Di sebuah bangunan mewah dengan gaya eropa yang didominasi warna putih, seorang pria tampak sedang bercengkrama dengan seseorang, dia tidak terlalu menyukai topik mereka kali ini.
“Ini penting Abian, apa kamu tidak ingin menghadiri acara itu?"
Kedua pria berbeda generasi itu saat ini sedang berada di rooftop kediaman keluarga Bellamy. Mendengar perkataan dari pria yang berstatus sebagai Kakeknya, membuat Abian menatap malas pada pria yang jauh lebih tua darinya itu.
"Itu, kan, sahabatmu, Kek. Kenapa aku juga harus pergi?” tanya Abian, berusaha sesabar mungkin. Kakeknya ini memang sangat keras kepala. Jika menginginkan sesuatu sudah pasti ia juga yang harus berusaha untuk memenuhi keinginannya.
"Kamu ini tidak mengerti," kata sang Kakek, menghela napas lelah.
"Sekarang, kamu adalah pewaris perusahaan Bellamy Grup.” lanjutnya, menatap lurus pada pemandangan indah lampu-lampu yang berasal dari bangunan di sekitar tempat mereka. Menatap langit sekilas, sang Kakek menghela napas sembari memejamkan mata guna bersabar untuk membujuk Abian sekali lagi, ia lantas meneruskan, “Kamu jelas harus datang, akan ada banyak sekali orang-orang penting yang nantinya bisa saja bekerja sama dengan perusahaan kita. Jadi kita, sebisa mungkin harus menjalin relasi yang luas."
Jelas itu hanya bualan semata. Bellamy Grup sendiri sudahlah begitu besar dikenal oleh banyak orang. Perusahaan yang bergerak dibidang perhotelan, dan kini bahkan merambat ke kuliner itu sudah tidak bisa diragukan lagi. Banyak perusahaan yang justru ingin menjalin kerja sama.
Namun, tentu saja, kehadiran Abian sebagai pewaris dari perusahaan itu tentunya akan sangat ditunggu-tunggu. Tidak lama lagi, Abian akan secara resmi mengambil alih kepemimpinan perusahaan utama, yaitu sebagai CEO dari Bellamy Grup, menggantikan sang Kakek yang tampaknya akan menyaksikan dibalik bayang-bayang.
Abian menghela napas. Ini akan menjadi cukup sulit. Ingin menolak, tapi Abian sendiri tidak memiliki kekuatan lebih untuk itu.
Karenanya, Abian hanya bisa mengangguk dengan segala keterpaksaan. Sedari dulu, menghadiri pesta seperti itu adalah hal yang paling tidak ingin dia lakukan.
"Baiklah, Abian akan pergi."
"Bagus! Kakek tahu, kamu tidak akan bisa menolak keinginan, Kakek."
***
Sementara itu di tempat lain, Agnia sudah bersiap dengan dress putih juga high heels berwarna senada. Dia menata rambutnya agar bisa terlihat lebih rapi dan juga bisa sesuai dengan acara formal yang dikatakan orang tuanya.
Sedikit riasan tentu saja, Agnia kemudian tersenyum memperhatikan penampilannya di cermin. Ia puas kali ini. Meskipun Agnia lebih suka menggunakan pakaian yang simple dan terkesan sederhana, namun dia juga tidak menampik kalau bagian dari dirinya menyukai saat tubuhnya dibalut dengan pakaian yang lebih terlihat mewah.
“Lihat dirimu. Kenapa tersenyum seperti itu? Apa kamu senang mengenakan pakaian itu, Dasar!” Agnia berbicara pada dirinya di cermin, memperhatikan ekspresi dari wajahnya sendiri. Yang lama-kelamaan, rasa geli justru muncul karena keanehan yang dia lakukan itu.
Agnia segera berjalan keluar kamar saat merasa waktunya untuk berangkat sudah tiba. Di depan sana, orang tuanya sudah bersiap dengan pakaian yang terlihat cantik. Mereka memasuki mobil untuk menuju tempat tujuan.
Ternyata itu adalah perjalanan yang cukup panjang. Hingga sekitar 45 menit kemudian mereka baru sampai di tempat yang dituju. Itu benar-benar sebuah kapal yang super besar dan sangat mewah.
Tentu saja, orang yang memasuki tempat itu bukan hanya Agnia dan keluarganya. Banyak orang lain yang juga melakukan hal yang sama dengan keperluan berbeda.
Seperti yang Agnia duga, saat memasuki kapal pesiar itu, kondisi di dalamnya memang sangat mewah. Kapal itu memiliki banyak sekali ruangan yang terpisah. Agnia mengikuti langkah orang tuanya yang beberapa saat kemudian berhenti di depan sebuah pintu dengan ukiran berwarna emas.
Dua orang pria bertubuh kekar berjaga di depan pintu masuk. Agnia dapat melihat mereka bertanya pada ayahnya. Kemudian Harris mengeluarkan sesuatu yang tampaknya itu adalah sebuah undangan agar mereka bisa memasuki tempat itu.
"Benar, beliau yang mengundang Saya," kata Harris, menjawab pertanyaan salah seorang penjaga.
Agnia benar-benar terperangah melihat bagaimana mewahnya ruangan di balik pintu yang baru saja ia masuki ini. Banyak orang dengan pakaian yang begitu elegan berlalu-lalang di dalam sana. Ada yang bercengkrama, ada yang memilih duduk di salah satu meja yang sudah tersedia. Ada juga yang tampak memilih untuk menikmati makanan dan minuman yang ditawarkan.
Agnia hendak mengikuti langkah Harris dan juga Meylan, tapi langsung urung saat Meylan berbicara.
"Sayang, tidak masalahkan jika kami tinggal untuk menyapa beberapa kenalan kami?"
Jelas saja Agnia ingin memprotes. Hanya saja rasanya itu tidak baik. Jadi pada akhirnya dia hanya bisa mengangguk meski ia tidak mau. Lagi pula, bukankah sebelumnya mereka ingin memperkenalkan Agnia, tapi sekarang justru Agnia malah ditinggalkan.
Melihat orang tuanya menjauh, Agnia mulai mencari kesibukan sendiri. Namun, selalu ada sesuatu yang bisa membuatnya tenang.
“Oh tidak! Ini tidak akan bagus.” Agnia bergumam sendiri dengan mata yang membulat, kakinya berjalan mendekat ke arah sesuatu yang berhasil menarik perhatiannya.
“Pasti sangat enak.” Dia kini sudah berada di depan sebuah meja khusus yang digunakan untuk menaruh bermacam-macam hidangan lezat. Salah satunya adalah kue coklat yang selalu berhasil menarik minat Agnia untuk mendekat.
Tentu saja itu memang diperuntukkan untuk tamu. Sebab, beberapa orang juga sudah mengambil makanan dari sana, karenanya Agnia juga tidak akan ragu. Berpikir sejenak, Agnia akhirnya tidak bisa bersikap serakah, jadi dia hanya mengambil satu potong kue coklat yang diletakkan diatas piring. Biar saja, nanti Agnia bisa mengambilnya lagi.
“Benar-benar enak.” Dia hampir bersorak jika tidak memperhatikan sekitar, beruntung Agnia bisa menahan diri. Namun bibirnya tidak bisa berbohong, terus saja tersenyum saat potongan demi potongan kue memasuki mulutnya. Matanya berulang kali memejam menikmati sensasi lezat dari kue itu.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Sepertinya Agnia tidak terkejut kali ini, dia memejamkan mata saat menyadari suara siapa itu.
“Kamu juga ada di sini?” Agnia malah kembali bertanya, dia benar-benar kesal apabila ada orang yang mengganggu proses makannya.
“Tentu, aku harus berada di sini.”
Agnia mengangkat sebelah alisnya. Tidak terlalu menanggapi ucapan pria itu.
“Kamu sepertinya sangat menyukai kue coklat?”
Agnia mengangguk antusias, dia bahkan tersenyum disela-sela mulutnya yang menikmati potongan terakhir kue itu. “Sangat suka!” Agnia menanggapi.
Abian mengangguk. Tidak lagi memperhatikan Agnia, namun pandangannya malah tertuju pada seseorang di kejauhan, dia tidak yakin apakah orang itu memperhatikannya atau wanita yang berada di sampingnya, atau justru mereka berdua.
Abian kemudian mengalihkan kembali perhatiannya pada Agnia yang tampak kembali memperhatikan makanan lain di atas meja. Saat Abian akan berbicara, dia tanpa sengaja melihat sang Kakek dari jauh tampak menyuruhnya mendekat lewat tatapan mata, Abian mengangguk singkat.
“Kalau begitu aku permisi,” Abian berbicara pelan, membuat Agnia mengangguk namun matanya masih senantiasa menatap makanan di sana.
Melihat itu Abian terpikirkan sesuatu. Ia lantas berkata, “Jangan hanya fokus pada makanan, coba lihat di wajahmu itu ada apa,” kata Abian. Setelah mengatakan itu dia langsung pergi menuju tempat sang Kakek yang telah menunggunya. Bahkan Abian hanya tersenyum kecil saat menyadari Agnia langsung terlihat panik saat mengambil sesuatu dari dalam tas selempang yang ia bawa.
Agnia panik bukan main, apakah cara makannya benar-benar berantakan hingga sisa-sisa kue tertinggal di bibirnya? Dia memperhatikan wajahnya dengan saksama lewat cermin kecil yang ia bawa. Namun selanjutnya malah dibuat mengernyit bingung karena tidak menemukan apapun di sana.
“Tidak ada apa-apa? Kenapa dia bilang di wajahku ada sesuatu?” Agnia pada akhirnya berdecih, dia beralih dari cermin dan menatap sinis punggung pria yang barusan pergi setelah mengatakan hal-hal yang menyebalkan itu.
***
“Siapa itu Abian?” Arsenio—Kakek Abian bertanya begitu melihat cucunya mendekat.
Abian melirik pada Agnia sekilas sebelum kemudian menjawab. “Hanya seorang kenalan,” jawab Abian.
“Benar, hanya itu?” Tampaknya Arsenio tidak percaya begitu saja, tapi menjelaskan bukanlah tugas Abian.
“Terserah jika Kakek tidak percaya, tapi aku sudah mengatakannya.”
Mendengar itu Arsenio malah tertawa, dia selalu menyukai wajah cucunya yang sedang kesal. “Baiklah-baiklah Kakek percaya.”
Abian menggelengkan kepalanya sekilas, tapi kemudian tatapannya beralih pada tempat Agnia berdiri sebelumnya, namun dia tidak menemukan perempuan itu di sana. Hingga tatapan matanya mengarah pada tempat lain dan terlihat Agnia tampak berjalan ke arah ruangan di mana itu adalah sebuah toilet, hingga tanpa sadar keningnya mengernyit saat menemukan sesuatu yang janggal. Senyuman di bibirnya tiba-tiba terbit saat melihat sesuatu yang menarik.
Sekarang orang yang berbeda? Sepertinya kamu memiliki sesuatu sehingga membuat orang-orang tertarik untuk memperhatikanmu.
***
Abian baru saja sampai di depan pintu toilet. Ia menatap pintu itu lekat-lekat. Kini dia merasa bahwa dirinya sangat bodoh. Untuk apa dia datang ke depan toilet itu? Untuk apa dia mengejar wanita itu?
Apa itu sebuah kekhawatiran, atau sekadar kesalahan pikirannya saja?! Abian harus merutuki dirinya karena bersikap aneh seperti sekarang.
Tapi saat ia hendak berbalik untuk pergi, suara pintu terdengar. Tampaknya seseorang akan keluar dari toilet, membuat tubuh Abian secara otomatis kembali berbalik.
Sial!
Abian kini dapat melihat dengan jelas ekspresi terkejut di wajah wanita yang membuatnya hingga datang ke tempat ini.
Agnia bahkan sampai memekik kecil. Tentu saja, dia pasti mengira Abian aneh karena diam di depan pintu toilet perempuan.
"Kamu—"
Tidak! Abian tidak akan membiarkan wanita itu mengatakan hal buruk tentangnya. Karenanya, Abian segera memotong ucapannya. "Benar, Abian."
Sebisa mungkin Abian menunjukkan raut tanpa ekspresi yang bisa ia buat, begitu dingin dan mendominasi. Namun tanpa ia sadari sikap Abian itu malah membuat wanita itu menyipitkan matanya.
"Kenapa kamu bisa berada di toilet perempuan?!"
"Aku tidak—"
"Kamu benar-benar berdiri di depan toilet perempuan!"
Agnia tidak akan berpikir seperti itu jika area itu adalah tempat terbuka, masalahnya, untuk menuju toilet perempuan harus memasuki satu area lagi jadi sudah termasuk area privasi, kalaupun toilet pria itu berada di luar dan tepat di sebelahnya.
Agnia, wanita itu sudah menunjukkan tatapan penuh curiga yang dia tunjukkan untuk Abian. Segudang pertanyaan tiba-tiba terlintas di kepalanya. Kemudian satu kesimpulan di otaknya membuat matanya membulat.
"Kamu—" Telunjuk Agnia sudah menunjuk langsung pada Abian.
"Kamu pasti mau macam-macam, kan? Mau melakukan hal buruk, iya!"
"TOLONG! ADA ORANG MESSU—hmpt!" Agnia membelalakkan matanya saat tubuhnya terdorong masuk ke dalam toilet, sementara tangan Abian yang lain sudah membekapnya seperti orang jahat yang siap melakukan aksinya.
Agnia memekik saat merasa punggungnya membentur dinding dengan cukup keras. Kini dirinya begitu menyesal karena telah menerima perkenalan pria ini jika akhirnya Abian memiliki maksud jahat terhadapnya.
"Diam! Aku bukan orang seperti itu!"
Bagaimana Agnia bisa menyimpulkan hal yang begitu buruk tentang dirinya?! Coba perhatikan, bagian mana dari diri Abian yang terlihat seperti orang mesum.
Tubuh Agnia rasanya menegang sempurna. Matanya semakin membulat saat menyadari seberapa dekat mereka. Wajah lelaki itu benar-benar ada di depan mukanya, begitu dekat. Agnia bahkan dapat melihat netra Abu-abu yang dimiliki pria itu.
Posisi mereka benar-benar berbahaya!
Agnia berusaha melepas telapak tangan lelaki itu yang masih membekap mulutnya. Ia benar-benar takut sekarang. Sikap lelaki itu saat ini justru membuat pikiran buruk Agnia tentangnya seolah tervalidasi.
"Diam!" Lelaki itu kembali berkata saat Agnia masih memberontak.
Ia hanya tidak ingin orang lain salah paham, apalagi Agnia saat ini terus bergerak rusuh dengan tangan yang terus memukul-mukul dirinya.
Mendapat gertakan itu, Agnia kicep. Ia takut, jadi memilih untuk sedikit lebih tenang. Sambil memikirkan jalan keluar agar bisa segera pergi dari tempat itu.
Saat tangan pria itu sudah lebih sedikit mengendur. Agnia tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Kakinya yang menganggur itu ia gunakan untuk menginjak kaki pria yang berbalut sepatu itu dengan sekuat tenaga.
Rasanya begitu berbahaya. Hingga saat Agnia mendengar desisan kesakitan dari Abian hingga pria itu menjauhkan tubuhnya, Agnia bisa sedikit mendorongnya.
Dengan gerakan secepat kilat Agnia langsung membuka pintu toilet dan keluar dari ruangan itu dengan langkah yang tergesa.
Bahkan ia sudah tidak lagi mempedulikan panggilan Abian yang di telinganya tampak sedang memarahinya.
"Tunggu!"
Abian meringis kecil. Ia keluar dari toilet perempuan. Dia memperhatikan punggung wanita itu yang mulai menghilang di balik tembok. Beruntung tidak ada siapapun saat ia keluar dari toilet wanita. Kalau tidak, bukan hanya di mata Agnia, tapi mungkin di mata orang-orang ia akan dicap sebagai orang aneh.
Abian berdecak. Tapi kemudian terkekeh kecil saat mengingat bagaimana wajah menggemaskan wanita itu—
Tunggu?! Menggemaskan? Abian tidak habis pikir dengan isi otaknya itu. Kenapa bisa tiba-tiba berpikir jika Agnia menggemaskan. Padahal baru saja ia mendapat penghinaan dari wanita itu.
Tapi sekali lagi, pikirannya malah terbayang saat Agnia berada dalam kurungannya tadi. Bagaimana ekspresi wajahnya yang terlihat panik, bagaimana matanya yang dibuat membulat sempurna, pupil mata wanita itu juga bergetar tadi, mungkin ... dia benar-benar ketakutan jika dirinya akan berbuat hal buruk. Lalu netranya juga sangat … indah? Tapi, benar dia memiliki warna bola mata yang unik, Amber, benar-benar cantik.
Argh! Sial! Cukup, cukup sampai di sini saja Abian.
***
Agnia kini sudah berdiri di depan kamar nomor 301. Di tangannya sudah ada sebuah kartu sebagai akses masuk. Sebelumnya dia meminta ijin pada orang tuanya untuk keluar, namun mereka meminta Agnia untuk menunggu di kamar.
Agnia kemudian memasuki kamar setelah pintu berhasil terbuka. Kamar itu sangat luas dengan interior yang mewah, ternyata orang tuanya sekaya ini sampai bisa menyewa tempat tidur yang begitu mewah.
Agnia tidak menyia-nyiakan kesempatan, jadi pertama dia mencoba kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, dia juga ingin segera berganti pakaian, karena sebelumnya ibunya memberikan pakaian untuk ganti. Kemudian tidur sebentar sampai orang tuanya datang dan membangunkannya.
15 menit berlalu dan Agnia baru saja keluar dari kamar mandi, sekarang tubuhnya sudah lebih segar. Dia lupa membawa baju ganti pemberian ibunya. Karena itu, Agnia masih mengenakan jubah mandi. Dia mengeluarkan baju dari paperbag dan dibuat melotot saat melihat baju seperti apa itu.
“Ini … kenapa pakaiannya seperti ini? Apa Mama salah memberikannya?” Agnia yakin tidak mungkin Mamanya memberikan baju dengan bahan tipis dan sangat menerawang itu untuk dia kenakan. Itu bahkan lebih pantas disebut sebagai pakaian dalam. Sebenarnya Agnia pernah melihat baju seperti itu di mall, dan orang-orang menyebutnya sebagai lingerie. Agnia tidak mengerti kenapa dia mendapatkan pakaian seperti itu.
Dia kembali memasukkan pakaian itu ke dalam paperbag namun aktivitasnya terhenti saat sebuah suara tiba-tiba terdengar.
“Kenapa tidak dipakai?”
Tubuh Agnia membeku seketika, suara itu … dia pernah mendengarnya di suatu tempat. Jadi dia berbalik hanya untuk melihat seorang pria bersandar di sisi tembok dengan pandangan tenang menatap pada Agnia yang justru itu semakin membuat alarm berbahaya di dalam kepalanya aktif.
Namun yang mengisi kepalanya lebih banyak adalah, kenapa dia bisa berada di sini?
Pria itu—Kaivan—dia semakin mendekat setelah melihat Agnia yang tampak bergeming di tempatnya. Seringai terbit bersamaan dengan pandangan matanya yang semakin mengunci Agnia di sana.
“Ada apa? Kamu tidak menyukai pakaian itu? Atau … memilih untuk tidak mengenakannya?” Kaivan berhenti tepat di depan Agnia.
Agnia tidak tahu dia berada di posisi seperti apa, dan apa yang lelaki itu katakan barusan? Agnia semakin dibuat bingung. Tapi untuk menghindari situasi berbahaya lebih dari ini. Agnia berinisiatif untuk menyerah. Dia akan keluar dari kamar itu dengan tenang, dan membiarkan pria itu tinggal di sana selama yang ia mau. Biarkan saja, selama dia bisa keluar, maka dirinya akan aman.
“Sepertinya, Saya salah masuk kamar. Saya—Saya akan segera keluar, maaf.” Agnia bersiap untuk melewati pria itu, namun yang terjadi selanjutnya tangannya di cekal dan tubuhnya tiba-tiba sudah terjatuh di atas ranjang dengan posisi pria itu menguncinya dari atas.
“Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!” Agnia memekik kencang, nada suaranya terdengar bergetar karena rasa takut. Dia berusaha memberontak, namun percuma, kedua tangannya telah dikunci oleh Kaivan.
“Tolong!”
“Teruslah berteriak, kamu tahu, bahkan orang yang kamu percayai saja sudah tidak peduli kamu selamat atau tidak.”
Agnia tidak peduli dengan apa yang dikatakan pria itu, namun perkataan Kaivan selanjutnya justru membuat Agnia tertegun.
“Apa kamu tidak merasa penasaran kenapa wanita itu memberikan nomor kamar ini kepadamu?” Agnia tahu maksud ‘wanita itu’ mengacu pada ibunya. Namun dia tidak ingin menerima hal buruk apapun tentang ibunya.
Melihat Agnia yang hanya diam Kaivan kembali melanjutkan. “Itu karena orang tuamu sudah menjual kamu kepadaku.”
Bagai tersambar petir, kenyataan itu seolah mengoyak dengan kasar perasan Agnia. Begitu perih dan sesak. Berusaha untuk tidak percaya namun semuanya seolah menjadi jelas sekarang. Mulai dari Ayahnya yang mengajak Agnia ke pesta ini dengan alasan ingin mengenalkan Agnia kepada rekan kerjanya namun malah meninggalkan Agnia sendiri. Sampai ibunya yang memberikan lingerie untuk Agnia kenakan, hingga nomor kamar orang lain padanya, terlebih itu adalah seorang pria dewasa.
Agnia menggelengkan kepalanya dengan tegas, setidaknya dia tidak ingin orang lain menertawakannya karena begitu menyedihkan. Matanya sudah mengembun namun dia enggan menyerah, menolak untuk meneteskan air matanya di hadapan orang asing.
“Lepaskan aku!”
Kaivan terkekeh kecil, perlahan tangannya membelai pipi Agnia. Saat itu juga, Agnia merasakan perasaan jijik yang teramat besar dari pipi yang seolah telah ternoda itu.
“Itu tidak mungkin, Sayang. Kamu tahu, kan, kamu sudah dijual orang tuamu. Artinya, bukan hanya sebatas kamu berada di sisiku, tapi kamu juga harus melakukan apapun yang aku inginkan,” kata Kaivan, berbisik tepat di telinga Agnia membuat wanita itu memejam merasakan napas hangat pria itu di telinganya.
“Jadi, bagaimana jika kita bersenang-senang, sekarang—”
“Maaf, sepertinya Saya telah mengganggu waktu baik kalian?” Suara lain terdengar membuat atensi dua orang itu teralihkan.
Sementara Kaivan berdecak karena merasa diganggu, Agnia merasa dirinya dibuat semakin kalut dengan apa yang selanjutnya akan terjadi.
“Abian?” Suara Agnia begitu pelan namun Kaivan mendengarnya dengan begitu jelas. Dia yang awalnya berniat bangkit kembali menahan Agnia tetap di sana.
“Kamu mengingat dia tapi sepertinya melupakanku?” Suara Kaivan menajam membuat Agnia menahan napas saat merasakan amarah Kaivan padanya.
“Tapi aku tidak masalah untuk menunjukkan apa yang akan kita lakukan pada orang asing.” Kaivan yang semula ingin menyentuh Agnia langsung tertarik ke belakang dan terhuyung beberapa langkah saat seseorang mendorongnya dengan kasar menjauhi Agnia.
“Saya tidak tahu Anda adalah seseorang yang begitu tidak tahu diri, dan tidak memiliki rasa malu!” Abian berkata tajam, sembari melayangkan satu pukulan di rahang tegas Kaivan.
Kaivan merasakan rahangnya ngilu, dia menatap begitu tajam pada orang yang telah mengganggu kesenangannya. “Saya pikir kita tidak pernah memiliki masalah sebelumnya Pak Abian, kenapa sekarang Anda ikut campur dengan urusan Saya?” tanya Kaivan, sembari memijat rahangnya untuk mengurangi rasa sakit.
“Tentu Saya tidak akan ikut Campur, tapi dia adalah orang Saya. Jadi Saya akan mengambilnya kembali, Anda tidak keberatan hanya karena kehilangan uang beberapa ratus juta, bukan?” Abian berkata sarkas, dia sudah mencari tahu sebelumnya dan mengetahui Agnia menjadi salah satu orang yang dijual di kapal pesiar ini.
Saat Abian sudah memapah Agnia untuk berdiri dan keluar dari sana suara Kaivan kembali terdengar. “Apa sebelumnya Saya mengatakan kalau Saya setuju?”
“Kalau begitu Saya harus memaksa,” jawab Abian tak kalah tajam.
“Kalau begitu kau bisa membawanya,” kata Kaivan, seutas senyum muncul di sudut bibirnya. Hanya sampai aku mengambilnya kembali, nanti! batinnya berbicara.
Abian menyampirkan jas yang dia kenakan pada bahu Agnia. Sebelum Abian dan Agnia benar-benar keluar dari kamar Kaivan, Agnia menghentikan langkah. Dia berbalik dan kembali bertanya untuk meyakinkan hatinya kalau semua ini tidaklah benar. “Apa yang kamu katakan tadi benar? Orang tuaku yang memberikanku padamu?” tanya Agnia dengan pandangan kosong.
“Benar, tidak ada keraguan, bahkan aku membayarmu lima kali lipat dari perjanjian mereka dengan klien awal mereka hanya agar kamu tidak diserahkan kepada pria tua bangka itu,” kata Kaivan dengan intonasi datar, namun sorot matanya masih dipenuhi hasrat dan keinginan.
“Kita pergi dari sini sekarang,” Ajak Abian, membawa Agnia keluar dari kamar Kaivan membuat Agnia seaman mungkin.
Jadi seperti itu? Ternyata semua hanya rekayasa. Hanya ilusi yang dibuat oleh perasaan seolah semuanya adalah nyata. Padahal yang terjadi, semua kasih sayang itu tidak lebih dari sebuah candaan yang dilakukan untuk menjerat dirinya.
Agnia tertawa miris dalam hati, apa dia yang terlalu bodoh sampai berpikir jika orang tua angkatnya itu benar-benar mencintainya? Ataukah dia yang terlalu merasa sepi hingga cinta mereka terasa tulus dan begitu berarti.
Pada akhirnya, Agnia kembali seorang diri, dibersamai takdir dengan luka yang tampaknya tidak akan sembuh dalam hitungan hari.
Abian menyadari perasaan sakit hati Agnia, karenanya dia berniat untuk membuat wanita itu bisa sedikit lebih tenang. “Tidak masalah, semuanya akan kembali membaik. Sekarang, ikutlah bersamaku, kamu bebas pergi setelah mendapatkan tempat yang aman untuk tinggal.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments