Riana memarkir mobil kesayangannya, Mercedes C class warna silver, di dekat pos security. Ini akan memudahkan mencari mobilnya saat pulang nanti, setelah memenuhi undangan makan siang bersama di Restoran Rich Palace yang terletak di The Street Tower, sebuah office tower yang banyak dipergunakan untuk perkantoran, di bilangan Jakarta Selatan.
Rich Palace Resto terletak di lantai empat belas, dan untuk naik kesana dapat menggunakan lift khusus yang ada di sebelah kiri bagian resepsionis The Street Tower. Ada beberapa lift untuk menuju lantai lantai yang lain dari The Street Tower, tetapi Rich Palace Resto memiliki akses lift khusus yang hanya akan berhenti di lantai empat belas tempatnya berada.
Bagi Riana restoran itu terasa menyenangkan. Terutama karena pelayanannya yang sangat istimewa. Tentu saja! Karena semua pelayanan itu sudah dimasukkan ke dalam harga makanan dan minuman yang harus dibayar oleh setiap tamu yang bersantap disana.
Agak diluar dugaan Riana, pelayanan kali ini justru lebih istimewa lagi. Di depan lift khusus ke lantai empat belas, sudah ada penjaga memakai jas hitam mengangguk ramah ke arahnya.
"Selamat siang......"
Riana mengangguk pendek, melangkah masuk ke dalam lift disertai penjaga ber jas hitam tersebut. Lift tertutup dan meluncur ke atas. Kadang ia berpikir, apa perlunya penjaga itu mengantarnya ke atas. Toh lift ini hanya akan berhenti di lantai empat belas, tanpa berhenti di tingkat yang lain.
Tapi Riana tak begitu perduli. Ia bahkan tak sempat memikirkan hal hal yang begitu mengganggu pikirannya. Sebagai seorang eksekutif muda yang tengah naik daun, pikirannya melulu tentang bisnis.
Makan siang bersama ini merupakan salah satunya. Kalau bukan anak Pak Menteri yang mengundangnya, ia lebih suka mengurusi hal lainnya. Mungkin rapat, bisa juga meeting dengan kelompok lain, atau mengadakan negosiasi dengan kontraktor yang kini sedang mempersiapkan pembangunan jalan tol.
Sampai di lantai empat belas, pintu lift terbuka, penjaga itu mengantar dengan sikap yang sopan dan wajah yang ramah. Ia tetap berdiri disisinya ketika Riana mengisi buku tamu, yang segera disambut oleh penjaga lain yang tidak kalah ramah. Hanya karena undangan khusus yang mencuat dari tas VS yang terlihat jelas, tak ada yang menanyakan.
Ia tersenyum sambil menerima tanda bunga kecil. Lalu berjalan ke dalam resto.
Tak terlalu terlambat, pikirnya. Karena masih ada tamu lain yang antri untuk memenuhi undangan ini dan mengucapkan selamat ulang tahun kepada putri Pak Menteri - yang sumpah mati Riana lupa namanya.
Cuma yang membuat Riana kurang enak ialah, lelaki muda penjaga yang berjas hitam dengan dasi kupu kupu itu berjalan terlalu dekat dengannya. Waktu dia menoleh, pria itu masuk ke dalam toilet bertanda man. Kok tidak kembali kembali ke lantai dasar? Ah peduli amat! Bukan urusanku, pikirnya.
Hampir saja Riana merasa ada kekeliruan. Karena ia merasa lelaki berjas hitam yang mengawalnya dari bawah tadi juga ikut menerima bunga kecil sebagai tanda pengenal. Masa sih penjaga lift juga dapat tanda khusus seperti tamu yang lain?
Di ruang dalam, lampu lampu rekaman video menyala terang. Menyorot semua tamu yang tampak berseri seri. Di beberapa sudut yang berbeda tampak wartawan dan beberapa kru stasiun televisi yang meliput seluruh kegiatan. Riana tak merasa kikuk sedikitpun, walau ia datang sendirian.
Sebagai wanita karir yang sedang menanjak, hal seperti ini tak menjadi soal baginya. Ia sudah terbiasa datang sendiri bila menghadiri acara acara seperti ini. Waktu antri menyalami tuan rumah, Riana mendekati Jatmiko, yang lebih suka dipanggil Miko.
Miko dikenalnya sejak masih sama sama kuliah ekonomi di Bergman University Los Angeles. Bia ia mengambil jurusan Business Analyst, Miko lebih suka berjibaku di jurusan ekonomi makro. Kini lebih dikenal sebagai agen tunggal dari Bright Hope Tech, yang bulan lalu namanya muncul dalam Journal of Economic Review.
"You look great, Ria....."
"Thanks! Bagaimana, apakah kamu jadi masuk ke proyek pipa gas, Mik.....?"
"O, come on Ria, jangan bicara soal kerjaan. Kita sedang beriang ria sekarang ini. Tumben kamu datang berdua, Ria."
"Apa?"
Miko mengangkat alisnya.
Barangkali hanya alis itu saja yang bukan berasal dari barang impor. Seluruh pakaian dan asesoris yang dikenakan oleh Miko, mulai dari dasi sampai alas kaki, punya label impor yang sering diiklankan.
"Dulu katanya nggak mau pacaran, nggak mau menikah. Never.....never.....and never and never."
Memang dulu, waktu masih sama sama kuliah Riana pernah ngomong demikian. Mungkin maksudnya saat itu agar fokus pada kuliah aja. Tentu tidak, setelah ia lulus, setelah ia menjadi seorang eksekutif di beberapa perusahaan.
"Saya kan memperhatikan kamu sejak keluar dari lift, Ria." Miko menyambung ucapannya. Riana tersenyum masam.
"Gue masih nggak laku, Mik...! Makin lama permintaan cewek berusia dan punya karir makin sedikit di pasaran. Tolong carikan, Mik...."
"Yang tadi kamu bawa mau dikemanain? Kenapa tidak dikenalkan? Boleh juga dong kita kenalan? Takut jelous ya?"
Riana berumur dua puluh tujuh tahun. Cantik, tinggi, dengan penampilan yang boleh dikatakan hampir sempurna. Salah satu kekurangannya - dan cuma satu satunya - adalah menganggap sepi pembicaraan mengenai pacar, menikah, atau ledekan semacam itu.
Cuma kali ini wajahnya jadi berubah.
"Ini pelajaran pertama, Ria! Kalau ia pergi ke toilet, kau mesti tunggu. Rendah hati sedikit lah. Bagian dari sandiwara. Seperti tawar menawar tender, harus bisa sedikit mengalah untuk menang." Miko melanjutkan ceramahnya.
"Ngomong apa sih......"
Alis Miko terangkat lagi. Lalu ia berbalik.
Tak urung Riana menoleh. Bagai mendapat kabar bahwa proyeknya diterima ketika ia melihat seorang lelaki yang keluar dari pintu toilet. Rasanya ia kenal lelaki itu! Tapi dimana?
Wajahnya tenang, langkahnya pun mantap. Lelaki itu melangkah masuk ke dalam ruangan resto, seolah menerobos antrian, dengan senyum tipis menghiasai wajahnya. Senyum yang tak bisa dilupakan begitu saja oleh Riana.
"Sori, Ria. Saya kira dia cowok kamu." Miko nyeletuk melihat lelaki itu melangkah begitu saja dan hanya melewati Riana.
Riana berpikir, pantas saja Miko menduga lelaki itu pacarnya. Memang tadi mereka masuk bersama sama. Cuma tadi dia mengira bahwa lelaki itu adalah penjaga lift di lantai satu. Itulah sebabnya kenapa lelaki itu juga menerima bunga kecil sebagai tanda pengenal khusus. Memang dia bukan penjaga lift. Bahkan sekarang ada yang lain pada diri lelaki itu. Dia tidak lagi mengenakan dasi kupu kupu, jasnya juga tidak bewarna hitam. Lebih ke abu abu tua dan ada garis garisnya. Pantas ia juga tidak langsung mengenalinya saat lelaki itu baru keluar dari toilet
Riana tidak ambil peduli.
Di dalam restoran Rich Palace, para tamu yang hadir memenuhi undangan anak Pak Menteri cukup banyak. Hal yang sudah biasa bagi Riana. Selalu seperti ini bila pejabat atau keluarganya mengadakan acara. Ia maju, berjabat tangan, mencium pipi, bicara basa basi tapi agak panjang juga dengan Diandra yang berulang tahun, baru kemudian bersama dengan Jatmiko dan seorang temannya menuju salah satu meja untuk duduk.
"Ria, kenalkan ini Denny, temanku." Jatmiko memperkenalkan teman yang duduk disebelahnya kepada Riana.
"Denny Hariman." Lelaki di sebelah Miko berdiri dan mengulurkan tangan pada Riana yang mengambil tempat duduk di depan mereka.
"Riana." Gadis itu menyambut uluran tangan Denny.
"Denny ini merupakan Komisaris Utama Bright Hope Digital Holding Co. yang merupakan principal perusahaanku. Kalau perusahaanku kan hanya bergerak di bidang komputer, program, sistem otomasi dan yang sejenisnya, maka Holding kami juga menangani bisnis bisnis lain, bahkan seringkali juga menangani proyek proyek pemerintah. Nanti bagian otomasi dan sistem komputerisasinya menjadi bagian perusahaanku." Miko menjelaskan panjang lebar. Denny tidak berkomentar. Ia cuma memandang Riana dengan pandangan yang sulit diartikan.
Riana kurang suka dengan cara Denny memandanginya. Seolah ia barang yang sedang dinilai harganya. Apalagi pembicaraannya.
"Miko tidak pernah cerita punya teman seperti anda, saudari Riana....."
"Oh ya? Memang seharusnya tidak di cerita ceritakan. Karena tidak ada yang perlu diceritakan tentang saya." Gadis itu ogah ogahan menanggapi omongan Denny.
Ketika Riana mengeluarkan rokoknya, pelayan dan Denny seperti berebut menyalakan korek api untuknya. Hingga Riana tertawa dalam hati. Merasa geli.
Di restoran ini, mau duduk saja kursinya sudah disorongkan oleh pelayan. Bergerak sedikit saja pelayan khusus datang mendekati. Kok sekarang ini Denny pura pura bersikap gentleman.
"Anda sering kemari?" tanya Denny berusaha mencari bahan pembicaraan
"Kadang kadang, iya," sahut Riana
"Saya juga. Cuma rasanya di restoran Sakura, selain masakan jepangnya sangat enak, juga suasananya terasa lebih akrab. Terasa seperti betul betul makan di Tokyo. Saya belajar di sana selama tiga tahun dan rasanya cocok betul dengan restoran Sakura."
"Oh ya?"
"Benar. Anda suka masakan jepang, bukan?"
"Ya, sekali sekali."
"Anda harus mencobanya."
Riana tentu tahu kemana arah pembicaraan Denny. Mau mengajaknya makan bersama. Kenapa tidak mengajak Miko saja? Masa demikian cepat mengeluarkan undangan makan bersama? Kenal juga baru hari ini. Sialnya, Miko seperti tak mendengar pembicaraan keduanya. Ia asyik sendiri dengan ponselnya, sesekali pura pura baca menu. Atau memang sudah diatur sejak awal oleh keduanya?
"Kebetulan saya mengageni atau melakukan kerjasama dengan beberapa perusahaan dari Jepang. Sehingga bisa memesan tempat khusus sewaktu waktu. Bila anda berminat, saya akan kirimkan free card....."
"Sori. Saya lagi diet....." Riana makin tak berminat meladeni omongan Denny.
Denny malah tak menyadari. Atau tak tahu malu? Masih tetap maju.
"Jangan kuatir. Di sana ada menu non kalori dan rendah lemak. Ada juga menu khusus untuk vegetarian. Atau sekedar minum minum. Teh nya luar biasa enak. Tradisi minum teh di Jepang sudah mendarah daging. Iya kan, Mik? Jasmine tea saja ada sebelas macam, dan benar benar nikmat. Iya Mik?"
Sial! Benar benar sial tujuh turunan. Miko justru mengangguk mengiyakan.
"It is better you try......Ria...." katanya
Riana kesel banget terhadap temannya itu. Hati wanitanya paling merasa gondok sampai ke leher kalau ia sadar bahwa ia sengaja dijodoh jodohkan. Itu pantangan utama baginya. Dan seharusnya Miko, sebagai sahabatnya, mengetahui hal itu. Lha ini malah seolah mendorongnya agar ia menyambut ajakan Denny!
Ketika lagi seru serunya Riana bergelut dengan pikirannya yang ruwet akibat ajakan Denny yang menurutnya tak tahu malu, mendadak lelaki yang ditemui di lift dan berganti jas dan melepas dasi kupu kupu itu, menyeruak begitu saja. Langsung duduk di sampingnya.
Lelaki itu berbisik ke telinganya.
"Terima kasih ya? Karena bantuan saudari, saya bisa masuk ke tempat ini. Saya tidak punya undangan, dan mudah mudahan mereka tidak mengenali bahwa jas ini sengaja saya balik dan dasi kupu kupu ada di dalam saku saya. Saya ingin mencicipi makanan di resto ini yang katanya selangit. Terima kasih sekali lagi. Selamat makan."
Lelaki muda itu berdiri, tersenyum manis ke arah Riana. Lalu melihat Jatmiko dan Denny.
"Oh, maaf...... ini teman teman kamu?" Ia langsung mengulurkan tangannya dengan sopan.
"Miko." Jatmiko berdiri dan menyambut uluran tangannya
Lalu disusul,
"Denny! Denny Hariman."
Dan lelaki muda itu tersenyum lagi.
"Reyhan."
"Silakan duduk....." Denny berlagak sebagai tuan rumah.
Riana terperangah melihat adegan di depannya. Dia tidak tahu harus berkata apa. Tapi dia cukup berterima kasih kepada lelaki ini, yang telah menyelamatkannya dari desakan Miko.
Lelaki yang menamakan dirinya Reyhan ini kemudian duduk di samping Riana. Gayanya tenang sekali. Bahkan ia mengambil rokok Riana, dan pelayan yang bersiaga di sampingnya buru buru datang menyalakan api untuknya. Tapi Denny tidak!
"Terima kasih."
"Apakah sudah mau memesan minuman sekarang?" tanya pelayan malu malu tapi hormat.
Reyhan menoleh ke arah Riana, seakan menunggu perintah. Tentu saja Riana jadi kelabakan, bingung harus ngapain.
Miko dan Denny memperhatikan secara mencuri curi.
"Atau begini saja......" Reyhan menoleh ke arah pelayan setelah melihat Riana tidak berkata apa apa.
"Ada minuman pembuka apa.....? Tidak, saya dan Ana..... (dagunya bergerak ke arah Riana).... tidak minum minuman keras. Juice saja..... apa ya? Water melon.... ya semangka, cukuplah. Tolong campuri sampanye sedikit....sedikit saja, sekitar sepuluh persen..... Ya, dua! kalau tidak ada yang anggur, ya yang dry, saya kurang suka yang manis. Terima kasih..... Oh ya, Miko dan Denny mau pesan apa?"
Sekarang Riana benar benar pusing Gila benar si Reyhan ini. Kenal juga tidak, lihat juga baru sekelebat, sudah main akrab saja. Malah kini berbisik di telinga Riana, sengat dekat.
"Sori, kamu kalem aja. Itu puteri Pak Menteri sedang memperhatikan kita. Trims."
Lalu lelaki itu berbalik ke arah Miko dan Denny.
"Jadi, anda berdua mau mencoba white wine atau red wine? Silakan lho..... kami memang mengurangi minuman keras sedikit. Akan terlalu banyak kalau ditambah sore nanti."
"Kalau demikian, kita pesan yang sama."
Pelayan menulis dengan cepat dan bergegas pergi.
Tamu tamu yang lain sudah menempati kursinya masing masing. Riana berkeringat. Reyhan malah tenang.
"Kurang enak kalau kita membicarakan pesta, membicarakan anak Pak Menteri. Sama tidak enaknya kalau membicarakan hama wereng coklat atau kutu loncat. Tapi yang terakhir ini, di beberapa daerah telah menjadi masalah nasional yang bisa mengganggu kestabilan....." Reyhan nyerocos.
"Bung Reyhan berusaha di bidang pertanian....?" tanya Denny
"Tidak! Sama sekali tidak! Saya hanya lihat di media sosial. Kebetulan tadi jalanan macet, jadi saya sempat baca. Kalau bung Miko dan bung Denny?"
"Bright Hope........"
"O..... saya rasa perkembangannya cukup bagus ya?"
"Yah...lumayan!"
Reyhan berbisik ke arah Riana yang masih terbengong bengong.
"Eh, itu perusahaan apa sih? Tolong kalau menjawab berbisik saja. Saya malu didengar yang lain."
*Siapa Reyhan yang berani menelusup ke pesta pejabat ini? Bagaimana reaksi Riana? Mohon dukungannya terus ya guys *
Makan siang bersama di Rich Palace Resto berlangsung ramai. Makanan dan minuman mulai dihidangkan karena sudah tiba waktunya makan siang.
Riana balas berbisik kepada lelaki muda yang mengaku bernama Reyhan itu.
"Bagaimana kamu mengetahui nama saya dan memanggil nama saya dengan Ana?"
Reyhan ganti berbisik.
"Saya melihat kamu menuliskan namamu Riana di buku tamu. Jadi gampangnya saya panggil Ana." Reyhan sudah memakai kata 'kamu' karena Riana juga melakukan hal yang sama. Walaupun, kalau dilihat dari wajahnya, dia masih tampak lebih muda dari Riana.
Riana berpikir, pantas saja dia tetap berdiri di sebelahku tadi. Reyhan melanjutkan kalimatnya. Tetap berbisik.
"Jadi perusahaan apa Bright Hope itu? Perusahaan korek api? Toko komputer?"
Miko dan Denny melihat cara Reyhan dan Riana yang berbicara sambil berbisik bisik. Selintas, mereka tampak seperti pasangan yang romantis. Mesra.
Denny merasa ditantang. Ia memang terkenal sebagai perayu ulung. Dalam karir pacarannya, boleh dikata ia tak pernah gagal. Kalaupun ada perpisahan, itu terutama karena ia yang menghendaki. Biasanya karena sudah bosan atau melihat yang lebih bening. Tidak heran kalau di usianya yang sudah dua puluh tujuh tahun ia belum punya pasangan tetap. Ya karena sikap playboy nya!
Denny memang punya modal untuk menjadi playboy. Wajahnya ganteng. Tampang bintang film yang sedikit banyak menggambarkan kejantanan. Pakaian dan penampilannya di atas rata rata. Semuanya merk ternama. Ia juga punya perusahaan besar yang sudah berjalan baik, masa depannya cerah. Dan lebih dari semua itu, ia masih bujang dan pandai bicara.
Bila ada buku tentang psikologi playboy kelas atas, pasti ada bab yang menulis bahwa lelaki jenis ini paling pantang untuk disaingi. Apalagi dikalahkan! Makin ditantang, makin bersemangat untuk menyerang dan menghancurkan lawannya. Karena yang penting baginya bukanlah memperoleh hasil dan menikmati kemenangan, akan tetapi terutama sekali untuk mengalahkan saingan. Kepuasan akan diperolehnya bila melihat saingannya kalah dan tersingkir.
Berpuluh kali ia menyaksikan gadis gadis bertekuk lutut, menangis sesenggukan meminta belas cinta (bukan belas kasih ya). Berpuluh kali pula ia melihat pemuda pemuda yang mencintai gadis gadis tersebut cemburu dan keki padanya.
Denny menikmati setiap kemenangannya. Dan bangga terhadap dirinya sendiri.
Maka melihat kemesraan yang diciptakan oleh Reyhan dan Riana dengan bisikan demonstratif, ia merasa sangat ditantang. Belum pernah ada yang melakukan hal ini dihadapannya.
"Bung Reyhan dari perusahaan mana?"
"Perusahaan keluarga," jawab Reyhan sambil tersenyum.
"O ya?"
"Saya agak malu sebenarnya. Bukan hasil usaha sendiri. Tapi itulah kenyataannya."
"Dalam bidang apa? Mungkin suatu hari kita bisa kerja sama......" Denny mengejar. Reyhan tetap tersenyum.
"Saya membuat kaos......"
"Pabrik tekstil? Konveksi?"
"Bukan! Saya menyablon kaos dan membuat stiker......"
Miko yang sedari tadi tetap tenang, hanya sibuk dengan ponselnya, melongo
Riana juga tak bisa menyembunyikan keheranannya. Hanya menyablon kaos dan memproduksi stiker. Buat apa? Apa tidak salah dengar?
"Saya membuat berbagai kata dan tulisan pada kaos. Bisa disablon atau dibordir. Juga stiker. Ya, mirip mirip Joger di Bali. Tapi ini untuk kalangan menengah bawah. Stikernya juga dijajakan di pinggir pinggir jalan, tidak terlalu banyak volumenya. Ada yang tulisannya: Jelek jelek mobil ini sudah bayar pajak. Atau: Jangan ditabrak dulu, mobil ini belum lunas. Yang terbaru untuk dipasang di kamar belajar. Tulisannya unik: Kamar Yang Bersih Menunjukkan Pikiran Kotor. Cukup laku keras di kalangan pelajar dan mahasiswa. Kaos juga. Biasanya saya kerja sama. Beberapa ini cukup laris: Baju mahal otak murah, mending baju murah otak mahal atau Belajarlah antri. Jangan main serobot karena koneksi. Cuma akhir akhir ini agak luntur. Tinta sablonnya makin jelek karena dipakai untuk koneksi. Yang bordir tidak masalah."
Kalimat terakhir Reyhan menohok Riana. Tapi tidak berarti apa apa di telinga Komisaris Utama Bright Hope Digital Holding Co. yang bernama Denny. Kan yang diundang khusus untuk makan siang ini adalah pengusaha pengusaha kelas atas. Masa ada tukang sablon masuk kemari?
"Order besar biasanya kalau Panitia Pemilu atau partai memesan kaos untuk kampanye. Bisa juga beberapa perusahaan swasta untuk promosi saat pameran. Jadi bagaimana? Apakah bisa kerja sama Den?"
"Sori! Saya tidak menangani promosi kecil kecilan begitu. Siapa Mik, yang suka mengurusi promosi kecil begitu di perusahaan kita?" Denny menoleh pada temannya.
"Mana aku ingat namanya?" jawab Miko.
Riana merasa bahwa Denny sangat meremehkan Reyhan. Bahkan ada nada menghina. Tapi Reyhan tetap tenang. Dia tidak menunjukkan emosinya sama sekali.
"Sudah lama bekerja sama dengan Riana?"
"Cukuplah untuk bisa saling memahami dan mengerti," jawab Reyhan diplomatis. Padahal Riana sudah merasa kritis. Denny makin penasaran.
Miko melirik sambil tersenyum tipis. Manis tapi terasa menyakitkan.
"Ria tak pernah bercerita."
Riana bingung. Reyhan tersenyum. Benar benar sangat percaya diri!
"Ana pantas bila menjadi intel atau pengusaha yang bisa menyimpan rahasia. Barangkali itulah sebabnya kami bisa saling mengerti dan bekerja sama. Dunia bisnis, seperti halnya dunia politik, kita hanya banyak membicarakan hal hal yang sedikit."
Diandra, anak Pak Menteri berkeliling, dan tiba di meja mereka.
"Aduh.... terima kasih semuanya sudah pada mau datang."
Ke empat orang itu berdiri dan tersenyum kepada anak Pak Menteri.
"Saya sebenarnya tak menyukai pesta seperti ini. Tapi ini kemauan babe yang tidak bisa ditolak. Saya malu jadinya, Den..."
"Kamu anggun sekali, Diandra."
"Thanks....."
"Hampir saja aku dan Miko tak mengenalimu."
Diandra tersenyum riang. Bangga. Ya, siapa tidak bangga kalau ada playboy kelas atas, penakluk para gadis cantik, yang memuji penampilannya?
"Saya ingin menyampaikan sesuatu, tapi mungkin setelah ini. Takut mengganggu acaramu," kata Denny.
"Oh, no! You can not say like this, Den...."
"Saya tunggu setelah acara usai saja, Diandra."
"You mean it, Den......"
Diandra berbalik pada Riana, menyalami dan melihat kepada Reyhan.
"Terima kasih sekali, Ria.....! Kamu sudah meluangkan waktumu. Biasanya kamu selalu sibuk."
"Aku sudah janji mau datang ke pestamu. Aku terbiasa memegang janji, Diandra!"
"Ini.........." Riana hampir saja mengenalkan bahwa yang disebelahnya bernama Reyhan, ketika Reyhan menggenggam tangan Diandra.
"Menghilang kemana saja kamu, Max? Mama beberapa kali menanyakan kamu."
Reyhan, yang baru saja dipanggil Max, mengedipkan mata. Riana tambah bingung.
"Aku justru mencari cari sejak tadi dimana Tante?"
"Mama tidak bisa datang. Lagi menjalani operasi kecil. Semacam usus buntu. Kamu......." Wajahnya menoleh kepada Riana.
"Aku bekerja di perusahaan Ana. Sebagai sopirnya....."
Diandra tersenyum senyum.
"Max, selera humormu ini yang selalu dirindukan mama....."
Lalu Diandra menyalami yang lain. Acara berlanjut. Musik mengalun menyajikan lagu lagu slow.
Denny menggunakan kesempatan untuk berdiri, mendekati Diandra dan mulai mengobrol. Dia memang pandai berbicara.
Kasihan Miko! Hanya bisa menikmati asap rokoknya.
Riana menoleh pada Reyhan, berbicara perlahan sehingga Miko tidak bisa mendengarnya. Tapi tidak berbisik bisik seperti tadi. Matanya menatap tajam pada lelaki itu.
"Siapa kamu sebenarnya?'
-------------
Jangan lupa dukungannya ya guys........
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!