Perjanjian

Mobil mewah mereka meluncur mulus membelah jalanan kota yang mulai sepi. Rani masih menatap keluar jendela, berusaha menghindari tatapan tajam Dimas. Keheningan di dalam mobil terasa mencekik. Aroma kulit mahal dan parfum mewah bercampur dengan ketegangan yang menggantung di udara.

"Kau sadar apa yang baru saja kau lakukan?" Dimas akhirnya memecah kesunyian, suaranya dingin dan mengancam.

Rani menelan ludah, jemarinya meremas gaun sutranya dengan gelisah. "A-aku minta maaf. Aku hanya..."

"Hanya apa?" potong Dimas kasar, matanya berkilat marah dalam keremangan mobil. "Kau hampir saja membongkar semuanya di depan Felicia! Apa kau tahu konsekuensinya jika rahasia kita terbongkar?"

"Aku tidak bermaksud..." Rani mencoba menjelaskan, suaranya bergetar.

"Tidak bermaksud?" Dimas tertawa sinis, suaranya memantul di interior mobil yang sunyi. "Kau bertingkah aneh sepanjang malam. Kau lupa soal butik, soal ibumu... bahkan cara bicaramu berbeda! Apa yang sebenarnya terjadi padamu, Adinda?"

Rani terdiam, otaknya berpacu mencari jawaban. Haruskah ia jujur? Mengatakan bahwa ia sebenarnya bukan Adinda? Tapi siapa yang akan percaya?

"Aku... aku hanya sedang tidak enak badan," Rani akhirnya menjawab lemah, menundukkan kepalanya.

Dimas mendengus, aroma mint dan alkohol tercium dari napasnya. "Alasan klasik. Kau pikir aku bodoh?"

Mobil berhenti di depan mansion mewah mereka. Begitu pintu mobil ditutup, Dimas langsung mencengkeram lengan Rani, menariknya masuk ke dalam rumah. Suara sepatu mereka bergema di lantai marmer yang dingin.

"Dengar baik-baik," desis Dimas, matanya menatap tajam. Ia mendekatkan wajahnya, Rani bisa merasakan napasnya yang panas. "Aku tidak peduli apa yang terjadi padamu. Tapi jangan coba-coba mengacaukan rencana kita. Terlalu banyak yang dipertaruhkan di sini."

"Rencana apa?" tanya Rani, memberanikan diri. Jantungnya berdegup kencang. "Aku... aku tidak ingat."

Dimas menatapnya curiga, alisnya berkerut dalam. "Kau benar-benar lupa? Atau ini hanya trikmu untuk keluar dari perjanjian kita?"

"Aku sungguh tidak ingat," Rani memohon, matanya berkaca-kaca. "Tolong ceritakan padaku."

Dimas mendengus. "Alasan klasik. Kau pikir aku bodoh?"

Mobil berhenti di depan mansion mewah mereka. Begitu pintu mobil ditutup, Dimas langsung mencengkeram lengan Rani, menariknya masuk ke dalam rumah.

Sesampainya di dalam rumah, Dimas menghela napas panjang, melepaskan cengkeramannya di lengan Rani. "Baiklah. Tapi ingat, apa pun yang terjadi, kau terikat kontrak. Kau tidak bisa mundur."

Ia mulai menjelaskan. Tentang bagaimana pernikahan mereka hanyalah sebuah kesepakatan bisnis. Adinda, putri tunggal keluarga bankir terkemuka, menikah dengan Dimas untuk menyelamatkan bank keluarganya yang di ambang kebangkrutan. Sebagai gantinya, Dimas mendapatkan akses ke lingkaran elite perbankan.

"Kita sepakat untuk berpura-pura menjadi pasangan bahagia selama lima tahun," Dimas melanjutkan. "Setelah itu, kita bercerai baik-baik dan kau mendapatkan kompensasi yang sudah dijanjikan."

Rani terdiam, mencerna informasi ini. Jadi inikah kehidupan yang ia 'warisi' dari Adinda? Sebuah sandiwara besar penuh kebohongan?

"Apa kau benar-benar tidak ingat semua ini?" tanya Dimas, matanya menyipit curiga.

Rani menggeleng pelan. "Maafkan aku... aku... mungkin aku hanya butuh istirahat."

Dimas menatapnya lekat, seolah berusaha membaca pikirannya. "Baiklah. Istirahatlah. Tapi ingat, besok kita ada rapat penting dengan dewan direksi bank. Pastikan kau sudah 'normal' lagi besok."

Tanpa menunggu jawaban, Dimas berbalik dan meninggalkan Rani sendirian di ruang tamu yang mewah namun terasa dingin.

Dengan langkah gontai, Rani menaiki tangga menuju kamarnya - kamar Adinda. Begitu pintu tertutup, air mata yang sedari tadi ditahannya akhirnya tumpah. Ia merindukan kehidupannya yang dulu. Merindukan anak-anak didiknya di TK. Merindukan apartemen mungilnya yang hangat.

Dan lebih dari segalanya, ia merindukan Bima.

Rani meraih ponsel Adinda, jemarinya gemetar saat ia mengetikkan nama "Bima" di mesin pencari. Puluhan artikel muncul, kebanyakan tentang seorang pemuda yang mengalami kecelakaan parah pagi ini..

Jantung Rani seolah berhenti berdetak saat ia membaca headline salah satu artikel:

"Korban Kecelakaan Maut, Bima (28) Masih Koma di Rumah Sakit"

"Oh, Tuhan," bisik Rani, air matanya mengalir deras. "Apa yang sebenarnya terjadi?"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!