Alisa Seraphina, seorang gadis muda berusia 18 tahun dengan kehidupan normal yang cenderung bahagia. Memiliki paras yang cantik dengan tubuh ramping dan kulit putih, turunan sang nenek yang merupakan perantau Tionghoa. Tak ayal membuat Alisa menjadi sosok yang menerima banyak cinta dari orang-orang di sekitarnya.
Ia adalah seorang mahasiswa tahun pertama di salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Dengan otak yang cerdas, ia tidak perlu berusaha terlalu keras untuk masuk ke jurusan impiannya, yaitu jurusan teknik informatika. Tidak berhenti di situ, catatan prestasinya bertambah ketika ia berhasil mendapatkan beasiswa penuh untuk pendidikan sarjananya selama 4 tahun ke depan. Selain menjalani kehidupannya sebagai seorang mahasiswa, Alisa juga merupakan seorang penyanyi di salah satu kafe dekat kampusnya. Hitung-hitung sebagai pekerjaan patuh waktu sekaligus tempat untuk menyalurkan hobi.
Mendapatkan beasiswa dan bekerja paruh waktu, bukan berarti Alisa berasal dari keluarga yang tidak mampu. Ayah dan ibunya yang tinggal di desa bekerja sebagai guru PNS jenjang SMA. Walaupun bukan berasal dari kalangan atas, tapi keluarga Alisa tergolong berkecukupan. Apalagi ia adalah seorang anak tunggal, sudah pasti menjadi kesayangan keluarga. Setidaknya Alisa tidak pernah merasa kekurangan selama hidupnya.
Seperti malam-malam biasanya, Alisa menyanyikan beberapa lagu di kafe tempatnya bekerja. Pada hari biasa, ketika jam menunjukkan pukul 10 malam, ia akan berhenti bernyanyi dan bersiap untuk pulang. Namun, karena kafe hari ini begitu ramai dan para pengunjung terus memberikan request lagu kepadanya, ia harus terus bernyanyi hingga pukul setengah 12 malam.
“Gajimu minggu ini, sudah aku tambah dengan bonus,” ucap pemilik kafe sambil menyodorkan sebuah amplop putih sebelum Alisa keluar dari kafe.
Alisa menerima amplop itu sambil tersenyum puas, “terima kasih, Kak.”
“Kamu pulang sendiri hari ini?” tanya wanita yang ia panggil ‘Kak’ itu.
Kening gadis cantik itu mengernyit, “tentu saja. Memangnya kenapa? Biasanya aku juga pulang sendiri.”
“Bukan begitu, ini kan sudah larut malam. Kamu tahu sendiri kan, di kota besar seperti ini ada banyak bahaya kalau malam,” jawab si pemilik kafe dengan nada menunjukkan kekhawatiran.
“Justru kalau di kota akan lebih aman, karena jalanan masih ramai walaupun sudah tengah malam,” balas Alisa acuh.
Perempuan pemilik kafe itu hanya menghela napas mendengar ucapan Alisa, “ya sudah, yang penting kamu hati-hati, ya, Al.”
“Oke, Kak. Kalau begitu, aku pamit dulu, ya.”
Setelah berpamitan, Alisa segera pergi keluar dari kafe tersebut. Walaupun sikapnya terlihat acuh, tapi sebenarnya ia juga sedikit memikirkan perkataan khawatir si pemilik kafe. Hanya sedikit. Sekedar pemikiran semacam ‘apa yang mungkin terjadi padaku selama di perjalanan pulang?’
Tidak ingin semakin berpikir yang tidak-tidak, Alisa segera menaiki motor matic berwarna putih kesayangannya. Perjalanan dari kafe menuju kos tempat Alisa tinggal hanya membutuhkan waktu 20 menit. Bukan perjalanan dengan risiko tinggi, pikirnya. Lagipula sudah satu tahun ia melewati jalan itu, jadi ia merasa aman aman saja.
Sepuluh menit melajukan motor, jalanan yang dilalui Alisa memang masih ramai karena merupakan jalan utama. Namun, saat memasuki area perkampungan dekat kosnya, jalanan menjadi sangat sepi. Tidak aneh sebenarnya, mengingat ini adalah jalan kampung, tentu saja tidak seramai jalan utama, apalagi sudah tengah malam. Tapi ucapan bosnya yang sarat dengan kekhawatiran tadi membuat dirinya was-was.
“Seharusnya dia tidak mengatakan hal itu, aku jadi tidak tenang,” gumam Alisa sambil berdecak kesal.
Tidak ingin dikalahkan oleh pikiran negatifnya sendiri, gadis itu pun mulai bersenandung kecil. Mengabaikan keheningan dan kegelapan di sekitarnya yang membuat detak jantungnya mulai berpacu lebih cepat. Hanya perlu melewati dua tikungan dan satu perempatan lagi, maka bangunan kosnya akan terlihat. Alisa terus bersenandung untuk meredam rasa cemas dalam benaknya.
Suara motor lain di belakangnya membuat Alisa cukup lega. ‘Setidaknya aku memiliki kawan,’ batinnya lega. Namun, kelegaan itu hanyalah sementara. Sensor waspada di otak Alisa seketika aktif ketika motor yang tadi melaju di belakangnya, tiba-tiba bergerak cepat seolah ingin mendahului dirinya. Tapi bukannya melihat motor itu mendahului, Alisa justru mendengar suara motor itu memelan tepat di sampingnya. Belum sempat menoleh, tiba-tiba motor Alisa ditendang hingga gadis itu pun terjatuh.
“Ahk!!”
Alisa jatuh dari motornya tepat di pinggir pagar pembatas jembatan. Kepalanya sedikit terantuk di pagar beton itu, sedangkan tangan kirinya sudah menggantung di atas sungai. Beruntung tubuhnya tidak terjatuh ke dalam aliran sungai.
Mendengar suara motor lain yang berhenti, gadis itu pun berusaha bangkit sambil menahan rasa sakit di tubuhnya. Ia tidak boleh berdiam diri di sana, atau sesuatu yang buruk bisa terjadi kepadanya. Alisa hendak berlari menjauh, tapi tubuhnya membeku dan kedua bola matanya membelalak saat melihat salah satu dari dua laki-laki yang membuatnya jatuh tadi membawa sebuah pisau sambil berjalan ke arahnya.
“J-jangan…,” ucap Alisa dengan suara tertahan sambil melangkah mundur menjauhi laki-laki yang terus mendekatinya itu.
Sungguh, Alisa tidak mengerti dengan situasi ini. Apakah ia perlu dibunuh dengan cara seperti ini? Hei, bukankah ini berlebihan?
“Cepatlah! Sebelum ada yang lewat!” teriak laki-laki satunya yang masih duduk di motor.
Alisa menggeleng ribut, “jangan! Tolong jangan bunuh aku! Ambil saja motorku, tapi jangan bunuh aku! Kumohon…”
Gadis malang itu berusaha memohon demi kelangsungan hidupnya. Ia berharap laki-laki yang merupakan begal itu merasakan sedikit belas kasihan dan melepaskan dirinya. Tetapi sayang sekali, keberuntungan sedang tidak berpihak pada Alisa.
Jleb!!
Semua kata-kata yang sedari tadi ia ributkan seolah tertahan di tenggorokan, seiring dengan ujung pisau yang menghunus menembus perutnya. Dengan rasa sakit yang mulai menjalar ke seluruh tubuh, perlahan Alisa mengedarkan matanya untuk melihat wajah begal tak beradab itu. Dalam pikirannya, ia harus mengingat wajah pelaku untuk membantu polisi menangkap mereka nantinya.
Tapi sayangnya, sepertinya si begal juga cukup pintar. Laki-laki itu tahu niat Alisa yang akan melaporkan mereka jika gadis itu berhasil diselamatkan. Maka dari itu, setelah menusukkan pisau ke perut korbannya, begal itu langsung mengangkat tubuh ringan gadis itu, lalu dilemparkan begitu saja dari atas jembatan.
Alisa dilempar seperti sebuah benda yang tidak berharga.
Meskipun air sungai itu tidak terlalu dalam, tetapi kondisi Alisa yang lemas setelah tertusuk pisau membuat tubuh gadis itu tenggelam sepenuhnya di dalam air. Ia tidak punya tenaga lagi untuk bangun dan menghirup oksigen. Pasrah ketika air mulai memenuhi paru-parunya.
Apa-apaan ini? Orang biadab tadi melemparku begitu saja? Sialan! Ini sakit sekali.
Lalu… apa aku akan mati mengenaskan seperti ini? Tidak… ini tidak boleh terjadi! Aku masih ingin hidup. Ayah… ibu… bagaimana dengan mereka? Mereka akan sangat sedih kalau aku mati. Siapa yang akan menjaga mereka nanti?
Tolong… kumohon siapapun… Tuhan... tolong aku…
Tentu saja itu hanya suara isi hati Alisa. Dengan tubuh yang seluruhnya terendam air, tidak mungkin ia bisa berteriak minta tolong.
Di tengah gelapnya malam, air sungai yang jernih itu samar-samar mengalirkan warna merah pudar. Perlahan-lahan, Alisa kehilangan bagian penting untuk keberlangsungan nyawanya. Darah, nafas, kesadaran, bahkan harapan. Ketika semuanya menggelap, Alisa yakin dirinya tidak akan selamat. Benar-benar proses kematian yang menyakitkan.
...----------------...
Hai, Readers....
Kali ini author gak akan nge-ghosting lagi ya,, karena draft novel ini sudah conplete ≧∇≦
Selamat membaca...😊😊
Bau obat-obatan menyeruak, suara beberapa orang yang sedang bercengkerama terdengar, dan kelopak mata yang semula tertutup itu pun mulai terbuka perlahan. Denyut nyeri di kepala terasa semakin kuat seiring dengan kesadaran yang mulai utuh. Satu hal yang pasti, pikiran Alisa mulai bekerja merangkai kemungkinan yang terjadi padanya saat ini.
‘Apa yang terjadi? Bau rumah sakit? Tunggu… jadi… aku selamat? Aku masih hidup?!’
Pikiran gadis itu berseru lega karena masih diberikan kesempatan hidup. Walaupun kondisi fisiknya masih lemah, bahkan seluruh inderanya belum aktif sempurna.
“Anak ini sudah bangun? Panggil dokter jaga.”
Suara berat seorang pria membuat Alisa menoleh lemah. Tampak seorang pria dewasa sedang duduk di sofa ruangan itu, serta tiga orang lainnya, satu laki-laki dan dua perempuan yang lebih muda dari si pria dewasa.
“Kamu sudah bangun, Nak?!”
Alisa bisa melihat seorang wanita paruh baya yang elegan beranjak dari sofa dan mendekatinya.
‘Apa mereka adalah orang-orang yang menemukanku di sungai?’
Belum sempat membuka mulut untuk bertanya, pintu ruangan itu dibuka oleh seorang dokter dan beberapa perawat. Mereka tampak membungkuk hormat, lalu segera memeriksa kondisi Alisa. Gadis 18 tahun yang terbaring lemah itu hanya mengikuti arahan dokter yang memeriksanya.
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan, kondisi pasien sudah membaik. Hanya perlu istirahat beberapa hari lagi,” ucap dokter itu kepada orang-orang yang menunggu Alisa.
Terdengar helaan napas lega dari wanita yang sejak tadi berdiri di sebelah Alisa.
“Tck! Kenapa kamu harus tenggelam dan membuat semua keributan ini? Benar-benar sudah tidak waras.”
Alisa langsung menoleh ke sumber suara. Pria dewasa tadi yang baru saja menggerutu dan menampakkan raut wajah kesal. Melihat raut wajah tidak menyenangkan pria itu membuat suasana hati Alisa menjadi suram seketika.
“Diamlah, anak kita baru saja bangun,” sahut wanita di samping Alisa.
‘Anak kita?’
Alisa sempat meragukan pendengarannya. Siapa yang disebut ‘anak kita’ oleh wanita itu? Di ruangan ini, hanya dirinya lah satu-satunya yang mengenakan baju pasien dan terlihat baru bangun.
Tunggu…
Alisa menyadari sesuatu saat memeriksa baju yang ia kenakan tadi. Tubuhnya tampak… aneh. Gadis itu pun mengangkat tangannya untuk memastikan sesuatu.
“Astaga! Apa ini?!” pekik Alisa setelah melihat ukuran tangannya yang tampak membesar.
“Rena! Kenapa, Nak?!” panik wanita tadi.
“Rena?” belum selesai terkejut dengan perubahan tubuhnya, kini Alisa kembali terkejut dengan panggilan yang sama sekali tidak ia kenal.
“Nona Rena, apa yang salah? Apa anda merasa sakit?” tanya dokter itu.
“Tanganku…,” gumam Alisa.
“Tangan? Kenapa tanganmu?” sahut wanita tadi yang masih panik.
“Kenapa tanganku jadi gemuk?”
Hening.
“Rena! Apa-apaan kamu ini?!” bentakan tiba-tiba pria dewasa tadi membuat Alisa tersentak, “jangan main-main di rumah sakit!”
“Memang tanganmu sudah seperti kaki gajah dari dulu, kenapa terkejut?” celetuk perempuan muda yang masih duduk santai di sofa.
Sudah cukup. Alisa benar-benar kesal dengan semua yang terjadi sekarang. Menyebalkan dan tidak masuk akal.
“Anda siapa berani berteriak kepada saya?!”
Suara keras Alisa membuat semua orang terkejut. Mereka menatap Alisa dengan tatapan tidak percaya, seakan tidak menyangka gadis itu bisa berucap demikian.
Tidak hanya orang-orang itu, Alisa sendiri juga terkejut dengan teriakannya. Lebih tepatnya, terkejut dengan suaranya. Bukankah suara itu keluar dari mulutnya? Tapi kenapa terdengar asing, tidak seperti suara miliknya.
“Kamu… berani berteriak kepada papamu?” pria dewasa itu bangkit dari duduknya sambil menggeram marah.
“Dasar anak kurang ajar!” pria itu hendak berjalan ke arah Alisa, tapi ditahan oleh laki-laki muda yang sejak tadi duduk diam di sofa.
“Papa tenang, Pa. Dia masih sakit,” ucap laki-laki itu sambil menahan sang papa yang tampak sangat marah.
Alisa tidak peduli dengan keributan yang terjadi. Pikirannya sudah dipenuhi berbagai pertanyaan.
“Rena,” panggil wanita di sampingnya, “tenang, Nak. Kamu sedang sakit. Jangan melawan papamu ya, Rena.”
“Berhenti memanggilku Rena!”
Alisa menatap satu per satu wajah orang-orang di ruangan itu yang juga tengah menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Aku baru saja bangun dan kalian terus menerus memarahiku. Apa yang salah dengan kalian?!,” ucap Alisa dengan nada kesal, melupakan kondisinya yang saat ini masih lemah.
“Dokter,” panggil Alisa kepada dokter di hadapannya, “apa yang sebenarnya terjadi? Ada apa dengan tubuhku? Berapa lama aku pingsan? Dimana keluargaku? Atau temanku? Dan juga… siapa itu Rena?”
...----------------...
Seorang perawat menyodorkan cermin di hadapan Alisa.
“Astaga! Siapa ini?!” teriak Alisa panik.
Tentu saja ia sangat panik. Pantulan cermin itu tidak menampakkan dirinya, melainkan sosok seorang gadis manis dengan pipi bulat tembam dan bertubuh gempal.
“Anda yakin cermin itu tidak rusak? Itu bukan wajahku!” seru Alisa kepada sang perawat.
Semua orang hanya menghela napas panjang melihat reaksi Alisa. Pada dasarnya, semua orang yang ada di sana adalah tenaga medis, tentu saja mereka mulai paham apa yang sedang terjadi—setidaknya dalam pikiran mereka.
“Anakku amnesia,” lirih wanita cantik yang saat ini sudah menangis di pelukan perempuan muda yang tadi sempat menghina fisik Alisa.
‘Amnesia?’, batin Alisa yang tidak kalah bingung.
“Pastikan dulu apakah dia benar-benar amnesia atau hanya pura-pura,” ketus si pria dewasa yang menyebalkan.
‘Entah apa yang sedang terjadi, yang jelas aku tidak suka orang itu,’ batin Alisa sambil menatap sinis pria dewasa yang sedari tadi terus menggerutu.
“Nona Rena,” panggil dokter.
Alisa masih tidak mengerti kenapa semua orang memanggilnya Rena.
“Apakah anda mengenal mereka?” tanya dokter sambil menunjuk ke-empat orang yang duduk di sofa sambil memperhatikan Alisa.
Alisa meneguk ludah kasar. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi insting bertahan hidupnya merasa harus berhati-hati supaya tidak mengancam keselamatannya. Ia tidak mau mati dua kali. Alisa merasa bukanlah hal yang baik jika ia menyebutkan tentang identitas dirinya yang sebenarnya. Tidak, sebelum ia memastikan ‘keajaiban’ apa yang telah terjadi.
“T-tadi dia menyebut dirinya sendiri‘papa’,” ucap Alisa sambil menunjuk si pria arogan, “apa dia benar-benar papaku?”
Dokter itu tersenyum tipis, “benar, Nona. Lalu, bagaimana dengan nyonya itu?”
Alisa memandang wanita cantik yang kini sedang menatapnya penuh harap.
‘Melihat tingkahnya yang sangat khawatir, dia seperti sosok ibu. Apa dia ibu gadis ini? Kalau satunya papa, berarti yang ini…’
“M-mama?”
Wanita itu mengangguk terharu, “iya, Sayang. Ini mama, Nak.”
“Jadi anda mengingat orang tua anda?” tanya sang dokter memastikan.
“Aku hanya menebak,” jawab Alisa acuh, “eh, dokter, lalu siapa Rena? Apa itu namaku?”
Dokter itu tampak terdiam sebentar, “iya, Nona. Anda adalah Nona Rena. Renata Anelis Airlangga.”
Alisa mengangguk paham, jadi nama gadis yang tubuhnya sedang ia tempati ini adalah Rena.
“Lalu, apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa dirawat di rumah sakit?” tanya Alisa.
“Eh, itu…,” dokter itu tampak bingung menjawab.
“Kamu jatuh ke laut saat kita sekeluarga sedang berlibur ke Lombok,” sahut papa Rena, lalu berjalan mendekati dokter, “Rena akan dirawat satu hari lagi, besok dia akan pulang.”
“Tapi, Dokter Hendra, kondisi Nona Rena masih belum sehat,” tolak dokter itu.
“Dia akan dirawat di rumah,” balas papa Rena yang bernama Hendra tadi.
Tidak ada yang berani membantah ucapan pria itu lagi. Semua perintahnya di sini adalah mutlak. Karena Hendra Airlangga adalah direktur dari Airlangga Hospitals, perusahaan layanan rumah sakit terbesar di Indonesia.
...----------------...
Jangan lupa like dan comment yaa readers tercintaaa ❤❤
Malam pun tiba, dokter jaga sudah memeriksa kondisi Alisa yang kini resmi hidup sebagai Rena sejak 10 menit yang lalu. Rena duduk di ranjangnya sambil fokus memutar otak memikirkan apa yang harus ia lakukan selanjutnya.
“Jadi… aku terbangun di tubuh gadis bernama Rena ini. Anak bungsu keluarga konglomerat Airlangga—yang entah kenapa aku merasa hidup si Rena ini sama sekali tidak menyenangkan,” gumam Rena.
“Tunggu… kalau aku bangun di tubuh Rena, lalu dimana Rena yang sebenarnya?” bola mata Rena membola sempurna setelah menyadari sesuatu, “apa dia mati?!”
Rena menutup mulutnya terkejut, “apa aku—maksudku, Rena… mati di dalam tubuhku?”
Rena mengedarkan pandangannya ke arah ponsel di atas nakas. Tadi mama Rena menyerahkan ponsel itu karena itu memang ponsel milik Rena. Rena pun langsung mengambil ponsel itu. Beruntung ponsel itu menggunakan kunci sidik jari, jadi dirinya bisa langsung membukanya.
Ia pun mengetikkan nomor teleponnya dan langsung mencoba menghubungi ponsel miliknya sendiri. Sudah tiga kali dirinya mencoba menelepon ponsel milik Alisa asli, tapi sama sekali tidak ada balasan.
“Apa dia benar-benar mati?” gumam Rena cemas, “tidak tidak, sekalipun dia mati, pasti setidaknya akan ada yang menjawab panggilan ini.”
Rena menggigit kuku jarinya cemas, “aku kirim pesan saja. Kalau dia sadar, biar dia yang meneleponku.”
...Rena...
^^^Rena\^^^
^^^Kamu masih hidup, kan?\^^^
^^^Kalau masih, telepon aku ya\^^^
Rena merasa ganjal di benaknya karena menyimpan nomor teleponnya sendiri menggunakan nama orang lain. Tapi sudahlah, bukan itu yang penting sekarang.
“Oh iya, ponselku kan pakai kunci pola, Rena pasti kesulitan membuka ponselku nanti,” ucap Alisa merutuki tindakannya di masa lalu yang tidak memasang kunci sidik jari.
Fokus Rena teralihkan dengan notifikasi yang muncul di ponselnya. Ia pun melihat pop-up notifikasi tanpa membuka pesan itu.
...XII MIPA 1...
Sonia
/@renata sudah mati ya?
Eric
/katanya si karung beras itu jatuh ke laut.
Candra
/pasti sengaja didorong sama keluarganya, dia kan sampah keluarga Airlangga.
Sonia
/@candra haha… masuk akal
Dahi Rena mengernyit bingung melihat pesan-pesan kasar itu. Grup ini tampak seperti grup kelas, tapi isinya hanya umpatan dan makian yang ditujukan untuk gadis bernama Renata ini. Sama sekali tidak mencerminkan grup kelas yang berkualitas.
“Tidak ada hal baik sejak aku bangun di tubuh ini.”
...----------------...
Ucapan kepala keluarga Airlangga kemarin benar-benar terjadi. Sehari setelah putri bungsu mereka bangun, mereka langsung membereskan semuanya dan bersiap untuk memulangkan Rena. Gadis itu pun sama sekali tidak keberatan. Toh, berlama-lama di rumah sakit ini tidak menguntungkan bagi dirinya.
Di saat asisten pribadinya membereskan barang-barang, gadis itu duduk di sofa sambil fokus membaca informasi pribadinya di tablet yang tadi diberikan oleh si asisten.
“Renata Anelis Airlangga. Putri bungsu dari 3 bersaudara Airlangga yang sekarang sedang menempuh pendidikan kelas 3 SMA. Usia 18 tahun, tinggi badan 165 cm, berat badan 85 kg.”
‘Pantas saja aku kaget, tinggi badanku yang asli saja tidak lebih dari 160 cm, lalu berat badanku sebelumnya hanya 45 kg.’
“Tidak suka belajar hingga mendapatkan peringkat 10 terbawah di kelas. Kecanduan game hingga menjadi pribadi antisosial.”
‘Hah? Apa hubungannya kecanduan game dan antisosial? Hmm… ada sih, tapi sepertinya bukan itu penyebabnya.’
“Papa bernama Hendra Airlangga. Usia 60 tahun. Dokter bedah sekaligus direktur utama Airlangga Hospitals.
Mama bernama Yohana Airlangga. Usia 58 tahun. Dokter syaraf sekaligus wakil direktur rumah sakit Airlangga.
Kakak pertama bernama Leonardo Airlangga. Usia 29 tahun. Dokter kulit di rumah sakit Airlangga, serta aktor papan atas yang sudah berkecimpung di dunia entertainment sejak usia 20 tahun.
Kakak kedua bernama Florencia Hesti Airlangga. Usia 27 tahun. Dokter mata di rumah sakit Airlangga, serta model profesional.
‘Sudah jadi dokter, kenapa harus jadi aktor dan model juga? Rena pasti tertekan karena memiliki kecerdasan dan fisik yang berbeda dari kakak-kakaknya’
Terlalu sibuk mempelajari seluk beluk kehidupan barunya, Rena tidak sadar bahwa kakak pertamanya sudah berada di ruangan itu sambil memperhatikan dirinya.
“Ekhm!”
Rena tersentak dan menoleh, “eh, Kak Leo?”
Sang kakak tidak menjawab pertanyaan Rena dan malah menoleh ke arah asisten pribadi Rena, “sudah selesai?”
“Sudah, Tuan,” jawab ART sambil mengangguk patuh.
“Kakak ke sini untuk menjemputku?” tanya Rena.
“Untuk apa aku menjemputmu?” balas Leo dingin, “aku sibuk, kamu pulang saja dengan sopir dan bibi.”
Rena menahan gejolak amarah di dada mendengar jawaban sang kakak yang sangat ketus. Sudah dipastikan kalau Rena adalah anggota keluarga yang dibenci. Ia benar-benar ingin kembali ke kehidupannya yang asli sebagai Alisa. Tapi untuk saat ini, sepertinya ia harus fokus bertahan hidup sebagai Renata.
...----------------...
Rena pulang dengan bibi Eli yang merupakan asisten rumah tangga, serta seorang sopir yang katanya adalah sopir pribadinya. Sepanjang jalan, Rena hanya diam sambil melihat ke arah luar kaca mobil. Suasana sekitar yang terlihat amat sangat asing. Menurut informasi yang ia baca tadi, dirinya sekarang tinggal di kota yang terpisah jaraknya sejauh ratusan kilometer dari kota tempat tinggal Alisa dulu.
Mobil itu pun memasuki gerbang mewah yang menuju pekarangan kediaman keluarga Airlangga. Dan itu berhasil menyita perhatian Rena. Matanya membelalak kagum menatap rumah mewah di hadapannya.
“Wahh… tentu saja, harta kekayaan gadis ini adalah satu-satunya hal yang menyenangkan,” gumam Rena sambil tersenyum puas.
Berbeda 180 derajat dari saat keluar rumah sakit tadi, kini Rena malah tampak sangat bersemangat. Ketika mobil berhenti di halaman rumah, gadis itu langsung menarik asisten pribadinya untuk segera turun.
“Ayo cepat, tunjukkan dimana kamarku. Apa kamarku juga mewah? Ada di lantai berapa? Apa kita harus naik lift ke sana?” seru Rena bersemangat.
“Nona, tenang dulu,” ujar sang asisten yang bernama Eli.
“Bibi, ayo cepat antarkan aku ke kamarku,” rengek Rena.
Bibi Eli hanya menggeleng-gelengkan kepala, lalu memberi isyarat kepada salah satu pekerja di sana untuk membawakan barang-barang Rena. Setelah itu, mereka pun segera berjalan menuju kamar nona muda keluarga Airlangga.
Karena sangat luas dan mewah, Rena mengira rumah ini memiliki lift juga di dalamnya. Tentu saja tidak, rumah itu hanya terdiri dari 2 lantai. Setelah menaiki tangga, mereka pun sampai di depan kamar milik Rena.
Rena pun segera memasuki kamarnya dengan antusias. Kamar ini sangat luas, dua kali lipat kamar Alisa di rumah lamanya. Setelah memindai seisi kamar, Rena pun meminta para ART untuk meninggalkannya. Rena pun segera mengunci pintu dari dalam dan bergerak menggeledah barang-barang di kamar itu.
“Setidaknya aku harus tahu lebih banyak tentang Rena,” gumam gadis itu.
Tidak banyak yang ia temukan, hanya buku-buku yang sebagian besar adalah buku strategi masuk kuliah dan buku kedokteran. Selain itu, ia juga melihat satu set komputer gaming milik Rena. Ia yakin bahwa Rena yang sebenarnya pasti seorang gamer, entah dia adalah gamer profesional ataupun hanya seseorang yang kecanduan game.
Drrrt… drrrt…
Rena menghampiri ponsel yang tadi sempat ia letakkan di atas kasur. Ia penasaran siapa yang cukup peduli untuk meneleponnya saat ini. Setelah melihat nama si pemanggil yang tertera di ponselnya, matanya membelalak seketika.
‘Rena is calling…’
...----------------...
Mulai sekarang, Alisa yang tinggal di tubuh Rena bakal author tulis sebagai 'Rena' saja yazz
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!