BAB 5

Hari ini, Rena pergi ke sekolah seperti biasa. Diantar sopir pribadi, berjalan sendirian menuju kelas, serta mendengar caci maki yang terus dilontarkan kepadanya. Ternyata dia benar-benar tidak punya teman di sekolah ini. Tidak hanya teman sekelas, hampir seluruh siswa di sekolah termasuk adik kelas, ikut mengolok-olok fisiknya.

Di kehidupannya yang asli, Alisa tidak pernah mengalami atau bahkan melihat perundungan seperti ini. Jadi saat merasakan sendiri perundungan yang dialami oleh Rena, jiwa Alisa tidak tahu harus bersikap bagaimana. Maka dari itu, ia memilih untuk diam saja.

‘Aku tidak tahu ada perundungan di Indonesia, aku kira itu hanya terjadi di negara-negara kapitalis saja,’ cibir Rena dalam hati.

Setidaknya mereka ‘hanya’ mencaci dan melempari dirinya dengan barang-barang ringan. Selama tidak ada kekerasan yang ia alami, Rena akan membiarkan mereka saja. Demi keselamatan dan ketenangan hidupnya.

Mungkin saat yang tenang untuk Rena di sekolah hanya pada saat jam pelajaran saja. Ketika guru keluar dari kelas, saat itu juga ketenangannya berakhir. Seperti saat ini.

“Heh, Karung Beras! Belikan aku minuman di kantin.”

Rena tahu jika gadis di sampingnya sedang menyuruhnya. Tapi karena gadis itu memanggilnya ‘Karung Beras’, Rena bahkan tidak sudi hanya untuk menoleh. Tanpa menghiraukan perintah teman sekelasnya itu, Rena pun mengeluarkan kotak bekalnya.

Puk!

“Kamu tuli, ya?!”

Rena memejamkan matanya setelah merasa lemparan pensil mengenai ujung kepalanya. Dan jangan lupakan suara teriakan melengking gadis di sampingnya itu. Mau tidak mau, ia pun menoleh.

“Aku sedang tidak ingin ke kantin,” jawab Rena singkat.

Gadis itu berdecih, “aku menyuruhmu, bukan menitip kepadamu. Pergilah!”

“Pergi sendiri sana. Punya kaki sendiri, kenapa tidak dipakai?” sinis Rena, kemudian mengalihkan perhatian kepada kotak makan siangnya.

“Sialan!” desis gadis itu.

Gadis itu pun bangkit dari duduknya dan mendekati bangku Rena.

Plak!

Rena terkejut saat kepala belakangnya ditampar dengan keras oleh gadis tadi. Tanpa mengatakan apapun, gadis tadi pergi begitu saja seolah tidak ada yang terjadi. Diikuti oleh teman-temannya dari belakang yang juga ikut memberi pukulan-pukulan kepada Rena.

Telapak tangan Rena mengepal keras merasakan beberapa pukulan dari teman-temannya yang berjalan melewati bangkunya. Kepala belakangnya terasa panas akibat pukulan mereka. Apakah mereka tidak pernah diajari untuk tidak menyakiti sesama manusia?

“Apa marga Airlangga sama sekali tidak berpengaruh di sini?” gumam Rena pelan.

...----------------...

Saat bel pulang sekolah berbunyi, Rena segera keluar dari kelasnya sebelum dirundung lagi. Ia berjalan cepat menghindari teman-temannya yang sampai di penghujung hari pun masih tidak bosan mengolok-olok dirinya.

Sungguh, Rena tidak paham, apakah teman-teman di kelasnya tidak punya kesibukan lain selain mengganggu dirinya. Rena pun merasa aman saat sudah hampir sampai di area penjemputan. Sedikit lagi, hingga tiba-tiba ia merasakan dorongan keras dari samping.

Bruk!

“Hahaha….”

Suara tawa siswa-siswi sekolah elit itu memenuhi pendengaran Rena. Siapa lagi kalau bukan dirinya yang menjadi objek tawa mereka. Beberapa detik yang lalu, seorang siswa laki-laki yang sama sekali tidak Rena kenal tiba-tiba menerjang dirinya hingga tubuh besarnya terjatuh. Sayang sekali, ia terjatuh tepat di kubangan lumpur bekas hujan kemarin malam.

Rena segera bangun dan membersihkan kacamatanya yang sudah menghitam karena lumpur. Lihatlah dirinya sekarang, tampak begitu menyedihkan dengan baju dan seluruh tubuh yang dilumuri lumpur kotor.

Mata rabun gadis itu masih bisa melihat dengan jelas ramainya siswa yang sedang menertawakan dan menunjuk ke arahnya. Jiwa Alisa yang berada di dalam tubuh Rena pun tidak kuasa menahan malu dan sakit hati, hingga lelehan air mata lolos dari mata coklat gadis itu.

...----------------...

Tap… tap… tap…

Rena berjalan gontai memasuki rumahnya. Para ART di sana meringis melihat nona muda mereka memasuki rumah dengan penampilan kotor. Tentu saja hal itu akan menambah pekerjaan mereka untuk membersihkan rumah.

“Kenapa sudah pulang? Bukankah kamu ada bimbel hari ini?”

Suara berat sang papa membuat Rena menoleh. Di ruang keluarga, sudah ada papa, mama, dan kakak laki-lakinya yang sedang bersantai dengan beberapa lembar kertas di genggaman mereka.

Rena melirik ke arah jam dinding. Masih sore, tapi kenapa seluruh anggota keluarganya, kecuali si kakak perempuan, sudah berada di rumah. Ia bahkan tidak tahu jika dokter bedah punya waktu seluang ini.

“Bajumu kenapa? Kotor sekali,” ucap Yohana dengan mata menelisik penampilan putri bungsunya.

“Papa tanya, kenapa tidak ke tempat bimbel?” tegas Hendra.

Rena memutar bola mata kesal, “papa mau aku ke tempat bimbel dengan pakaian seperti ini? Cih, yang benar saja.”

Terdengar helaan napas kasar dari Hendra, “cepat sana ganti baju, lalu segera berangkat.”

Setelah mengatakan hal itu, ketiga anggota keluarga Airlangga itu pun kembali dengan kegiatan mereka, yaitu membicarakan urusan rumah sakit sambil sesekali menyesap teh hangat. Melupakan eksistensi sang anggota keluarga termuda yang sedang menatap penuh luka.

“Kalian bahkan tidak bertanya apa yang terjadi padaku?” lirih Rena yang masih bisa didengar oleh keluarganya.

“Kamu jatuh di lumpur, kan?” balas Leo dengan santai.

“Iya, tapi lebih dari itu,” cicit Rena dengan air mata yang sudah mulai menggenang di pelupuk.

“Jangan mengulur-ulur waktu lagi! Cepat ganti baju dan berangkat bimbel!” bentak Hendra.

“Aku dirundung!” teriak Rena sambil menumpahkan tangisnya, “hiks… kalian tidak tahu kan aku dirundung?! Teman-temanku melempariku dengan alat tulis, menghinaku, memukulku, mereka juga yang mendorongku hingga jatuh ke kubangan lumpur!”

Rena menangis kencang setelah mengadukan semua perbuatan teman-temannya di sekolah. Ia berharap mendapat perlindungan dari keluarganya. Bukankah perundungan yang terjadi kepadanya akan melukai harga diri keluarga Airlangga juga? Rena berharap keluarganya turun tangan untuk mengatasi kesulitannya di sekolah.

Tapi sekitar dua menit ia menangis, belum ada tanda-tanda kalimat penenang yang ia dengar. Gadis itu pun mendongak untuk melihat reaksi keluarganya.

Deg!

Hati Rena mencelos melihat papa, mama, dan kakaknya yang mengalihkan pandangan darinya. Ia bisa melihat dengan jelas ekspresi jengah di wajah orang-orang dewasa itu. Mereka benar-benar tidak peduli pada dirinya.

“Kamu kurang bisa menyesuaikan diri.”

Kata-kata yang diucapkan oleh sang papa berhasil menusuk telak ulu hati Rena.

“Makanya jangan jadi anak yang terlalu pendiam. Sekarang kamu jadi tidak bisa bergaul dengan mereka, kan,” imbuh Hendra, seakan perkataannya tadi belum cukup menyakiti hati sang putri.

“Besok kamu coba dekati teman-temanmu ya, Sayang. Cobalah untuk bergaul dengan mereka,” kata Yohana dengan nada lembut, tidak lupa dengan senyuman manis andalan wanita itu.

Walaupun lembut, tetapi Yohana justru menyakiti hati Rena lebih dalam. Perkataannya yang dibungkus dengan senyuman teduh seperti seorang ibu yang baik itu justru lebih menyayat hati Rena.

Gadis 18 tahun itu beralih menatap sang kakak, ia sedikit berharap mendapatkan pembelaan. Namun, hatinya semakin dibuat sakit ketika melihat Leo yang hanya meliriknya sebentar, lalu kembali fokus dengan kertas yang dipegangnya. Kakaknya telah mengabaikannya.

“Aku benar-benar sendirian…”

...----------------...

Terpopuler

Comments

Ahsin

Ahsin

dsr bego jd cewek lembek hadehh bkin emosi bacanya kpn mau bls dendam bego

2024-10-24

3

Ayu Dani

Ayu Dani

ngeselin banget apa gunanya coba ternyata sama lemahnya ngeselin dech

2024-08-19

0

Cha Sumuk

Cha Sumuk

skip skip MC ceweknya trllu lemah mls BC

2024-08-13

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!