Perlakuan ibu mertua sangat berbeda terhadap Bulan dan Tara. Itu sangat jelas terlihat.
"Bu, susunya Bulan habis." ucapku sopan.
"Padahal air susumu berlimpah lo, May. Jangan biasakan mubazir. Manfaatkan yang ada. Di kasih yang gratis malah mau yang beli." jawabnya dengan tenang. Bulan memang masih menyusu padaku. Tapi karena dia kuat menyusu, mas Sigit kasihan melihatku. Dia berinisiatif dengan memberikan susu formula sebagai bantuan.
Akhirnya karena malas berdebat, aku diam dan pergi ke kamar.
Tapi tak sengaja telingaku menangkap obrolan Rani dengan seseorang di telpon.
"Iya, kau benar. Tara memang kesayangan semua orang. makanya ibu mertua tidak segan membelikannya kalung yang indah itu." ucapnya cekikikan.
Aku tertegun.
Kalung? Ibu mertua membelikan Tara Kalung emas? Sedangkan Bulan yang hanya butuh susu formula saja harus di larang? keterlaluan. Dengan dada sesak aku mencari Tara di kamarnya.
Anak itu sedang bermain dengan sebuah boneka besar.
"Tara? kalungnya bagus sekali?" ucapku seraya mendekatinya. Aku perhatikan lehernya yang memang sedang memakai kalung.
"Iya, memang bagus budhe..." jawabnya bangga. Anak tujuh tahun itu sangat suka di puji dan mewarisi sifat ibunya.
"Oh, ya? siapa yang beliin? Adek Bulan juga mau dong kalung sebagus itu." pancingku lagi.
"Nenek yang membelikan untuk Tara, karena Tara cucu kesayangannya."
"Siapa yang bilang seperti itu?" tanyaku gusar.
"Nenek dan ibu..." jawabnya polos.
Darahku mendidih, tapi sebisa mungkin ku tahan di depan Tara.
"Kenapa Bude? minta saja ke Nenek. dia pasti membelikan untuk adek Bulan juga." ucapnya polos.
"Iya, nanti Budhe bicarakan sama nenek."
Tanpa menunggu reaksi Tara. Aku keluar dari kamarnya dengan menahan air mata.
Aku bertekad akan mengadukan ketidak Adilan itu pada mas Sigit.
"Kau bicara apa? Ibu tidak mungkin berniat begitu. Tara dan Bulan sama-sama cucunya.." hanya itu tanggapan mas Sigit.
"Nah, itu dia yang aku heran. mereka sama-sama cucu kandungnya. Tapi kok di bedakan seperti ini?" aku benar-benar protes.
"May, aku lelah.. jangan membuat keadaan menjadi keruh." omelnya.
"Mas, pikir ini masalah sepele? Anak mu, Bulan. di perlakukan tidak adil di rumah ini dan kau diam saja?"
"Bukan begitu, aku yakin ibu tidak bermaksud begitu." mas Sigit masih membela ibunya.
"Pokok nya aku tidak terima." melihat kemarahan di mataku, mas Sigit terusik juga.
"Aku akan tanyakan pada ibu." ucapnya seraya pergi mencari ibunya.
Aku mengekor di belakangnya. aku ingin tau apa yang akan di katakan orang tua itu untuk membela diri.
"Sigit? Ada apa, Nak?" sambutnya dengan ramah.
"Aku cuma mau nanya? Kata May, susunya Bulan habis. dan ibu tidak mengijinkannya membeli susu. kenapa?"
Wanita itu menatapku. "Apa benar ibu berkata begitu, May? Ibu tidak ingat. Ah memang ibu sudah tua. Maafkan ibu, ya?"
Dia tersenyum penuh penyesalan.
Apa yang terjadi padanya? kenapa dia berkata begitu?
"Ya sudah. Mungkin benar, May salah dengar. Tapi susunya Bulan habis, Bu. Tolong kasi uangnya biar May keluar membelinya." ujar mas Sigit lagi.
Ibu menelengkan wajahnya.
"Uang? maksudmu ibu tidak memberimu uang?" tanyanya kepadaku.
"Iya, kan...."
"May, apa maksudmu dengan semua ini? Kau sengaja bilang pada Sigit bahwa ibu tidak memberimu uang, begitu?"
Dia memotong ucapanku dengan cepat.
Aku tercengang. Kenapa dia memutar balik kan kenyataan. Mas Sigit terlihat bingung. aku saja bingung apalagi dia.
"Kau tega sekali, May." ia menatapku dengan sorot mata kecewa, begitupun mas Sigit.
"Ibu memang tidak memberiku uangnya, bahkan ibu tidak pernah mengijinkan aku pegang uang." aku masih berusaha membela diri walaupun aku tau itu percuma di depan mas Sigit.
"Tuh, kau dengar bagaimana istrimu menuduh ibu? Kalau kau tidak percaya, periksa dompetnya...!" perintah wanita itu.
Mas Sigit yang mulai kesal pergi menarik tanganku ke kamar dan memeriksa dompetku.
"Ini apa?" ujar mas Sigit dengan wajah berang. Aku terbelalak, bagaimana bisa di dompet itu ada uangnya?
"Aku tidak tau darimana uang itu. Ibu memang tidak pernah memberiku uang bulanan..."
"Cukup ..! kau tega memfitnah ibu seperti itu, May. apa sih maumu?" sergah mas Sigit.
Aku hanya diam terpana. Niat hati mengadukan ibu malah aku yang di adukan olehnya.
Mas Sigit meninggalkan kamar dengan kesal. lalu di susul ibu dan Rani.
Aku tidak habis pikir. Siapa yang sudah meletakkan uang di dompetku? Pasti ada yang tidak beres.
Tapi mas Sigit terlanjur kecewa padaku. Dia menyangka aku sudah memfitnah ibunya.
Sikapnya padaku langsung berubah. Begitupun terhadap Bulan.
Dia mulai cuek dan lebih mementingkan Tara ketimbang Bulan yang anaknya sendiri.
Hal itu membuat Rani merasa menang. dia tidak canggung lagi untuk memanas-manasi ku.
"Ibu, aku mau es krim.." rengek Tara suatu siang.
Rani memberikannya uang pecahan lima ribuan.
Anak itu menggeleng.
"Sana tunggu di depan, sebentar lagi Abang penjual es krim itu akan lewat." pesan Rani.
"Aku tidak mau es krim keliling. Aku maunya yang enak seperti di mall itu." rengeknya manja.
Aku yang sedang menyuapi Bulan tidak jauh dari situ mendengar jelas percakapan mereka. Aku ngedumel sendiri. punya bapak pengangguran saja lagaknya seperti putri raja.
"Sayang, darimana ibu dapatkan itu?" bujuk Rani.
"Atau telpon pak Dhe saja. minta dia membelikannya."Rani memberi usul.
Hatiku panas mendengarnya, tapi aku masih berusaha diam demi putriku.
"Kau tidak usah khawatir, pakdhe sangat sayang padamu. Dia pasti mau membelikan nya." imbuh Rani lagi.
"Tapi Sigit sedang sibuk, Ran. Jangan kau ganggu." suara ibu dari dapur.
"Sesibuk apapun mas Sigit, kalau untuk Tara pasti bisa, Bu." jawabnya bangga.
Benar saja. setengah jam kemudian, mas Sigit datang dengan pesanan Rani di tangan nya.
"Cepat di mahan, nanti meleleh." dia membelai rambut Tara.
"Terima kasih, Mas." ucap Rani tersenyum manis.
Mas Sigit beralih padaku. Dia hanya mencolek pipi Bulan lalu pergi lagi.
Sangat keterlaluan. Anak orang di ratu kan, anak sendiri malah di cuekin.
Aku tidak tahan dengan semua itu.
"Mas aku mau menginap kerumah ibuku." pintaku lewat telpon.
"Tidak usah, lain kali saja." jawabnya datar.
"Aku akan tetap pergi." aku berkeras.
"Kalau begitu jangan bawa Bulan." Aku terkesiap mendengar jawabannya.
"Apa maksudmu? Kalau aku tinggalkan, siapa yang akan merawat nya?"
"Kau tidak usah khawatir. Ada ibu dan Rani." ucap ya tenang.
Gila, mana mungkin aku serahkan Bulan pada mereka.
"Tidak bisa, Mas. Bulan tidak bisa pisah dariku. Dia akan menangis sepanjang waktu tanpa aku."
"Baiklah, tapi jangan lama-lama, ya.." telpon langsung di putus olehnya.
Dengan perasaan tidak enak aku langsung berkemas.
Seberapapun kesalnya aku pada mertua, aku tetap minta ijin pada mereka, apalagi saat pergi kerumah orang tuaku. itulah pelajaran yang ku dapat dulu.
"Berapa hari nginapnya?" tanya ayah mertua.
"Mungkin tiga hari.."
"Sigit sudah tau, kan?" sambung ibu.
Aku hanya mengangguk.
***
Ibu dan adik-adik ku menyambut ku dengan suka cita.
Suasana sangat berbeda. Disini kami di perlakukan dengan penuh cinta. Bulan juga langsung lengket dengan paman dan bibinya.
"Ada apa, May? Semua baik-baik saja, kan?"
Aku mengangguk. Tapi hati seorang ibu pasti merasa apa yang di rasakan anaknya.
"Sigit tau kau pulang kesini?"
"Dia tau kok, Bu."
Ibu menarik nafas lega. Aku menikmati suasana tenang dan adem di rumah masa kecilku itu.
Sekarang usaha kue ibu sudah lumayan maju. dari usaha itu Bilal dan Hafsah bisa melanjutkan sekolah. Selain itu mereka juga sangat berprestasi dan mendapat beasiswa dari pemerintah. Aku sangat bersyukur menyadari itu.
Tentang keluargaku, aku bisa bernafas lega. tinggal bagaimana menghadapi mas Sigit dan keluarganya? Aku tidak bisa membiarkan ketidak Adilan terhadap putriku terus berlanjut. Tapi aku juga tidak mau menjadi istri dan menantu yang durhaka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Yuliana Tunru
cape bgt sigituin klga suami ya
2024-07-30
0