi. "Biarkan saya fokus pada tugas saya."
Pertukaran kata-kata itu berlangsung dingin, tetapi Ara merasa ada sesuatu yang memanggil untuk mengetahui lebih lanjut mengenai Dr. Smith. Dia menjadwalkan dokter itu di benaknya bukan sekadar wajah yang terlihat lelah.
“Setiap orang butuh seseorang, Dokter,” Ara pun melanjutkan. “Mungkin Anda hanya belum menyadari itu.”
Terpaku sejenak, Dr. Smith merenung. Mungkin ada benarnya. Namun, dia tidak dapat mengabaikan bayang-bayang masa lalu yang muncul dan mengganggu.
"Karena itu, aku di sini, bukan?” ujarnya sambil tersenyum lemah. "Berharap bisa menemukan ketenangan antara kerja dan hidup."
Ara tersenyum pada upayanya, tetapi tetap mengamati apakah ada celah dalam pertahanan Dr. Smith. "Di dunia ini, terkadang kita menemukan ketenangan melalui cerita orang lain."
Bayangan kelam kembali melintas di benak Dr. Smith. Ia menyaksikan pasiennya berjuang, terjerat dalam penyakit kulit yang menyerang kepercayaan diri mereka. Namun, di dalam ngarai kegembiraan, Ara tampak seperti jembatan menuju kehidupan yang lebih bermakna.
"Siapakah yang dekat dengan Anda?" Dr. Smith bertanya, berusaha memberi makna pada kedekatan yang telah terjalin.
"Aku punya Doni, sahabat terdekat," Ara menjawab, bibirnya melengkung penuh kasih.
“Doni? Tentu, pernah mendengarnya," Dr. Smith mengangguk, tetapi di dalam pikirannya, sosok itu masih samar.
"Sahabat yang selalu ada saat saya mengalami masa sulit," Ara melanjutkan. "Dia hanya ingin melihatku bahagia."
“Kebahagiaan bukan tujuan yang mudah dicapai.”
Ara menghela napas. "Tapi ada banyak cara untuk mencapainya. Kadang-kadang kita hanya perlu berhenti sejenak, melihat ke sekeliling, untuk menyadari apa yang membuat kita bahagia."
Dr. Smith tidak segera menjawab. Dia menyesap kopinya sambil merenung. Ara berharap kali ini bisa menjadi kedamaian kecil dalam hidupnya.
"Saya pernah berusaha menciptakan kebahagiaan," ujarnya akhirnya, menurunkan cangkir kopi. "Tetapi kehilangan membuat saya terpuruk."
"Keberanian untuk merasakan kehilangan juga penting," Ara menegaskan. "Itu adalah langkah menuju penyembuhan."
Dr. Smith tidak bisa mengungkapkan betapa efektifnya kata-kata Ara. Dalam anidan obrolan mereka, ia merasakan dorongan untuk keluar dari kelam.
"Sepertinya kita tidak berbicara tentang diri kita,” Ara berkata sembari menatap sekeliling. "Apakah ada yang ingin Anda buktikan dari dalam diri Anda?"
“Bentuk keindahan,” jawab Dr. Smith, terkejut dengan kebongkaran emosionalnya. "Tetapi terkadang, keindahan tampak kelam."
"Keindahan tidak selalu tentang apa yang terlihat. Ia juga mencakup bagaimana kita merasa," Ara membalas.
Tak lama setelahnya, Dr. Smith merasakan pertukaran pandangan, dan ia tahu perbincangan ini mengubahnya. Dalam kerumunan, sosok yang duduk di depannya bukan hanya seorang pengunjung kafe. Ia seorang sahabat yang menggapai arah baru dalam hidupnya.
Dengan cepat, kafe mulai ramai. Suara tawa dan obrolan mengisi udara, dan Dr. Smith menyadari pertemuan ini lebih dari sekadar perbincangan. Ara berhasil melangkahi dindingnya, membuatnya merasa dihargai.
“Maaf, saya harus pulang,” Dr. Smith berkata – semangatnya sedikit terisi kembali dengan harapan.
"Jangan lupakan omonganku," Ara menghentikannya, seraya memberikan senyuman tulus. "Hidup itu singkat, hargai semua momen."
Dr. Smith mengangguk dan segera meraih tasnya. Ia meninggalkan kafe dengan perasaan yang belum pernah ia rasakan dalam waktu lama. Mungkin, hidup ini terasa lebih berarti dari sekedar batasan profesi yang dipilihnya.
Ara memperhatikan kepergiannya, pertemuan itu menyisakan rasa iba. Ada sesuatu di dalam diri Dr. Smith yang mengingatkan dirinya pada Doni. Keduanya sama-sama memikul beban, namun mencari jalan untuk melanjutkan hidup ke depan meski dikelilingi bayang-bayang masa lalu.
Di kafe yang ramai, keduanya menemukan diri mereka sendiri dalam tiang harapan yang mungkin tak terduga.
Ara menggigit bibirnya, teringat kembali beberapa percakapan dengan Doni. Dia merasa urgensi untuk bercerita, memberi tahu sahabatnya tentang pertemuan itu dengan Dr. Smith. Namun, saat itu juga, satu pertanyaan melintas di benaknya, menunggu untuk terjawab: apakah Doni siap untuk mendengarnya?
Setelah Dr. Smith pergi, dia memesan satu cangkir lagi sambil menunggu Doni di kafe. Telefon bergetar dalam tasnya. Sebuah pesan masuk dari Doni, dan dia membaca dengan cepat.
"Aku sudah selesai di klinik. Sebentar lagi sampai. Kamu di mana?"
Ara menjawab cepat.
"Kafe dekat rumah sakit. Ada yang ingin diceritakan."
Ini akan menjadi percakapan panjang.
Tak lama, pintu kafe terbuka dan Doni melangkah masuk, menghapus hujan dari jaketnya. Tatapan matanya langsung mencari-cari Ara. Saat ia melihatnya, senyum tergurat di wajahnya.
“Aku sudah mendengar aroma kue dari luar. Apa kamu sudah pesan untukku?” Doni berkata riang, saat dia duduk di sebelah Ara.
“Ada yang lebih menarik dari itu,” Ara memulai, kali ini nada suaranya lebih serius. “Aku bertemu Dr. Smith tadi malam.”
Doni menatapnya curiga. “Dr. Smith? Apa dia baik-baik saja? Dia selalu terlihat gelisah belakangan ini.”
Ara angkat bahu. “Dia lelah. Membawa banyak beban. Tapi yang menarik adalah… dia sering melihat ke direct kewanita hamil di klinik spesialis kulit.”
“Wanita hamil? Di klinik kulit?” Doni mengernyitkan dahi. “Kurang logis. Kenapa dia ada di sana?”
“Aku pun berpikir begitu. Tapi mungkin kasusnya lebih dalam dari yang kita duga.” Ara menatap sahabatnya. "Mari kita kunjungi dia, dan jika perlu, kita bicarakan tempat itu."
Doni menggerakkan kepalanya pelan. “Maksudmu, kita mencari tahu yang sebenarnya? Tapi... kami tidak memiliki informasi.”
“Kadang, untuk menemukan jawaban, kita perlu melangkah keluar dari batas yang kita kenal, kan?”
Doni terdiam sejenak, menimbang tawaran itu. Dia tahu bahwa Ara memiliki naluri yang baik. “Okay, tapi kita harus bersikap hati-hati. Jika kami berdua pergi ke klinik, bisa jadi kami malah menciptakan masalah.”
“Berita baiknya, klinik itu tidak terlalu jauh," Ara menjawab, menantang Doni dengan tatapan yang tegas.
“Oh ya? Kapan kita mulai?” Doni mengerutkan dahi.
“Sekarang. Kita bikin janji dengan Dr. Smith. Pikirkan ini sebagai misi mencari tahu lebih dalam.”
Doni tersenyum. “Baiklah. Tapi jika dia marah pada kita, kamu yang harus menangani.”
“Mengerti. Aku sudah siap. Perjalanan ini untuk kita berdua.”
Mereka beranjak meninggalkan kafe, semangat tersimpan dalam diri mereka. Langit mendung menyelimuti malam, tetapi mereka memiliki tujuan yang jelas di depan mata.
Begitu tiba di klinik Dr. Smith, Ara berdiri tegak sambil mengutak-atik teleponnya, mencari nomor kontak dokter.
"Apakah kau yakin tentang ini?" tanya Doni sembari memandangi pengunjung lain yang datang dan pergi.
Ara tersenyum. “Kita hanya berbicara, Doni. Tidak ada salahnya bertanya.”
Setelah beberapa kali mencoba menghubungi, Dr. Smith menerima panggilan.
“Halo, Dr. Smith,” Ara berbicara cepat, berusaha menahan kegugupan.
“Ya, siapa ini?” Dr. Smith menjawab, melewati kesan dingin, merespon panggilan telepon secara profesional.
“Aku Ara, seorang teman dari Doni. Apakah boleh kami berbicara sebentar?”
“Sekarang?” terdengar sedikit terkejut dalam suaranya.
“Ya, hanya beberapa menit. Kami punya beberapa pertanyaan,” Ara menjawab, menahan napas.
“Baiklah, datanglah,” Dr. Smith menjawab sebelum memutuskan sambungan.
Ara berbalik ke arah Doni. “Dia mau menemui kita. Mari.”
Keduanya melangkah ke dalam klinik, aroma antiseptik yang menyengat menyambut mereka. Dengan ragu, mereka mendekati pintu ruang praktik Dr. Smith. Ara mengetuk pelan.
“Masuk,” suara Dr. Smith terdengar dari dalam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 35 Episodes
Comments
anggita
like👍+☝iklan. moga novelnya sukses.
2024-08-17
1