"Nama paman siapa?."
"Panggil saja Saga."
"Paman Saga, papa Lea sangat tampan, Paman. Sedangkan Paman jelek dan kotor," katanya dengan polos.
Saga tersenyum tipis dan menghela napas panjang. "Mungkin Paman memang jelek dan kotor, tapi apa kamu tidak takut padaku?," tanyanya dengan nada bercanda, mencoba mengabaikan rasa perih di hatinya.
Lea memandang Saga dengan kebingungan, tetapi kemudian tersenyum kembali. "Tapi Paman baik, Paman sudah tolong Lea."
Saga hanya mengangguk kemudian berkata, "Sebelum kembali ke orang tuamu, mari kita pergi mencari baju baru untukmu, Lea," ujar Saga mengubah topik.
"Beneran Paman? Asyyiik...."
Setelah bersiap dan sarapan, Saga membawa Lea pergi ke pasar tradisional untuk membeli baju. Lea berjalan dengan semangat dan senyum yang terus mengembang. Ia berjalan mengikuti Saga yang berada di depannya.
Pasar tradisional yang ramai dengan berbagai aktivitas membuat Lea merasa antusias, namun Saga tetap waspada. Di tengah keramaian, tanpa Saga sadari, beberapa preman mulai memperhatikan Lea dan saling memberi kode.
"Lihat tuh, anak kecil sama pria lusuh itu," bisik salah satu preman kepada rekannya, sambil menunjuk ke arah Lea.
"Bener juga. Gimana kalau kita ambil anak itu, pasti bisa menjualnya dengan harga tinggi," balas preman lain dengan mata licik.
Preman yang lain pun mendengar percakapan mereka, lalu ikut nimbrung, "Tapi kita harus hati-hati, si pria lusuh itu kelihatan tangguh. Jangan sampai dia curiga."
"Tenang saja, kita tunggu momen yang tepat. Sekarang, kita awasi mereka terus. Nanti kita buat rencana untuk ambil anak itu."
"Sepertinya mereka akan membeli pakaian."
"Bagus. Kita siap-siap di sekitar kios baju. Begitu anak itu terpisah, kita ambil dia cepat dan kabur."
"Oke, kita atur posisinya. Gue di sebelah utara kios, lo di selatan, dan lo berdua di pintu keluar pasar. Jangan sampai gagal."
Dengan niat jahat yang sudah mereka rencanakan, para preman itu mulai mengatur posisi mereka masing-masing di sekitar pasar. Sementara itu, Saga dan Lea terus berjalan, tanpa menyadari bahaya yang mengintai mereka.
Saga hanya fokus pada tujuan mereka untuk membeli baju, sementara Lea, dengan polosnya, tetap antusias melihat-lihat barang-barang yang dijual di pasar.
"Paman, lihat deh, baju ini bagus kan untuk Lea?," celetuk Lea sambil memegang sebuah baju berwarna cerah dengan hiasan bunga-bunga.
"Lumayan," jawab Saga singkat, namun matanya langsung melirik banderol harga baju itu yang ternyata cukup mahal. Tanpa berpikir panjang, Saga langsung mengajak Lea pergi ke tempat lain untuk mencari baju yang lebih terjangkau.
"Paman, kenapa gak jadi beli baju tadi?," tanya Lea polos, langkahnya berusaha menyesuaikan dengan langkah lebar Saga.
"Itu jelek, kita pilih yang lain," jawab Saga tegas.
Setelah beberapa saat mencari, mereka menemukan sebuah baju yang cukup bagus dan harganya pun terjangkau. Lea tampak senang, namun matanya tiba-tiba berbinar saat melihat tempat permainan anak di dekat pasar.
"Paman, Lea mau main di sana!," serunya sambil menarik lengan baju Saga.
Awalnya, Saga tampak enggan. "Tidak sekarang, Lea," jawabnya dengan nada tegas.
Namun, Lea terus merengek dan menarik perhatian banyak orang yang mulai menatap mereka dengan rasa ingin tahu dan curiga. Merasa tak ingin membuat keributan, akhirnya Saga pun mengalah. "Baiklah, tapi sebentar saja, dan kita bayar dulu bajunya," kata Saga menyerah.
Kini mereka menuju ke tempat permainan anak. Lea langsung berlari ke arah ayunan dan melompat dengan penuh semangat. Adapun Saga, ia berdiri di dekat pagar, mengamati sekitar.
Di sudut lain, para preman yang sebelumnya mengawasi mereka mulai bergerak mendekat. Dua preman saling memberi kode, mengatur posisi mereka di dekat pintu masuk tempat permainan.
"Sekarang waktunya. Anak itu sedang main, dan si pria lusuh itu kelihatan lengah," bisik salah satu preman sambil memandang ke arah Saga yang sedang tidak memperhatikan Lea.
"Gue siap, kita tunggu sinyal dari lo," jawab preman lain dengan serius.
Lea terus bermain, tertawa riang di atas ayunan. Sementara Saga merasa sedikit kesal dan menggerutu pada diri sendiri, kenapa dia jadi pengasuh saat ini, padahal ia tidak mengenal gadis kecil itu, bisa saja dia tinggalkan Lea begitu saja, tapi entah kenapa, hati kecilnya berkata lain.
Tiba-tiba, salah satu preman bergerak mendekat dan berusaha memanfaatkan momen saat Saga sedang tidak memperhatikan.
Tapi, sebuah suara anak kecil yang jatuh dari perosotan membuat Saga berbalik dan fokus lagi ke arah Lea dan mulai menyadari bahaya yang mengintai.
"Lea, jangan pergi terlalu jauh! Dan hati hati!," teriak Saga yang lalu mencoba mendekat lebih dekat ke arah Lea yang sedang berayun.
Sehingga, para preman pun saling memberi tanda untuk menunda aksi mereka. Karena menyadari bahwa Saga kembali waspada. Dengan naluri pelindungnya, Saga pun segera mengajak Lea keluar dari tempat permainan.
"Paman, kenapa? Lea masih mau main," rengek Lea lagi.
"Sudah cukup, kita harus pergi sekarang," jawab Saga seraya menggenggam tangan kecil Lea erat-erat dan berjalan cepat menjauh dari tempat permainan.
Ketika mereka hendak meninggalkan pasar menuju tempat parkir mobil truk Saga, tiba-tiba saja seorang pria berpakaian rapi dan berkulit bersih menghampiri mereka.
"Hai, Dek... Lagi ngapain di sini?," tanyanya ramah sambil menatap Lea.
Lea dan Saga saling bertukar pandang. Pria tadi kemudian melihat ke arah Saga. "Anda siapa? Kenapa dia bersama Anda?," tanyanya, membuat Saga semakin bingung.
"Dan Anda siapa?," tanya Saga balik.
"Aku teman papanya," jawabnya, lalu beralih menatap Lea. "Dek, di mana papa dan mama kamu?," tanyanya.
Lea menatap heran sekaligus bingung pada pria tersebut lalu menjawab, "Lea sedang cari mama dan papa. Paman siapa?."
Tanpa menjawab lagi, pria tadi langsung menarik Lea ke arahnya dan menatap Saga dengan tatapan curiga. "Siapa kamu? Kenapa dia ada bersamamu? Di mana orang tuanya?," tanyanya dengan nada tinggi.
Saga mengerutkan keningnya dan mencoba memberikan penjelasan. "Aku menemukannya di tengah hutan kemarin. Apa kamu benar-benar mengenal orang tuanya?."
"Tentu saja. Maaf, aku pikir kamu menculiknya," balas pria itu dengan nada yang merendah, lalu beralih menatap Lea.
"Dek, kenapa kamu bisa terpisah dari papa dan mama?," ucap pria asing tadi seraya berjongkok, menyeimbangi tinggi Lea.
"Paman, kenal papa Lea? Paman bisa bawa Lea pulang?," tanyanya.
"Tentu, Nak. Paman akan bawa Lea pulang ke rumah sekarang."
Lea melihat ke arah Saga dan tersenyum lebar. "Paman, Lea pulang sama paman ini saja."
Saga terdiam sejenak lalu menatap pria di depannya. "Sepertinya dia orang baik-baik, pakaiannya juga rapi, mungkin saja dia benar teman orang tuanya," batin Saga.
"Baiklah, ini bajumu," ucap Saga seraya memberikan bungkus keresek yang berisi baju Lea.
"Terima kasih Paman...."
"Dan katakan pada orang tuanya, hati hati ketika menjaga anak mereka," tambah Saga pada pria tadi.
~ Tentu saja keputusan Saga itu salah, orang tua Lea kan baru kemarin tiba di Indonesia, masa iya laki-laki asing itu teman papanya Lea? waah... Penculik lagi nih kayaknya ~
Saga pun membiarkan Lea di bawa oleh pria tadi tanpa menaruh curiga. Tapi ia tidak terlalu menghiraukan dan menganggap gadis kecil itu akan aman dan baik-baik saja bersama pria yang mengaku teman papanya Lea itu.
Lagi pula, dengan begitu dia tidak perlu repot-repot menjaganya.
Namun, saat pria itu menggenggam tangan Lea dan berjalan pergi, Saga merasa ada sesuatu yang aneh. Saga mulai merasa tidak tenang. Ia pun melihat ke arah pria dan Lea yang berjalan semakin menjauh.
"Sepertinya pria itu memang mengenalnya, lagipula aku tidak perlu berurusan dengan gadis itu lagi."
Sementara Lea mengikuti pria tadi, kini Saga melajukan mobilnya untuk bekerja serabutan seperti biasanya.
***
"Aku dapat satu lagi, cepat satukan dia dengan anak-anak yang lain," seru pria yang membawa Lea tadi pada rekannya.
Ternyata, Lea di bawa oleh preman yang suka menculik anak kecil untuk di pekerjakan di jalanan guna meminta-minta.
~ Waduh! Kasihan sekali Lea, bagaimanakah nasib gadis kecil itu selanjutnya? Yuk ikuti episode selanjutnya... 🤗 ~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 116 Episodes
Comments