Pagi itu, sinar mentari merayap masuk melalui celah-celah tirai, menyinari ruang keluarga yang masih sunyi. Dimas duduk di sofa, secangkir kopi mengepul di tangannya. Matanya menatap kosong ke arah foto keluarga yang terpajang di dinding, seolah mencari jawaban dari wajah-wajah bahagia yang tersenyum dalam bingkai.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Dimas meraih ponselnya. Ia tahu panggilan yang akan ia lakukan ini bisa mengubah segalanya. Suara nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya terdengar suara lembut Bu Siti di seberang sana.
"Halo, Dimas. Ada apa pagi-pagi begini?" tanya Bu Siti, nada khawatir tersirat dalam suaranya.
Dimas menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. "Bu, ada sesuatu yang perlu ibu ketahui tentang kondisi Rani... maksud saya, Adinda."
Keheningan sesaat menyelimuti percakapan itu. Dimas bisa membayangkan wajah Bu Siti yang pasti tengah berkerut khawatir.
"Ada apa, Dimas? Apa yang terjadi pada putriku?" tanya Bu Siti, suaranya kini dipenuhi kecemasan.
Dengan hati-hati, Dimas mulai menjelaskan situasi yang sebenarnya. Ia menceritakan tentang hasil pemeriksaan dokter, tentang kemungkinan dissosiasi yang dialami Rani, dan tentang ingatan yang terhapus. Sesekali terdengar isakan pelan dari seberang telepon, membuat hati Dimas terasa seperti diremas.
"Ya Allah," ujar Bu Siti lirih, suaranya bergetar menahan tangis. "Apa yang sebenarnya terjadi pada putriku?"
Dimas menghela napas berat. "Kita belum tahu pasti, Bu," jawabnya, berusaha menjaga suaranya tetap tenang meski hatinya berkecamuk. "Tapi dokter menyarankan untuk memulai terapi. Mungkin... mungkin ada sesuatu yang terjadi di masa lalu yang perlu kita bicarakan."
Percakapan itu berlangsung lama. Dimas menjelaskan dengan sabar, sementara Bu Siti bergantian menangis dan bertanya. Akhirnya, setelah diskusi panjang, diputuskan bahwa Bu Siti akan datang lagi ke rumah mereka. Kali ini, dengan pendekatan yang lebih hati-hati dan pemahaman akan kondisi Rani.
*****
Sore harinya, suara bel pintu memecah keheningan rumah. Rani, yang sedang duduk di sofa membaca buku, merasakan jantungnya berdegup kencang. Ia tahu siapa yang datang, dan meski ada rasa takut, ada juga secercah harapan yang mulai tumbuh.
Dimas membuka pintu, mempersilakan Bu Siti masuk. Wanita paruh baya itu melangkah masuk dengan hati-hati, matanya langsung mencari sosok putrinya. Ketika pandangan mereka bertemu, ada campuran emosi yang terpancar - kerinduan, kesedihan, dan harapan.
Rani berdiri perlahan, tubuhnya sedikit gemetar. Meski masih belum bisa mengingat sosok di hadapannya sebagai ibunya, ada perasaan familiar yang mulai tumbuh. Sesuatu dalam dirinya seolah berbisik bahwa wanita ini adalah bagian penting dari hidupnya.
"Adinda...," ujar Bu Siti lembut, suaranya penuh kasih sayang. "Bolehkah ibu memelukmu?"
Rani mengangguk perlahan, membiarkan dirinya dipeluk oleh wanita yang katanya adalah ibunya itu. Aroma parfum yang familiar mengisi indranya, membawa sebersit kenangan yang masih samar. Untuk sesaat, ia merasakan kehangatan yang familiar, meski ingatannya masih kabur.
"Kita akan melalui ini bersama-sama," ujar Bu Siti, air mata mengalir di pipinya. Ia membelai rambut Rani dengan lembut, seolah tak ingin melepaskan. "Apapun yang terjadi di masa lalu, kita akan menghadapinya."
Dimas memandang pemandangan di hadapannya dengan haru. Matanya berkaca-kaca menyaksikan pertemuan ibu dan anak yang penuh emosi ini.
Malam mulai turun ketika mereka bertiga duduk di ruang keluarga. Lampu temaram menciptakan suasana yang hangat dan intim. Ada secangkir teh hangat di hadapan masing-masing, uapnya mengepul lembut ke udara.
Meski masih ada kecanggungan yang terasa, ada juga kehangatan yang perlahan mulai tumbuh. Rani duduk di antara Dimas dan Bu Siti, sesekali matanya melirik ke arah foto-foto keluarga yang terpajang di dinding. Ada kerinduan yang mulai tumbuh dalam dirinya, kerinduan akan ingatan dan perasaan yang hilang.
"Jadi," Bu Siti memulai dengan lembut, tangannya menggenggam tangan Rani. "Dokter bilang kamu mengalami... apa namanya, Dimas?"
"Dissosiasi, Bu," jawab Dimas. "Semacam mekanisme pertahanan pikiran untuk melindungi diri dari trauma atau stres berat."
Rani mengangguk pelan. "Aku... aku masih tidak bisa mengingat banyak hal. Tapi ada perasaan familiar yang mulai muncul. Seperti ada kabut tebal yang perlahan mulai menipis."
Bu Siti tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca. "Tidak apa-apa, sayang. Kita akan melalui ini bersama-sama. Pelan-pelan saja."
Mereka berbincang sepanjang malam, berbagi cerita dan kenangan. Bu Siti menceritakan masa kecil Rani, sementara Dimas sesekali menambahkan dengan kenangan mereka berdua. Rani mendengarkan dengan seksama, berusaha menangkap setiap detail, berharap bisa memicu ingatannya.
Kadang, ada momen di mana Rani merasa frustasi karena tidak bisa mengingat. Namun, Dimas dan Bu Siti selalu ada di sana, menenangkan dan memberinya dukungan. Mereka tahu bahwa proses penyembuhan tidak akan mudah, tapi setidaknya mereka telah memulai langkah pertama.
Ketika jam menunjukkan pukul 11 malam, mereka memutuskan untuk beristirahat. Bu Siti akan menginap di kamar tamu, sementara Rani dan Dimas kembali ke kamar mereka.
Sebelum tidur, Rani berdiri di depan cermin, menatap refleksi dirinya sendiri. Ada banyak pertanyaan yang masih belum terjawab, banyak ingatan dari si pemilik tubuh, Adinda yang masih tersembunyi yang membuatnya making frustasi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments