Kenyataan pahit

Saat pelukan mereka terlepas, Dimas segera menjauh, kembali ke sikap dinginnya yang biasa. Wajahnya kembali tanpa ekspresi, seolah momen kerentanan tadi tidak pernah terjadi.

"Adinda" ujarnya datar, "ada sesuatu yang harus kau ketahui."

Rani menatapnya, berharap akan melihat setitik kehangatan di mata Dimas. Namun yang ia temukan hanyalah kekosongan.

"Kita tidak bisa bercerai," lanjut Dimas tanpa basa-basi.

"Apa maksudmu?" tanya Rani, keheranan terdengar jelas dalam suaranya.

Dimas berjalan menuju jendela, memunggungi Rani. "Keluargaku telah menuliskan nama ahli waris menjadi namamu, Adinda."

Rani terkesiap. "Tapi... bagaimana bisa?"

"Itu tidak penting," potong Dimas dingin. "Yang penting adalah, ada syarat untuk mendapatkan warisan itu. Kita harus memberikan cucu untuk ayahku."

Keheningan yang berat menyelimuti ruangan. Rani merasa seolah dunianya kembali terguncang. Baru saja ia merasa ada harapan untuk bebas, dan sekarang dia harus kembali menghadapi kenyataan pahit.

"Jadi," Rani akhirnya bersuara, "kita terjebak dalam pernikahan ini?"

Dimas berbalik, matanya menatap Rani tanpa emosi. "Ya. Dan kita harus memiliki anak."

Rani merasakan amarah mulai menggelegak dalam dirinya. "Kau ingin kita memiliki anak? Dalam situasi seperti ini?"

"Ini bukan tentang keinginan, Rani," jawab Dimas dingin. "Ini tentang keharusan. Warisan itu terlalu penting untuk dilepaskan."

"Bagaimana dengan perasaanku? Dengan perasaanmu untuk Kayla?" tanya Rani, suaranya bergetar.

Dimas menatapnya tajam. "Perasaan tidak ada hubungannya dengan ini. Kita memiliki tanggung jawab, dan kita harus melakukannya."

Rani merasa air matanya mulai menggenang. "Kau tidak bisa serius, Dimas. Kita tidak bisa memiliki anak hanya demi warisan!"

"Kita bisa, dan kita harus," tegas Dimas. "Aku tidak peduli apakah kau setuju atau tidak. Ini adalah keputusanku, dan sebagai istriku, kau harus mematuhinya."

Rani merasakan Adinda bergejolak di dalam dirinya, seolah ingin melawan Dimas. Namun Rani menahannya.

"Dan bagaimana dengan Kayla?" tanya Rani lagi.

"Kayla bukan urusanmu," jawab Dimas dingin. "Fokus saja pada tugasmu sebagai istri."

Rani merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia tahu Dimas dingin, tapi ia tidak pernah membayangkan suaminya bisa sekejam ini.

"Jadi itu saja? Aku hanyalah alat untuk mendapatkan warisanmu?" tanya Rani, suaranya nyaris berbisik.

Dimas menatapnya tanpa ekspresi. "Kau adalah istriku, Rani. Terima kenyataan itu dan lakukan tugasmu."

Dengan itu, Dimas berjalan keluar dari ruangan, meninggalkan Rani sendirian dengan air mata yang mulai mengalir.

Rani merosot ke lantai, isakan mulai keluar dari bibirnya. Ia bisa merasakan Adinda berusaha menenangkannya dari dalam, tapi kali ini bahkan kehadiran Adinda tidak cukup untuk menghiburnya.

"Apa yang harus kulakukan, Adinda?" bisik Rani di antara isakannya.

Malam itu, saat berbaring sendirian di tempat tidur yang terlalu besar, Rani merasa lebih terjebak dari sebelumnya. Dimas memilih untuk tidur di kamar tamu, meninggalkan Rani dengan pikirannya yang kacau.

Rani berbisik pelan dalam kegelapan, "Adinda, aku tidak tahu apakah aku bisa melakukan ini. Bagaimana aku bisa memiliki anak dengan pria yang bahkan tidak menganggapku sebagai manusia?"

Kehangatan yang familiar menyebar di dadanya, namun kali ini terasa seperti pelukan yang menenangkan. Rani tahu Adinda ada bersamanya, tapi ia juga tahu bahwa masalah ini terlalu besar untuk diselesaikan hanya dengan kehadiran Adinda.

Dengan air mata yang masih mengalir, Rani jatuh dalam tidur yang gelisah, bertanya-tanya bagaimana ia akan menghadapi hari esok dan hari-hari setelahnya dalam pernikahan yang terasa seperti penjara ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!