Semilir angin bertiup lembut membelai wajahnya yang cantik. Agnia, wanita itu tampak baru saja keluar dari toko kue tempatnya bekerja selama seharian ini. Dia merapatkan jaket, rasa dingin malam itu terasa begitu menusuk tulang.
Menghela napas, Agnia mulai berjalan mencari angkutan umum yang bisa membawanya pulang. Agnia mengernyit, dia menengadahkan wajahnya menatap langit malam, saat merasakan sesuatu yang basah membasahi pipi.
“Sepertinya akan hujan.”
Langkahnya dibuat lebih cepat. Matanya mulai menelusuri jalanan yang tampak cukup sepi tanpa kendaraan.
Ini baru beberapa meter perjalannya saat Agnia mendengar suara mesin motor terdengar, disusul suara klakson nyaring yang reflek membuat Agnia berbalik.
Pengendara motor itu tampak membuka helm, bibirnya mengulas senyum saat pandangan matanya bertemu tatap dengan Agnia.
“Agnia, ayo. Saya antar pulang,” ajak pria itu. Sorot matanya tampak dipenuhi harapan yang begitu besar.
Agnia membalas pria itu dengan senyuman kecil, setidaknya dia tidak ingin menunjukkan sikap tidak sopan di hadapan atasannya itu. “Tidak perlu, Pak. Saya bisa mencari angkutan umum.” Agnia menolak, namun ia tahu pria berusia awal 30-an itu tampaknya tidak akan mudah menyerah.
“Kamu yakin akan ada kendaraan yang lewat sini. Sudah malam loh. Bahaya tahu kalau kamu sendirian di jalan seperti ini,” bujuk pria itu, masih bersikeras.
Lebih berbahaya jika aku bersama Bapak.
Bukan tanpa alasan Agnia berpikir seperti itu. Pria itu adalah Manager di toko kue tempat Agnia bekerja, dia sudah terkenal dengan kepribadiannya yang sering mengganggu wanita-wanita muda yang masih lajang. Padahal, pria itu sebenarnya sudah memiliki tunangan, tapi sikap buruknya itu masih belum hilang, bahkan semakin menjadi saja.
Beberapa hari yang lalu, bahkan pria itu mengungkapkan perasaannya kepada Agnia secara terang-terangan, setelah itu dia jadi terlalu sering menaruh perhatian berlebih pada Agnia.
Agnia kembali menatap pria itu tanpa minat. “Tidak perlu, Pak. Saya bisa pulang sendiri.”
Sebelum sempat pria itu membuka mulut untuk meluncurkan rayuan, dering ponsel terdengar membuat sang pemiliknya berdecak. Namun saat melihat nama yang tertera dilayar ponselnya justru terdapat emoticon hati, pria itu langsung menggeser icon hijau dengan gerakan kilat.
“Iya, Sayang?”
Agnia menghembuskan napas kasar, tidak habis pikir dengan sikap pria dihadapannya ini yang bisa berubah-ubah dengan begitu cepat. Namun karena mendapatkan kesempatan, Agnia segera berjalan pergi meninggalkan pria itu setelah sebelumnya berpamitan singkat yang bahkan sepertinya tidak disadari pria itu. Mungkin dia terlalu asik mengobrol lewat ponsel.
Namun setelah beberapa saat berjalan, Agnia malah dibuat semakin kesal karena angkutan umum yang dia tunggu-tunggu tidak kunjung lewat.
Agnia memekik pelan saat gemuruh petir terdengar bersahutan. Sepertinya hujan benar-benar akan turun. “Please, jangan hujan dulu.”
Namun keinginannya tidak terwujud karena jawabannya justru datang terlalu cepat, langit mulai menurunkan hujan dengan rintikan sedang yang jika tidak segera bergegas Agnia pasti akan basah kuyup.
“Jika seperti ini maka aku akan semakin lama sampai ke rumah.” Agnia berteduh di depan toko yang sudah tutup. Dia memeluk tubuhnya saat merasakan udara dingin mulai berhembus cukup kencang saat menyapa kulitnya. Bahkan rambutnya sedikit basah setelah terkena air hujan.
Dia pandangi sekeliling, hujan kini menjadi semakin deras membuat tanah di bawah sana tergenang oleh air hujan, gemuruh petir kembali terdengar membuat Agnia berjengit kaget karena suaranya benar-benar memekakkan telinga.
Agnia mulai memundurkan langkah menjauh dari rintikan hujan yang berbentur dengan tanah. Namun saat langkah terakhir, dia hampir terjatuh ke belakang saat kakinya tidak sengaja bersentuhan dengan sesuatu. Berbalik, Agnia mengerutkan kening saat melihat seorang pria tampak bergetar dengan tangan yang saling terlipat menutupi wajahnya. Pria itu meringkuk tepat di belakang Agnia.
Agnia mengerjap beberapa kali, dia bisa merasakan kalau pria itu tampaknya sedang merasa ketakutan atau semacamnya. Karena itu, dengan perasaan ragu Agnia mulai menekuk lututnya untuk mensejajarkan tinggi mereka.
Tangannya mulai terulur ke depan. Agnia memegang pundak berbalut lengan kemeja hitam itu, pelan. “Tidak apa-apa, hujannya akan segera berakhir,” kata Agnia dengan suaranya yang dibuat selembut mungkin.
Agnia sendiri merasa bingung, entah kenapa dia bisa merasa yakin kalau ketakutan pria itu diakibatkan oleh hujan dan bukan yang lain. Hanya saja saat melihat tubuh orang itu yang bergetar, Agnia mengambil kesimpulan sendiri yang tampaknya semakin diperkuat dengan pria itu yang kini menjadi lebih tenang.
Pria itu tampak mengangkat kepala dan menunjukkan sedikit dari wajahnya, membuat Agnia menunjukan senyuman paling manis untuk menenangkan. “Semuanya akan baik-baik saja.”
“Kakak?”
Agnia mengernyit saat pertama kali mendengar pria itu berbicara. Dia yakin pria itu tampak jauh lebih dewasa melihat postur tubuhnya yang jauh lebih besar dari Agnia.
Tapi untuk membuat dia merasa lebih tenang lagi, Agnia akhirnya mengangguk dengan senyuman tulus yang ia perlihatkan. Sepersekian detik kemudian tubuhnya hampir saja ambruk saat pria itu menerjangnya dengan sebuah pelukan.
Agnia bahkan merasa dirinya sulit bernapas saat merasakan pelukan pria itu yang begitu erat. Namun dia semakin dibuat bingung setelah mendengar pria itu kembali berbicara dengan suara yang pelan. “Terima kasih,” tuturnya begitu pelan. Namun pelukannya enggan melonggar, dia kemudian kembali berbicara, “Tolong jangan pergi lagi, Kak. Aku mohon.”
***
Agnia termenung di kamarnya di pagi hari. Dia kembali mengingat kejadian malam kemarin. Kini jadi penasaran apa yang sebenarnya menimpa pria itu hingga berhalusinasi dan menganggap Agnia sebagai kakaknya.
Tubuhnya kemudian berguling ke samping saat jawaban yang dia cari itu belum juga Agnia ketahui.
Malam itu, saat Agnia ingin menawarkan bantuan untuk mengantarkan pria itu pulang, seorang pria lain datang dengan mobil mewah dan langsung membawa pria itu pergi tanpa kata. Bahkan Agnia sempat mendengus karena pria yang baru datang itu bahkan tidak meliriknya sedikitpun. Tidakkah dia tahu kalau Agnia telah membantu menenangkan pria yang dia kenal itu?
Namun Agnia menyayangkan satu hal, dia tidak sempat melihat wajah pria itu sebelumnya. Namun sudahlah, semuanya sudah berlalu dan saat ini yang seharusnya dia pikirkan adalah … perutnya!
Benar, jadi selanjutnya, Agnia segera bangkit dari ranjang dan berjalan keluar kamar, perutnya sudah berbunyi sejak beberapa waktu lalu. Ini sudah pagi, jadi sudah waktunya untuk sarapan.
Agnia tersenyum saat pemandangan indah yang sudah mengisi hari-harinya selama bertahun tahun itu ia lihat. Di meja makan, ibu dan ayahnya sudah menyambut Agnia dengan senyuman lembut seperti biasa.
“Ayo duduk, Sayang. Mama siapin dulu rotinya, ya. Kamu mau selai rasa apa?” tanya sang Mama, dengan suaranya yang lembut.
Agnia duduk di kursi makan sebelum menjawab dengan antusias. “Coklat dong, Ma.”
Meylan—mama Agnia pun tertawa kecil, putrinya itu memang sangat menyukai rasa coklat.
“Ini Sayang, habiskan, ya.”
Agnia langsung mengambil piring berisi roti buatan sang Mama. “Makasih, Ma.”
“Sekarang kamu ada kelas pagi? Kalau ada, bareng aja sama Ayah.” Suara itu adalah milik Harris—ayah Agnia. Pria itu tampak fokus pada makanannya, namun matanya sesekali memperhatikan Agnia menunggu jawaban dari putrinya itu.
Agnia menggeleng. “Kelasku, siang Nanti. Pagi ini ada janji sama teman,” kata Agnia, membuat Harris menyipitkan mata merasa curiga.
“Teman siapa? Pacar kamu?” tuduh Harris tiba-tiba, membuat Agnia hampir tersedak roti yang ia makan.
“Bukan, Ayah. Dia perempuan,” jawab Agnia. Harris akhirnya hanya menanggapi Agnia dengan anggukan kepala saja.
“Yaudah, tapi hati-hati, ya,” kata Meylan, memberi nasihat. Agnia mengangguk dengan senyum kecil di bibirnya.
“Ayah lupa bilang, beberapa hari lagi akan ada acara pesta di sebuah kapal pesiar. Acara itu milik salah satu teman bisnis Ayah. Kamu nanti harus ikut, ya.” Harris kembali berbicara saat dia baru saja menyelesaikan acara makannya.
“Aku juga harus ikut?” Agnia menunjuk dirinya sendiri. Bahunya tiba-tiba meluruh, dia menggelengkan kepalanya dengan lemah. “Sebaiknya tidak perlu. Ayah sendiri, kan, tahu kalau aku tidak suka menghadiri acara-acara seperti itu,” katanya mencoba menolak.
“Lagipula, ini bukan acara besar Agnia. Rekan bisnis Ayah semuanya membawa putra putri mereka. Ayah juga ingin memperkenalkan kamu pada mereka. Selain itu, kenapa kamu tidak mendengar nasihat Ayah? Ayah bilang seharusnya kamu tidak perlu bekerja, fokus saja pada kuliahmu itu.”
Agnia menghela napas mendengar ucapan pertama ayahnya itu.
Acara kecil apa yang dilakukan di sebuah kapal pesiar?
Agnia tersenyum kecil, Ayahnya memang selalu peduli padanya. Meskipun tidak seterbuka seperti sang Ibu tapi Agnia tahu seperti apa ayahnya.
“Agnia bekerja juga, kan, disaat Agnia memiliki waktu luang di luar jadwal kuliah. Lagi pula Agnia juga ingin mencari uang sendiri, Ayah. Dan, untuk masalah pertemuan itu, baiklah, Agnia akan ikut,” jawab Agnia, setelahnya bangkit berdiri untuk membereskan piring kotor.
Namun Agnia tidak tahu, tepat saat punggungnya berbalik, dua pasang mata yang semula menunjukan kasih sayang dan kelembutan. Mendadak berubah dengan kilatan licik. Bibir yang semula menunjukkan senyum hangat justru malah mengulas seringai menyeramkan seolah membawa kabar buruk yang akan segera Agnia hadapi.
Agnia baru saja selesai melayani pembeli saat sebuah pertanyaan muncul begitu saja sampai membuat wanita itu mengernyit tidak mengerti. “Apa kamu sudah mendengarnya?”
“Mendengar apa?” tanya Agnia, mencoba menanggapi teman kerjanya yang memang memiliki kebiasaan mengumpulkan informasi terbaru di sekitar mereka.
“Itu loh, Pak Dani,” katanya, mulai membuka informasi.
“Iya, Pak Dani kenapa?” Agnia berusaha sabar, tidak bisakah temannya mengatakan sesuatu itu sekaligus?
“Dengar-dengar, ya. Dia baru saja putus dari tunangannya. Katanya, sih, karena tunangannya ketahuan selingkuh dengan temannya.”
Pergerakan Agnia yang sedang mengoperasikan komputer pun terhenti. Sebenarnya yang membuat dia kaget bukan masalah putusnya hubungan atasannya dengan tunangannya itu. Tapi karena tunangan atasannya yang justru berselingkuh, dan bukan Pak Dani Manager mereka.
“Apa berita itu benar?” tanya Agnia, merasa tidak yakin.
Temannya itu mengangguk pasti, tampak sekali tidak ada keraguan di matanya.
“Bagaimanapun, kelakuan Pak Dani sendiri memang sudah terkenal sering menggoda wanita-wanita muda terlepas dari dia serius atau tidak. Tapi saat tahu ternyata tunangannya selingkuh, mungkin putus memang jalan terbaik untuk mereka. Mungkin itu salah satu jalan yang terbaik supaya mereka tidak saling menyakiti.” Agnia menghela napas, memikirkan ini membuatnya tersadar, mencari pasangan yang bisa menjadi sandaran dan saling berbagi perasaan dengan tulus mungkin akan sangat sulit.
Namun itu bukan menjadi tujuan utamanya. Dia hanya ingin bekerja dan mendapatkan uang. Lulus dari universitasnya dengan baik dan menjauh dari banyak masalah.
Temannya itu mengangguk setuju. “Kamu memang terkadang bisa menjadi sangat bijak. Senang aku memiliki teman seperti kamu.”
Agnia hanya tersenyum kecil menggelengkan kepalanya sedikit. Sudah biasa ia menghadapi kelakuan temannya itu yang terkadang cukup aneh.
Agnia mengecek arloji di tangannya, sudah pukul 15.00 ini adalah waktunya untuk pulang. Namun saat Agnia bersiap untuk membereskan barang bawaannya. Teman wanitanya itu tiba-tiba menunjukkan gelagat aneh. Agnia mengerutkan kening, curiga. “Kenapa?”
Dia tampak menunjukkan cengiran yang membuat Agnia hampir kesal. “Anu … itu, bisa ditunda dulu tidak pulangnya, takut ada pelanggan. Aku mau ke toilet sebentar.” Mengatupkan tangan di depan dada dia kemudian melanjutkan saat menyadari raut wajah Agnia yang mulai tidak enak. “10 menit, janji!” Bahkan tidak menunggu jawaban Agnia, wanita dengan jepit rambut pita berwarna soft pink itu langsung berlari ke belakang menuju toilet di mana dia bisa menyelesaikan urusannya.
Pada Akhirnya, Agnia hanya bisa menghela napas, dia akan membantu temannya itu untuk kali ini. Namun ternyata, ketakutan temannya itu benar, tepat saat dentingan bel terdengar seorang pria dengan setelan rapi masuk dan langsung menuju tempat Agnia bertugas, area kasir.
“Saya ingin mengambil pesanan atas nama Abian.” Suara bernada bariton membuat Agnia tertegun, dia merasa familiar dengan suara itu. Meskipun nada dinginnya terlalu mendominasi, namun kelembutan yang tersembunyi di dalam suaranya berhasil Agnia tangkap, seolah dia pernah mendengar suara itu sebelumnya.
“Baik, Tunggu sebentar.” Agnia mengambil sebuah kotak dengan nama yang tertera, itu memang sudah ada di sana beberapa saat lalu.
“Silahkan.” Agnia menyerahkan kotak kue yang tertutup paper bag itu pada pria di depannya. “Apa ada sesuatu yang Anda butuhkan lagi, Pak?” Agnia kembali bertanya, takut-takut mungkin pria itu membutuhkan sesuatu yang lain.
“Tidak, terima kasih,” pria itu sedikit mengangkat paper bag, dia menatap pada Agnia sekilas tampak sedang berpikir tentang sesuatu. “Apa … kita pernah bertemu sebelumnya?” tanya pria itu tampak ragu.
Agnia mengangkat sebelah alis. Terdiam sebentar, dia tampak berpikir. Agnia juga beranggapan sama, pria ini tampak cukup familiar baginya, tapi dia tidak yakin. Karena itu, untuk menghindari kesalahpahaman. Dengan senyum profesional Agnia lantas menggeleng. “Saya rasa tidak pernah, Pak.” jawabnya, nada suara wanita itu tampak begitu yakin.
Kemudian pria itu tampak mengangguk. Setelahnya dia langsung pergi begitu saja dari sana. Membuat Agnia mengernyit tentang maksud dari pertanyaan itu.
Pria itu, Abian putra Bellamy, dia baru saja keluar dari toko kue saat pikiran itu tiba-tiba muncul di kepalanya. Tapi, kenapa aku merasa jika kita pernah bertemu sebelumnya?
***
Tampaknya rencana pulangnya harus tertunda untuk beberapa waktu lagi, Agnia kini harus mengantarkan pesanan kue ke sebuah perusahaan karena permintaan dari pemilik toko. Katanya driver yang seharusnya mengantar pesanan mengalami masalah, dan driver lain sedang begitu sibuk. Entah kenapa kini menjadi dia yang harus dimintai tolong untuk mengantar pesanan itu.
Namun disinilah Agnia sekarang. Kepalanya mendongak menatap gedung tinggi di hadapannya. Nama gedung itu terpampang begitu jelas di depan matanya. Perusahaan itu begitu megah dan … sangat besar.
“Perusahaan Madhava Grup, pasti ini perusahaan yang dimaksud. Jadi aku hanya tinggal memberikan ini pada orang yang memesan pesanan ini, bukan?” Agnia kemudian melangkahkan kakinya memasuki gedung perusahaan, dia mulai menuju tempat tujuan setelah sebelumnya bertanya dan diarahkan ke sebuah ruangan di lantai 36.
Agnia menelpon nomor yang tertera di kertas yang diberikan oleh pemilik toko miliknya bekerja. Dia ingin segera meninggalkan tempat ini, kakinya sudah terlalu lelah untuk tetap berada di sana. Jadi saat disuruh menunggu sebentar oleh orang yang dia hubungi, Agnia hanya bisa menurut.
Sepatu flatnya mengetuk lantai marmer untuk menghalau rasa bosan, sesekali matanya menyapu segala sisi untuk memperhatikan setiap detail dari tempat itu. Entahlah, Agnia hanya suka melakukannya.
Kemudian saat suara pintu ruangan di depannya terbuka, Agnia segera berbalik. Di sana sudah ada seorang pria yang berdiri dengan wajah datar menatap Agnia dengan tatapan dingin. “Itu pesanannya?”
“Benar, pesanan atas nama Cecilia Ranisya.” Agnia menyebutkan satu nama, guna mengkonfirmasi pesanan yang diantarkan itu benar-benar sampai ditujuan.
“Iya, itu Saya.”
Agnia terkejut, apa ini semacam nama samaran? Tapi mendengar suara di telepon tadi adalah seorang wanita benar-benar membuat otaknya terkuras. Tapi Agnia tidak peduli, dia sudah menyelesaikan tugasnya. Kini hanya perlu kembali setelah dia memberikan kue itu.
“Kalau begitu, silahkan, Pak.” Agnia menyodorkan paper bag berisi pesanan kue itu pada pria didepannya. Namun bukannya menerima, pria itu tampak memperhatikan wajah Agnia begitu lama, jelas karena hal itu Agnia merasa risih.
“Sepertinya setelah ini kamu tidak bisa pergi, karena Saya menginginkannya?!”
“Maaf?” Agnia jelas tidak mengerti dengan ucapan aneh pria itu, nyatanya tampang yang bagus tidak menunjukkan hal serupa untuk kepribadiannya.
Jadi karena tidak ingin menghadapi keanehan pria itu lebih jauh lagi Agnia memilih untuk menaruh paper bag itu di telapak tangan pria itu dengan cepat. Biarlah itu disebut tidak sopan, lagi pula pria itu yang memulainya terlebih dulu membuat Agnia tidak nyaman.
Tepat saat Agnia akan berbalik untuk pergi, pergelangan tangannya tiba-tiba dicekal begitu erat, membuat Agnia berjengit kaget mendapat perlakuan seperti itu.
“Bukankah sudahku bilang, kamu tidak bisa pergi setelah ini!”
Gila! Agnia merasa sekujur tubuhnya merinding. Dia merasakan rasa panas dan perih dari cengkraman pria itu. Tenaganya tidak cukup untuk melepaskan diri.
“Dengar, Pak. Sepertinya Anda salah paham tentang sesuatu. Tapi Saya tidak mengenal Anda, jadi sebaiknya Anda lepaskan tangan Saya sebelum Saya berteriak!” ancam Agnia, dengan sorot mata tajam.
Agnia berdecak dalam hatinya, kenapa orang-orang seolah menghilang saat ini. Tidak ada yang lewat di sekitar mereka, padahal sebelumnya akan ada pegawai perusahaan yang berlalu lalang meskipun tidak sering.
“Sayang … kamu kok lama?” Suara seorang wanita terdengar, membuat Agnia semakin panik, dia tidak ingin disalahpahami. Jadi Agnia memilih jalur penyelamatan untuk melindungi diri. Dia mengerahkan tenaganya pada kaki yang saat ini menginjak dengan keras sepatu kulit milik pria itu. Sepertinya itu berhasil karena saat merasakan cengkraman di pergelangan tangannya mulai mengendur Agnia segera menarik tangannya sekuat tenaga. Terakhir, melayangkan tatapan membunuh pada pria itu sebelum berjalan pergi meninggalkan tempat berbahaya ini.
“Kaivan, ih, kok kamu lama banget sih.” Wanita itu menunjukkan wajah cemberut. “Aku nunggu kamu, loh, dari tadi.” Karena terlalu kesal menunggu, wanita bernama Cecilia itu mendekat lantas melingkarkan tangannya dengan manja di lengan pria itu.
“Kenapa, sih?” tanyanya lagi, karena masih belum mendapat respon dari orang yang dia cintai itu.
“Bukan apa-apa, hanya bertemu dengan kenalan lama.”
Meskipun bingung wanita itu hanya mengangguk saja. Pandangannya kemudian mengarah pada sesuatu yang berada di tangan kekasihnya. “Itu kue pesanan aku, ya? Makasih Sayang.”
Kaivan hanya tersenyum simpul, pikirannya masih belum lepas dari sosok Agnia. Bahkan kini jantungnya berdetak terlalu cepat saat memikirkan wanita itu, seolah ada adrenalin yang menjalar di setiap aliran darahnya. Perlahan seutas senyum terbentuk. Aku tidak mungkin salah mengenali orang, dan kamu adalah seseorang yang membuatku yakin.
***
Agnia benar-benar merasa harinya sangat berantakan. Bertemu dengan dua pria yang bersikap seolah mereka pernah bertemu membuat Agnia merasa bingung. Dia tidak terlalu keberatan dengan Abian, karena dia sendiri pun merasa demikian, namun dengan Kaivan? Agnia benar-benar tidak memiliki ingatan apapun tentang pria itu.
Agnia menghela napas sebelum fokus utamanya kembali ke jalanan yang hari itu tidak terlalu ramai oleh kendaraan. Semuanya baik-baik saja hingga langkahnya hampir sampai di ujung jalan, dan harus menghadapi kejadian yang membuat jantungnya berdetak berkali lipat.
Sebuah mobil hitam melaju dari kanannya bersamaan dengan suara klakson panjang dan nyaring yang berhasil memekakkan telinga. Agnia melesat beberapa centi lebih cepat sebelum mobil itu berhasil menyentuhnya. Deru napasnya memburu dengan helaan nafas lega karena baru saja berhasil terlepas dari maut.
“Bagaimana bisa dia mengemudi seperti itu?! Apa dia tidak melihat lampu merah di sana?!”
Agnia berusaha mengatur napasnya yang masih memburu, menenangkan diri untuk yang kesekian kalinya. Dia memperhatikan mobil itu yang sudah melaju cukup jauh. Benar-benar tidak memiliki rasa tanggung jawab, pikirnya.
“Kamu tidak apa-apa?”
Agnia berbalik mendengar suara berat seseorang berbicara di sebelahnya. Sedikit tertegun saat kepalanya memutar memory beberapa waktu lalu, dia tahu orang ini, mereka pernah bertemu sebelumnya.
“Iya, aku baik-baik saja,” kata Agnia, namun selanjutnya sorot matanya menyendu saat melihat stok makanan yang ia beli sebelumnya justru sudah hancur. Sepertinya terlindas oleh mobil tadi.
“Seharusnya aku bisa menahannya lebih lama.” Agnia mencebikkan bibirnya melihat makanannya sudah berserakan di jalan. Dia terlalu kaget saat mobil tadi melaju dan hampir mengenainya, hingga tidak sadar jika apa yang ia bawa terlepas dari genggaman tangannya.
“Apa?” tanya pria itu, menatap Agnia dengan sorot bingung.
Agnia hanya menggeleng, dia tidak harus menjelaskan masalahnya. Tapi kemudian dia tersadar, menatap sekilas ke arah pria itu Agnia lantas bertanya, “Kenapa Anda di sini?”
Pria itu terdiam sejenak, jujur saja dia juga tidak mengerti. Hanya saja saat melihat wanita asing itu hampir mengalami kecelakaan membuat dia yang sedang mengendarai mobilnya tidak bisa lagi memikirkan apapun. Dia hanya terlalu khawatir dan akhirnya turun untuk mengecek kondisi wanita itu.
“Saya baru dari suatu tempat, dan melihat kamu hampir mengalami kecelakaan, Saya tentu saja tidak bisa bersikap untuk tidak peduli, jadi setidaknya Saya ingin memastikan jika orang itu baik-baik saja.”
“Terima kasih atas perhatian Anda, sekarang Saya sudah baik-baik saja. Jadi sepertinya Anda memiliki kesibukan sendiri tidak perlu mengkhawatirkan Saya.” Agnia tersenyum kecil, menunjukkan ketulusan dan rasa terima kasih. “Kalau begitu Saya permisi. “Agnia lantas berbalik bersiap pergi. Namun sesuatu tiba-tiba menahannya, Agnia kembali berbalik hanya untuk melihat sebuah tangan yang sudah memegang pergelangan tangannya. Dia menatap ke arah wajah pria itu yang tampaknya ingin mengatakan sesuatu.
“Apa kamu yakin sebelumnya kita tidak pernah bertemu?” pria itu tampak kembali mengambil topik beberapa waktu lalu, namun Agnia masih memiliki jawaban yang sama. Jadi dia mengangguk.
Tapi beberapa saat kemudian dia berkata, “Tapi kita memang pernah bertemu sebelumnya, jika Anda lupa, kita bertemu saat Anda akan mengambil pesanan kue di toko tempat Saya bekerja.” Agnia menjawab begitu tenang, dia melewatkan raut tidak puas yang tertinggal di wajah pria itu.
Kemudian pria itu menghela napas, dia melepaskan pegangan tangannya di pergelangan tangan Agnia, kemudian tangannya itu berubah terulur ke depan. “Kalau begitu mari saling mengenal, namaku Abian.” Tiba-tiba pria yang mengaku bernama Abian itu tersenyum membuat Agnia bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa.
Apa ini adalah bagian dari cara modus laki-laki untuk mendapatkan perempuan yang menarik perhatian mereka? Tapi sepertinya dia bukan tipe orang yang seperti itu, lalu apa alasannya? Agnia mengernyit begitu halus, namun tangannya tetap membalas uluran tangan Abian. “Saya—maksudku, namaku Agnia.” Dia sedikit mengangguk, merasa bingung saat pertama kali berkenalan seperti ini dengan orang baru. Terlebih, perkenalan ini terlalu random, rasanya sangat cepat hanya dalam dua kali mereka bertemu bahkan dalam situasi tidak saling berjanji.
Saat jabat tangan terlepas, rasanya suasana menjadi canggung untuk Agnia, karena dia tidak tahu harus apa sekarang, namun saat mendengar Abian berbicara terlebih dahulu Agnia sedikit lega karena hanya perlu menanggapi. “Apa kamu dalam perjalanan pulang?” tanya Abian.
Agnia mengangguk, raut wajahnya menjadi lebih tenang kini. “Iya, tadi ke toko di sana untuk membeli bahan makanan tapi sekarang ….” Tiba-tiba dadanya terasa sesak saat mengingat nasib makanan yang ia beli sudah tidak berbentuk.
“Kalau begitu ayo,” Abian tiba-tiba menarik Agnia menuju mobilnya yang terparkir membuat wanita itu panik.
“Ke mana?” tanya Agnia, berusaha menghentikan langkah Abian.
“Kita beli makanan.” Abian kembali menarik Agnia menuju mobilnya yang terparkir di samping jalan.
Agnia membelalakkan matanya. “Apa?! Tidak—tunggu—itu tidak perlu!”
Abian bahkan tidak mendengarkan perkataan Agnia, tetap memaksa perempuan itu memasuki mobil bahkan saat Agnia berusaha menolak.
Agnia hanya berharap ini bukan salah satu aksi penculikan yang sedang terjadi pada dirinya. Ya, semoga saja!
***
Agnia bisa bernapas lega karena dia benar-benar bertemu dengan orang baik, selain itu dia bisa kembali mendapatkan ganti dari makanannya yang hancur. Dia baru saja memasuki rumahnya setelah sebelumnya pulang menggunakan ojek online.
Itu terjadi, karena Agnia menolak saat Abian ingin mengantarkannya pulang, dia beralasan kalau rumahnya sudah sangat dekat, selain itu tampaknya Abian mendapatkan telepon penting sehingga dia harus segera pergi.
Agnia membaringkan tubuhnya di ranjang setelah sebelumnya membersihkan tubuhnya terlebih dulu. Ini sudah cukup larut, jadi Agnia hanya ingin beristirahat malam itu.
***
Sementara di tempat lain seorang pria setengah baya tampak kalut dengan apa yang sedang menimpanya, bau asap rokok tercium di setiap penjuru, dengan beberapa botol minum beralkohol yang tersimpan di atas meja.
“Bagaimana ini Ma, Siapa yang seharusnya kita ikuti. Aku benar-benar tidak tahu.”
“Sudahlah, Pah, kita lihat nanti saja, yang siap mengeluarkan uang lebih besar berarti anak itu milik klien kita,” kata wanita yang berstatus sebagai istrinya.
Kemudian sebuah dering ponsel terdengar, membuat pria itu langsung bergerak cepat untuk menggeser icon hijau. Tepat saat ponsel ditaruh di samping telinga suara di seberang sana terdengar. Pria itu tampak mendengarkan dengan saksama, dengan sesekali mengangguk meskipun tahu yang di seberang sana tidak bisa melihatnya.
“Baik Tuan, semuanya sudah siap, sesuai seperti apa yang Anda inginkan. Besok malam, dia akan berada dalam genggaman Anda,” kata pria itu, dengan seringainya yang menyeramkan.
Di sebuah bangunan mewah dengan gaya eropa yang didominasi warna putih, seorang pria tampak sedang bercengkrama dengan seseorang, dia tidak terlalu menyukai topik mereka kali ini.
“Ini penting Abian, apa kamu tidak ingin menghadiri acara itu?"
Kedua pria berbeda generasi itu saat ini sedang berada di rooftop kediaman keluarga Bellamy. Mendengar perkataan dari pria yang berstatus sebagai Kakeknya, membuat Abian menatap malas pada pria yang jauh lebih tua darinya itu.
"Itu, kan, sahabatmu, Kek. Kenapa aku juga harus pergi?” tanya Abian, berusaha sesabar mungkin. Kakeknya ini memang sangat keras kepala. Jika menginginkan sesuatu sudah pasti ia juga yang harus berusaha untuk memenuhi keinginannya.
"Kamu ini tidak mengerti," kata sang Kakek, menghela napas lelah.
"Sekarang, kamu adalah pewaris perusahaan Bellamy Grup.” lanjutnya, menatap lurus pada pemandangan indah lampu-lampu yang berasal dari bangunan di sekitar tempat mereka. Menatap langit sekilas, sang Kakek menghela napas sembari memejamkan mata guna bersabar untuk membujuk Abian sekali lagi, ia lantas meneruskan, “Kamu jelas harus datang, akan ada banyak sekali orang-orang penting yang nantinya bisa saja bekerja sama dengan perusahaan kita. Jadi kita, sebisa mungkin harus menjalin relasi yang luas."
Jelas itu hanya bualan semata. Bellamy Grup sendiri sudahlah begitu besar dikenal oleh banyak orang. Perusahaan yang bergerak dibidang perhotelan, dan kini bahkan merambat ke kuliner itu sudah tidak bisa diragukan lagi. Banyak perusahaan yang justru ingin menjalin kerja sama.
Namun, tentu saja, kehadiran Abian sebagai pewaris dari perusahaan itu tentunya akan sangat ditunggu-tunggu. Tidak lama lagi, Abian akan secara resmi mengambil alih kepemimpinan perusahaan utama, yaitu sebagai CEO dari Bellamy Grup, menggantikan sang Kakek yang tampaknya akan menyaksikan dibalik bayang-bayang.
Abian menghela napas. Ini akan menjadi cukup sulit. Ingin menolak, tapi Abian sendiri tidak memiliki kekuatan lebih untuk itu.
Karenanya, Abian hanya bisa mengangguk dengan segala keterpaksaan. Sedari dulu, menghadiri pesta seperti itu adalah hal yang paling tidak ingin dia lakukan.
"Baiklah, Abian akan pergi."
"Bagus! Kakek tahu, kamu tidak akan bisa menolak keinginan, Kakek."
***
Sementara itu di tempat lain, Agnia sudah bersiap dengan dress putih juga high heels berwarna senada. Dia menata rambutnya agar bisa terlihat lebih rapi dan juga bisa sesuai dengan acara formal yang dikatakan orang tuanya.
Sedikit riasan tentu saja, Agnia kemudian tersenyum memperhatikan penampilannya di cermin. Ia puas kali ini. Meskipun Agnia lebih suka menggunakan pakaian yang simple dan terkesan sederhana, namun dia juga tidak menampik kalau bagian dari dirinya menyukai saat tubuhnya dibalut dengan pakaian yang lebih terlihat mewah.
“Lihat dirimu. Kenapa tersenyum seperti itu? Apa kamu senang mengenakan pakaian itu, Dasar!” Agnia berbicara pada dirinya di cermin, memperhatikan ekspresi dari wajahnya sendiri. Yang lama-kelamaan, rasa geli justru muncul karena keanehan yang dia lakukan itu.
Agnia segera berjalan keluar kamar saat merasa waktunya untuk berangkat sudah tiba. Di depan sana, orang tuanya sudah bersiap dengan pakaian yang terlihat cantik. Mereka memasuki mobil untuk menuju tempat tujuan.
Ternyata itu adalah perjalanan yang cukup panjang. Hingga sekitar 45 menit kemudian mereka baru sampai di tempat yang dituju. Itu benar-benar sebuah kapal yang super besar dan sangat mewah.
Tentu saja, orang yang memasuki tempat itu bukan hanya Agnia dan keluarganya. Banyak orang lain yang juga melakukan hal yang sama dengan keperluan berbeda.
Seperti yang Agnia duga, saat memasuki kapal pesiar itu, kondisi di dalamnya memang sangat mewah. Kapal itu memiliki banyak sekali ruangan yang terpisah. Agnia mengikuti langkah orang tuanya yang beberapa saat kemudian berhenti di depan sebuah pintu dengan ukiran berwarna emas.
Dua orang pria bertubuh kekar berjaga di depan pintu masuk. Agnia dapat melihat mereka bertanya pada ayahnya. Kemudian Harris mengeluarkan sesuatu yang tampaknya itu adalah sebuah undangan agar mereka bisa memasuki tempat itu.
"Benar, beliau yang mengundang Saya," kata Harris, menjawab pertanyaan salah seorang penjaga.
Agnia benar-benar terperangah melihat bagaimana mewahnya ruangan di balik pintu yang baru saja ia masuki ini. Banyak orang dengan pakaian yang begitu elegan berlalu-lalang di dalam sana. Ada yang bercengkrama, ada yang memilih duduk di salah satu meja yang sudah tersedia. Ada juga yang tampak memilih untuk menikmati makanan dan minuman yang ditawarkan.
Agnia hendak mengikuti langkah Harris dan juga Meylan, tapi langsung urung saat Meylan berbicara.
"Sayang, tidak masalahkan jika kami tinggal untuk menyapa beberapa kenalan kami?"
Jelas saja Agnia ingin memprotes. Hanya saja rasanya itu tidak baik. Jadi pada akhirnya dia hanya bisa mengangguk meski ia tidak mau. Lagi pula, bukankah sebelumnya mereka ingin memperkenalkan Agnia, tapi sekarang justru Agnia malah ditinggalkan.
Melihat orang tuanya menjauh, Agnia mulai mencari kesibukan sendiri. Namun, selalu ada sesuatu yang bisa membuatnya tenang.
“Oh tidak! Ini tidak akan bagus.” Agnia bergumam sendiri dengan mata yang membulat, kakinya berjalan mendekat ke arah sesuatu yang berhasil menarik perhatiannya.
“Pasti sangat enak.” Dia kini sudah berada di depan sebuah meja khusus yang digunakan untuk menaruh bermacam-macam hidangan lezat. Salah satunya adalah kue coklat yang selalu berhasil menarik minat Agnia untuk mendekat.
Tentu saja itu memang diperuntukkan untuk tamu. Sebab, beberapa orang juga sudah mengambil makanan dari sana, karenanya Agnia juga tidak akan ragu. Berpikir sejenak, Agnia akhirnya tidak bisa bersikap serakah, jadi dia hanya mengambil satu potong kue coklat yang diletakkan diatas piring. Biar saja, nanti Agnia bisa mengambilnya lagi.
“Benar-benar enak.” Dia hampir bersorak jika tidak memperhatikan sekitar, beruntung Agnia bisa menahan diri. Namun bibirnya tidak bisa berbohong, terus saja tersenyum saat potongan demi potongan kue memasuki mulutnya. Matanya berulang kali memejam menikmati sensasi lezat dari kue itu.
“Apa yang kamu lakukan di sini?”
Sepertinya Agnia tidak terkejut kali ini, dia memejamkan mata saat menyadari suara siapa itu.
“Kamu juga ada di sini?” Agnia malah kembali bertanya, dia benar-benar kesal apabila ada orang yang mengganggu proses makannya.
“Tentu, aku harus berada di sini.”
Agnia mengangkat sebelah alisnya. Tidak terlalu menanggapi ucapan pria itu.
“Kamu sepertinya sangat menyukai kue coklat?”
Agnia mengangguk antusias, dia bahkan tersenyum disela-sela mulutnya yang menikmati potongan terakhir kue itu. “Sangat suka!” Agnia menanggapi.
Abian mengangguk. Tidak lagi memperhatikan Agnia, namun pandangannya malah tertuju pada seseorang di kejauhan, dia tidak yakin apakah orang itu memperhatikannya atau wanita yang berada di sampingnya, atau justru mereka berdua.
Abian kemudian mengalihkan kembali perhatiannya pada Agnia yang tampak kembali memperhatikan makanan lain di atas meja. Saat Abian akan berbicara, dia tanpa sengaja melihat sang Kakek dari jauh tampak menyuruhnya mendekat lewat tatapan mata, Abian mengangguk singkat.
“Kalau begitu aku permisi,” Abian berbicara pelan, membuat Agnia mengangguk namun matanya masih senantiasa menatap makanan di sana.
Melihat itu Abian terpikirkan sesuatu. Ia lantas berkata, “Jangan hanya fokus pada makanan, coba lihat di wajahmu itu ada apa,” kata Abian. Setelah mengatakan itu dia langsung pergi menuju tempat sang Kakek yang telah menunggunya. Bahkan Abian hanya tersenyum kecil saat menyadari Agnia langsung terlihat panik saat mengambil sesuatu dari dalam tas selempang yang ia bawa.
Agnia panik bukan main, apakah cara makannya benar-benar berantakan hingga sisa-sisa kue tertinggal di bibirnya? Dia memperhatikan wajahnya dengan saksama lewat cermin kecil yang ia bawa. Namun selanjutnya malah dibuat mengernyit bingung karena tidak menemukan apapun di sana.
“Tidak ada apa-apa? Kenapa dia bilang di wajahku ada sesuatu?” Agnia pada akhirnya berdecih, dia beralih dari cermin dan menatap sinis punggung pria yang barusan pergi setelah mengatakan hal-hal yang menyebalkan itu.
***
“Siapa itu Abian?” Arsenio—Kakek Abian bertanya begitu melihat cucunya mendekat.
Abian melirik pada Agnia sekilas sebelum kemudian menjawab. “Hanya seorang kenalan,” jawab Abian.
“Benar, hanya itu?” Tampaknya Arsenio tidak percaya begitu saja, tapi menjelaskan bukanlah tugas Abian.
“Terserah jika Kakek tidak percaya, tapi aku sudah mengatakannya.”
Mendengar itu Arsenio malah tertawa, dia selalu menyukai wajah cucunya yang sedang kesal. “Baiklah-baiklah Kakek percaya.”
Abian menggelengkan kepalanya sekilas, tapi kemudian tatapannya beralih pada tempat Agnia berdiri sebelumnya, namun dia tidak menemukan perempuan itu di sana. Hingga tatapan matanya mengarah pada tempat lain dan terlihat Agnia tampak berjalan ke arah ruangan di mana itu adalah sebuah toilet, hingga tanpa sadar keningnya mengernyit saat menemukan sesuatu yang janggal. Senyuman di bibirnya tiba-tiba terbit saat melihat sesuatu yang menarik.
Sekarang orang yang berbeda? Sepertinya kamu memiliki sesuatu sehingga membuat orang-orang tertarik untuk memperhatikanmu.
***
Abian baru saja sampai di depan pintu toilet. Ia menatap pintu itu lekat-lekat. Kini dia merasa bahwa dirinya sangat bodoh. Untuk apa dia datang ke depan toilet itu? Untuk apa dia mengejar wanita itu?
Apa itu sebuah kekhawatiran, atau sekadar kesalahan pikirannya saja?! Abian harus merutuki dirinya karena bersikap aneh seperti sekarang.
Tapi saat ia hendak berbalik untuk pergi, suara pintu terdengar. Tampaknya seseorang akan keluar dari toilet, membuat tubuh Abian secara otomatis kembali berbalik.
Sial!
Abian kini dapat melihat dengan jelas ekspresi terkejut di wajah wanita yang membuatnya hingga datang ke tempat ini.
Agnia bahkan sampai memekik kecil. Tentu saja, dia pasti mengira Abian aneh karena diam di depan pintu toilet perempuan.
"Kamu—"
Tidak! Abian tidak akan membiarkan wanita itu mengatakan hal buruk tentangnya. Karenanya, Abian segera memotong ucapannya. "Benar, Abian."
Sebisa mungkin Abian menunjukkan raut tanpa ekspresi yang bisa ia buat, begitu dingin dan mendominasi. Namun tanpa ia sadari sikap Abian itu malah membuat wanita itu menyipitkan matanya.
"Kenapa kamu bisa berada di toilet perempuan?!"
"Aku tidak—"
"Kamu benar-benar berdiri di depan toilet perempuan!"
Agnia tidak akan berpikir seperti itu jika area itu adalah tempat terbuka, masalahnya, untuk menuju toilet perempuan harus memasuki satu area lagi jadi sudah termasuk area privasi, kalaupun toilet pria itu berada di luar dan tepat di sebelahnya.
Agnia, wanita itu sudah menunjukkan tatapan penuh curiga yang dia tunjukkan untuk Abian. Segudang pertanyaan tiba-tiba terlintas di kepalanya. Kemudian satu kesimpulan di otaknya membuat matanya membulat.
"Kamu—" Telunjuk Agnia sudah menunjuk langsung pada Abian.
"Kamu pasti mau macam-macam, kan? Mau melakukan hal buruk, iya!"
"TOLONG! ADA ORANG MESSU—hmpt!" Agnia membelalakkan matanya saat tubuhnya terdorong masuk ke dalam toilet, sementara tangan Abian yang lain sudah membekapnya seperti orang jahat yang siap melakukan aksinya.
Agnia memekik saat merasa punggungnya membentur dinding dengan cukup keras. Kini dirinya begitu menyesal karena telah menerima perkenalan pria ini jika akhirnya Abian memiliki maksud jahat terhadapnya.
"Diam! Aku bukan orang seperti itu!"
Bagaimana Agnia bisa menyimpulkan hal yang begitu buruk tentang dirinya?! Coba perhatikan, bagian mana dari diri Abian yang terlihat seperti orang mesum.
Tubuh Agnia rasanya menegang sempurna. Matanya semakin membulat saat menyadari seberapa dekat mereka. Wajah lelaki itu benar-benar ada di depan mukanya, begitu dekat. Agnia bahkan dapat melihat netra Abu-abu yang dimiliki pria itu.
Posisi mereka benar-benar berbahaya!
Agnia berusaha melepas telapak tangan lelaki itu yang masih membekap mulutnya. Ia benar-benar takut sekarang. Sikap lelaki itu saat ini justru membuat pikiran buruk Agnia tentangnya seolah tervalidasi.
"Diam!" Lelaki itu kembali berkata saat Agnia masih memberontak.
Ia hanya tidak ingin orang lain salah paham, apalagi Agnia saat ini terus bergerak rusuh dengan tangan yang terus memukul-mukul dirinya.
Mendapat gertakan itu, Agnia kicep. Ia takut, jadi memilih untuk sedikit lebih tenang. Sambil memikirkan jalan keluar agar bisa segera pergi dari tempat itu.
Saat tangan pria itu sudah lebih sedikit mengendur. Agnia tiba-tiba terpikirkan sesuatu. Kakinya yang menganggur itu ia gunakan untuk menginjak kaki pria yang berbalut sepatu itu dengan sekuat tenaga.
Rasanya begitu berbahaya. Hingga saat Agnia mendengar desisan kesakitan dari Abian hingga pria itu menjauhkan tubuhnya, Agnia bisa sedikit mendorongnya.
Dengan gerakan secepat kilat Agnia langsung membuka pintu toilet dan keluar dari ruangan itu dengan langkah yang tergesa.
Bahkan ia sudah tidak lagi mempedulikan panggilan Abian yang di telinganya tampak sedang memarahinya.
"Tunggu!"
Abian meringis kecil. Ia keluar dari toilet perempuan. Dia memperhatikan punggung wanita itu yang mulai menghilang di balik tembok. Beruntung tidak ada siapapun saat ia keluar dari toilet wanita. Kalau tidak, bukan hanya di mata Agnia, tapi mungkin di mata orang-orang ia akan dicap sebagai orang aneh.
Abian berdecak. Tapi kemudian terkekeh kecil saat mengingat bagaimana wajah menggemaskan wanita itu—
Tunggu?! Menggemaskan? Abian tidak habis pikir dengan isi otaknya itu. Kenapa bisa tiba-tiba berpikir jika Agnia menggemaskan. Padahal baru saja ia mendapat penghinaan dari wanita itu.
Tapi sekali lagi, pikirannya malah terbayang saat Agnia berada dalam kurungannya tadi. Bagaimana ekspresi wajahnya yang terlihat panik, bagaimana matanya yang dibuat membulat sempurna, pupil mata wanita itu juga bergetar tadi, mungkin ... dia benar-benar ketakutan jika dirinya akan berbuat hal buruk. Lalu netranya juga sangat … indah? Tapi, benar dia memiliki warna bola mata yang unik, Amber, benar-benar cantik.
Argh! Sial! Cukup, cukup sampai di sini saja Abian.
***
Agnia kini sudah berdiri di depan kamar nomor 301. Di tangannya sudah ada sebuah kartu sebagai akses masuk. Sebelumnya dia meminta ijin pada orang tuanya untuk keluar, namun mereka meminta Agnia untuk menunggu di kamar.
Agnia kemudian memasuki kamar setelah pintu berhasil terbuka. Kamar itu sangat luas dengan interior yang mewah, ternyata orang tuanya sekaya ini sampai bisa menyewa tempat tidur yang begitu mewah.
Agnia tidak menyia-nyiakan kesempatan, jadi pertama dia mencoba kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya, dia juga ingin segera berganti pakaian, karena sebelumnya ibunya memberikan pakaian untuk ganti. Kemudian tidur sebentar sampai orang tuanya datang dan membangunkannya.
15 menit berlalu dan Agnia baru saja keluar dari kamar mandi, sekarang tubuhnya sudah lebih segar. Dia lupa membawa baju ganti pemberian ibunya. Karena itu, Agnia masih mengenakan jubah mandi. Dia mengeluarkan baju dari paperbag dan dibuat melotot saat melihat baju seperti apa itu.
“Ini … kenapa pakaiannya seperti ini? Apa Mama salah memberikannya?” Agnia yakin tidak mungkin Mamanya memberikan baju dengan bahan tipis dan sangat menerawang itu untuk dia kenakan. Itu bahkan lebih pantas disebut sebagai pakaian dalam. Sebenarnya Agnia pernah melihat baju seperti itu di mall, dan orang-orang menyebutnya sebagai lingerie. Agnia tidak mengerti kenapa dia mendapatkan pakaian seperti itu.
Dia kembali memasukkan pakaian itu ke dalam paperbag namun aktivitasnya terhenti saat sebuah suara tiba-tiba terdengar.
“Kenapa tidak dipakai?”
Tubuh Agnia membeku seketika, suara itu … dia pernah mendengarnya di suatu tempat. Jadi dia berbalik hanya untuk melihat seorang pria bersandar di sisi tembok dengan pandangan tenang menatap pada Agnia yang justru itu semakin membuat alarm berbahaya di dalam kepalanya aktif.
Namun yang mengisi kepalanya lebih banyak adalah, kenapa dia bisa berada di sini?
Pria itu—Kaivan—dia semakin mendekat setelah melihat Agnia yang tampak bergeming di tempatnya. Seringai terbit bersamaan dengan pandangan matanya yang semakin mengunci Agnia di sana.
“Ada apa? Kamu tidak menyukai pakaian itu? Atau … memilih untuk tidak mengenakannya?” Kaivan berhenti tepat di depan Agnia.
Agnia tidak tahu dia berada di posisi seperti apa, dan apa yang lelaki itu katakan barusan? Agnia semakin dibuat bingung. Tapi untuk menghindari situasi berbahaya lebih dari ini. Agnia berinisiatif untuk menyerah. Dia akan keluar dari kamar itu dengan tenang, dan membiarkan pria itu tinggal di sana selama yang ia mau. Biarkan saja, selama dia bisa keluar, maka dirinya akan aman.
“Sepertinya, Saya salah masuk kamar. Saya—Saya akan segera keluar, maaf.” Agnia bersiap untuk melewati pria itu, namun yang terjadi selanjutnya tangannya di cekal dan tubuhnya tiba-tiba sudah terjatuh di atas ranjang dengan posisi pria itu menguncinya dari atas.
“Apa yang kau lakukan?! Lepaskan aku!” Agnia memekik kencang, nada suaranya terdengar bergetar karena rasa takut. Dia berusaha memberontak, namun percuma, kedua tangannya telah dikunci oleh Kaivan.
“Tolong!”
“Teruslah berteriak, kamu tahu, bahkan orang yang kamu percayai saja sudah tidak peduli kamu selamat atau tidak.”
Agnia tidak peduli dengan apa yang dikatakan pria itu, namun perkataan Kaivan selanjutnya justru membuat Agnia tertegun.
“Apa kamu tidak merasa penasaran kenapa wanita itu memberikan nomor kamar ini kepadamu?” Agnia tahu maksud ‘wanita itu’ mengacu pada ibunya. Namun dia tidak ingin menerima hal buruk apapun tentang ibunya.
Melihat Agnia yang hanya diam Kaivan kembali melanjutkan. “Itu karena orang tuamu sudah menjual kamu kepadaku.”
Bagai tersambar petir, kenyataan itu seolah mengoyak dengan kasar perasan Agnia. Begitu perih dan sesak. Berusaha untuk tidak percaya namun semuanya seolah menjadi jelas sekarang. Mulai dari Ayahnya yang mengajak Agnia ke pesta ini dengan alasan ingin mengenalkan Agnia kepada rekan kerjanya namun malah meninggalkan Agnia sendiri. Sampai ibunya yang memberikan lingerie untuk Agnia kenakan, hingga nomor kamar orang lain padanya, terlebih itu adalah seorang pria dewasa.
Agnia menggelengkan kepalanya dengan tegas, setidaknya dia tidak ingin orang lain menertawakannya karena begitu menyedihkan. Matanya sudah mengembun namun dia enggan menyerah, menolak untuk meneteskan air matanya di hadapan orang asing.
“Lepaskan aku!”
Kaivan terkekeh kecil, perlahan tangannya membelai pipi Agnia. Saat itu juga, Agnia merasakan perasaan jijik yang teramat besar dari pipi yang seolah telah ternoda itu.
“Itu tidak mungkin, Sayang. Kamu tahu, kan, kamu sudah dijual orang tuamu. Artinya, bukan hanya sebatas kamu berada di sisiku, tapi kamu juga harus melakukan apapun yang aku inginkan,” kata Kaivan, berbisik tepat di telinga Agnia membuat wanita itu memejam merasakan napas hangat pria itu di telinganya.
“Jadi, bagaimana jika kita bersenang-senang, sekarang—”
“Maaf, sepertinya Saya telah mengganggu waktu baik kalian?” Suara lain terdengar membuat atensi dua orang itu teralihkan.
Sementara Kaivan berdecak karena merasa diganggu, Agnia merasa dirinya dibuat semakin kalut dengan apa yang selanjutnya akan terjadi.
“Abian?” Suara Agnia begitu pelan namun Kaivan mendengarnya dengan begitu jelas. Dia yang awalnya berniat bangkit kembali menahan Agnia tetap di sana.
“Kamu mengingat dia tapi sepertinya melupakanku?” Suara Kaivan menajam membuat Agnia menahan napas saat merasakan amarah Kaivan padanya.
“Tapi aku tidak masalah untuk menunjukkan apa yang akan kita lakukan pada orang asing.” Kaivan yang semula ingin menyentuh Agnia langsung tertarik ke belakang dan terhuyung beberapa langkah saat seseorang mendorongnya dengan kasar menjauhi Agnia.
“Saya tidak tahu Anda adalah seseorang yang begitu tidak tahu diri, dan tidak memiliki rasa malu!” Abian berkata tajam, sembari melayangkan satu pukulan di rahang tegas Kaivan.
Kaivan merasakan rahangnya ngilu, dia menatap begitu tajam pada orang yang telah mengganggu kesenangannya. “Saya pikir kita tidak pernah memiliki masalah sebelumnya Pak Abian, kenapa sekarang Anda ikut campur dengan urusan Saya?” tanya Kaivan, sembari memijat rahangnya untuk mengurangi rasa sakit.
“Tentu Saya tidak akan ikut Campur, tapi dia adalah orang Saya. Jadi Saya akan mengambilnya kembali, Anda tidak keberatan hanya karena kehilangan uang beberapa ratus juta, bukan?” Abian berkata sarkas, dia sudah mencari tahu sebelumnya dan mengetahui Agnia menjadi salah satu orang yang dijual di kapal pesiar ini.
Saat Abian sudah memapah Agnia untuk berdiri dan keluar dari sana suara Kaivan kembali terdengar. “Apa sebelumnya Saya mengatakan kalau Saya setuju?”
“Kalau begitu Saya harus memaksa,” jawab Abian tak kalah tajam.
“Kalau begitu kau bisa membawanya,” kata Kaivan, seutas senyum muncul di sudut bibirnya. Hanya sampai aku mengambilnya kembali, nanti! batinnya berbicara.
Abian menyampirkan jas yang dia kenakan pada bahu Agnia. Sebelum Abian dan Agnia benar-benar keluar dari kamar Kaivan, Agnia menghentikan langkah. Dia berbalik dan kembali bertanya untuk meyakinkan hatinya kalau semua ini tidaklah benar. “Apa yang kamu katakan tadi benar? Orang tuaku yang memberikanku padamu?” tanya Agnia dengan pandangan kosong.
“Benar, tidak ada keraguan, bahkan aku membayarmu lima kali lipat dari perjanjian mereka dengan klien awal mereka hanya agar kamu tidak diserahkan kepada pria tua bangka itu,” kata Kaivan dengan intonasi datar, namun sorot matanya masih dipenuhi hasrat dan keinginan.
“Kita pergi dari sini sekarang,” Ajak Abian, membawa Agnia keluar dari kamar Kaivan membuat Agnia seaman mungkin.
Jadi seperti itu? Ternyata semua hanya rekayasa. Hanya ilusi yang dibuat oleh perasaan seolah semuanya adalah nyata. Padahal yang terjadi, semua kasih sayang itu tidak lebih dari sebuah candaan yang dilakukan untuk menjerat dirinya.
Agnia tertawa miris dalam hati, apa dia yang terlalu bodoh sampai berpikir jika orang tua angkatnya itu benar-benar mencintainya? Ataukah dia yang terlalu merasa sepi hingga cinta mereka terasa tulus dan begitu berarti.
Pada akhirnya, Agnia kembali seorang diri, dibersamai takdir dengan luka yang tampaknya tidak akan sembuh dalam hitungan hari.
Abian menyadari perasaan sakit hati Agnia, karenanya dia berniat untuk membuat wanita itu bisa sedikit lebih tenang. “Tidak masalah, semuanya akan kembali membaik. Sekarang, ikutlah bersamaku, kamu bebas pergi setelah mendapatkan tempat yang aman untuk tinggal.”
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!