Banyak hal yang membuat Naura tidak habis pikir dalam hiupnya. Pertama, ia telah kehilangan kegadisannya dengan cara tidak terhormat, kedua ia yang menghadapi kenyataan bahwa akan ada yang berbeda dengan tubuhnya, ketiga ia yang dengan nekat memberanikan diri untuk pergi ke dokter, bahkan sampai ditemani oleh orang asing yang tidak ia kenal sebelumnya.
Iya, setelah memaksa untuk ikut-padahal Naura sudah menolaknya dengan keras, pada akhirnya Bagas ikut menemaninya ke dokter. Memastikan sesuatu yang menjadi tanda tanya besar di kepala Naura beberapa hari terakhir ini. Setelah menghabiskan makanan masing-masing di restauran tadi, keduanya langsung menuju rumah sakit terdekat, dengan Naura yang ikut menebeng di mobil Bagas. Ah, bukan menebeng, lebih tepatnya Bagas yang memang memaksa Naura untuk ikut dengan mobilnya.
Perkara keresahan Naura mengenai bayar membayar soal makanan di restauran tadi, cewek itu sedikit merasa lega karena ternyata Bagas yang membayar semuanya. Bukan, tolong jangan salah sangka, jangan mengira kalau Naura merupakan cewek yang tidak ingin modal atau apapun sejenisnya, hanya saja di sini kondisi keuangan Naura memang sedang sekarat dan tidak memungkinkan untuk membayar makanan di restauran cepat saji itu. Secara, satu menu saja harganya sudah bisa menutupi kebutuhan Naura selama satu Minggu.
"Kalian sepasang suami istri?"
Naura telah selesai diperiksa dan kini dia tengah duduk di hadapan dokter bersama Bagas untuk mendengar hasil periksa dari dokter. Mendengar ucapan dokter barusan, Naura kebingungan di tempatnya. Ia melirik Bagas yang ada di sampingnya, yang juga tengah melakukan hal yang sama dengannya.
Bagaimana ini?
Kenapa dokter bertanya seperti itu?
Atau mungkin karena ....
"Iya, dok, kami sepasang suami istri."
Demi apa pun, Naura benar-benar terkejut mendengar jawaban Bagas barusan. Kenapa dia mengatakan hal itu? Maksudnya apa?
Naura menatap Bagas dengan raut wajah penuh keheranan, namun yang ditatap hanya menunjukan ekspresi biasa saja. Seperti tidak ada sensasi apa pun setelah mengatakan hal itu.
"Baiklah, setelah melakukan beberapa pemeriksaan, ternyata gejala-gejala yang Buk Naura alami merupakan tanda-tanda kehamilan. Selamat, ya, Pak, Buk, sebentar lagi kalian akan menjadi orang tua." Dokter itu tersenyum kemudian menuliskan sesuatu di sebuah kertas. " Ini saya rekomendasikan obat penambah darah dan beberapa vitamin yang bagus untuk ibu hamil, kalian bisa ambil di apotek."
Ucapan dokter yang mungkin sangat ditunggu-tunggu oleh banyak perempuan, tapi tidak dengan Naura. Setidaknya, tidak untuk saat ini, di mana ia belum sama sekali siap dengan hal itu.
Mendengar kenyataan yang diucapkan oleh dokter barusan, membuat sekujur tubuh Naura melemas seketika. Kakinya bergetar, detak jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya. Menelan ludah susah payah, Naura tidak tahu harus bagaimana setelah ini.
Ingin menangis, tapi tidak mungkin jika ia masih duduk di hadapan dokter itu.
Ingin berteriak, lebih tidak memungkinkan karena tempat yang ia datangi merupakan tempat yang tidak boleh menimbulkan kebisingan sedikitpun.
Bagaimana ini?
Naura harus bagaimana?
Hamil dalam keadaan seperti ini tentu tidak memungkinkan. Hidupnya masih berantakan dan belum tertata, ditambah dengan kenyataan gila seperti ini. Naura merasa buntu. Dadanya sesak. Kepalanya serasa akan pecah, memikirkan hal apa yang harus ia lakukan setelahnya.
Naura... ingin mati saja jika dengan hal itu semuanya bisa selesai. Ia tidak akan menyakiti banyak orang, tidak akan menyusahkan, tidak akan membuat kecewa Ibu dan orang terdekatnya kecewa dengan apa yang menimpa hidupnya. Meski semuanya bukan kemauan Naura sendiri, ia yakin kalau orang-orang akan tetap menyalahkan dirinya.
Entah karena ia yang nekat pulang malam sendirian atau hal lain semacamnya.
Bukannya pandangan orang-orang selalu seperti itu? Perempuan akan dipojokan meskipun ia yang menjadi korban. 'Mangkanya jangan ini dan itu, mangkanya harus ini dan itu', seolah apa yang terjadi murni kesalahan dari perempuan itu sendiri.
"Saya antar pulang."
Setelah keluar dari ruangan dokter, Naura masih belum mengeluarkan sepatah kata pun selain ucapan terima kasih kepada dokter itu. Terima kasih yang sebetulnya sangat tidak ingin ia ucapkan, dan kalau bisa diganti dengan kata makian. Di mana dokter itu sudah membuat tubuh Naura bergetar hebat dengan kenyataan gila yang diucapkannya. Namun meski demikian, Naura bisa apa?
Bagaimanapun keadaannya, kenyataan itu sudah menimpa dan sudah tidak bisa dihidari lagi.
"Nggak perlu, aku pulang sendiri aja," jawab Naura. Ia menambah kecepatan langkahnya, meninggalkan Bagas yang sudah tertinggal di belakang.
Setelah dokter menyatakan bahwa dirinya tengah mengandung, lagi-lagi Naura dibuat terkejut dengan kata-kata Bagas yang keluar dari mulutnya. Cowok itu tidak terkejut, seolah sudah menyangka semuanya-ah, harusnya Naura pun sudah tidak terkejut lagi ketika mendengar hal itu. Ditambah lagi, Bagas mengiyakan semua ucapan-ucapan dari dokter, dan mengucapkan kata terima kasih dengan raut wajah yang jauh berbeda dengan raut wajahnya.
Entahlah, Naura tidak peduli dengan hal itu. Sudah tidak ingin memikirkan keanehan-keanehan yang ia rasakan, yang paling penting sekarang ia harus pulang dan meluapkan segala kehancurannya di sana. Menangis dan berteriak seperti yang ia inginkan setelah mendengar kenyataan itu. Mengadu kepada Tuhan, kenapa dia harus diberi cobaan yang sangat amat berat nan menyakitkan seperti ini, dan menyakiti siri sendiri jika itu memang perlu.
Sepertinya... akan sangat perlu. Naura butuh cambukkan kuat untuk menyadarkan dirinya agar tidak langsung gila saat itu juga.
"Saya tahu bagaimana perasaan kamu, Naura. Dalam keadaan seperti ini, biasanya kepala akan memikirkan hal-hal yang konyol dan tidak berguna. Mangka dari itu saya harus memastikan kamu pulang sampai rumah dalam keadaan selamat dan baik-baik saja." Bagas mencoba mengejar Naura, mengimbangi langkah kaki cewek itu yang sebenarnya memiliki langkah yang kecil, namun dengan tempo yang tergesa-gesa.
Menutup mata sejenak dengan helaan napas yang panjang, Naura menghentikan langkah kakinya kemudian menatap Bagas dengan tatapan kebingungan. "Sebenarnya kamu siapa? Kita nggak kenal sama sekali, tapi kenapa kamu bersikap seperti ini?"
Pertanyaan yang sangat wajar, bukan?
Di mana Naura memang sudah kebingungan sejak berbincang dengan Bagas di Restauran tadi. Di mana sikap laki-laki itu sudah bukan lancang lagi, tetapi sudah sangat berlebihan jika hanya melakukannya untuk seorang sahabat saja. Naura tidak tahu sedekat apa Bagas dengan Regan, tapi apakah harus seperti ini?
Menurutnya, sikap Bagas sudah lebih dari sekadar bentuk dari rasa kasihan.
Jika Regan-si pelaku saja menghilang tanpa pertanggungjawaban, kenapa Bagas malah repot-repot menggantikan tugas yang seharusnya menjadi tugas Regan seperti ini?
Mendengar pertanyaan Naura, Bagas juga terlihat kebingungan di tempatnya. Bingung harus memberikan jawaban seperti apa. Pasalnya, ia sendiri juga bingung kenapa harus melakukan hal seberlebihan ini, padahal ia bisa saja tidak peduli.
Menghabiskan waktu beberapa saat untuk diam dan berpikir, akhirnya Bagas menghela napas pelan di tempatnya. "Saya tidak bisa menjelaskannya sekarang. Tapi satu hal yang harus kamu tahu, saya akan bantu kamu semampu saya, bantu kamu untuk bertemu dengan Regan dan membuat sahabat brengsek saya itu mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kalau tidak mau, biar saya yang bertanggung jawab."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 120 Episodes
Comments