Semua pintu dan jendela rumah tertutup rapat. Tak ada seorang pun yang terlihat di jalanan atau di luar rumah. Mereka semua berlindung di dalam rumah dengan persediaan yang sudah mereka siapkan sebelumnya. Badai seratus tahun ini, bukan badai biasa. Meski angin dan hujan terus menderu seakan bisa menghancurkan seluruh pulau, tapi tak sedikitpun bangunan di Pulau Asa yang rusak. Berada di dalam rumah masing-masing, adalah hal terbaik yang bsia dilakukan semua orang untuk melindungi diri. Kecuali bagi para prajurit Pulau Asa yang justru harus berjaga di sekeliling pulau, menunggu kedatangan sang Perempuan Pilihan.
Ini adalah Perempuan Pilihan ke-8 yang dikirimkan Sang Dewa untuk Azkan, Sang Penjaga Pulau Asa. Berbeda dari Azkan yang tak lagi mengharapkan apa pun dari perempuan yang akan datang, para penduduk pulau serta para prajurit yang selalu berada di dekat Azkan, justru berharap bahwa perempuan ke-8 yang akan datang, adalah seorang perempuan yang spesial. Mereka semua, berharap Sang Dewa akan lebih berbelas kasih kepada pemimpin mereka dengan mengirimkan seorang perempuan yang bisa menghangatkan hati Azkan. Perempuan yang bisa membuat Azkan tertawa bahagia serta bebas menjadi dirinya sendiri.
Setelah memiliki tujuh Perempuan Pilihan dan tidak memilih satu pun di antara mereka untuk tinggal bersama di dalam kastil pribadinya, Azkan membuat para penduduk pulau merasa khawatir. Mereka begitu mencintai Azkan dan ingin agar Azkan juga bisa merasakan kehidupan normal bersama orang yang dicintai. Para penduduk pulau, sering membayangkan bagaimana jika Azkan menemukan perempuan yang membuatnya jatuh cinta, membangun sebuah keluarga dan memiliki keturunan. Mereka kerap membicarakan khayalan tersebut di saat berkumpul, bergosip, ataupun bekerja. Namun tak satupun dari skenario yang bisa mereka pikirkan itu, terjadi. Azkan tak pernah memberikan hatinya pada seorang perempuan secara khusus. Meski dia memperlakukan ketujuh Perempuan Pilihan kiriman Sang Dewa dengan hangat dan penuh perhatian, tapi ada garis batas yang tak pernah dia lewati.
“Kira-kira, akan seperti apa penampilan Perempuan ke-8 nanti?” Raimond, sang wakil Jenderal, bertanya sambil memicingkan matanya, berharap bisa melihat sosok perempuan yang mendekati pulau, entah dengan cara apa. Pasalnya, kedatangan para Perempuan Pilihan ini, tak bisa ditebak. Perempuan Pilihan pertama, datang dengan diombang-ambing ombak di tengah badai. Perempuan ke-2 dibawa oleh seekor paus besar berwarna hitam. Perempuan ke-3 mengapung di atas batang pohon sangat besar. Perempuan ke-4 datang dalam pusaran badai dari tengah laut menuju pantai. Perempuan ke-5 digendong oleh seekor beruang besar di pundaknya, entah dari mana. Perempuan ke-6 datang dengan sebuah kapal kayu yang hampir hancur. Perempuan ke-7, Perempuan Pilihan terakhir yang masih berharap bisa mendapatkan hati Azkan, datang dengan bantuan seekor elang raksasa berwarna cokelat gelap. Itu adalah elang paling besar yang pernah dilihat semua orang. Sekarang, Elang itu menjadi bagian dari keluarga besar Pulau Asa. Begitu pula dengan paus hitam dan beruang besar yang membawa Perempuan Pilihan lainnya. Azkan merawat mereka semua di Pulau Asa.
“Aku tahu apa yang ingin kau katakan.” Andoz, sang Jenderal tertinggi, mengarahkan teropongnya ke segala penjuru, mencari tanda-tanda kehadiran seseorang yang asing.
“Bukankah kau juga memiliki harapan yang sama?” tanya Raimond penuh rasa ingin tahu. Sebagai salah satu orang terdekat dan yang paling dipercaya Azkan, Ardoz tak banyak bicara. Setiap kali orang-orang bertanya padanya mengenai Azkan, pasti jawabannya hanyalah sebuah kalimat singkat dengan makna sangat umum. Tidak pernah sekalipun dia mengutarakan sesuatu yang mendetail apalagi mendalam mengenai tuannya.
“Aku hanya berharap Azkan bisa hidup bahagia.” Ardoz mengehla nafas sambil menjauhkan teropong dari matanya. Tak ada tanda-tanda apa pun.
“Iya, semua penduduk pulau juga berharap seperti itu. Setelah semua hal yang harus dilalui Azkan dan beban tanggung jawab yang diberikan Dewa padanya, sudah selayaknya Azkan mendapatkan kesempatan untuk hidup bahagia. Maka dari itu, para penduduk pulau berkata padaku …” tatapan tajam Ardoz menghentikan kalimat Raimond. Kepalanya menunduk, merasa telah melakukan kesalahan.
“Maaf, aku tidak bermaksud mencampuri kehidupan pribadi Azkan.” ucap Raimond sepenuh hati.
“Bagus kalau kau paham. Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi di hidup Azkan hingga dia ditugaskan Dewa menjadi penjaga Pulau Asa dan melindungi kita semua sampai satu per satu dari kita, siap untuk menghadapi kehidupan baru. Jadi, jangan bicara sembarangan.” Ardoz menahan keinginannya untuk ikut mengiyakan pendapat Raimond. Dia sebenarnya juga ingin melihat tuannya itu hidup normal seperti orang lain di pulau ini. Mereka yang menemukan cinta, berkeluarga, memiliki keturunan, dan mendapatkan kehidupan baru. Karena sepertinya, Azkan tak akan pernah bisa menjadi salah satu dari orang yang akhirnya pergi meninggalkan Pulau Asa setelah jiwanya sembuh dan siap untuk menjalani hidup baru di dunia luar.
“Kalau begitu, aku akan berdoa pada Sang Dewa supaya kali ini, perempuan yang datang, bisa membawa kebahagiaan bagi Azkan.” ucapan Raimond mendapat anggukan kepala dari Ardoz yang menatap langit gelap. Apa Dewa sekarang ada di atas sana? Apa Dewa sedang mendengarkan?
“Jenderal!!!!” seorang anggota pasukan darat berlarian menghampiri Ardoz yang berjaga di atas bukit.
“Kenapa?”
“Perempuan Pilihan ke-8, sudah tiba.” suara prajurit yang melaporkan penemuannya itu, tersengal hebat. Peluh membasahi wajahnya, bercampur dengan air hujan yang mulai mereda.
“Di halaman kastil Azkan.” jawaban prajurit itu mengejutkan Ardoz dan Raimond. Hal seperti ini tak pernah terjadi. Biasanya, mereka datang dari luar Pulau Asa. Tak pernah sekalipun, Perempuan Pilihan muncul langsung di dalam pulau apalagi di halaman kastil pribadi Azkan.
Namun Ardoz tak banyak bicara apalagi berdebat tentang apakah hal itu mungkin. Kakinya berderap cepat menuju kastil Azkan yang terletak di belakang bukit diikuti oleh Raimond dan prajurit yang memberikan laporan.
Setibanya di halaman kastil, Azkan sudah berada di sana, bersujud di atas rumput basah, di sisi tubuh seorang perempuan yang sedang tak sadarkan diri.
“Azkan,” Ardoz tak bisa melanjutkan kalimatnya. Dia terpaku pada sosok perempuan yang sedang terpejam di hadapannya. Azkan meletakkan tangannya di leher perempuan itu, memeriksa denyut nadi dan suhu tubuhnya.
“Bagaimana bisa? Bagaimana caranya?” Raimond yang selalu penuh rasa ingin tahu, berbisik pada prajurit yang melapor tadi.
“Sayap malaikat.” suara Azkan yang bernada rendah dan khas, menjawab pertanyaan Raimond.
“Apa?!” Raimond tak berusaha mengendalikan keterkejutannya.
“Syukurlah, dia baik-baik saja. Aku akan membawanya ke kamarku.” Azkan mengangkat tubuh perempuan itu dengan kedua tangannya, lalu membawanya masuk ke dalam kastil yang hangat.
“Raimond, kembalikan semua pasukan ke markas.” Ardoz seakan tak terpengaruh oleh kejadian luar biasa yang baru saja terjadi. Dia tetap dalam mode seorang pemimpin militer yang harus selalu sigap dan bertindak sesuai situasi. Sekarang, Perempuan Pilihan sudah tiba. Badai akan segera berhenti. Hari baru akan tiba dengan cuaca cerah dan hangat. Maka, seluruh prajurit harus kembali ke markas untuk beristirahat dan siap untuk melakukan tugas rutin mereka besok pagi.
“Siap!” Raimond segera berlari menuju markas militer untuk memerintahkan semua pasukan kembali. Selain itu, dia juga sudah tidak sabar untuk membicarakan apa yang baru saja terjadi dengan anggota pasukannya. Ada begitu banyak pertanyaan yang muncul di kepalanya sekarang.
“Benarkah?! Bagaimana bisa?!” Hugo, anggota pasukan darat yang mendengar cerita Raimond, memberikan reaksi yang persis sama seperti Raimond.
“Aku juga tidak tahu! Sekarang ini, kepalaku rasanya hampir pecah karena rasa penasaran. Siapa di antara kalian, yang tadi melihat kedatangan sayap malaikat?” Raimond memandang ke sekelilingnya, kepada para anggota pasukan darat, laut, dan udara yang berkumpul di aula bersama.
Hampir semua orang menggelengkan kepalanya, lalu sebuah tangan terulur ke atas, di barisan paling belakang. “Cakra?” Raimond berusaha mengingat nama anggota baru pasukan udara yang baru datang beberapa bulan lalu ke Pulau Asa.
“Iya. Saya Cakra. Saya anggota baru di pasukan udara.” Sosok Cakra yang bertubuh agak kurus berdiri dengan malu-malu. Perhatian seluruh prajurit tertuju padanya saat ini.
“Apa kau melihat sayap malaikat?” Raimond mengulang pertanyaannya.
“Iya. Saya bertugas mengawasi area udara di pantai yang terletak di belakang kastil tuan Azkan. Saya melihat cahaya menyilaukan di langit. Awalnya saya kira itu matahari. Tapi badai masih berlangsung dan langit gelap. Jadi, saya mengarahkan teropong ke cahaya itu dan saya melihat sayap yang sangat besar, berkilau karena dilapisi emas dan sayap itu turun di atas kastil tuan Azkan.” suara Cakra bergetar ketika menceritakan ulang apa yang dia saksikan beberapa jam sebelumnya.
“Apa hal seperti ini pernah terjadi?” tanya seorang anggota pasukan udara, Dion.
“Tidak pernah. Dalam sejarah Pulau Asa, tidak pernah ada sayap malaikat yang turun ke sini ataupun sekedar menunjukkan wujudnya kepada kita.” Raimond menjawab dengan yakin.
“Berarti, Perempuan Pilihan ke-8 ini, adalah perempuan yang spesial.” ujar seorang anggota pasukan darat yang lain, Hugo.
“Ya, bisa jadi.” Raimond menganggukkan kepalanya sambil berpikir lebih jauh. Special dalam hal apa? Apakah Dewa kali ini mau mengabulkan doa kami yang mengharapkan kebahagiaan Azkan?
“Lalu, dimana Perempuan Pilihan ke-8 sekarang?” tanya anggota pasukan laut, Marko.
“Di kamar pribadi Azkan.” jawaban Raimond menghasilkan suara riuh dari seluruh prajurit yang terkejut sekaligus bersemangat. Azkan yang mereka kenal, tak pernah membawa perempuan ke dalam kamarnya, meskipun itu adalah Perempuan Pilihan. Ketujuh Perempuan Pilihan yang sudah ada, tak pernah diijinkan masuk ke dalam kamar tidurnya. Ke dalam kastil pribadinya pun sangat jarang dan hanya boleh duduk di ruang tamu.
“Ardoz ada di sana, menemani Azkan untuk mengurus Perempuan Pilihan ke-8.” Raimond menambahkan informasinya.
“Tetap saja, seorang perempuan memasuki kastil Azkan adalah hal luar biasa kan?” Hugo yang setipe dengan Raimond, menyuarakan isi kepalanya dan menimbulkan keriuhan baru lagi di antara para prajurit yang semakin bersemangat membayangkan akan terjadi sesuatu di antara Perempuan Pilihan ke-8 dengan penjaga mereka.
Di sisi lain, kastil Azkan yang biasanya sepi kini dipenuhi suara langkah kaki dari para pelayan yang diperintahkan untuk menyiapkan pakaian ganti dan makanan hangat. Ardoz berjaga di ambang pintu masuk kamar Azkan, menunggu perintah dari tuannya.
“Ardoz,” panggil Azkan sambil duduk di sisi tempat tidurnya, dimana sekarang, Perempuan Pilihan ke-8 nya sedang berbaring tak sadarkan diri.
“Iya, Azkan?” Ardoz tak melangkah masuk. Dia menatap tuannya dari kejauhan, dan bisa merasakan campuran emosi tak dikenal dari sosok tuan yang selalu tenang.
“Menurutmu, kenapa Sang Dewa melakukan hal ini kepadaku?” Ardoz tak bersuara, hanya kedua telinganya yang terus mendengarkan.
“Kenapa aku harus menerima satu Perempuan Pilihan setiap seratus tahun? Aku tahu, mereka adalah perempuan hebat yang membantuku mengurus Pulau Asa dengan sangat baik. Tapi, setiap kali kalian, para penduduk pulau bertanya padaku, apakah aku tidak ingin menjalin hubungan romantis dengan salah satu dari mereka, aku selalu menjawab tidak. Aku juga sudah mengatakannya dengan jelas pada Sang Dewa, bahwa aku tidak akan menyentuh tubuh Perempuan Pilihan, jadi lebih baik, Dewa mengirimkan seorang pria saja. Tetapi Dewa tidak mau mendengarkanku.”
Ardoz masih diam, mendengarkan kegundahan Azkan untuk pertama kalinya.
“Lalu, setelah Perempuan Pilihan ke-7, aku bertanya pada Dewa, sampai kapan aku harus berada di pulau ini, menjadi penjaga dan pemimpin kalian. Sudah tak terhitung berapa jiwa yang kuantarkan pada kehidupan baru di dunia luar. Aku juga sudah menyaksikan sebagian dari kalian yang memutuskan untuk tetap tinggal dan memulai kehidupan baru di sini. Aku sudah menyaksikan begitu banyak kematian dari kalian yang telah memutuskan tinggal. Sedangkan aku, di sini, tak berubah sedikit pun. Hanya waktuku yang berhenti.”
“Aku berkata pada Dewa, kalau aku ingin mengakhiri keabadianku di Pulau Asa.” Ardoz tercekat. Kalau Azkan pergi, bagaimana dengan Pulau Asa? Dewa menciptakan Pulau Asa karena Azkan. Jika Azkan tidak ada, maka tidak akan ada Pulau Asa. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang diselamatkan Pulau Asa? Kemana jiwa orang-orang yang putus asa akan hidupnya akan pergi untuk memulihkan diri kalau tidak ada Pulau Asa?
“Tapi Dewa tidak lagi mendengarkanku. Sekarang, Dia justru mengirimkan Perempuan Pilihan ke-8 dengan sayap malaikat. Dia sekarang dengan terang-terangan menunjukkan padaku, bahwa aku harus menerima Perempuan Pilihan ke-8 ini karena dia spesial. Dia berbeda dari ketujuh Perempuan Pilihan yang ada bersamaku.” Suara Azkan terdengar makin lirih. Ardoz merasa pilu mendengarnya.
Tujuh ratus tahun hidup seorang diri, adalah kesepian yang terlalu panjang untuk bisa dimengerti oleh mereka yang hanya hidup selama puluhan tahun.
“Ardoz, sepertinya aku mulai mengerti. Mungkin saja, ini adalah kesempatan terakhirku.” Kalimat terakhir Azkan tidak dipahami Ardoz sama sekali. Namun tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya untuk bertanya.
“Azkan, pakaian ganti dan makanan hangat yang anda minta, sudah datang.” Ardoz justru mengumumkan kehadiran kepala pelayan yang hendak masuk ke dalam kamar Azkan.
“Letakkan saja di meja. Aku yang akan mengurus sisanya. Lalu siapkan semua kebutuhan pribadinya dan juga isi satu lemariku dengan pakaian untuknya. Persiapkan itu semua besok. Sekarang, kalian beristirahatlah.”
Perintah Azkan membuat kepala pelayan yang usianya sudah senja, tertegun.
“Iya, Armana, Dia akan tinggal di sini, bersamaku.”
“Baik, Azkan. Akan kulakukan seperti yang kau perintahkan besok.” Armana segera keluar dari kamar Azkan dan membagikan tugas kepada pelayan yang lain agar besok segala yang diminta Azkan segera disiapkan.
“Kau juga, Ardoz. Pulanglah. Beristirahatlah.” Azkan menatap Ardoz, orang kepercayaannya, dengan senyuman sendu.
“Baik. Sampai besok.” setelah mengucapkan selamat tinggal, Ardoz menutup pintu kamar Azkan lalu berjalan pergi, meninggalkan kastil Azkan kembali dalam sepi meski kini ada satu orang baru yang tinggal di dalamnya.
“Sekarang, hanya tinggal kau dan aku di sini.” Azkan membelai wajah perempuan di hadapannya yang masih terpejam.
“Sepertinya aku harus mengganti pakaianmu. Kalau tidak, kau akan demam.” Azkan berdiri dari sisi tempat tidur, lalu mengambil pakaian baru yang disiapkan Armana untuknya. Dengan begitu lembut, seakan sedang menyentuh seorang bayi yang baru lahir, Azkan melepas pakaian perempuan yang namanya belum dia ketahui, menggantinya dengan pakaian kering dan hangat lalu menyelimutinya.
Malam itu, untuk pertama kalinya, Azkan tidur bersama dengan seorang perempuan di atas tempat tidur miliknya, di dalam kamar pribadinya, di kastilnya yang tak pernah dihuni oleh orang lain selain dirinya.
Laina merasa dipeluk oleh kehangatan yang nyaman. Benar-benar hangat dan menenangkan. Bahkan terasa aman dan menentramkan. Bukankah ini aneh? Rasanya begitu asing namun membuatnya ketagihan. Namun kedamaian yang dia rasakan dalam pelukan itu, tak bisa bertahan lama, seiring dengan kesadarannya yang menjadi utuh.
Potongan-potongan kejadian terakhir yang dia ingat, menyerangnya dengan rasa sakit, ketakutan, dan rasa sesak di dada yang semakin menyakitkan seiring berjalannya waktu. Laina terengah, berusaha bernafas meski rasanya menyakitkan. Seakan tak ada lagi udara di sekitarnya untuk dihirup. Tangannya mencengkeram apa pun yang ada di dekatnya, berusaha menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya yang kini menggigil tak terkendali.
“Aaagghh” Laina berusaha mengatakan sesuatu dengan tenggorokan yang panas dan mulut sangat kering. Rasa sakit dari tenggorokan dan dadanya menyerang lebih kuat.
“Tenanglah, tidak apa-apa. Semua baik-baik saja sekarang.” Laina mendengar suara seorang pria di telinganya. Suaranya bernada rendah dan tegas, namun mengirimkan rasa aman padanya. Lalu ada tangan besar dan kasar yang mengusap wajahnya, tapi Laina justru merasakan kelembutan dari setiap sentuhan itu. Kemudian di punggungnya, Laina merasakan sebuah rangkulan erat dan hangat, dengan tepukan lembut yang terasa seperti irama sebuah lagu pengantar tidur. Meski air matanya menetes, Laina merasa lebih tenang, dan rasa sakitnya perlahan memudar.
“Sekarang, semuanya baik-baik saja. Tenanglah. Tidak apa-apa. Ada aku di sini. Kau sekarang aman. Kau sekarang baik-baik saja.” bisikan pria yang sedang memeluknya, membuat Laina terbuai dalam ketenangan yang tak pernah dia rasakan seumur hidup.
Di balik selimutnya, Azkan merengkuh tubuh mungil Laina dengan kelembutan yang tak pernah dia sadari, ada dalam dirinya. Dia emmperhatikan raut wajah Laina yang tak lagi pucat dan kerutan di keningnya yang sudah menghilang sempurna. Dengan ibu jarinya, dia mengusap air mata di wajah Laina.
“Bangunlah,” suara Azkan terdengar lembut bahkan di telinganya sendiri.
Azkan menarik mundur sedikit kepalanya supaya bisa menatap wajah perempuan yang sedang dia peluk dengan lebih jelas. Apa yang telah kau alami sebenarnya? Rasa ingin tahu Azkan tumbuh begitu besar dalam semalam.
“Kau sudah bangun?” kedua mata Azkan yang berwarna biru bertatapan dengan sepasang mata perempuan itu yang ternyata juga berwarna biru. Azkan tersentak, terkejut pada betapa indahnya kedua mata yang dia tatap sekarang. Dia langsung teringat pada pantulan sinar matahari di atas lautan lepas tempatnya memelihara paus besar kiriman Sang Dewa.
Berbeda dari Azkan yang merasa lega setelah melihat perempuan dalam pelukannya sudah bangun dari tidur, sang perempuan itu, justru merasa takut dalam keterkejutannya.
Laina mendorong tubuh Azkan menjauh darinya, lalu dia segera bangun dari tempat tidur, dan terkejut menyadari pakaian yang menempel ditubuhnya, bukanlah miliknya. Dia yakin, tak pernah memiliki gaun putih lembut yang nyaman dipakai seperti ini.
“Dimana aku? Siapa kau?” suara Laina serak karena tenggorokannya sakit dan bergetar hebat bersamaan dengan tubuhnya yang gemetar tak terkendali.
“Tenanglah. Ini tempat yang aman untukmu. Aku Azkan. Ini kastil pribadiku. Tepatnya, kamar pribadiku. Kau bisa ada di sini, karena semalam kau datang ke sini dengan diantar oleh sepasang sayap malaikat.” Azkan menjawab pertanyaan Laina dengan tenang meski dia bisa melihat kalau Laina tak mempercayai satu pun penjelasannya.
“Apa kau penipu? Apa maksudmu dengan kastil dan sayap malaikat? Lalu jelas-jelas pakaianku berbeda. Kau pasti baru saja melakukan hal buruk padaku kan?!!” Laina berteriak dengan suara serak yang semakin menyakiti tenggorokannya.
Kemudian rasa marah muncul dalam dirinya. Laina ingat, semalam, dia sedang berhadapan dengan pria paling brengsek di hidupnya. Seorang pria berusia akhir tiga puluhan yang sangat tampan, mempesona, dan kaya, tapi brengsek. Pria itu adalah atasannya di tempat kerja dan sudah berkali-kali pria itu mengajaknya untuk datang ke hotel berdua dengan berbagai alasan menggunakan pekerjaan. Kali terakhir, pria itu memakai kontrak kerjanya sebagai ancaman. Akhirnya Laina datang karena dia sangat membutuhkan pekerjaan itu untuk bertahan hidup. Tak disangka, saat datang dengan alasan menandatangani kontrak kerja sebagai pegawai tetap, Laina harus melihat tubuh pria itu yang tak mengenakan sehelai kain pun.
Tentu saja Laina tak lagi menginginkan kontrak kerja yang ditawarkan. Dia sudah muak hingga ingin menendang bagian tengah tubuh atasannya itu sekeras mungkin hingga menimbulkan kecacatan. Namun hal lain yang lebih mengejutkannya adalah, muncul seorang perempuan dari dalam kamar hotel pria itu, yang sangat dikenal oleh Laina. Ibunya sendiri. Ibu yang dulu meninggalkannya di panti asuhan karena memilih untuk mencari pacar kaya yang bisa menggantikan ayahnya. Ibunya tak pernah muncul di hidupnya sejak dia kecil, hingga beberapa bulan yang lalu, ketika Laina sudah berusia dua puluh lima tahun dan bekerja di sebuah perusahaan besar. Perusahaan milik pria brengsek yang mengundangnya ke kamar hotel untuk menandatangani kontrak kerja sekarang ini.
Perasaan Laina campur aduk dengan segala pertanyaan dan pikiran tak masuk akal yang bermunculan tak terkendali. Ibunya hanya mengenakan gaun mandi hotel. Laina yakin, tak ada pakaian lain di balik gaun itu. Lalu atasannya yang brengsek ini, telanjang bulat tanpa rasa malu, berdiri di hadapannya sambil tersenyum lebar.
“Laina!” ibunya menyapa dengan senyuman cerah.
“Perkenalkan, ini ayahmu. Ayah kandungmu. Dulu, ketika hamil, dia pergi ke luar negeri untuk memulai bisnis dan meninggalkan ibu tanpa kabar. Makanya ibu menjadi kacau lalu menitipkanmu di panti asuhan. Setelah dua puluh lima tahun, akhirnya ibu bisa bertemu lagi dengan ayahmu. Ternyata sekarang, dia sudah sukses dan sangat kaya.” tawa bahagia ibu Laina, membuatnya muak. Apa dia tak sadar, pria yang dia perkenalkan sebagai ayahku ini sedang berdiri telanjang?”
“Ah! Sayang! pakai bajumu. Ada Laina di sini.” dengan tanpa tahu malu, ibunya meraih lengan atasan brengsek yang ternyata ayahnya, lalu menariknya masuk ke dalam kamar.
Laina terbakar rasa marah dan muak, hingga tak bisa berkata apa pun di hadapan dua orang yang tak tahu malu itu. Hingga dia mendengar kata-kata atasan brengseknya, “Benarkah dia anak kandungku?” lalu suara ibunya yang memuakkan karena dibuat senada lebih tinggi agar terdengar imut, menjawab sambil terkekeh tak tahu malu, “Tentu saja. Aku hanya pernah hamil sekali dan itu karena perbuatanmu malam itu. Aku melahirkannya karena mengingatmu yang begitu tampan dan mempesona. Aku menunggumu kembali tapi ternyata butuh waktu lama bagimu untuk kembali ke sini dan bisa bersamaku lagi seperti sekarang. Kau masih sangat tampan dan tidak bertambah tua. Sedangkan aku sekarang, terlihat lebih tua darimu.” Laina bisa membayangkan dengan jelas di dalam kepalanya, godaan menjijikkan seperti apa yang dilakukan ibunya di dalam kamar itu, kepada pria brengsek yang ternyata adalah ayahnya.
“Ash sial!” Umpatan pria brengsek itu terdengar sungguh-sungguh.
“Kenapa sayang? Kau tidak suka punya anak perempuan? Padahal dia sangat cantik apalagi dengan mata birunya yang mirip denganmu.” suara ibu Laina masih dibuat senada lebih tinggi dan terdengar semakin memuakkan di telinga Laina.
“Justru itu! Dia sangat cantik! Tubuhnya juga sangat bagus!”
“Lalu apa masalahnya?”
“Aku menginginkan tubuhnya. Bukan sebagai anakku. Tapi sebagai seorang perempuan.” kata-kata terakhir yang didengar Laina, mengirimkan rasa marah tak terkendali hingga dadanya rasanya akan meledak sekarang juga.
Laina melihat sebuah pisau di meja makan. Saus steak menempel di beberapa sisi pisau itu. Dia meraihnya tanpa ragu. Dengan keberanian dan keyakinan yang tak pernah dia rasakan sebelumnya, dia membuka pintu kamar kedua orang menjijikkan itu, melihat ayah brengseknya masih tidak mengenakan apa pun, Laina berjalan mendekatinya, menghampirinya hingga jarak di antara mereka hampir tak ada, dengan menatap langsung ke sepasang mata yang mirip dengan miliknya, dia menusuk perut pria itu hingga seluruh mata pisau masuk ke dalam tubuhnya.
“LAINA!!!! ASTAGA!!! KAU GILA YA!!!!”” rambut Laina ditarik dengan kasar hingga tubuhnya terjengkang ke belakang, dan terjatuh di lantai dengan suara keras. Ibunya, ibu kandungnya, yang mengandung dan melahirkannya, menendangnya sekuat tenaga hingga dia bisa mendengar suara tulang patah di dadanya. Lalu, ibunya dengan panik menghampiri ayah brengseknya yang bersimbah darah di atas tempat tidur.
“Sayang, bertahanlah. Aku akan memanggil ambulance. Kau akan baik-baik saja sayang. Kita baru bisa bersatu lagi. Aku tidak akan membiarkanmu mati. Aku ingin bersamamu lagi seperti dulu. Sayang, bertahanlah. Tetaplah sadar.” Laina menyunggingkan senyum penuh hinaan pada apa yang dia dengar.
“Kau, …” Laina berusaha bangun, meraih botol alkohol di lantai dekatnya tersungkur. “Kau tidak layak disebut sebagai seorang ibu. Aku muak dan malu menjadi anak kalian.” Laina berhasil berdiri meski harus menahan rasa sakit di dadanya yang mulai sesak ketika bernafas. “Seharusnya, kau tidak pernah melahirkanku.” Ibunya masih tak peduli padanya yang kini sudah berdiri di dekat tempat tidur mereka.
PRANG!!!
Ketika Laina memecahkan bagian bawah botol kaca yang dia pegang dengan memukulkannya sekuat tenaga di atas meja, barulah ibunya menoleh, menatapnya dengan tatapan penuh kebencian.
“SEHARUSNYA KAU TIDAK PERNAH MELAHIRKANKU! AKU TIDAK MAU HIDUP DI DUNIA INI SEBAGAI ANAKMU DAN PRIA BRENGSEK ITU!!!!” Laina menerjang ibunya yang tak siap, lalu menusuk leher ibunya dengan pecahan botol di tangannya. Tak perlu usaha keras bagi Laina, karena ibunya adalah perempuan tua yang sudah lemah. Usianya sekarang sudah empat puluhan dan kegiatan olahraganya hanyalah melayani pacar-pacar kayanya yang berganti tiap waktu.
Setelah melihat ibunya kesakitan menahan luka dengan darah mengalir, Laina menarik tubuhnya menjauh. Dia melihat dua orang yang seharusnya menjadi orang tuanya, berlumuran dari di atas tempat tidur. Keduanya sekarang terlihat sekarat karena perbuatannya. Tubuh Laina gemetaran. Dia sudah benar-benar muak pada semuanya. Apalagi pada takdir hidupnya.
“Kalau memang ada Tuhan di dunia ini, kalau memang Tuhan yang menciptakanku sebagai manusia dan anak kalian, sekarang juga, aku mau menunjukkan pada Tuhan yang begitu tidak adil itu, kalau aku mengakhiri hidupku sendiri karena aku tidak mau menerima takdir Tuhan yang seenaknya membuatku hidup dari dua orang brengsek seperti kalian. Aku mau menunjukkan pada Tuhan yang selalu dibicarakan manusia, kalau aku bisa menentukan takdirku sendiri. Aku bisa memilih untuk hidup atau tidak.” Lalu dengan seluruh keputusasaan dan rasa muaknya pada hidup, Laina menusuk urat nadi di lehernya dengan pecahan botol yang masih berlumuran darah ibunya. Akhirnya, darah ibu dan anak menyatu dalam kematian. Laina tak mempedulikan rasa sakitnya, dan terus menusuk sedalam mungkin, sambil memejamkan mata. Air matanya menetes di saat dia mulai tak sanggup bernafas. Tuhan apa Kau benar-benar ada?
Sekarang, dia berdiri di dalam sebuah kamar yang cukup besar, dengan perabotan dari kayu yang didesain indah, bersama seorang pria tinggi, besar, tampan, dan besuara rendah yang serak. Apa yang masuk akal dari keadaan ini?
“Tenanglah,” Azkan menyibakkan selimut yang masih menutupi sebagian tubuhnya, lalu turun dari tempat tidur sambil mengikat tali piyamanya, yang hanya berhasil menutupi bagian bawah tubuhnya. Laina bisa melihat dada telanjang Azkan yang berotot dan dihiasi beberapa bekas luka.
“Jangan mendekat!” Laina mundur selangkah ketika Azkan maju selangkah menghampirinya.
“Aku bukan orang jahat. Aku ada di sini, untuk melindungimu dan merawatmu. Kau sudah melewati kematian. Aku tahu, ingatan terakhir yang kau ingat, pasti mengejutkanmu karena tidak sesuai dengan tempatmu berada sekarang. Tapi, aku bisa menjelaskan semuanya. Asalkan kau mau tenang, dan percaya padaku.” Kata-kata Azkan mengenai kematian, menghentikan langkah mundur Laina.
“Jadi, benar kalau aku sudah mati kan?” Azkan menganggukkan kepalanya sambil menatap lembut Laina yang masih gemetaran. Melihat rasa was-was Laina padanya berkurang, Azkan menghampiri Laina dalam tiga langkah panjang, lalu merengkuhnya dalam pelukannya. Dia sendiri terkejut menyadari tindakannya barusan. Sejak kapan aku begitu ingin melindungi seseorang dan dia seorang perempuan? Kenapa dengan perempuan yang bahkan belum kutahu namanya ini, aku bisa dengan mudah melakukan kontak fisikseperti ini?
“Tenangkan dirimu dulu. Semuanya baik-baik saja sekarang. Apa pun yang kau ingat sekarang, itu adalah masa lalumu. Akhir dari hidupmu. Sekarang, kau tak lagi terikat dengan kenangan itu sedikitpun. Sekarang, kau sedang menjalani kesempatan kedua yang diberikan Sang Dewa padamu.” Azkan mengelus-elus punggung Laina hingga gemetarannya berhenti sambil menjelaskan keadaannya sekarang, semudah mungkin.
“Sekarang, kau ada di Pulau Asa.” Azkan meletakkan kedua tangannya di atas pundak Laina, menatapnya sambil melanjutkan penjelasannya, “Ini adalah tempat yang tidak bisa dilihat oleh manusia lain yang masih hidup di dunia luar. Kau bisa ada di sini, karena jiwamu begitu putus asa dan memutuskan untuk mengakhiri hidupmu sendiri. Ini adalah tempat yang diberikan Dewa kepada orang-orang yang mengalami hal-hal sangat buruk di hidup mereka hingga jiwa mereka terluka, dan akhirnya, tak sanggup bertahan hidup. Jiwa-jiwa itu, mereka meninggal dengan cara yang memilukan. Tugasku, sebagai penjaga pulau ini, adalah mendampingi kalian semua, hingga jiwa kalian pulih dan siap untuk mengambil keputusan untuk kehidupan kedua kalian. Pilihannya adalah, kalian boleh memulai hidup baru di pulau ini sebagai penduduk pulau hingga waktu hidup kalian berakhir, atau kalian bisa kembali ke dunia luar, menjalani satu kehidupan baru yang jauh lebih baik dari yang sebelumnya.”
“Jadi, sekarang ini, aku arwah gentayangan?” pertanyaan Laina menumbuhkan senyuman di wajah Azkan.
“Bukan.” Azkan menggeleng. “Kau adalah manusia seutuhnya. Hanya saja, kau hidup di dimensi yang lain. Berbeda dari dunia tempatmu hidup sebelumnya. Di sini, tempat jiwamu memulihkan diri.” Azkan merapikan rambut panjang Laina yang berantakan menutupi sebagian wajahnya.
“Siapa namamu?” Azkan bisa melihat kalau Laina masih belum sepenuhnya memahami penjelasannya. Semua orang yang datang ke Pulau Asa juga seperti itu. Menjalani kehidupan di dunia yang berbeda setelah meninggal, bukanlah hal yang bisa dipahami dalam waktu singkat.
“Laina.”
“Laina,” ulang Azkan sambil tersenyum. “Namamu indah.”
“Terima kasih.” Laina tak tahu harus merespon seperti apa di tengah situasi seperti ini.
“Kau masih ingat siapa namaku?” Azkan ingin memulai lagi perkenalan mereka yang sempat tertunda.
“Azkan?” Laina menatap Azkan dengan tatapan mata yang jernih. Hal itu, menghangatkan hati Azkan yang kini berdiri bersedekap selangkah darinya.
“Ya. Namaku Azkan. Semua orang di pulau ini memanggilku begitu. Kau bisa memanggilku Az.”
“Az.” Laina mengucapkan nama Azkan dengan suaranya yang masih serak dan tenggorokkannya yang masih sakit. Azkan berjalan menuju pintu kamarnya sambil terus berbicara, “Aku akan memanggil dokter untuk memeriksa kondisimu. Sekarang, kau bisa sarapan dulu. Armana pasti sudah menyiapkan sarapan untuk kita di ruang makan. Semalam, sebenarnya aku ingin memberimu makanan hangat, tapi kau tidak sadarkan diri hingga pagi. Jadi, makanan itu sudah dingin.” Azkan menunjuk senampan makanan yang tak tersentuh di meja kamarnya.
Pandangan Laina mengikuti punggung Azkan yang berjalan melewatinya menuju pintu kamar, dan melihat nampan makanan yang ditunjuk Azkan, tepat di meja di sisi pintu masuk. Di sana juga ada sebuah sofa panjang yang terlihat sangat empuk.
“Ayo,” Azkan berdiri di ambang pintu, hendak membuka pintu untuk Laina.
“Kemana?” tanyanya polos.
“Sarapan. Aku sudah lapar sekali. Kau tidak lapar? Semalam kau tidak makan apa pun.” Azkan menunggu Laina menghampirinya dengan kedua kakinya yang telanjang, tanpa alas kaki.
“Tunggu,” Azkan mengambil sepasang sandal rumah yang empuk dan lembut di rak sepatu di sisi lain pintu masuk kamarnya, lalu berjongkok di hadapan Laina, memakaikan sandal itu di kedua kaki Laina yang terasa dingin karena bersentuhan langsung dengan lantai kastilnya. Azkan segera mengingatkan dirinya untuk meminta Armana menyalakan penghangat ruangan.
“Ah, terima kasih.” Laina tak terbiasa dengan perlakuan yang memanjakan seperti ini. Sentuhan dan pelukan hangat Azkan juga bukan hal biasa baginya. Tapi anehnya, dia merasa nyaman di tengah segala sesuatu yang asing baginya.
“Sekarang, ayo kita ke ruang makan.” Azkan mengulurkan tangannya, menggandeng tangan Laina sambil berjalan bersamanya.
“Boleh aku bertanya?” Laina berusaha mengimbangi langkah Azkan yang lebar dengan kedua kakinya yang lebih pendek.
“Boleh.” Azkan memperkecil jangkauan langkahnya.
“Darimana aku mendapat gaun ini?” Laina memegang gaunnya yang terasa lembut.
“Aku yang memakaikannya untukmu semalam. Ketika sampai di sini, pakaianmu basah. Kau juga tidak sadarkan diri. Kalau aku tidak mengganti pakaianmu, sekarang kau pasti sedang demam tinggi.”
“APA?!”
Dengan senyum simpul yang terbentuk di wajahnya, Azkan menggandeng tangan Laina masuk ke dalam ruang makan yang terletak di ujung lorong kamar tidurnya.
“Tenang saja, aku tidak melakukan apa-apa padamu.” Azkan berbicara sambil terus berjalan, lalu sebelum mengucapkan kalimat selanjutnya, Azkan menoleh ke sisinya, menatap Laina yang wajahnya masih dipenuhi keterkejutan, “Aku hanya mengganti pakaianmu yang basah dengan pakaian baru. Hanya itu.”
“Bagaimana aku bisa percaya padamu? Aku tidak mengingat apa pun. Aku juga tidak tahu bagaimana aku bisa datang ke tempat ini. Aku …” kalimat Laina terhenti karena Azkan tiba-tiba menghentikan langkahnya, lalu berbalik tanpa melepaskan gandengan tangannya. “Kenapa?” Laina merasa semakin berani untuk mengatakan langsung isi pikirannya pada Azkan. Meski baru bertemu beberapa menit yang lalu, Laina merasa kalau dia bisa bicara dengan bebas pada Azkan. Benar kan?
“Aku akan menjawab semua pertanyaanmu sambil sarapan. Ayo, silahkan masuk.” Azkan membuka pintu ruang makan di sisinya dengan tangannya yang lain, lalu menuntun Laina masuk bersamanya.
Laina disambut oleh sebuah ruangan besar lainnya setelah kamar Azkan tempatnya bangun pagi ini. Kali ini, ruangan yang dia masuki didesain menggunakan warna putih dan biru laut yang menenangkan. Tidak banyak perabotan di dalam ruangan ini. Di tengah ruangan, terdapat satu meja makan berbentuk persegi panjang dengan delapan kursi di mengelilinginya. Satu sisi dinding di seberang pintu masuk, diubah menjadi jendela kaca seluruhnya, sehingga Laina bisa melihat pemandangan menakjubkan di luar kastil dari dalam sini. Ada sebuah taman yang begitu indah dengan beragam bunga yang sedang bermekaran di balik jendela kaca itu. Lalu, jika mengarahkan pandangan lebih jauh, Laina bisa melihat hamparan laut luas yang begitu tenang, tanpa ombak. Garis pantainya, dilukis dengan pantai lembut berwarna cokelat muda yang menggodanya untuk menginjakkan kaki kedalam kelembutannya.
Sedangkan di sisi lain dinding, terdapat sebuah kitchen set dengan desain minimalis tapi dipenuhi oleh semua peralatan memasak yang dibutuhkan. Di samping kitchen set berwarna biru laut tersebut, berdiri sebuah kulkas empat pintu berwarna abu-abu lembut. Kemudian, ada sebuah pintu lagi di dalam ruang makan itu, yang ternyata terhubung dengan dapur besar tempat para pelayan Azkan bekerja mengolah seluruh bahan makanan untuk kastil. Dari balik pintu itulah, dua orang pelayan berseragam hitam, membawa nampan berisi makanan ke meja makan, di bawah arahan Armana, sang kepala pelayan.
“Laina, perkenalkan, ini adalah Armana. Dia adalah kepala pelayanku di kastil ini. Segala urusan kastil, adalah tanggung jawab Armana. Dia yang mengatur semua pelayan agar segala sesuatu di dalam kastil berjalan dengan lancar.”
Armana, yang ditunjuk oleh Azkan, menundukkan kepalanya sambil mengucapkan salam kepada Laina. “Selamat pagi, Armana, aku Laina.” Jujur saja, mendapat sikap penghormatan dari orang yang jauh lebih tua darinya, membuat Laina merasa tak nyaman. Namun kehadiran Azkan di sisinya, membuatnya merasa tak bisa mengatakan pada Armana agar bersikap biasa saja padanya.
“Mulai hari ini, Armana yang akan melayanimu secara langsung. Katakan padanya jika kau membutuhkan apa pun. Armana adalah orang yang sangat pintar. Aku yakin dia bisa membantumu dalam berbagai macam hal.” Azkan terus berbicara, tak menyadari kecanggungan Laina dengan perlakuan yang dia terima.
“Terima kasih, tapi aku tidak mau merepotkan orang lain. Aku bisa mengurus diriku sendiri.” Akhirnya Laina mengatakannya. Armana yang selalu lebih peka dibanding orang lain, bisa melihat sebuah senyuman canggung di wajah Laina dan dia pun tersenyum maklum.
“Tentu saja, Nona Laina. Anda bisa melakukan apa pun yang anda inginkan di sini. Namun, jika suatu saat anda membutuhkan bantuan saya, silahkan memanggil saya. Tidak perlu sungkan.” senyuman Armana berhasil membuat Laina merasa lebih tenang. Setidaknya, sekarang, ada satu orang yang bisa memahaminya.
“Nah, sekarang, ayo makan.” Azkan akhirnya melepaskan gandengannya, dan menarik sebuah kursi untuk Laina.
“Terima kasih,” ucap Laina sebelum duduk di kursi yang disiapkan Azkan.
“Apa kau punya alergi terhadap makanan tertentu?” Laina menggelengkan kepalanya sebagai jawaban. Sedangkan kedua matanya sibuk memindai makanan yang disajikan di hadapannya. Ada pancake hangat bertumpuk di piring besar dan berbagai macam pilihan toping yang bisa dia pilih. Selain itu, ada roti tawar, sosis, telur mata sapi, dan semangkuk salad sayuran yang begitu segar. Untuk pilihan minuman, ada kopi, teh, susu dan jus jeruk berwarna orange pekat yang menunjukkan betapa murninya jus itu.
“Silahkan makan makanan yang kau suka. Atau kalau kau ingin makanan yang lain, katakan saja. Pelayan akan langsung menyiapkannya.”
“Tidak, tidak. Aku bisa makan apa yang ada di meja. Bahkan ini terlalu banyak.” Laina tak menyangka kalau dia begitu lapar hingga melihat makanan di hadapannya.
“Kalau begitu, silahkan makan. Ambillah sebanyak yang kau mau. Kau harus kenyang untuk punya tenga mengelilingi pulau hari ini.” Azkan menunggu Laina mengambil makanan lebih dulu dengan tatapan bersemangat.
“Mengelilingi pulau?” Laina mengambil satu pancake, lalu menyiramnya dengan sirup.
“Iya. Aku akan membawamu berkeliling, memperkenalkanmu pada penduduk di sini dan para prajurit penjaga. Kau harus mengenal tempat ini dengan baik karena mulai sekarang, kau akan tinggal di sini bersama kami.” Azkan pun mengambil beberapa potong pancake dan menuang sirup di atasnya.
“Mau minum apa?” tawar Azkan yang tangannya sudah siap meraih minuman manapun yang akan disebutkan Laina.
“Hmm, aku mau teh.”
Azkan menuang teh hangat ke cangkir kosong Laina lalu menuangnya juga untuk dirinya sendiri.
“Jadi, seperti yang kau katakan tadi, sekarang ini, aku sudah mati?” Laina memulai pertanyaannya setelah menyuap sepotong pancake yang ternyata rasanya luar biasa enak. Dia sampai takut tak bisa berhenti memakannya.
“Iya. Di dunia luar, tempatmu hidup sebelumnya, kau sudah mati. Sekarang, adalah dunia di antara kehidupan dan kematian kekal. Tidak semua orang bisa yang sudah mati bisa datang ke sini. Hanya mereka yang terpilih. Tepatnya, hanya mereka, yang semasa hidup, jiwanya terluka terlalu dalam hingga mengakhiri hidup sendiri.”
“Hmmm, seperti yang kualami.” Laina meneguk teh hangat yang aromanya menyegarkan.
“Iya. Tapi kau berbeda, Laina.” Azkan meletakkan satu pancake lagi ke piring Laina yang hampir kosong. “Terima kasih,” ucap Laina sepenuh hati. Perutnya bersorak senang melihat tambahan pancake di piringnya.
“Laina, kau adalah Perempuan Pilihan ke-8.” jelas Azkan.
“Maksudnya?”
“Jadi, sejak Pulau Asa ini ada dan sejak aku ditugaskan Sang Dewa menjaga pulau ini serta seluruh penduduknya, Dewa membuat perjanjian denganku. Salah satunya adalah tentang kehadiran Perempuan Pilihan setiap masa seratus tahun. Perempuan Pilihan itu, adalah manusia pilihan Dewa, yang dianggap spesial, dengan kemampuan khusus untuk membantuku mengurus pulau ini. Bisa dibilang seperti pendamping hidupku? Atau partner kerja? Sepertinya sebutan partner kerja lebih tepat.”
“Jadi, sekarang, aku juga akan menjadi pendamping hidupmu?” Laina masih berusaha memahami konsep Perempuan Pilihan ini.
“Iya, sesuai aturan Sang Dewa, iya. Kau sekarang menjadi salah satu perempuan yang akan mendampingiku memimpin serta mengurus pulau.”
“Tapi aku tidak punya kemampuan untuk melakukan hal itu.”
“Tenang saja, kita akan mengetahuinya seiring berjalannya waktu nanti.”
“Lalu, apakah sebagai pendampingmu, aku harus menikah dneganmu?”
“Tidak. Aku tidak pernah mengikat Perempuan Pilihan menggunakan pernikahan denganku.”
“Kenapa?”
“Karena aku tidak mencintai mereka. Tapi aku menghargai kehadiran mereka. Aku menyayangi mereka sebagai anggota keluargaku.”
“Apa mereka tinggal di kastil ini?”
“Tidak.”
“Di mana mereka tinggal?”
“Aku membangun rumah untuk mereka di sekitar kastilku.”
“Jadi, aku juga akan memiliki rumah di dekat kastil?”
“Hmm, sepertinya tidak.”
“Kenapa?”
“Kau akan tinggal bersamaku di sini.” Azkan meletakkan sepotong sosis dengan saus berbumbu di piring Laina yang sudah kosong.
“Kenapa?” Laina tak ingat mengucapkan terima kasih untuk makanan yang ditambahkan ke piringnya. Dia lebih penasaran pada bagaimana hidupnya selama berada di sini.
“Karena aku menginginkannya.”
“Ha?”
“Aku juga tidak mengerti. Aku sendiri terkejut dengan keadaan kita sekarang ini.”
“Kalau kau bingung, lalu bagaimana denganku? Bukankah seharusnya kau menjelaskan semuanya dan membuatku mengerti?”
“Baiklah. Dengarkan aku baik-baik.” Laina mengangguk sambil menusuk sosis dengan garpu lalu melahapnya.
“Selama ini, Perempuan Pilihan yang datang, tidak membuatku tertarik. Aku menyambut kedatangan mereka, membiarkan mereka tinggal di kamar kosong di kastil ini sampai rumah mereka selesai dibangun. Lalu, mereka mendampingiku mengurus seluruh pulau sesuai kemampuan mereka masing-masing, seperti yang kujelaskan tadi. Seperti itulah yang terjadi selama ini. Sampai kau datang semalam, dengan dibawa sepasang sayap malaikat. Saat melihatmu, aku merasa ada yang aneh dengan perasaanku. Aku tertarik padamu, aku penasaran dengan dirimu, aku ingin tahu lebih banyak hal tentangmu dan aku ingin kau berada sedekat mungkin denganku. Seperti sekarang ini, sarapan berdua denganmu, adalah hal yang tak pernah kulakukan dengan Perempuan Pilihan lainnya. Sebenarnya, tak pernah ada orang lain yang tidur di kamarku dan makan di ruang makan pribadiku seperti kau sekarang.”
“Kenapa?”
“Entahlah. Mungkin aku menyukaimu sejak pertama kali melihatmu terbaring tak sadarkan diri di halaman kastilku.” Azkan mendorong piring salad ke dekat Laina sehingga dia bisa mengambilnya dengan mudah.
Laina terpaku menatap Azkan.
“Kenapa?” tanya Azkan, menyadari Laina berhenti makan.
“Kau menyukaiku?” ulang Laina ragu.
“Iya. Aku yakin kalau aku menyukaimu sejak kali pertama melihatmu.” Azkan menyendokkan setumpuk salad sayur ke piring kosong Laina.
“Tapi katamu, kau tidak pernah menyukai Perempuan Pilihan yang dikirim Dewa untukmu.”
“Iya. Makanya kukatakan kalau kau berbeda dari mereka semua. Nanti, kau akan bertemu dengan mereka semua dan akan bekerja sama dengan mereka. Kau akan melihat langsung, kalau kata-kataku benar. Aku memperlakukan mereka sebagai anggota keluargaku, bukan pasanganku.”
“Kau mau menjadikanku pasanganmu?” hati Laina berdebar. Wajahnya memerah. Nafsu makannya hilang.
“Apa kau tidak suka padaku?” Azkan memiringkan kepalanya menatap Laina lekat-lekat.
“Bukan, bukan itu maksudku. Aku …” Laina terbata, tak bisa melanjutkan kalimatnya.
“Tenanglah, aku tidak akan memaksamu. Aku tidak akan melakukan apa pun yang tidak kau sukai. Aku akan menghargai keinginan dan keputusanmu. Tapi untuk tempatmu tinggal, kau akan tinggal di sini, bersamaku. Kau tidak bisa menolak hal itu. Untuk hal lainnya, kita bisa mendiskusikannya.” senyuman Azkan membuat Laina tak bisa protes.
“Tunggu, tolong jelaskan dulu mengenai kedatanganku ke sini. Apa Perempuan Pilihan memang diantar oleh sayap malaikat?”
Azkan menggeleng tegas. “Hanya kau.”
“Bagaimana perempuan lainnya datang ke sini?”
“Perempuan pertama diantar ombak di tengah badai, perempuan kedua dibawa paus hitam besar yang sekarang kupelihara di laut itu,” Azkan menunjuk hamparan laut di balik dinding kaca ruang makan. “Perempuan ketiga mengapung di atas batang pohon yang sangat besar, perempuan keempat diantar pusaran badai, perempuan kelima digendong beruang besar entah dari mana, peremppuan keenam dengan kapal kayu yang hampir hancur ketika sampai di pantai, dan perempuan ketujuh, dibawa oleh seekor elang raksasa.”
“Wah …” Laina melongo mendengar cerita Azkan. Bukankah ini seperti cerita dongeng untuk anak-anak?
“Kau pasti tidak bisa langsung menerima semua hal yang kuceritakan. Tapi, memang itulah kenyataannya. Nantinya, kau juga akan bisa menerima kalau segala hal yang terjadi di pulau ini, adalah kenyataan.”
“Lalu, bagaimana dengan penduduk pulau ini?”
“Mereka biasanya datang ke pulau ini dalam keadaan tak sadarkan diri setelah digiring ombak ke pinggir pantai di sekeliling pulau. Penduduk atau prajurit yang menemukan mereka, akan langsung membawa mereka ke rumah sakit dan merawat mereka hingga kondisi mereka cukup baik untuk memulai kehidupan baru di pulau ini. Kemudian, setelah luka jiwa mereka disembuhkan, mereka akan diberi pilihan untuk tetap tinggal sebagai penduduk pulau atau memulai kehidupan baru di dunia luar, dengan kesempatan hidup yang jauh lebih baik. Yang pasti, mereka tidak akan mengalami hal buruk yang bisa membuat mereka memutuskan mengakhiri hidup mereka lagi.”
“Bagaimana denganku?”
“Sebagai Perempuan Pilihan, kau juga memiliki hak yang sama. Tapi, sampai saat ini, belum ada Perempuan Pilihan yang ingin memulai hidup baru di dunia luar.”
“Kapan aku bisa memilih?”
“Kalau jiwamu sudah sembuh.”
“Apa aku akan ingat tentang kehidupanku di sini setelah memulai hidup baru?”
“Tentu saja tidak.”
“Lalu kenapa aku tidak boleh memilih sekarang? Toh, aku akan lupa dengan semuanya kan? Termasuk alasan aku mati kan?”
“Iya, kau akan lupa semuanya. Tidak ada kenangan dari kehidupan sebelumnya yang akan kau ingat. Tapi, jiwa yang terluka dan belum sembuh, tidak akan sanggup menjalani kehidupan yang baru. Lukanya, akan tetap ada. Meski kau tidak mengingatnya.”
“...”
“Apa yang kau pikirkan?” Azkan menyandarkan punggungnya sambil bersedekap, berusaha memahami ekspresi wajah Laina yang berubah muram.
“Aku teringat alasanku ada di sini.”
Azkan beranjak dari tempat duduknya. Hanya butuh beberapa langkah baginya untuk sampai di sisi Laina, lalu dengan tangannya yang terbiasa berlatih fisik setiap hari, dia membelai lembut kepala Laina. “Tidak apa-apa. Semua sudah berakhir. Ingatanmu, adalah masa lalumu. Selama tinggal di sini, kau akan pulih perlahan. Kau hanya perlu mengijinkan dirimu sendiri, untuk memulai lagi.”
“Lagipula,” Azkan membelai wajah Laina yang menengadah, menatapnya.
“Sekarang, kau memilikiku. Kau sudah mendengar pengakuanku kan? Kalau aku menyukaimu sejak pertama kali aku melihatmu? Aku berjanji akan mendampingimu selama kau berada di sini. Kau bisa mengandalkanku sepenuhnya, bersandar padaku, bergantung padaku, dan meminta apa pun padaku. Aku akan melakukan apa pun yang kubisa untukmu. Dan perlu kau tahu, aku bukanlah manusia biasa. Aku sudah hidup di sini selama delapan ratus tahun. Kemampuanku, tak bisa dibandingkan dengan pria biasa lainnya. Jadi, kau bisa merasa tenang bersamaku.”
Laina tersenyum, hatinya terasa hangat. Meski belum bisa menerima atau memahami seluruhnya, tapi dia mempercayai Azkan.
“Apa sekarang ini aku sedang menerima ajakan berkencan dari pria yang usianya tujuh ratus tujuh puluh lima tahun lebih tua dariku?” Laina tertawa kecil, merasa konyol dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri. Sedangkan Azkan, yang mendengarnya dengan serius, tertawa terbahak-bahak.
“Sudah kubilang kan, aku bukan pria biasa. Kau tidak akan bisa menemukan pria sepertiku dimanapun di dunia ini. Aku punya banyak sekali nilai tambah dibanding mereka. Kujamin, kau tidak akan pernah menyesal jika menerima ajakanku untuk berkencan. Bagaimana?” Azkan menundukkan tubuhnya yang tinggi besar, meraih tangan Laina dengan lembut, lalu mengecup punggung tangannya sambil menatap Laina yang wajahnya semakin merah.
“Aku tidak tahu. Aku tidak bisa memberimu jawaban sekarang. Aku baru saja mengenalmu. Beri aku waktu.”
“Tentu saja. Aku akan menghargai pendapatmu.” Azkan mengecup kening Laina dan teriakan kecil Laina langsung terdengar.
“Aku kan belum mengatakan iya, Azkan?!”
Azkan tersenyum lebar sambil berdiri tegak kembali. Menjulang begitu tinggi di sisi Laina yang sedang duduk dengan berdebar.
“Aku akan selalu menghargai pendapatmu, tapi aku juga akan melakukan segala hal yang kuinginkan untuk menunjukkan perasaanku padamu.”
“Ha?” Laina merasa ada maksud lain dari kata-kata Azkan padanya. Dia pun beranjak dari tempat duduknya, berusaha menyamakan posisinya dengan Azkan yang ternyata sia-sia. Meski sudah berdiri tegak, tingginya hanya mencapai pundak Azkan. Dia tetap harus mendongakkan kepala untuk menatap wajah Azkan secara langsung.
“Jadi kau akan menciumku walaupun aku belum mengatakan iya untuk berkencan denganmu?”
“Aku juga akan memelukmu,” jawab Azkan sambil melingkarkan tangannnya di pinggang Laina. Tubuh Laina langsung tenggelam dalam pelukannya.
“Azkan!” Laina ingin marah, tapi hatinya bersorak senang.
“Az. Panggil aku Az. Semua orang di pulau ini, memanggilku Azkan.”
“Lalu kenapa aku harus memanggilmu Az?”
“Karena kau spesial.” Azkan menelusuri rambut panjang Laina dengan jemarinya.
“Aku suka rambutmu. Kau sangat cantik, Laina.” Bagaimana mungkin kau tidak pernah menyukai perempuan lain selama delapan ratus tahun? Kau bisa bersikap seperti ini padaku dengan sangat alami. Kau seperti sudah terbiasa melakukannya. Sedangkan aku sekarang berdebar dan hampir kehilangan akal sehatku. Rasanya mulutku ingin sekali mengatakan iya pada ajakan kencamu. Tapi aku harus menahan diri kan?
“Apa lagi yang kau pikirkan, Lai?” telunjuk Azkan menyentil lembut kening Laina.
“Lai?” ulang Laina dengan tuntutan sebuah penjelasan.
“Aku ingin memanggilmu Lai. Hanya aku yang boleh. Orang lain harus memanggilmu Laina.”
“Apa kau terobsesi pada nama panggilan”
“Tidak pernah sebelumnya. Hanya denganmu.”
“Dasar playboy.”
“Hei!”
“Apa?”
Keduanya saling tatap sambil terus berbalas ucapan.
“Kau memang playboy kan, Az?”
“Tidak.”
“Kau sudah sering melakukan hal ini kan? Menggoda perempuan dengan kata-kata dan sikapmu.”
“Tidak.”
“Bohong.”
“Aku tidak pernah berbohong. Aku tidak bisa berbohong.”
“Tidak mungkin.”
“Dewa membuatku tidak bisa berkata bohong. Sejak ada di sini, yang keluar dari mulutku, adalah kebenaran.”
“Benarkah?”
“Iya.”
“Jadi, aku benar-benar perempuan pertama yang kau sukai?”
“Iya.”
“Selama delapan ratus tahun?”
“Iya.”
“Bagaimana dengan sebelum kau ada di sini?”
“Ada. Satu orang. Tapi berakhir tragis.”
“...”
“Kenapa diam?”
“Maaf, aku tidak bermaksud membuka luka lamamu.”
“Aku sudah tidak terluka.”
“...”
“Apa kau mau mandi bersamaku?”
“Ha?!”
“Hahahahaha!!!”
“AZKAN!!!”
“Kau memukulku?”
“Awalnya. Tapi ternyata tubuhmu terlalu kuat untuk merasa sakit karena pukulanku. Malah tanganku yang sakit.”
“Dasar,” Azkan memeluk Laina erat-erat, menenggelamkan wajahnya ke leher Laina, menghirup aroma tubuhnya tanpa bisa merasa puas.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!