Pagi itu, matahari sudah muncul di ufuk timur. Sinarnya lembut dan penuh kehangatan. Di sana, terlihat seorang wanita sedang sibuk melakukan pekerjaan di halaman depan, menyiram tanaman yang tampak masih begitu segar. Agnia, wanita itu tersenyum kecil merasakan udara pagi yang masih segar, bahkan embun masih menempel di dedaunan.
Dengan lembut, dia menyiram setiap tanaman, menjangkaunya dengan penuh perasaan. Setiap kelopak yang terkena tetesan air seolah menari dengan gerakan anggun sebelum air itu jatuh dan menyerap ke akar-akar yang haus. Kicauan burung juga terdengar, menambah perasaan tenang pagi itu.
Sebelumnya Agnia meminta pekerjaan ini pada seorang maid yang ia kenal, meskipun sempat ragu akhirnya wanita itu membiarkan Agnia melakukannya.
Dia tersenyum puas saat pekerjaannya selesai dilakukan. Namun, baru saja Agnia berbalik untuk menyimpan peralatan, sosok tinggi sudah berada di hadapannya nyaris membuat mereka bertabrakan.
“Abian? Kamu sudah pulang?” Agnia terkejut, pasalnya dia tidak tahu jika Abian sudah selesai dengan pekerjaannya di luar kota. Tapi ada apa dengan wajah lelaki itu, kenapa raut wajahnya terlihat begitu serius dan lebih dingin dari biasanya.
“Kenapa?” Dia hanya takut baru saja melakukan kesalahan.
Abian mengangkat sebelah alis, pandangannya tertuju pada selang air yang digunakan Agnia untuk menyelesaikan pekerjaannya tadi. “Aku sudah bilang sebelumnya, bukan. Kamu tidak perlu melakukan pekerjaan apapun di rumah ini. Cukup nikmati saja waktumu, apa melakukan itu begitu sulit.” Terdapat decakan kesal diantara suaranya itu, Agnia terdiam sejenak, dia tidak tahu Abian akan menjadi se-emosional ini hanya karena dia menyiram tanaman.
“Tapi ini bukan pekerjaan yang berat.” Agnia membuat alasan, lagipula itu memang benar.
“Aku hanya tidak ingin kamu merasa aku membawamu ke sini hanya untuk dipekerjakan,” kata Abian, mengatakan keresahannya.
“Kamu tidak perlu khawatir. Aku melakukannya karena aku suka. Saat aku tinggal bersama orang tua angkatku. Waktu itu aku juga sering melakukan pekerjaan rumah, itu membuatku lebih produktif. Terlebih setelah semua yang terjadi aku hanya memerlukan sesuatu yang bisa membuat pikiranku teralihkan,” kata Agnia, tenang.
Abian menghela napas, dia tidak bisa memaksa Agnia untuk melakukan apa yang dia inginkan. Lagipula Agnia memang memiliki hak atas apa yang ingin dia lakukan, tidak perlu orang lain untuk mengaturnya.
Kemudian Agnia teringat sesuatu, jadi dia bertanya. “Benar, aku akan pergi ke suatu tempat, jadi aku ingin meminta izin darimu,” kata Agnia, dia hanya merasa harus memberi tahu Abian tentang sesuatu yang akan dia lakukan. Bagaimanapun, sekarang Agnia tinggal di tempatnya.
“Ke mana?” tanya Abian.
“Ke panti, aku ingin menjenguk anak-anak di sana. Sekalian bertemu dengan Ibu panti,” kata Agnia, memberi tahu.
Abian kemudian terlihat diam, tidak berbicara lagi. Kepalanya tampak dipenuhi dengan satu pikiran. Kemudian langsung pergi begitu saja, membuat Agnia tercengang dengan tingkah ajaib pria itu.
“Ada apa dengan dia pagi ini, sangat aneh,” kata Agnia, merenung, sebelum pergi ke area ruangan belakang untuk menyimpan peralatan yang dia gunakan sebelumnya.
Sudah sekitar 15 menit kemudian Agnia kemudian keluar dari kamarnya dengan pakaian santai. Dia mengenakan cardigan grey dengan jeans kulot berwarna putih.
Perlahan namun pasti dia mulai menuruni tangga satu-persatu. Ini minggu pagi, jadi jadwal Agnia hari itu adalah mengunjungi panti tempat tinggalnya dulu. Persis seperti yang sering dia lakukan saat masih tinggal di rumah orang tua angkatnya.
Benar, Agnia dulu adalah seorang anak yang tidak mengenal orang tuanya. Dia tinggal di panti asuhan Tiara Kasih bersama anak-anak yang lain. Saat usianya 15 tahun, Agnia diadopsi oleh keluarga barunya. Semuanya benar-benar adalah kehidupan yang menyenangkan selama beberapa tahun sampai Agnia berusia 20 tahun, kejadian mengerikan itu terjadi.
Bagaimanapun Agnia berterima kasih pada keluarga Angkatnya karena telah merawatnya, dan menyekolahkannya. Namun saat dia mulai memasuki bangku kuliah Agnia ingin mandiri, karenanya dia bisa mendapatkan beasiswa penuh untuk pendidikannya. Dia juga mengambil pekerjaan di sela-sela kesibukan kuliahnya hanya untuk memenuhi kehidupannya meskipun itu sudah dipenuhi oleh sang Ayah.
Agnia kemudian sampai di teras depan, dia baru akan memesan ojek online untuk membantunya sampai ditempat tujuan. Saat suara Abian tiba-tiba terdengar membuat Agnia melongo dibuatnya. Bagaimana tidak, tiba-tiba saja Abian berkata, “Ayo.” Bahkan tanpa melihat ke arah Agnia dan berlalu begitu saja mendahuluinya.
Agnia bahkan tidak tahu apakah Abian baru saja berbicara kepadanya atau tidak. Meskipun begitu dia tetap mengikuti langkah Abian yang sepertinya akan menuju mobil yang sudah terparkir di depan sana. Entah sejak kapan mobil itu siap.
Agnia dibuat semakin bungkam saat Abian sudah membukakan pintu depan seolah menunggu Agnia masuk. Namun Agnia masih diam menatap Abian dengan tidak percaya. “Apa ini?” tanyanya.
“Ingin pergi ke panti, kan? Ayo,” kata Abian, sudah siap menunggu Agnia memasuki mobilnya.
“Tunggu!” Agnia mengangkat tangan, masih mencerna ini semua.
“Terus kamu mau ke mana?” tanya Agnia.
“Mengantarmu.”
“Hah?!”
Ini seperti suasana membingungkan yang baru saja terjadi, kenapa Abian ikut bersamanya? Dan atas dasar apa?
“Kenapa diam, tidak jadi pergi?”
“Tapi, sebelumnya hanya aku yang yang akan pergi. Kenapa sekarang kamu juga ….”
Abian mendengus, merasa kesal juga karena Agnia tidak kunjung memasuki mobilnya. “Hanya mencari kesibukan,” jawab Abian seadanya.
Meskipun masih dilanda perasaan aneh karena sikap Abian, tak urung Agnia akhirnya tetap memasuki mobil pria itu. Setelah Abian menutup pintu, dia memutari mobil sebelum masuk dan duduk di kursi kemudi.
Perjalanan memakan waktu hampir satu setengah jam, dan Agnia rasanya sudah lelah karena terus duduk di kursi mobil Abian. Namun untung saja mobil itu sudah berhenti di depan sebuah bangunan cukup besar, dengan plang nama bertuliskan.
...Panti Asuhan Tiara Kasih....
Agnia memperhatikan itu dengan wajah sumringah. Anak-anak kecil yang sedang bermain di halaman langsung merasa penasaran dengan kedatangan seseorang. Namun saat Agnia keluar dari mobil, senyum lebar anak-anak tercetak jelas. Suara imut mereka terdengar memanggil namanya. Agnia berjongkok sembari merentangkan tangan hanya untuk mendapati tubuh mungil itu sudah membrondonginya dengan pelukan hangat.
“Gimana keadaan kalian, semuanya sehat, kan?” kemudian riuh suara menyahut pertanyaan Agnia terdengar, mereka membalas, “Sehat!” Hanya untuk membuat Agnia tertawa karenanya.
Pelukan itu terlepas, Agnia masih belum melunturkan senyum dari bibirnya. “Alhamdulillah, Kakak bawa hadiah, loh, buat kalian. Bentar ya.” Agnia lantas berdiri setelah mendengar sorakan, ‘hore’ dari anak-anak itu.
Abian yang saat itu menatap interaksi Agnia dengan anak panti hanya memasang wajah tanpa ekspresi meskipun sebenarnya hatinya ikut menghangat.
“Bisa bantu aku keluarkan barang-barangnya?” tanya Agnia dengan nada memohon. Melihat Abian mengangguk kemudian berjalan ke arah bagasi membuat Agnia tersenyum. Dia mengikuti langkah Abian, membantu mengeluarkan makanan dan beberapa hadiah untuk anak-anak panti.
“Ini ada makanan dan hadiah buat kalian, coba sekarang baris dulu, yah,” usul Agnia, anak-anak itu serentak mengangguk dan mulai membentuk barisan memanjang. “Yang rapi, ya. Awas, jangan saling dorong nanti ada yang jatuh,” katanya memperingati, saat melihat beberapa anak saling mendorong.
Kemudian Agnia membagikannya, terdengar kata, “Terima kasih, Kak Agnia.” Dari mereka, dan Agnia hanya mengangguk sambil sesekali menepuk pucuk kepala anak-anak itu.
Itu berlangsung tidak terlalu lama, setiap anak sudah mendapatkan bagiannya. Agnia kemudian tersenyum saat Ibu panti baru saja menghampirinya dengan senyum tidak kalah menyenangkan.
Ibu panti kemudian menatap pada anak-anak itu dengan sorot mata yang begitu lembut. “Anak-anak, main dulu di tempat lain, ya. Biarin Kak Agnia istirahat dulu.” Kemudian Anak-anak itu menurut dan memberikan ruang untuk para orang dewasa berbicara.
“Sudah lama sampai di sini?” tanya Ibu panti saat sudah sampai di hadapan Agnia.
Agnia menggeleng sekilas. “Tidak, Agnia baru saja sampai. Oh iya—” Dia kemudian kembali menuju bagasi mobil untuk mengambil dua kantong plastik berukuran besar yang berisi bahan masakan dan juga cemilan anak-anak. Sebelumnya, dalam perjalanan memang Agnia mampir ke beberapa toko untuk membeli beberapa barang.
“Padahal kamu tidak perlu repot-repot seperti ini. Cukup kamu datang ke sini saja untuk menjenguk anak-anak Ibu sudah senang.”
“Tidak repot kok, Bu. Agnia senang melakukannya,” kata Agnia, kemudian dia teringat tentang Abian yang berada di sebelahnya. Pria itu hanya diam memperhatikan sekitar tanpa suara. Agnia nyaris melupakan kehadiran Abian jika dia tidak berada tepat di sampingnya saat ini. “ Oh, iya. Ibu ini kenalin, namanya Abian. Dia—” Agnia tidak tahu harus mengatakan hubungan mereka terjalin seperti apa. Ingin mengatakan teman, Agnia tidak tahu apakah Abian bersedia.
Tapi kemudian suara Abian membuat Agnia mendelik kecil. “Saya atasannya,” katanya, membuat Agnia membatin dalam hati. Sejak kapan aku bekerja pada Abian?
“Oh begitu, ternyata atasan kamu baik sekali mau mengantarmu, ya?” Namun sorot Ibu panti tampak mencurigakan saat menatap ke arah Agnia dan Abian. Seolah itu adalah konspirasi berbahaya yang sedang dia buat di kepalanya.
Agnia hanya menghela napas. “Ayo, Bu. Agnia bantu membawa barang-barang ini,” kata Agnia. Dia melihat pada Abian sekilas. “Kamu mau ikut ke dalam?” tanya Agnia.
Abian menatap sekilas. “Tidak, aku akan melihat-lihat di sekitar sini.” Agnia mengangguk saja, dia kemudian masuk ke dalam rumah panti dengan Ibu panti yang juga membawa satu kantung plastik berisi bahan makanan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 32 Episodes
Comments