Araka membanting kaleng besi tempat penyimpanan makanan tadi ke sembarang arah. Langit sudah berubah menjadi gelap, sang mentari telah digantikan oleh rembulan yang menjadi sumber cahaya di tanah gelap itu. Mengambil sebilah pedang yang tergeletak di sampingnya dan menunjukkan bilah pedangnya yang indah. Sebuah pedang hitam dengan garis biru di tengah, bermandikan cahaya rembulan membuat pedang itu seperti bersinar. Araka menunggu sesuatu yang akan muncul dari balik kegelapan.
Araka berjalan menuju sebuah kotak besi besar yang ia gunakan sebagai tempat penyimpanan cansed, pemuda itu mengambil tiga cansed dan menyimpannya di balik jubah tanpa menyadari ada cansed yang berbeda dari yang lainnya. Dia pikir mungkin pertarungan ini akan panjang, jadi Araka harus menyiapkan persediaannya untuk bertarung.
Suara makhluk itu mulai terdengar. Araka membalikkan tubuhnya dan melihat mereka dengan tatapan tajam. Ada sekitar dua puluh monster di sana, mereka mengamati Araka dan melihat sekeliling, tidak langsung menyerang ataupun menerkam, hanya bersuara seperti desisan ular. Bentuk mereka seperti monyet tapi dua kali lebih besar, kulitnya gelap dengan garis-garis hijau di tubuhnya. Kepalanya terlihat pipih tanpa mata, tanpa telinga dan tanpa hidung, yang mereka punya hanyalah mulut dengan taring tajam yang meneteskan air liur. Tapi Araka tidak gentar, dia menunjuk sekumpulan monster itu dengan pedangnya. “Maju sini, Brengsek!”
Pabrik kosong yang tadinya sepi kini dipenuhi dengan suara bising dari monster. Ada yang berlari, ada yang menaiki tiang di dalam pabrik dan ada juga yang menggunakan kaki mereka untuk melompat, tujuan mereka cuma satu, yaitu memakan daging manusia di depan mereka.
Araka juga berlari ke arah monster yang menyerbunya, tidak ada ketakutan di dalam hatinya, yang ada adalah kebencian yang terpancar jelas dari mata pemuda itu.
Pedangnya meluncur dengan keras dan ‘whossh’ memotong tubuh beberapa monster yang ada di jalannya. Tidak hanya sampai di sana, Araka melakukan beberapa tebasan lagi kepada para monster meteor yang mencoba menerjang ke arahnya. Tidak ada yang selamat, tubuh para monster terpotong menjadi beberapa bagian dan jatuh ketanah, tapi bukan darah yang keluar atau daging yang telah terpotong, melainkan bentuk mereka berubah menjadi cairan hitam yang kental dan kemudian menghilang, meninggalkan bekas di lantai pabrik tua ini.
Salah satu monster berbentuk monyet yang menaiki tiang melompat ke arah Araka dengan mulut terbuka, ‘sing’ tebasan vertikal sukses memotong monster itu menjadi dua bagian dan bentuk monster itu kembali menjadi cairan hitam. Sinar rembulan yang menyinari pedang itu membuat tebasan tadi terlihat seperti bulan sabit biru yang indah, tapi bagi monster meteor di atas sana, pedang itu adalah senjata yang ditakdirkan untuk membunuh mereka dan manusia yang memegangnya seperti dewa kematian yang siap untuk mencabut nyawa para monster meteor.
Tangan Araka bergetar, kenapa adiknya bisa mati karena monster lemah seperti mereka. Ini membuat Araka kesal.
“Ayo, kita selesaikan ini dengan cepat,” Araka menunjuk ke arah monster yang tersisa, matanya menatap tajam membuat para monster itu sedikit takut.
“Kseeehhs”
Ada tujuh monster yang tersisa, mereka melompat ke arah Araka dan mengepung pemuda itu dari segala arah. Araka mengambil nafas pelan dan mengangkat pedangnya ke arah atas. Jika seandainya waktu bergerak lambat maka gerakan yang Araka lakukan terlihat seperti melukis udara dengan menggunakan kuas biru, itu terlihat indah. Tapi itu bukan gerakan yang pelan melainkan sangat cepat. Saat monster itu turun, ajal mereka sudah tiba dan gerakan Araka terlihat seperti petir biru yang menyambar udara kosong di dalam pabrik, ketika potongan tubuh monster itu jatuh semuanya sudah berubah menjadi cairan hitam dan Araka menatap langit-langit pabrik dengan bermandikan cairan hitam itu seperti hujan.
Baju hitam pemuda itu sekarang basah oleh cairan hitam dan terasa berat, tapi Araka tidak perlu khawatir tentang hal itu, dia telah menciptakan sebuah alat yang dia tempel di bajunya sebagai alat pengisap cairan hitam, agar dia selalu bisa bertarung dengan monster meteor tanpa harus memikirkan pakaian yang kotor.
Udara dingin menusuk kulit, tanpa di sadari hujan mulai turun di luar sana. Araka berjalan ke arah pintu pabrik untuk melihat keadaan di luar. Sang rembulan sudah tidak terlihat di atas sana digantikan oleh awan hitam yang menurunkan air dari langit.
Araka berjalan perlahan dan berdiri di tengah hujan. Sekarang pakaiannya benar-benar basah dan butuh waktu lama untuk alat pengisap membersihkan dan mengeringkannya.
Flashback
“ Kakak, Hujan,” Teriak adik Araka yang bernama Lian.
Araka melihat butiran air yang turun dari langit lewat jendela, “Tidak, nanti ibu bisa marah,” anak laki-laki itu menggelengkan kepalanya.
“Ayolah, kakak,” Gadis kecil itu menggoyang-goyangkan tangan Araka dengan manja.
“Tidak.” Tegas Araka.
“Tapi kita sudah lama tidak bermain di luar waktu hujan.” Kata Lian sambil mengerucutkan bibirnya.
Araka tersenyum, melihat adiknya bersikap seperti itu terlihat lucu. Araka meletakkan tangannya di kepala adiknya dan mengelusnya dengan lembut.
“Ini akan menjadi masalah, tapi sebentar saja ya.” Kata Araka dengan tersenyum.
“Em” Lian mengangguk dengan semangat dan mengembangkan senyuman manis di bibirnya.
Meskipun awalnya Araka menolak ajakan adiknya untuk bermain saat hujan, tapi pada akhirnya dia tetap menerimanya dan alhasil keesokan harinya Lian sakit. Ibu Araka memarahi kedua anaknya terlebih Araka dan si kakak harus merawat adiknya yang sakit. Itu merupakan peristiwa yang menyenangkan dan sekaligus kenangan yang indah untuk diingat, namun disisi lain itu juga kenangan yang menyakitkan.
------------------------------
Araka tersenyum lebar mengingat kejadian itu dan sedetik kemudian air matanya jatuh, tapi hujan yang turun menutupi kesedihan anak laki-laki itu. dia sekarang sendirian, di kota mati ini pemuda itu merasakan kesepian tapi itu terbungkus oleh suara hujan.
Pemuda itu menatap langit malam, hujan membasahi tanah membuatnya becek, kegelapan malam tanpa cahaya rembulan membuat kota mati ini terlihat menakutkan.
Araka menyukai langit, apa pun warnanya dan apa pun yang turun darinya, pemuda itu menyukainya. Tapi ada satu hal yang dia benci yang turun dari langit, yaitu meteor. Karena benda langit itu kehidupannya berubah, karena benda itu dia kehilangan keluarganya dan karena benda itu juga dunia ini harus hancur, Araka menyukai langit tapi tidak dengan meteor yang jatuh.
Dalam gelap malam, hujan semakin deras seperti suara yang menenangkan membuat Araka terhanyut ke dalam pikirannya, suara gemuruh guntur menciptakan konser di langit malam. Pemuda itu tidak menyadari bahwa ada sesuatu yang berlari menabrak apa pun di jalannya.
Tanah yang anak laki-laki itu pijak seolah bergetar dan saat dia menolehkan kepalanya kepada sumber suara berisik itu, dalam sekejap tubuh Araka sudah berada di atas seolah sedang terbang, ada sesuatu yang menabrak dan melemparkannya ke atas, pedang dan beberapa cansed berhamburan di atas tubuh Araka. Pedang meteor, cansed dan Araka. ‘Ctar’ saat kedua benda dan satu manusia itu berada dalam satu garis lurus, petir menyambar ketiganya. Siapa yang tahu ternyata cansed itu berisi cairan meteor. Pedang Araka terbalut oleh cairan hitam dan kemudian menempel di punggung pemuda itu. Araka tidak sadarkan diri karena sambaran petir, dia jatuh ke bawah ke arah mulut besar yang menganga dan siap untuk memakannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments