NovelToon NovelToon

Sisi Gelap Sebuah Klinik

kenanganlah

Doni sedang merapikan area resepsionis Klinik saat bunyi bel di pintu membuatnya menoleh. Jantungnya berdebar, berusaha menebak siapa yang datang. Saat melihat sosok yang keluar dari bayangan, senyumannya merekah.

“Ara!” teriaknya, melupakan pekerjaan sejenak.

Ara melangkah masuk, menyalakan ruangan dingin dengan kehadirannya. Dia tampak lelah, lingkaran hitam menghiasi matanya, tetapi senyumnya tetap membahana.

“Kamu tak perlu berlebihan, Doni. Aku hanya mampir untuk berobat,” ujarnya sambil melambai ringan.

Doni mengamati langkahnya yang ringan walaupun tubuhnya tampak menegang saat duduk di kursi tunggu. Dia berinisiatif membuka pembicaraan.

“Apa kabar?” tanyanya, berusaha menyelami lebih dalam.

“Kurang baik, sebenarnya. Sejak seminggu lalu, ada yang… aneh,” Ara menggoreskan telunjuknya pada ujung lengan yang dilipat.

“Maksudmu?” Doni merasakan ketegangan itu, terlihat dari cara Ara meraih ujung lengan bajunya.

“Rasa sakitnya… seperti mendorongku dari dalam,” Ara menghela napas, menurunkan pandangannya ke lantai klinik yang bersih.

Doni menggenggam tangannya. “Berapa lama kamu merasakannya?”

“Setiap hari semakin buruk. Kadang, aku seperti tidak bisa bernafas,” jawabnya, suara bergetar.

Doni meresapi kalimat itu, bayangan cerita kelam datang ke benaknya. “Kita harus bicara tentang ini. Mungkin aku bisa membantu.”

Ara tertawa, meski datar. “Apa yang bisa kamu lakukan? Mengusir rasa sakit dengan cerita masa kecil kita?”

Doni mengedipkan matanya, wajahnya berusaha ceria. “Kau ingat Kuburan Exora? Kita berani masuk hanya demi melihat hantu? Kita bisa seharian disana bercerita hingga tertawa.”

“Kau masih ingat semua itu?” Ara mengalihkan pikiran sejenak, matanya menyala.

“Bagaimana bisa lupa? Kita selalu berkelakar soal hantu yang melompat-lompat,” Doni tersenyum, berharap momen itu bisa mengalihkan perhatiannya dari rasa takut yang menggerogoti.

Tapi ekspresi Ara kembali suram, wajahnya membeku. “Apa kau pernah berpikir tentang apa yang bisa terjadi di sini, Doni?”

“Apa maksudmu?” Suara Doni terdengar serak, gelisah.

“Aku takut untuk pemeriksaan ini. Apa kalau ternyata...” Dia menggigit bibir, ragu melanjutkan.

Doni menghampirinya, meraih tangan Ara. “Kita hadapi ini bersama. Di luar apa yang terjadi, kamu tidak sendirian. Ingat, kita berjanji untuk saling mendukung.”

Ara mengangguk pelan, masih terhimpit antara harapan dan kekhawatiran. Ucapannya terselip dalam keraguan. “Tapi Klinik ini…”

Belum sempat dia menyelesaikan kalimatnya, seorang suster masuk, suara langkahnya memecahkan keheningan. “Ara, sekarang giliranmu untuk pemeriksaan.”

Keduanya terdiam, udara terasa menyesakkan antara mereka. Suster itu tersenyum lembut, memberi sinyal untuk Ara maju.

“Saatnya,” suara Doni nyaring, meski hatinya berdebar.

Ara bangkit, terlihat bergetar. Meskipun keberaniannya tampak diragukan, dia mencoba tersenyum. “Aku cuma perlu waktu sebentar.”

“Bernapas lah. Lakukan apapun yang perlu kamu lakukan,” ucap Doni sambil mengangguk, berusaha memberi keberanian.

Saat Ara melangkah menuju ruang pemeriksaan, raut wajahnya memancarkan campur aduk. Doni melihatnya dengan penuh khawatir, detak jantungnya berdentang tidak karuan.

Jam berdetik perlahan. Doni berdiri, kemudian berjalan mondar-mandir di ruang klinik yang steril, merasakan hawa dingin menyeruak tulang belakangnya. Dalam benak, cerita-cerita kelam melintas; kisah pasien yang sering tiba-tiba kehilangan harapan.

Waktu berlalu, suasana semakin syahdu. Setiap detik seperti mengingatkan dia pada kesuraman Klinik ini. Ia duduk kembali di resepsi, memandangi berkas pasien yang berserakan. Tangan sulit untuk tidak menyentuhnya, ingin tahu apa yang tersembunyi di balik angka-angka itu.

Satu demi satu file dibuka. Istilah medis terukir di setiap halaman, tetapi di antara kata-kata itu, ada kisah-kisah yang lebih mencekam—malpraktek yang terabaikan, pasien yang sirna tanpa jejak, dan berkas yang ditutup rapat.

Sejenak, bayangan Ara melintas di benaknya. Dia tidak ingin kehilangan sahabat sepertinya. Ketakutan menyergapnya.

“Aku harus percaya…” gumamnya.

Silence menyergap ruangan. Kecemasan mulai mencekik.

Dia menilik jam dinding. Berharap waktu lebih ramah.

Sedetik kemudian, suara langkah kaki dari ruang pemeriksaan mengalihkan perhatian.

Doni menegakkan tubuhnya, napasnya tercekat.

Pintu terbuka, dan Ara muncul, tampak pucat. Matanya membesar, seperti sedang menyiapkan kata-kata.

“Doni…” suaranya berbisik, terbata.

Doni melangkah cepat menghampiri. “Bagaimana? Apa yang dokter katakan?”

Ara menggigit bibirnya, tampak berjuang untuk berbicara. “Belum ada hasil… Tapi…” Dia berhenti sejenak, wajahnya lemas. “Mereka ingin melakukan beberapa tes lagi. Kenapa tidak ada yang mengatakan tentang ini sebelumnya…”

Doni merasakan seberkas dingin menyusup di hatinya. Dia tahu kalimat Ara lebih dari sekadar pernyataan.

“Aku akan menemanimu. Jika perlu, kita akan hubungi orang-orang dekat…,” suaranya tenang, tetapi dalam hatinya semua berputar.

Tiba-tiba, ponsel Ara berbunyi memecah ketegangan. Dia meraih ponsel, membaca pesan, dan mengerutkan dahi.

“Kau tidak akan percaya siapa ini…” Ara menatap Doni, keraguan merayap di wajahnya.

“Siapa?” Doni mendesak, merasakan aliran emosi yang tak terduga.

“Ini… Nina.” Air mata mulai menggenang di pelupuknya.

Doni menahannya dalam pelukan. “Kita bisa melewati ini, Ara. Bersama-sama.”

Saat mereka berdiri berpelukan, Doni tahu bahwa apa pun yang akan terjadi, mereka

akan menghadapinya bersama. Dia merasakan getaran lembut Ara di dalam pelukannya, kekuatannya terurai menjadi ketidakpastian.

“Dia bilang dia mau bertemu,” Ara menyeka air mata dengan lengan baju. “Setelah waktu yang lama.”

Kejutan meletus di dalam diri Doni. “Nina? Dari sekolah dasar yang pergi tanpa kabar?”

Ara mengangguk, perasaannya campur aduk. “Dia muncul entah dari mana. Semua pesan ini…” Suaranya tenggelam.

Doni menggaruk belakang lehernya. “Kau ingin bertemu dengannya? Di saat seperti ini?”

“Aku tidak tahu,” Ara menatap lurus ke depan. Mata itu mencari kedamaian, tetapi kesedihan tetap merangkak ke dalam pikiran. “Dia adalah bagian dari masa laluku. Tapi juga satu-satunya yang bisa aku buat… untuk melupakan semua ini. Rasa sakitku.”

Klinik itu kembali mendadak dingin dan sepi. Atmosfer ruangan mengguncang, memaksanya bergumul dengan keputusan itu. “Apa kau punya waktu untuk ini? Apa kau yakin?” Tanya Doni, rasa cemas mulai merayap.

Ara menggigit bibirnya, terlihat bingung. “Aku hanya ingin merasakan hidup… sejenak. Seperti kita kecil. Lari dari semua ini.”

Doni berpikir sejenak, memastikan dirinya mendukung keputusan Ara. “Baiklah. Tapi kita pergi berdua. Aku tidak ingin kamu sendirian.”

“Benar-benar percaya padaku?” Ara senyum tipis, meski tampak ragu.

“Selalu. Dari sejak hantu Kuburan Exora, bukan?” Doni tersenyum sedikit, berusaha membawa semangat.

Akhirnya, mereka berdiri di depan pintu keluar Klinik. Saat melangkah keluar, udara kehidupan malam membalikkan detak hari ini. Langit gelap bintang-bintang bersinar kecil, kelap-kelip yang seakan mengingatkan mereka tentang keajaiban di luar ketakutan.

Ara berhenti sejenak di tengah jalan. “Doni, jika ada sesuatu yang terungkap… tentang hasil tes, tentang Nina, apakah kita masih bisa bersama?”

“Dengar, apapun yang terjadi, aku akan di sampingmu. Kita hadapi semua ini seperti kita menghadapi cerita-cerita hantu di masa kecil kita. Cukup percaya.”

Dia menganggukkan kepala, tampak lebih berani. Dengan langkah mantap, mereka melanjutkan perjalanan menuju pertemuan yang mungkin mengubah segalanya.

***

Kafe sederhana di sudut jalan mengundang mereka dengan cahaya hangat. Doni memegang pintu untuk Ara, menunjukkan keramahtamahan yang selalu ada dalam dirinya.

awal dari kejanggalan

Doni mendorong pintu kafe dengan langkah mantap, aroma kopi mencium hidungnya. Suara mesin espresso menggema, mengisi suasana dengan gemuruh yang akrab. Ia mencari-cari sosok Ara di antara meja-meja, hingga matanya tertuju pada sosoknya yang sibuk meracik kopi.

"Oi, Don!" Ara melambaikan tangan, senyum cerah menghiasi wajahnya.

Doni melangkah mendekat, merasakan kehangatan sapaan sahabatnya. "Ketemu pasien asing ya?"

"Jangan-jangan, pasienmu yang hamil?" Ara menyengir, matanya berbinar. "Nggak nyangka, loh. Klinik kulit, kok bisa ada yang hamil, ya?"

Doni menggeleng, tatapannya serius. "Masalahnya bukan itu. Dia beneran hamil. Tapi, di klinik kulit? Gimana bisa?"

“Pasti ada penjelasan,” Ara menjawab sambil menyeduh kopi. “Tadi pagi, kamu udah lihat dia?”

“Lihat. Tapi hanya sekelebat. Dia masuk, lalu keluar sambil juga membawa tas.”

"Dan kamu pasti kayak bingung gitu," Ara mengedipkan mata, tersenyum penuh makna.

“Tunggu, Ara. Ini bukan hal sepele,” Doni menyela. Ekspresi wajahnya berubah, seolah mengingat hal lain yang lebih berat.

Ara mendengar nada suaranya, langsung mengamatinya, perhatiannya tercurah. “Doni, aku bisa lihat dari wajahmu. Ada yang lebih dalam, kan?”

Bahu Doni terangkat. “Dia kelihatan bingung banget. Terus, dokter yang di sana juga ngelihatnya aneh. Nggak ada yang berani nanya. Gimana bisa seorang wanita hamil menjenguk dokter spesialis kulit?”

"Setiap klinik pasti ada yang aneh," Ara menjawab, mengatur cangkir kopi di atas meja. "Mungkin dia merasa ada masalah dengan kulitnya. Pikirkan saja."

“Masalah kulit? Hamil?” Doni menajamkan tatapan. “Sepertinya ada yang lebih kelam. Mengapa dia memberanikan diri ke tempat itu?”

Ara tertegun, suara mesin espresso berhenti. “Bisa jadi wahana kehidupan, atau malah sebuah serdadu kegelapan.”

“Kalau ada serdadu, pastinya dia butuh perlindungan. Atau dia tahu lebih dari kita?” katanya.

Mereka terdiam, hanya suara sendok beradu dengan cangkir mengisi ruang. Akhirnya, Ara membuka mulutnya lagi. "Kalau dia serdadu, harusnya kita mencari petunjuk lebih jauh. Mungkin kamu harus bertanya pada yang lain."

“Siapa?” Doni menatapnya. “Kalau bukan kita sendiri yang urus, siapa lagi?”

Ara membuka ponselnya, jari-jarinya bergerak cepat. “Kita cek aja media sosial. Kadang-kadang, orang meninggalkan jejak.”

“Keputusan cepat,” Doni mengangguk, merasa terinspirasi. “Tapi, kita harus hati-hati. Apa yang kita cari bisa mengubah semuanya.”

“Benar,” Ara setuju. Ia menaruh ponsel di meja. “Tapi, kita harus tahu. Apa yang lebih gelap dari rahasia itu?”

Doni mengerutkan dahi, wajahnya menunjukkan ketegangan. “Aku dapat firasat. Lima tahun lalu, di klinik itu pernah ada berita. Seorang pasien hilang setelah berobat.”

“Apa? Dan tidak ada yang tahu?” Ara terlihat shock, merangkul cangkir kopi. “Mana berita ini? Harusnya tersebar.”

“Begitulah,” Doni menjawab, menyesap kopinya. “Tapi, kadang hal-hal kecil terlewat. Kita terjebak dalam rutinitas.”

“Lalu, kita adalah detektif yang harus menyelidiki,” Ara menantang, wajahnya bersemangat.

“Kalau itu yang kau mau, kita bisa mulai dari menghubungi dokter yang melihat wanita itu. Siapa tahu, dia tahu lebih dari kita.”

“Berani banget, loh!” Ara bersinar. "Apa katanya?"

“Semua kembali ke kebenaran. Dan kita harus ungkap.”

Keduanya menghabiskan kopi mereka, mengumpulkan ide-ide. Ada sesuatu di balik kejadian ini, sebuah jaring halus yang mengikat semua.

Melihat Ara mengangguk menyetujui rencana, Doni merasakan ruh keinginan yang menggelora. Ada ketegangan dalam udara, sebuah janji bahwa apa yang mereka lakukan sekarang akan menuntun mereka ke arah yang tak terduga.

Ketika matahari mulai terbenam, Doni dan Ara keluar dari kafe, melangkah dengan tujuan tertentu; petunjuk harus ditemukan, dan kegelapan dalam klinik itu tidak akan tinggal diam.

Doni dan Ara berjalan menyusuri trotoar yang dipenuhi bayangan, lampu-lampu jalan berkelap-kelip di atas kepala mereka. Suara langkah kaki berdentang, membentuk irama yang sejalan dengan ketegangan yang menggelantung di udara.

“Di mana kita mulai?” Ara bertanya sembari berjalan di samping Doni, wajahnya tampak serius.

Doni menatap langit yang mulai gelap. “Kita bisa mulai dengan dokter di klinik. Dia pasti ingat sesuatu. Kalau tidak, ada kemungkinan lain yang bisa kita gali dari orang-orang di sekitar.”

“Kalau kita berani ambil risiko dan membawa ini ke media, apa bisa?” Ara mengusulkan, matanya berbinar menatap ide itu.

“Media akan cenderung memperbesar isu, Ara,” Doni menjawab dengan nada hati-hati. “Tapi jika kita tidak menemukan apa-apa, semua ini bisa jadi bumerang untuk kita.”

Ara menundukkan kepala sejenak, seolah memikirkan ucapannya. “Kalau begitu, kita fokus pada dokter dulu. Mencari tahu apa yang bisa dia beri tahu.”

Doni mengangguk, perasaan campur aduk menyelimuti batinnya. “Tapi, kita harus bersikap hati-hati. Tidak semua orang suka diinterogasi. Apalagi untuk hal-hal seperti ini.”

Mereka melanjutkan perjalanan menuju klinik, suasana malam menambah suasana misteri di sekitar mereka. Gemerisik dedaunan terdengar lembut, seolah mengingatkan mereka untuk tidak mengabaikan setiap detail kecil.

Sampai di depan klinik, mereka terhenti, Doni melihat papan nama yang terpasang di sana. “Hari ini dokter buka sampai jam berapa?”

“Kurasa sudah tutup. Kita bisa tunggu di luar dan lihat kalau dokter pulang,” Ara berbisik.

Doni mengangguk, matanya menyapu area sekitar. Dia merasakan benang merah yang menghubungkan peristiwa tersebut. “Gimana kalau kita masuk dan tanya petugas jaga? Mungkin mereka tahu lebih banyak.”

Ara menjawab dengan perlahan, “Tapi risiko kita dibawa ke ruang tunggu...”

“Kitakan butuh informasi. Mari kita coba,” dengan tekad, Doni memimpin langkahnya memasuki klinik yang sepi.

Begitu memasuki lobi, suasana seolah terdiam. Hanya suara mesin pendingin yang terdengar, membangkitkan rasa dingin yang merayap. Doni melangkah mantap menuju meja resepsionis yang kosong.

Akhirnya, seorang petugas jaga muncul dari ruang belakang, menatap dengan rasa heran. “Selamat malam. Ada yang bisa saya bantu?”

Doni berterus terang, “Kami ingin bertanya tentang pasien yang datang ke klinik ini selang beberapa waktu lalu. Seorang wanita hamil.”

Petugas menjawab ragu, “Kami tidak bisa memberikan informasi mengenai pasien tanpa izin.”

“Mengerti,” Doni menghela napas. “Tapi ini bukan sekadar informasi biasa. Ada hal yang lebih besar di balik itu.”

Ara mengambil alih, “Kami bisa kasih tahu apa yang terjadi. Kami ingin memastikan dia aman.”

Petugas mengerutkan dahi, melihat keteguhan di antara mereka. “Bisa Anda kasih tahu kapan terakhir kali dia datang?”

“Empat hari yang lalu,” kata Doni.

Setelah beberapa saat, petugas mengangguk. “Ada sistem pengarsipan, tapi saya tidak boleh kasih tahu. Jika Anda pergi ke dokter dan minta izin, mungkin Anda bisa mendapatkan informasi lebih.”

"Terima kasih," Ara menanggapi, walau raut wajahnya menunjukkan kekecewaan.

Saat mereka beranjak keluar, sebuah mobil sedan melintas di depan klinik, remnya mengerem keras. Seseorang keluar dari mobil tersebut; dokter Smith, mengenakan jas putih, tampak lelah setelah seharian bertugas.

“Dokter!” Ari menyapa dengan semangat, melangkah cepat menuju dokter yang tampak terkejut.

Dokter berbalik, dengan keraguan di wajahnya. “Ada yang bisa saya bantu?”

Doni memelankan langkahnya, menatap dokter, mempertimbangkan dengan bijak. “Kami ingin berbicara tentang wanita hamil yang datang ke klinik. Dia mungkin butuh bantuan.”

Dokter Smith menarik napas dalam-dalam. “Maaf, saya tidak bisa membicarakan pasien.”

“Ini lebih besar dari sekadar pasien. Jika Anda perlu tahu, kami mencurigakan karena hal ini bisa berdampak pada banyak orang,” Ara berpendapat, berusaha menarik perhatian dokter.

aku datang mah

Doni memandangi nisan di depan matanya, angin sore menghembus lembut, membawa aroma bunga segar yang diletakkan di dekat kuburan. Setiap detail di sana mengingatkannya pada sosok yang telah pergi. Ara berdiri di sampingnya, tangannya merangkul lengan Doni, menghadirkan kehangatan di tengah kesunyian.

"Aku nggak pernah bisa terbiasa dengan tempat ini," kata Doni sambil menunduk, suaranya pelan seperti bisikan. “Ibu selalu bilang, kita harus menjaga kesehatan.”

Ara menggenggam tangan Doni, merasakan getaran kesedihan di dalamnya. “Iya, tapi kamu juga harus ingat semua kenangan indah yang kalian bagi. Dia tidak ingin kamu terus bersedih.”

Doni menatap nisan itu, air mata menetes tanpa bisa ditahan. “Dia pergi karena penyakitnya. Diabetes itu... menyakitkan.”

“Betul," Ara menimpali, “Tapi kamu harus bangkit. Dia pasti ingin melihatmu kuat.”

Doni mengalihkan pandangannya ke arah Ara, menampakkan pergulatan di wajahnya. “Kadang aku merasa tidak ada yang bisa menggantikan kekosongan ini.”

“Hanya kamu yang bisa mengisi kekosongan itu, Don. Dengan melakukan hal yang baik, dan mengenang yang baik-baik juga,” Ara mempertegas, mencoba memberikan semangat.

Matahari mulai tenggelam, memancarkan sinar keemasan yang menerangi dunia sekitar mereka. “Aku ingat saat kami berbelanja bersama, dia selalu suka memilihkan pakaian untukku,” Doni menyatakan, senyumnya samar di antara tetesan air mata.

“Dia pasti sangat menyayangimu, dan itu tidak akan hilang,” jawab Ara, matanya berbinar penuh harapan. “Kamu harus teruskan apa yang dia ajarkan.”

Doni memejamkan mata sejenak, membayangkan senyum ibunya. “Kamu selalu tahu kapan harus bicara. Terima kasih, Ara.”

“Mari kita lihat lebih dekat,” Ara mengajak, menggerakkan tubuhnya untuk beranjak dari tempat itu. “Masih banyak yang perlu kita lakukan.”

Doni mengangguk, dan perlahan mereka meninggalkan kuburan Exora, tetap berpegangan tangan. Jalan setapak menuju pintu keluar dipenuhi kerikil kecil yang berbunyi di bawah sepatu mereka.

Di luar, senja menghiasi langit dengan warna-warna indah, membawa aroma dari kafe kecil di dekat situ. Ara berhenti sejenak. “Bagaimana kalau kita mampir ke kafe? Kau pasti butuh minum.”

“Ya, itu ide yang bagus,” Doni menjawab sambil mencoba merasakan kembali semangat yang hilang.

Mereka melangkah menuju kafe, suara berisik dari pengunjung menerpa tubuh mereka. Doni dan Ara melangkah masuk.

“Doni! Ara!” teriak seorang teman dari belakang. Itu Rahmi, salah satu pegawai kafe.

Doni melambaikan tangan. “Kita tidak bisa menghabiskan waktu di sini terlalu lama.”

“Semangatnya!” Ara menambahkan sambil tertawa, sedikit mengurangi kerutan di dahi Doni.

Saat mereka mengambil tempat duduk, sebuah suara dari luar tiba-tiba menarik perhatian Doni.

“Doni, kau tidak akan percaya apa yang aku lihat!” kata seorang pria, Doni mengenalnya sebagai Andi, teman satu angkatannya.

“Andi, ada apa?” tanya Doni, wajahnya penasaran.

“Aku baru saja melihat seorang wanita hamil di klinik, tetapi itu klinik kulit. Aneh, kan?” Andi menggoyangkan kepalanya, menciptakan atmosfer penasaran di antara mereka.

“Wanita hamil di klinik spesialis kulit?” Ara mengulangi, bingung. “Apa mungkin dia ada urusan lain?”

“Entahlah,” Andi menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi kukira itu mungkin perawatan yang salah. Kenapa dia di sana, ya?”

Doni merenung, ingatan akan wanita-wanita yang pernah melihat di klinik menghantui pikirannya. “Mungkin dia mencari informasi spesifik. Bisa saja ada masalah lain.”

Ara mengangguk seolah mencerna semua informasi. “Atau dia butuh perawatan untuk masalah kesehatan yang lebih kompleks,” tambahnya. “Kadang, pasien mengabaikan gejala awal yang terlihat sepele.”

Suara ketawa para pengunjung memenuhi kafe, menciptakan suasana yang lebih segar. Tetapi bagi Doni, pikiran tentang wanita itu membuatnya merasa tidak nyaman.

“Ngomong-ngomong, Don, kau akan melihatnya lagi? Wanita hamil itu?” tanya Andi langsung menatap Doni dengan fokus.

“Jika ada kesempatan, mungkin saja. Tapi aku lebih suka tidak mencampuri urusan orang lain,” jawab Doni sambil menggigit bibir.

“Mengapa?” Ara balik bertanya. “Memang tidak ada yang bisa kita bantu?”

“Kadang, yang diperlukan hanyalah mendengar,” Doni menegaskan, mencari makna di pernyataannya. “Kami punya bagian masing-masing dalam hidup ini.”

Sebagaimana percakapan menyala, Doni merasakan betapa bisingnya suasana di sekitar mereka. Dia lalu menatap ke luar jendela. Seberang kafe, tampak langit mulai gelap, dibalut dengan bintang yang mulai bermunculan.

“Biarkanlah, Don. Terkadang kita perlu memberi perhatian lebih pada orang-orang di sekitar kita, bukan untuk mencampuri. Hanya perhatian, misalnya,” Ara menegaskan sambil menatapnya tajam.

“Benar juga, Ara. Tetapi saat ini, aku belum siap untuk berurusan dengan itu,” Doni menjawab, suaranya mulai menurun.

Andi memecah ketegangan. “Kita bisa menunggu dan lihat apa yang terjadi. Atau kita sibuk dengan urusan masing-masing.”

Doni tersenyum, merasakan barisan dukungan dari teman-temannya. “Malam ini terasa lebih ringan.”

Ketika malam semakin larut, mereka menghabiskan waktu bercanda dan bercerita. Namun, pikiran tentang wanita di klinik tetap menempel di benak Doni.

Ucapannya terhenti ketika dia teringat kata-kata Ara tentang memberi perhatian, dan seketika, ide untuk membantu mulai muncul di kepalanya.

“Aku akan pergi ke klinik besok,” ujarnya dengan keputusan. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang pasien-pasien. Terutama tentang yang hamil itu.”

Ara menatapnya dengan senyum bijak. “Kau sudah membuat keputusan yang tepat, Doni. Kadang, kita harus melangkah keluar dan menyentuh kehidupan orang lain.”

Andi meneguk kopinya, menimpali, “Kalau begitu, kita tunggu cerita selanjutnya, ya?”

Doni tersenyum, merasa ada harapan baru. Dia tahu, perjalanannya baru saja dimulai.

Pagi menyongsong dengan hawa dingin yang menerobos masuk melalui jendela. Doni terbangun lebih awal, pikiran tentang klinik dan wanita hamil itu masih segar dalam benaknya. Ia menyegarkan diri, mencuci wajah, dan menyisipkan beberapa lembar pakaian dengan ukuran yang pas. Melangkah ke dapur, ia berusaha mencari sarapan sederhana, meski jiwanya masih terasa berat.

Saat dia menyiapkan makanan, suara dering ponsel memecah keheningan.

“Doni!” suara Ara terdengar ceria di ujung telepon.

“Ya, Ara. Ada apa?” Doni menjawab, mencoba menyeimbangkan rasa khawatir dengan rasa semangat.

“Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu siap melihat klinik hari ini. Pengalamanmu bisa membuka banyak pikiran!” Ara menyorongkan semangat.

“Kalau aku tidak pergi, apakah kau akan datang menjemputku?” tanyanya.

“Tentu saja, kalau itu yang bisa membuatmu lebih berani,” katanya. “Hidup di luar zona nyaman itu penting.”

Doni mengangguk, walau Ara tidak bisa melihatnya. “Oke, aku akan siap dalam sepuluh menit.”

“Janji ya? Aku tunggu di depan klinik,” Ara menutup telepon dengan nada optimis.

Setelah menyantap sarapan, Doni bersiap-siap. Jalanan yang biasanya sepi akan ramai oleh para pasien yang datang berobat. Dia berjalan pelan ke arah klinik, kebisingan kota meliputi pikirannya. Namun, ketegangan dan rasa ingin tahunya terus menggelora di dalam hati.

Sesampainya di depan klinik, Ara sudah menunggu, tersenyum lebar.

“Akhirnya, berani juga kau datang!” Ara menggeser rambutnya ke belakang, memberikan kesan penuh semangat.

“Ya, kita lihat apa yang terjadi,” Doni menjawab sambil mengarahkan pandangannya ke gedung klinik.

Mereka memasuki klinik, aroma antiseptik menyengat hidung mereka. Beberapa pasien duduk menunggu, terlihat cemas dan gelisah. Doni merasa jantungnya berdebar.

“Aku akan mencari tahu tentang wanita hamil itu,” kata Doni.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!