Di bawah sinar matahari yang menyengat, kota mati itu terhampar dengan kesan menyeramkan. Bangunan-bangunan yang sebelumnya menjulang tinggi, sekarang berubah menjadi puing-puing reruntuhan. Jalanan yang dulunya ramai kini sunyi senyap, hanya diisi oleh debu dan reruntuhan yang tersebar dimana-mana. Tapi bukan berarti tidak ada orang di sana, ada seorang gadis yang dalam posisi duduk dan seorang laki-laki yang pingsan di hadapannya.
Gadis itu mencoba menyentuh rambut laki-laki itu. “Kamu tidak gigit, kan?”
Tidak ada reaksi, laki-laki itu tetap tidak sadarkan diri. Liana mencoba semakin berani, kini dia mengelus kepala laki-laki itu dengan lembut dan hasilnya sama saja, tidak ada tanda-tanda laki-laki di depannya itu akan bangun.
“Apa benar kamu adalah monster itu?” Liana bergumam kepada dirinya sendiri, “Melihatmu seperti ini membuatku tidak bisa membayangkannya.”
Liana kini menusuk-nusukkan jari telunjuknya pada pipi laki-laki itu, “Hey, ayo bangun.”
Mata laki-laki itu tiba-tiba terbuka membuat iris mata hitamnya terlihat tajam. Hal itu membuat Liana terkejut dan dengan refleks memundurkan tangannya. Mulut laki-laki itu yang tadinya tertutup rapat kini mulai terbuka.
“A...pa yang baru sa...ja kamu la....ku..kan?” Laki-laki itu akhirnya bisa mengeluarkan suara meskipun dengan terbata-bata.
Tubuh yang sebelumnya kaku tanpa tahu penyebabnya, kini dia berusaha lebih keras untuk menggerakkannya. Dan akhirnya berhasil. Pemuda itu melompat mundur untuk sedikit menjauh dari gadis itu.
Pemuda itu menatap gadis di depannya dan merasa pernah melihatnya. Wajahnya yang cantik dengan senyuman tulus yang mengembang hangat. Rambut hitam panjangnya berkibar lembut karena angin. Matanya, berkilauan seperti permata, mengisyaratkan kepolosan dan kegembiraan. Meskipun pakaian gadis itu sedikit kotor, itu tidak menghilangkan kecantikan dari dirinya.
“Lian? tidak.. dia hanya mirip saja.” Sekilas laki-laki itu merasa bahwa gadis di depannya itu adalah adiknya, perasaan senang kemudian berganti dengan kesedihan, dia harus menerima kenyataan bahwa adiknya telah mati di depan matanya karena tidak bisa melindunginya.
“Siapa kamu? Apa yang kamu lakukan di sini?” laki-laki itu menjadi penasaran dengan orang di depannya. Kata-katanya sekarang sudah tidak terbata-bata.
“Ehm bukankah kamu seharusnya memperkenalkan dirimu terlebih dahulu sebelum menanyakan nama orang lain...eee..kak?” Liana bingung harus memanggil laki-laki itu dengan sebutan apa karena dia terlihat lebih tua dari dirinya maka sebutan kakak adalah panggilan yang tepat, dan juga gadis itu telah melupakan tentang monster yang mungkin merupakan orang di depannya itu.
Panggilan “kak” membuat laki-laki itu semakin teringat dengan adiknya. “Sial, kenapa mereka bisa begitu mirip." Tangan laki-laki itu mengepal sampai bergetar kemudian dia membuang nafas pelan untuk menenangkan diri.
“Aku Araka Valtor, Seorang Pemburu monster. Aku bertarung menggunakan pedang ini.” Araka menunjukkan pedang yang terikat di punggungnya. “Setiap malam aku memburu mereka dan....” Kata-kata pemuda itu berhenti, dia tidak ingat apa yang terjadi sebelumnya.
Araka bingung, Apa yang terjadi sebelumnya, pemuda itu tidak ingat apa-apa. “Bukankah aku berada di depan pabrik waktu hujan turun.” Katanya di dalam hati.
Araka melihat sekeliling, pabrik tempat dia berlindung tidak ada. Tempat ini berbeda, banyak puing-puing berserakan dan beberapa bangunan yang masih berdiri meskipun sudah rusak, tapi tidak ada bangunan yang Araka cari. Liana yang melihat laki-laki itu kebingungan membuka mulutnya.
“Ada apa kak? Kakak mencari sesuatu?” Liana bertanya, penasaran dan memiringkan kepalanya.
Araka tidak menjawab pertanyaan itu, dia memegangi kepalanya dan berusaha mengingat kejadian sebelumnya. Malam hari waktu hujan, tubuhnya tiba-tiba terbang bersamaan dengan petir yang menyambar dan pemuda itu tidak ingat kejadian selanjutnya.
“Apakah aku sudah mati?” Araka dengan spontan menanyakan itu kepada gadis di depannya.
“Kak, sini deh,” ucap Liana dengan senyuman.
Araka yang masih bingung kini mulai mendekati gadis itu, saat jarak mereka sudah cukup dekat, Liana menempelkan kedua tangannya di wajah pemuda itu. Araka terkejut sedangkan gadis di depannya cuma mengembangkan senyuman manis di wajahnya.
“Kakak ini bicara apa sih? jika kakak sudah mati, mana mungkin aku bisa menyentuh wajah kakak seperti ini,” kata Liana sambil terkekeh pelan.
Araka yang terkejut langsung mundur beberapa langkah. Pemuda itu menyembunyikan wajahnya dibalik jubah gelapnya. Melihat senyuman gadis di depannya yang sangat mirip dengan adiknya membuat laki-laki itu sedih, dan ada perasaan aneh yang muncul dalam hatinya yang belum pernah dia rasakan.
“Bahkan senyumannya benar-benar mirip,” Gumamnya pelan.
“Nama...” kata Araka dengan pelan.
“Hm,” Liana memiringkan kepalanya karena mendengar perkataan pemuda di depannya, saking pelannya, gadis itu tidak mendengar dengan jelas.
“Aku sudah memperkenalkan diri, sekarang giliranmu,” ucap Araka dengan sedikit lebih keras daripada sebelumnya.
“Oh, maaf-maaf, suara kakak terlalu kecil tadi,” ucap Liana dengan tersenyum kemudian dia melanjutkan, “Namaku Liana Grace, hanya gadis biasa. Sebelumnya aku tinggal di bawah minimarket sebagai tempat berlindung tapi.....” ucapan gadis itu terhenti dan melirik kakinya yang terbalut oleh cairan hitam.
Wajah Liana yang tadinya tersenyum berubah dan tatapan matanya menjadi sedih. Araka mengikuti arah tatapan mata dari gadis di depannya dan saat melihat kakinya terbalut oleh cairan hitam, Araka mengerti. Gadis itu diusir oleh orang-orang di sana karena cairan yang melekat di kakinya. Araka berjongkok melihat kaki gadis itu, dan dia mengetahui bahwa tidak akan ada masalah yang terjadi.
“Apakah kamu bisa menggerakkan kakimu?” tanya Araka.
Liana menggeleng sebagai jawaban.
“Tenang saja, hal buruk yang kamu pikirkan tidak akan terjadi.” Kata Araka meyakinkan gadis itu.
“Bagaimana kakak bisa yakin?” Tanya liana dengan penasaran.
“Firasat,” Araka menjawab singkat, dia tidak tahu bagaimana menjelaskannya tapi laki-laki itu yakin dengan intuisinya karena gadis itu tidak berubah meskipun sudah terbalut oleh cairan meteor.
Liana juga tidak mengerti tapi dia berusaha berpikir positif. Kenapa Araka bisa seyakin itu? apakah karena dia pemburu monster atau karena dia monster? Untuk sekarang Liana mengesampingkan tentang hal itu, dan gadis itu tidak ingin membahas sesuatu yang berhubungan dengan monster.
‘Kruk kruk’
Di bawah terik matahari, di kota yang sunyi, suara itu terdengar memecahkan percakapan antara dua orang di sana. Araka melihat Liana dengan tatapan menyelidik, sementara yang ditatap menyembunyikan wajahnya dibalik tangan. Liana sangat malu karena suara perutnya yang menunjukkan bahwa dia lapar berbunyi dengan keras, sebenarnya bukan karena bunyinya yang keras melainkan tidak ada suara yang menyebabkan suaranya menjadi sangat terdengar. Rasanya Liana ingin menghilang, jika seandainya kakinya bisa digerakkan pasti dia sudah lari.
“Mau ikut?” Araka mengulurkan tangannya kepada Liana.
“Eh, Tidak kak, nanti merepotkan.” Liana sedikit terkejut, dia berusaha menolaknya. Gadis itu takut jika Araka membawanya, itu akan menyebabkan masalah untuk Araka. Dan juga mereka baru bertemu, bagaimana jika pemuda di depannya malah membawanya ke sarang monster? Itu membuat Liana memikirkan banyak hal negatif.
“Bukankah kamu lapar? Bagaimana kamu mencari makanan jika kakimu tidak bisa berjalan?” Araka menghela nafas kecil, dia tidak menyangka gadis di depannya akan menolak tawarannya.
“Akan ku pikirkan nanti, aku bisa mengurus masalahku sendiri.” Liana sebenarnya belum tahu bagaimana cara dia mendapatkan makanan dengan kondisinya yang seperti ini, tapi gadis itu juga tidak bisa langsung mempercayai orang di depannya.
“Iya iya.” Araka Berjongkok membelakangi perempuan itu, laki-laki itu mengisyaratkan agar Liana naik ke punggungnya.
“Apa kak?” Liana bingung dengan tindakan yang Araka lakukan.
“Sudah jangan banyak protes. Aku tidak menerima penolakan.” Araka dengan paksa menggendong Liana di punggungnya, gadis itu hanya diam sekarang.
“Kakak mau membawaku ke mana?” tanya Liana dengan pelan, dia sudah tidak bisa menolak lagi.
“Tempat berlindung, aku punya banyak makanan di sana,” jawab Araka.
Araka mengetahui tempat ini, jika tadi Liana bilang bahwa dia berlindung di bawah Minimarket, maka pabrik tua itu pasti terletak sekitar 3 KM ke arah timur, Jadi Araka sekarang berjalan ke arah timur bersama dengan seorang gadis yang ia temui. 4 tahun dia sendirian dan pada hari ini, dia bisa bertemu dengan seseorang. Araka tidak tahu apa yang akan terjadi besok, tapi dia telah berjanji bahwa akan tetap berusaha untuk hidup.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments