Ibu Karti mertuaku adalah orang yang paling menentang saat kami mengutarakan niat untuk pindah rumah.
"Tidak..! Lihat adikmu, sampai punya anak satu dia tidak pernah minta pindah rumah. Kau itu anak sulung. paling besar, paling kami andalkan. Dan kau May." mata wanita itu mengarah padaku.
"Jangan sekali-kali bermimpi atau membujuk suami mu untuk pindah dari sini. Kau paham..?"
Aku hanya bisa mengangguk sambil tertunduk memandangi jari kaki ku yang bergetar. Belum pernah aku melihat kemarahan ibu mertua seperti itu.
"Tuh, kan? Apa ku bilang. Ibu pasti marah. Kamu, sih.." Mas Sigit mulai memojokkan ku.
Saat itu kami sudah berangkat tidur.
Aku hanya bisa diam menahan perasaan ku.
"Sudahlah, May.. Jangan pusingkan soal ini. Lebih baik besok kau belanja, beli apa saja yang kau suka." ucapnya sembari meletakkan lima lembaran uang merah di tangan ku.
Di saat yang sama ibu mertua masuk ke kamar kami.
"Ibu mau ngasi tau, besok ada teman lama ayah mu mau datang. Kau harus ke pasar pagi-pagi untuk membeli kebutuhan dapur." ucapnya pada ku.
Matanya menangkap uang yang masih di tanganku.
"Itu uang apa?"
Mas Sigit dan aku saling pandang.
"Itu uang untuk May beli kebutuhannya sendiri.." jawab mas Sigit tersenyum.
"Kebutuhan yang mana?" matanya menatap uang di tanganku.
"Sabun, dan segala tetek bengeknya sudah ibu sediakan." ucapnya dengan nada angkuh.
"Tidak banyak, Bu." mas Sigit terlihat tidak nyaman.
Aku meletakkan uang itu di lemari.
"Benar, kau harus menafkahi istri mu. Tapi dia mau beli apa, semua sudah tersedia dirumah ini. Lagipula, mantu ibu yang satu ini orangnya sederhana kayak ibu. Tidak suka berlebihan.. Iya, kan, May?" suaranya mengandung penekanan.
Senyum ramahnya memaksa kedua ujung bibirku terangkat.
"Benar, Mas. Lagi pula apa yang akan ku beli lagi. Kalian sudah mencukupi semua kebutuhanku disini." jawabku akhirnya.
"Tul.. Itu..!" sorak ibu mertua.
"Ya, sudah. Kalau begitu kau berikan saja uangnya kembali pada ibu." ujar mas Sigit.
Dengan berat hati aku memberikan hak yang seharusnya jadi milik pribadiku itu pada mertuaku.
"Biar ibu yang simpan. Bukan untuk yang lain, tapi untuk kebutuhan kalian juga." ucapnya dengan senyum lebar sambil berlalu.
"Ayo kita istirahat...!" ajak mas Sigit santai seolah yang baru terjadi hal biasa biasa baginya.
Dia tidak tahu betapa nyeseknya hatiku.
Suatu hari, Bilal datang kerumah dan bilang ibu sedang sakit.
Dengan rasa cemas yang mendera aku minta ijin pada mertua untuk menjenguknya.
"Sebenarnya seorang istri tidak boleh pergi tanpa seijin suaminya. Tapi ya sudahlah..." ucap wanita itu.
Aku ingat, di dapur ada banyak makanan sisa tadi pagi. Aku berniat membungkusnya dan membawanya ketempat ibu. mungkin saja mereka tidak ada makanan.
Saat aku sedang membungkusnya, tiba-tiba tanganku ada yang menahan dari belakang.
"May, untuk apa makanan itu?" Rani istrinya Didit sudah berdiri di belakangku. Wanita yang usianya lebih tua empat tahun dariku itu sedang menatapku.
"Ini, mbak.. Ibuku sedang sakit. aku pikir makanan ini sudah tidak di makan lagi di sini." jawabku tak enak hati.
"Tapi seharusnya kau bilang dulu. Jangan seperti maling begitu. Dan siapa bilang sudah tidak di makan?" Rani mengambil bungkusan di tanganku.
Aku menelan ludah dan melangkah pergi.
Aku dan Bilal sudah di halaman saat teringat ponselku ketinggalan di kamar.
"Bilal, mbak masuk dulu sebentar mau mengambil sesuatu." Bilal mengangguk sambil memegangi sepeda tuanya.
Dari ruang tengah sebelum sampai di kamarku, aku melihat si manis kucing kesayangan Rani sedang makan dari bungkusan yang tadi di ambil dari ku.
Sesak dadaku seketika. Rani lebih suka memberikan makanan itu ke kucing daripada aku bawakan adik-adik ku.
Dengan dada bergemuruh dan mata yang panas menahan air mata, aku mengayuh sepeda tua peninggalan ayah. Di boncengan ku duduk Bilal dengan tubuh kurusnya.
***
"Ibu, ini sakit apa?" aku langsung berlari masuk dan sepeda ku lepas begitu saja.
Ibu sedang terbaring dengan nafas tersengal.
"May, asma ibu kambuh lagi." jawabnya susah payah.
Aku melihat sekeliling.
"Ibu belum makan?" tanyaku tiba-tiba. Bilal, Ibu dan Hafsah kompak terdiam.
Aku pergi ke dapur dan melihat meja makan. Kosong. Tidak ada tanda -tanda kehidupan. Aku raba tempat beras juga kosong.
Batinku menjerit. Bagaimana aku bisa makan dan tidur enak di rumah suamiku, sedangkan ibu dan adik-adik ku kelaparan?
Dengan setengah terisak aku beranikan diri menelpon mas Sigit.
"Ada apa, May? Kenapa kau menangis?" suaranya terdengar khawatir.
Lalu aku ceritakan semua yang terjadi pada ibu.
Tak berapa lama kemudian, dia datang dengan membawa sekarung beras dan dua kresek penuh makanan.
Aku merasa lega sekaligus bangga pada suami ku. Walaupun perasaan ku tidak seratus persen padanya, tapi dengan perbuatannya ini membuat aku merasa terharu.
"Kenapa tidak bilang kalau kalian kehabisan beras,.?" ujarnya kepada ibu.
"Kami tidak mau merepotkan nak Sigit." jawab ibu santun.
"Ibu tidak usah sungkan, sekarang aku kan anak ibu juga." jawab mas Sigit dengan tersenyum.
Aku terharu melihat Bilal dan Hafsah makan dengan lahapnya.
Sebelum pulang tak lupa mas Sigit menyisipkan dua lembaran uang merah.
Mata ibu berkaca-kaca melepas kepergian kami.
Di jalan, aku teringat perbuatan Rani padaku dia tadi. Ingin ku adukan semuanya pada mas Sigit saat itu, tapi aku urungkan. Aku tidak ingin merusak suasana hatinya yang sedang baik.
Biarlah, apapun perlakuan mereka. Asal mas Sigit perduli dan sayang sama keluarga ku, aku tidak perduli.
Semakin hari usaha bengkel mas Sigit semakin berkembang. Otomatis isi kantong nya pun semakin tebal. Ayah mertua menyarankan untuk berhenti mengabdi di desa.
Usahamu semakin maju, sebaiknya kau berhenti menjadi stap dj desa."
Mas Sigit langsung mengiyakan ucapan ayahnya.
Sampai saat itu bantuan kepada ibuku masih lancar. Karena itupula aku tidak ambil pusing saat keluarganya mengaturnya.
"Mas, minta uangnya dong. Aku ingin ganti motor.." ucap Didit dengan entengnya.
Ayah dan ibu mertua tidak berkata apapun. Mereka seperti mendukung permintaan anaknya itu.
Mereka seperti tidak prihatin pada Didit yang sudah berkeluarga tapi semua kebutuhan anak dan istrinya masih ditanggung mas Sigit.
"Makanya, kau bantu-bantu Mas Di bengkel. Bahkan kalau kau mau. Kau bisa mengelola bengkel yang baru."
Jawab mas Sigit.
"Betul kata Mas, mu." celetuk ibu mertua.
"Tapi motornya gimana?" tanya Didit khawatir.
"Yo, pasti di kasi lah, Mas mu itu tidak pelit. Asal kamu mau menurut. Iya, kan Git?"
Aku yang sedang membereskan meja makan hanya bisa mendengar obrolan mereka.
Mas Sigit mengangguk dengan terpaksa.
Terkadang aku kasihan melihatnya yang seperti kambing perahan bekerja siang malam tapi hasilnya mereka yang nikmati.
Sesekali mataku melirik wajah suamiku.
Apa suami ku yang bego atau memang dia malas ribut, entahlah aku tidak mengerti.
Paginya saat menyiapkan baju mas Sigit.
Rani datang ke kamar kami.
"Mas, minta uangnya dong. Aku ada arisan hari ini. Tapi belum ada uangnya." Dengan pongahnya dia meminta uang pada suamiku.
Apa dia tidak ingat sikap angkuhnya tempo hari padaku? Ingin rasanya aku cakar mulutnya yang sok manis itu.
"Tapi Didit mau ganti motor. Aku juga tidak mengerti. Padahal itu baru aku belikan setahun yang lalu." keluh mas Sigit.
"Iya, Mas. Tapi ini mendesak. Aku tidak mau malu pada teman-teman ku..." jawabnya menghiba.
Aku semakin geram melihat tingkahnya.
"Ya sudah, berapa?"
"Satu juta saja.."
"Satu juta?" tak sadar aku memekik.
Mas Sigit dan Rani menatapku.
"Emang kenapa? Itu jumlah yang sedikit. Biasanya mas Sigit memberiku sampai dua juta. Iya, kan Mas?" jawabnya santai.
Dengan berat hati suamiku mengangguk.
Astaga.. Dua juta? Itu biaya hidupku sekeluarga untuk tiga bulan. Dan dia mau menghabiskan untuk arisan? Bersenang-senang?
Aku memijat keningku.
Ada rasa cemburu melihat perlakuan mas Sigit pada keluarganya.
Tapi aku bisa apa?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments