aku datang mah

Doni memandangi nisan di depan matanya, angin sore menghembus lembut, membawa aroma bunga segar yang diletakkan di dekat kuburan. Setiap detail di sana mengingatkannya pada sosok yang telah pergi. Ara berdiri di sampingnya, tangannya merangkul lengan Doni, menghadirkan kehangatan di tengah kesunyian.

"Aku nggak pernah bisa terbiasa dengan tempat ini," kata Doni sambil menunduk, suaranya pelan seperti bisikan. “Ibu selalu bilang, kita harus menjaga kesehatan.”

Ara menggenggam tangan Doni, merasakan getaran kesedihan di dalamnya. “Iya, tapi kamu juga harus ingat semua kenangan indah yang kalian bagi. Dia tidak ingin kamu terus bersedih.”

Doni menatap nisan itu, air mata menetes tanpa bisa ditahan. “Dia pergi karena penyakitnya. Diabetes itu... menyakitkan.”

“Betul," Ara menimpali, “Tapi kamu harus bangkit. Dia pasti ingin melihatmu kuat.”

Doni mengalihkan pandangannya ke arah Ara, menampakkan pergulatan di wajahnya. “Kadang aku merasa tidak ada yang bisa menggantikan kekosongan ini.”

“Hanya kamu yang bisa mengisi kekosongan itu, Don. Dengan melakukan hal yang baik, dan mengenang yang baik-baik juga,” Ara mempertegas, mencoba memberikan semangat.

Matahari mulai tenggelam, memancarkan sinar keemasan yang menerangi dunia sekitar mereka. “Aku ingat saat kami berbelanja bersama, dia selalu suka memilihkan pakaian untukku,” Doni menyatakan, senyumnya samar di antara tetesan air mata.

“Dia pasti sangat menyayangimu, dan itu tidak akan hilang,” jawab Ara, matanya berbinar penuh harapan. “Kamu harus teruskan apa yang dia ajarkan.”

Doni memejamkan mata sejenak, membayangkan senyum ibunya. “Kamu selalu tahu kapan harus bicara. Terima kasih, Ara.”

“Mari kita lihat lebih dekat,” Ara mengajak, menggerakkan tubuhnya untuk beranjak dari tempat itu. “Masih banyak yang perlu kita lakukan.”

Doni mengangguk, dan perlahan mereka meninggalkan kuburan Exora, tetap berpegangan tangan. Jalan setapak menuju pintu keluar dipenuhi kerikil kecil yang berbunyi di bawah sepatu mereka.

Di luar, senja menghiasi langit dengan warna-warna indah, membawa aroma dari kafe kecil di dekat situ. Ara berhenti sejenak. “Bagaimana kalau kita mampir ke kafe? Kau pasti butuh minum.”

“Ya, itu ide yang bagus,” Doni menjawab sambil mencoba merasakan kembali semangat yang hilang.

Mereka melangkah menuju kafe, suara berisik dari pengunjung menerpa tubuh mereka. Doni dan Ara melangkah masuk.

“Doni! Ara!” teriak seorang teman dari belakang. Itu Rahmi, salah satu pegawai kafe.

Doni melambaikan tangan. “Kita tidak bisa menghabiskan waktu di sini terlalu lama.”

“Semangatnya!” Ara menambahkan sambil tertawa, sedikit mengurangi kerutan di dahi Doni.

Saat mereka mengambil tempat duduk, sebuah suara dari luar tiba-tiba menarik perhatian Doni.

“Doni, kau tidak akan percaya apa yang aku lihat!” kata seorang pria, Doni mengenalnya sebagai Andi, teman satu angkatannya.

“Andi, ada apa?” tanya Doni, wajahnya penasaran.

“Aku baru saja melihat seorang wanita hamil di klinik, tetapi itu klinik kulit. Aneh, kan?” Andi menggoyangkan kepalanya, menciptakan atmosfer penasaran di antara mereka.

“Wanita hamil di klinik spesialis kulit?” Ara mengulangi, bingung. “Apa mungkin dia ada urusan lain?”

“Entahlah,” Andi menggeleng. “Aku tidak tahu. Tapi kukira itu mungkin perawatan yang salah. Kenapa dia di sana, ya?”

Doni merenung, ingatan akan wanita-wanita yang pernah melihat di klinik menghantui pikirannya. “Mungkin dia mencari informasi spesifik. Bisa saja ada masalah lain.”

Ara mengangguk seolah mencerna semua informasi. “Atau dia butuh perawatan untuk masalah kesehatan yang lebih kompleks,” tambahnya. “Kadang, pasien mengabaikan gejala awal yang terlihat sepele.”

Suara ketawa para pengunjung memenuhi kafe, menciptakan suasana yang lebih segar. Tetapi bagi Doni, pikiran tentang wanita itu membuatnya merasa tidak nyaman.

“Ngomong-ngomong, Don, kau akan melihatnya lagi? Wanita hamil itu?” tanya Andi langsung menatap Doni dengan fokus.

“Jika ada kesempatan, mungkin saja. Tapi aku lebih suka tidak mencampuri urusan orang lain,” jawab Doni sambil menggigit bibir.

“Mengapa?” Ara balik bertanya. “Memang tidak ada yang bisa kita bantu?”

“Kadang, yang diperlukan hanyalah mendengar,” Doni menegaskan, mencari makna di pernyataannya. “Kami punya bagian masing-masing dalam hidup ini.”

Sebagaimana percakapan menyala, Doni merasakan betapa bisingnya suasana di sekitar mereka. Dia lalu menatap ke luar jendela. Seberang kafe, tampak langit mulai gelap, dibalut dengan bintang yang mulai bermunculan.

“Biarkanlah, Don. Terkadang kita perlu memberi perhatian lebih pada orang-orang di sekitar kita, bukan untuk mencampuri. Hanya perhatian, misalnya,” Ara menegaskan sambil menatapnya tajam.

“Benar juga, Ara. Tetapi saat ini, aku belum siap untuk berurusan dengan itu,” Doni menjawab, suaranya mulai menurun.

Andi memecah ketegangan. “Kita bisa menunggu dan lihat apa yang terjadi. Atau kita sibuk dengan urusan masing-masing.”

Doni tersenyum, merasakan barisan dukungan dari teman-temannya. “Malam ini terasa lebih ringan.”

Ketika malam semakin larut, mereka menghabiskan waktu bercanda dan bercerita. Namun, pikiran tentang wanita di klinik tetap menempel di benak Doni.

Ucapannya terhenti ketika dia teringat kata-kata Ara tentang memberi perhatian, dan seketika, ide untuk membantu mulai muncul di kepalanya.

“Aku akan pergi ke klinik besok,” ujarnya dengan keputusan. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang pasien-pasien. Terutama tentang yang hamil itu.”

Ara menatapnya dengan senyum bijak. “Kau sudah membuat keputusan yang tepat, Doni. Kadang, kita harus melangkah keluar dan menyentuh kehidupan orang lain.”

Andi meneguk kopinya, menimpali, “Kalau begitu, kita tunggu cerita selanjutnya, ya?”

Doni tersenyum, merasa ada harapan baru. Dia tahu, perjalanannya baru saja dimulai.

Pagi menyongsong dengan hawa dingin yang menerobos masuk melalui jendela. Doni terbangun lebih awal, pikiran tentang klinik dan wanita hamil itu masih segar dalam benaknya. Ia menyegarkan diri, mencuci wajah, dan menyisipkan beberapa lembar pakaian dengan ukuran yang pas. Melangkah ke dapur, ia berusaha mencari sarapan sederhana, meski jiwanya masih terasa berat.

Saat dia menyiapkan makanan, suara dering ponsel memecah keheningan.

“Doni!” suara Ara terdengar ceria di ujung telepon.

“Ya, Ara. Ada apa?” Doni menjawab, mencoba menyeimbangkan rasa khawatir dengan rasa semangat.

“Aku hanya ingin memastikan bahwa kamu siap melihat klinik hari ini. Pengalamanmu bisa membuka banyak pikiran!” Ara menyorongkan semangat.

“Kalau aku tidak pergi, apakah kau akan datang menjemputku?” tanyanya.

“Tentu saja, kalau itu yang bisa membuatmu lebih berani,” katanya. “Hidup di luar zona nyaman itu penting.”

Doni mengangguk, walau Ara tidak bisa melihatnya. “Oke, aku akan siap dalam sepuluh menit.”

“Janji ya? Aku tunggu di depan klinik,” Ara menutup telepon dengan nada optimis.

Setelah menyantap sarapan, Doni bersiap-siap. Jalanan yang biasanya sepi akan ramai oleh para pasien yang datang berobat. Dia berjalan pelan ke arah klinik, kebisingan kota meliputi pikirannya. Namun, ketegangan dan rasa ingin tahunya terus menggelora di dalam hati.

Sesampainya di depan klinik, Ara sudah menunggu, tersenyum lebar.

“Akhirnya, berani juga kau datang!” Ara menggeser rambutnya ke belakang, memberikan kesan penuh semangat.

“Ya, kita lihat apa yang terjadi,” Doni menjawab sambil mengarahkan pandangannya ke gedung klinik.

Mereka memasuki klinik, aroma antiseptik menyengat hidung mereka. Beberapa pasien duduk menunggu, terlihat cemas dan gelisah. Doni merasa jantungnya berdebar.

“Aku akan mencari tahu tentang wanita hamil itu,” kata Doni.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!