Bab 3 Olahraga

LUNA menatap lekat tubuh baru ini di depan cermin. Seorang gadis berambut coklat, kurus keruncing, berkacamata, wajah sawo matang, dan bintik-bintik di hidung adalah gambaran pertama yang ia lihat. 

Luna mengerutkan kening. “Tubuh ini sangat lemah. Malah ini lemah banget, apa yang dilakukan pemilik tubuh ini selama hidup? Tidur di kasur sepanjang hari? Aku bahkan sangat tidak berenergi. Dan juga wajahnya norak!”

Luna memijat pelipisnya. Mungkin rencana pertama bukan mencari teman-teman yang tersisa melainkan mengurus tubuh menyedihkan ini dan mengurus nasib malang dari Luna Wijaya.

Menyadari itu senyuman terbit di wajah wanita bersurai coklat. “Oke. Berterima kasih lah, aku akan mengubah nasib menyedihkan ini sekalian. Luna Wijaya. Akan kubuat semua orang yang merendahkanmu menjadi berlutut!” 

Setengah yang ia katakan adalah rasa iba atas pengalaman buruk yang dimiliki oleh pemilik tubuh ini, dan setengah lagi adalah emosi pribadinya. Entah kenapa semenjak bersatu dengan tubuh ini, ia menjadi merasakan emosi dari pemilik tubuh, barangkali mereka sudah menyatu dengan jiwa.

Sehingga masalah yang dimiliki oleh Luna harus diselesaikan oleh Reina agar tenang.

“Bersabarlah Luna, akan kubuat hidupmu bahagia!”

\*

“Mau kemana, Nak?”

“Kakak, mau kemana?”

Pertanyaan itu diluncurkan secara bersamaan oleh Andrian dan Bela. Kedua mata ibu dan anak itu membulat melihat Luna yang berpakain training dan sedang menggunakan sepatu. 

“Cuma mau olahraga sebentar,” sahut Luna tangannya lihai menali sepatu.

“Luna yang suka mengurung diri, kegiatan cuma baca novel dan ketawa-ketawa sendiri …”

“kakak si pemalas yang bahkan tidak pernah menyentuh rumput dan terkena sinar matahari …”

“”.... Olahraga?!””

Seru dua anak dan ibu lagi tak percaya, sekali lagi mereka mematung dan mata membulat.

Luna meringis. Disisi lain merasakan keharmonisan keluarga, namun disisi lain merasa risih. Apa Luna dulu sepalamas itu? “Itu berlebihan, sudah lah. Luna mau segera berangkat, toh Luna masih harus libur 1 minggu. Jadi kubuat olahraga saja.”

Lagi-lagi, mereka berdua tercengang akan pikiran itu.

“Luna kepalamu terbentur saat tenggelam di kolam?”

“Apa kakak sakit?” ucap keduanya memegang pelipis Luna.

Si gadis memerah karena sebal. Sebagai mantan pembunuh bayaran  baru pertama kali ini dia dipermalukan. 

“Sudah! Luna berangkat dulu!” dan si gadis pun pergi.

Meninggalkan dua insan itu.

“Kakak sudah berkembang, ya?” ucap Andrian terisak dengan cara yang dibuat-buat. Ia terharu akan peningkatan karakter Luna.

“Luna sudah berkembang, ya? Ibu bahagia … hiks.” 

Agaknya perubahan sikap Luna membuat kesalah pahaman baru.

\*

Setidaknya pemikiran untuk jogging adalah hal bagus dan umum untuk membenarkan postur tubuh, tapi Luna terlalu meremehkan tubuh yang ia pakai. 

Jika 400 meter adalah jarak lari maksimal untuk melilingi satu lapangan, maka Luna akan tepar saat itu juga. Hanya kuat satu putaran.

Lihatlah! Badannya sempoyongan dan sangat lemas, kakinya sudah tak kuasa lagi untuk berjalan. Tremor tak berkesudahan menyerangnya. Saat para pejogging lain bersemangat mengelilingi lapangan, ia lemas bukan main.

Sekarang Luna paham dan tahu. Pemilik tubuh ini itu tidak cuma bodoh, tapi tubuhnya juga sangat lemah banget. Ia sekilas tampak seperti orang yang tidak menjaga tubuh, orang nolep. Aura yang dipancarkan terasa negatif, bahkan hawa keberadaan yang setipis tisu nyaris membuat dia tidak disadarkan oleh orang-orang.

Sialan napas Luna makin berantakan. Sesak di dadanya kini tak bisa dikendalikan lagi, si gadis yakin beberapa langkah lagi ia akan tiada.

“Seberapa pemalas pemilik tubuh ini? Kalau gini balas dendam bakal susah bukan main.”

Dan detik kemudian, tak kuasa lagi berjalan. Ia terjungkal, jatuh sebab menginjak tali sepatu sendiri—yang tidak ditali—ia terkapar di lapangan dengan menyedihkan.

Wajah si gadis merona. Ia adalah pembunuh bayaran yang sangat terkenal dan sekarang tersandung oleh tali sepatu. Mati! Mati! Dia lebih baik melakukan seppuku dan mati!

“Kamu gak papa, neng?” seorang pria mendekatinya. Ia tampan dan tinggi, berambut rapi. Aroma parfum menyerbak. “nih, ambil botol minuman kalau haus.”

Luna langsung mengambil tanpa melihat lelaki itu, ia minum sampai habis karena kehausan. “makasih,” ucapnya

Luna mendongkat ingin melihat sosok baik hati yang memberikan air, namun Seketika ia membulatkan mata. Tidak diragukan lagi ia kenal dengan sosok ini.

Briansyah Setiawan, kerap dipanggil Brian. Menurut ingatan yang ia dapatkan, Luna—pemilik asli tubuh ini sangat mencintainya, namun karena Luna yang sangat cupu dan menyedihkan.

Alih-alih menerima, Brian malah menindas si Luna tanpa ampun. Ia selalu mengejek, bahkan pernah menaruh kecoa ke soto milik Luna. Hal ini membuat Luna sangat sakit hati, bahkan ia sering bersama Tina untuk membelanya.

Namun meski begitu Luna dengan bodohnya masih menaruh rasa ke cowo seperti itu.

Ia adalah salah satu musuhnya, target balas dendam!

“Aku gak papa, minggir!” seru Luna mencoba berdiri.

“Bentar suara itu.” lelaki itu lantas terbelalak, ingat akan suara yang sangat ia kenal. “Kamu Luna?” Sebab perawakan dan style Luna  yang sedikit berbeda membuat Brian pangling, dan auranya terlihat berbeda. 

Luna seperti orang lain …  (p.s note : Emang orang lain)

“Kamu gak punya telinga! Aku gak papa, jadi minggir.”

Tanpa basa-basi lagi, Luna berlari menjauh dari Brian sebab tahu bahwa orang itu licik dan sebaiknya dijauhi. 

Melihat sikap yang berbeda membuat Brian tersenyum simpul. Ia susah mengakuinya, namun ia memang tertarik dengan perubahan sikap milik Luna. Sebenarnya apa yang terjadi dengan gadis itu?

Terpopuler

Comments

sahabat pena

sahabat pena

ih kepedean.. aku mampir thor.. lanjut

2024-08-16

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!