Dering HP perlahan menyadarkan aku. Berat, tubuhku terasa belum bisa merespon sepenuhnya. Dengan reflek, tangan kananku mencari-cari dimana sumber suara itu.
”halo...“
Aku mengangkat telpon dengan nyawa yang belum sepenuhnya kembali. Ternyata bosku yang menelepon, suaranya masih terdengar samar, bertanya jumlah salah satu stok aroma parfum laundry. Besok kita mendapat banyak pesanan untuk aroma tersebut, itulah yang dikatakannya. Setelah mendengar semua perintah, tak perlu waktu lama untukku segera mengakhiri panggilan tersebut.
Dengan tubuh yang masih malas, ku lirik angka jam pada pojok kiri atas HP. 12.21. Suara decakan keluar dari mulutku,”pantas kepalaku pusing, belum ada 15 menit aku tidur.”
Aku kembali menaruh HP tepat di atas wajah, tanpa sedikitpun mengubah posisi. Terlentang pada kursi yang ada di dalam gudang toko parfum tempatku bekerja, berbantalkan jaket yang ku taruh di atas tanganan kursi lalu memejamkan mata, berharap kembali terlelap biarpun cuma sekian menit.
Belum juga lelap ku kembali, suara kodok berbunyi, tanda pesan WA masuk. Membuatku kembali membuka mata dengan terpaksa. Lagi, suara decakan keluar dari mulutku bersamaan dengan pesan yang kubuka.
”jangan lupa nanti sore kirim barang, list nya segera ku kirim sekalian.”
“siap!”balasku singkat sambil bersiap bangun.
”biasanya juga aku sendiri yang ngelist!”gumanku sendiri, merasa tidak terima karena tidur siangku tidak selancar hari-hari sebelumnya.
Setelah selesai mencuci muka dari kamar mandi, aku menyiapkan semua alat juga bahan-bahan untuk membuat parfum laundry. Biasanya aku meracik berdua, tapi karena temanku resign beberapa hari yang lalu, dengan terpaksa aku mengerjakannya seorang diri.
Menakar semua bahan secara rinci, mulai dari metanol, fixatif, juga bibit parfum dengan komposisi dan urutan yang sudah berada diluar kepala. Sekitar dua jam aku menyelesaikan tugas pertama, botol ukuran satu liter berbaris rapi dengan stiker AL-KAUTSAR selaku nama toko kami dan snappy nama aroma parfum laundry yang baru saja ku buat menempel pada badan botol tersebut.
Aku Nyalakan sebatang rokok, menikmati beberapa hisapan awal sebelum bersiap keluar dari gudang membawa dua keranjang kosong, menuju toko yang berada dalam satu atap hanya terhalang kamar mandi dan dapur, posisi toko berada pada sekat paling depan. Aku bersiap untuk mengumpulkan barang yang ada dalam list.
”bantu aku menyiapkan barang, list nya sudah kukirim padamu.”pintaku pada Vika, saat melintas di sebelahnya. Dia adalah partner sekaligus teman akrabku, ia juga termasuk karyawan senior, sudah tiga tahun lebih kami menjadi rekan kerja. Meski akulah yang paling senior dari semua karyawan yang terbagi dalam 7 cabang toko.
”sudah berapa kali kubilang! Kau tetap saja mengulanginya!”Vika sedang marah pada lawan bicaranya dalam telpon, cempreng dengan intonasi cepat adalah ciri khas suaranya.
Suaraku tidak dia hiraukan, dia bahkan belum menyadari kehadiranku.
”bentar lagi dia pasti mencari pelampiasan!”gumanku sendiri, mencoba menebak. Aku masih berjalan menuju lemari pendingin, tempat aneka minuman tertata rapi, terletak di pojok kiri depan toko.
”kapan mulut itu bisa di percaya dan sejalan dengan tingkahmu! Terus saja pancing emosiku! Bikin bosan saja.”nada Vika semakin meninggi, sebelum akhirnya dia menutup telpon dengan paksa serta HP yang ia lempar tepat pada kardus kecil tempat bekas nota transaksi.
Karena wajah antagonisnya masih jelas terpampang, aku segera menyodorkan botol minuman dingin padanya. Belum juga tanganku lepas dari botol, tangan kanan wanita yang selalu marah saat kusebut gendut itu, main serobot tanpa ekspresi terima kasih.
"Bukan gendut! Tapi gemoy... camkan itu!"seperti itulah kalimat andalan yang selalu Vika gunakan.
”tumben kau cerdas El.”ucapnya, sambil membuka segel tutup botol itu.
Ghozali adalah namaku. Tapi, sejak dulu hampir semua orang memanggilku dengan sebutan EL. Tidak ada alasan khusus untuk itu.
”biar kau malu, misal punya rencana ingin menjadikanku pelampiasan.”jawabku menatap foto dari galery HP. Tanpa memperhatikan gelagat Vika.
“sekaligus otot-otot dalam lehermu biar kembali tenang, juga wajahmu biar tidak menua sebelum waktunya.”lanjutku mengejeknya, sambil mulai mengumpulkan barang yang ada dalam list. Aku berdiri di samping rak parfum yang paling dekat dengan etalase, keranjang kotak warna biru ada di sebelahku.
”sial kau! Habis, gimana gak kesal coba. Sudah sering kubilang kalau mau pergi chat dulu, tapi dia selalu saja beralasan, lupalah, gak sempat lah. Males!”gerutunya di sela-sela air dingin yang dia teguk.
Vika masih duduk di depan mesin kasir, dengan HP yang sudah kembali ditangannya. Sebentar, aku melirik ke arahnya sebelum kembali melanjutkan tugas.
Aku yang sudah hafal dengan tabiat cewek satu ini, hanya mendengarkan ocehannya sambil mimik mulutku menirukan setiap kata yang keluar dari mulut partner kerjaku itu
”emang dasar! Hobi sekali dia mancing emosi!”Lanjutnya mengoceh panjang, lebar tanpa titik. Sedangkan aku, masih terus asyik menirukan gaya bicaranya dengan tangan yang tetap bekerja.
”planggg!!!”
Tiba-tiba botol kosong mendarat tepat di kepala, tanpa kusadari Vika sudah tepat berada di belakangku.
Keningnya mengerut dengan sempurna, wajah penuh geram menyapaku.
"apa maksud bibirmu itu. Mengejekku!”serunya melotot dengan botol bekas terus ia pukulkan pada kepalaku, layaknya bass drum.
Aku menunduk menahan tawa.”hehe, kapan kau sampai di belakangku Vik. Maaf..”ucapku nyengir, tak bisa membuat alasan.
”apa memang semua cowok gak ada yang peka!! Susah sekali memahami maksud pasangannya.” dia masih saja protes seakan belum puas.
Aku mengernyit.”iya ndoro! Semua cowok memang tidak peka. Putuskan saja dia, biar kau tidak punya keluhan lagi terhadap kami, kaum salah yang tak pernah peka.”nadaku mengejek karena merasa ikut jadi tersangka.
”saranmu sesat, El.”gumannya. mulai melihat daftar list dan bersiap membantu.
aku menghela nafas panjang.”dasar wanita! Ini pasti salah satu efek dari bahan baku kalian, iga yang bengkok.”keluhku lirih. Vika mendengarnya dan langsung menyambar tanpa ragu.
”siapa juga yang berminat mengikuti jejakmu!”ucapnya ketus.
”selalu bangga dengan kata bebas, padahal itu hanya kedok untuk menutupi kesepianmu.”lanjutnya berganti mengejekku penuh penekanan, ucapannya membuatku kalah seketika.
”sial! ampun ndoro, mari sudahi ini dan segera masukan data dalam stok.”aku sengaja mengubah topik pada pekerjaan. Vika tertawa puas. Ia memang mulai membantu, namun mulutnya masih terus nyerocos seakan lupa jika beberapa menit yang lalu dia masih dalam keadaan marah-marah.
”bodo amat!” jawabku tak peduli dengan semua ejekannya. Aku segera pergi meninggalkannya setelah selesai mengumpulkan semua barang yang ada dalam list pada sebuah keranjang kotak, mengambil mobil inventaris dan bersiap mengirim barang.
***
Pukul 20:11 sebatang rokok beserta secangkir kopi hitam sedang aku nikmati. Merebahkan diri karena sudah terbebas dari tugas, mendengarkan ringkasan sebuah film lewat YT sudah menjadi kebiasaanku ketika sedang malas login game.
Suara narator dengan nada bicara dan intonasi khusus yang menjadi ciri khasnya menggiringku masuk ke dalam imajinasi, membayangkan apa yang terjadi pada adegan yang sedang dia bicarakan.
Dering HP mematikan paksa suara narator, padahal aku mulai menikmati alur dari film yang sedang dia ringkas itu. Aku meraih HP yang tergeletak di atas meja, tanpa sedikitpun mengubah posisi. Nama emak(2) muncul di layar.
Dulu beliau adalah Ibu kos ku, semasa aku masih menjadi pelajar. Meski sudah beberapa tahun yang lalu aku selesai dengan pendidikan, namun hubungan kami masih sangat baik. Bahkan beliau sudah menganggap ku seperti anak sendiri, begitupun sebaliknya, aku juga sudah menganggap beliau seperti Ibu ku sendiri.
Aku akrab dengan semua anggota keluarganya, dulu aku sering menginap di sana karena salah satu anak beliau adalah temanku ngegame.
”tumben Ibuk menelepon.”pikirku, mengubah posisi menjadi duduk pada sofa seraya bersiap menjawab.
”assalamungalaikum, buk.”sapaku pada beliau.
”wangalaikumsalam. Sedang luang Le..?”suara Ibuk terdengar keras. Seperti biasa, khas Ibu kos.
Kami mulai bercengkerama, Ibuk bertanya tentang keseharian ku, aku lebih banyak mendengarkan, sesekali meneguk kopi disela Ibuk yang sedang berbicara panjang, memang sudah cukup lama aku tidak main ke rumah beliau.
”dulu kau pernah bertanya pada ibuk tentang Ain, masih ingat le..?”tiba-tiba beliau mengganti topik.
Sejenak aku terdiam, mengingat kembali sebuah percakapanku dengan Ibuk sekitar dua tahun yang lalu.
”iya, memangnya kenapa buk?”jawabku, meski cuma teringat secara garis besarnya saja.
”apa kau masih memiliki minat itu le..?”ucap Ibuk tegas, tanpa basa basi.
Aku cukup kaget, karena mulai paham kemana arah pertanyaannya. Hanya saja aku masih tidak tau harus menjawab apa, karena bagiku pembicaraan itu sudah lama, lagi-lagi aku terdiam.
”bagaimana kalau aku menjodohkan kalian?”Ibuk kembali bicara, mungkin karena terlalu lama menunggu diam ku. Aku masih diam memikirkan sebuah jawaban.
”bukankah Ain masih semester 6 buk?”entah kenapa reflekku menjawab seperti itu.
”memangnya kenapa le..?”Ibuk menjawab singkat, tidak memberiku kesempatan berfikir.
”seingat ku dulu Ain masih belum boleh menikah jika belum lulus, buk.”aku balik memberi pernyataan, mengikuti alur dari pembicaraanku dengan beliau sekitar dua tahun silam.
”memang benar le, sambil menunggu Ain lulus bukankah hal itu bisa kalian gunakan untuk lebih saling mengenal.”jawab beliau dengan nada lebih kalem.
”tapi... lebih dari satu tahun itu lama buk.”jawabku tanpa pikir panjang.
Sekarang ibuk yang terdiam, suasana menjadi lengang sesaat.”Ibuk cuma takut, jika tiba-tiba ayah Ain menjodohkannya dengan orang lain dan kemungkinan besar dia pasti nurut dengan perintah ayahnya.”meski masih menggunakan nada kalem, namun ibuk tampak sedikit memaksa untukku menjawab iya.
Giliranku yang kembali terdiam, cukup lama. Belum ada jawaban yang terlintas di kepalaku, semua begitu mendadak.
”kamu pikir-pikir dulu le.., Ibuk tidak memaksa, ibuk hanya menyarankan.”ucap beliau sebelum akhirnya pamit dan menutup telepon.
“kapan terakhir kali aku bertemu Ain.”pikiranku menyelam, mencari ingatan tentangnya. Menatap langit-langit ruang tamu putih polos tanpa motif yang juga masih berada satu atap dengan gudang dan toko.
Mungkin karena aku masih merasa yakin dengan janji yang ku ucap pada diri sendiri, tawaran ibuk tidak begitu aku ambil pusing. Kalau saja tidak harus menunggu selesai kuliah, mungkin responku akan berbeda. Meskipun tidak dapat aku pungkiri jika ucapan ibuk membuat wajah Ain tiba-tiba terlintas dalam pikiranku.
Ain sendiri adalah anak dari saudara Ibuk yang tinggal diluar kota, saat ini dia masih berada di pesantren sambil menyelesaikan kuliah. Karena rumahnya yang jauh, saat libur atau ada waktu senggang rumah ibuk menjadi tempatnya untuk pulang.
Meski tidak bisa dibilang akrab, namun kami sering menghabiskan waktu bersama, dalam artian rame-rame bukan berdua. Kami sudah saling kenal sejak dia mulai tinggal di kota ini, aku tersenyum saat teringat betapa seringnya aku dulu menjahilinya. Cukup lama aku tidak main kesana, semenjak ke dua anak Ibuk melanjutkan pendidikan ke luar kota.
Hampir sepenuhnya waktu 24 jam aku habiskan di dalam toko, mulai dari bangun tidur hingga kembali untuk bersiap tidur. Sangat jarang aku pulang ke rumah orang tua ku sendiri, meskipun jaraknya tidak begitu jauh.
Circle pertemananku juga tidak besar, semua hanya terisi oleh teman-teman lama. Hampir tidak ada, entah itu tanggal berapa, hari apa, atau jam berapa yang terkesan spesial dan kutunggu-tunggu kedatanganya, itulah kenapa Vika selalu gemar mengejekku.
Di luar tugas pekerjaan, waktuku hanya terisi dengan main game, nonton YT, jika sudah bosan pindah membuka FB, bosan lagi beralih ke beranda IG, bosan lagi ganti scroll TT membaca banyak quotes yang sering kali terasa mirip dengan hal-hal yang sedang kita alami. Tidak ada notice kata penyemangat seperti sudah makan mas, sudah minum mas, sudah berenang mas. Juga tidak perlu meminta ijin, serta tidak ada larangan untukku melakukan apapun atau mau pergi kemanapun.
Aku sampai lupa kapan terakhir kali merindukan ataupun dirindukan seseorang.
***
Sejak habis dhuhur semua tugasku sudah selesai. Stok barang masih aman, toko lain juga tidak ada permintaan apapun. Hari ini rasanya begitu membosankan, sampai sore menjelang aku belum beranjak dari posisi, tengkurap di atas sofa ruang tamu yang berada tepat di samping toko.
Di temani secangkir kopi yang sudah dingin, bungkus rokok tergeletak tepat di sebelahnya, serta kipas angin yang terus menggeleng tanpa lelah. Aku sedang mendengarkan musik random dengan bola mata terfokus mengikuti gerak beberapa semut hitam yang sedang mondar-mandir, entah mencari apa.
“bawakan tiga mangkok kosong, sekaligus sendoknya ke depan..”pesan dari Vika baru saja masuk, diakhiri dengan stiker bocil berekspresi penuh harap.
Meski malas, minimal aku memiliki alasan untuk beranjak dari sofa panjang yang mungkin sudah muak melihatku seperti ikan kehilangan tulang sejak beberapa jam yang lalu.
"di dalam begitu membosankan, diluar malah ada pemandangan ginian.”cetusku pada Vika sambil menaruh mangkok kosong pesanannya.
”namanya juga punya someone. Wajar dong!"kilahnya santai, dia sedang duduk berhadapan dengan pacarnya yang bernama Reno, bermejakan etalase tempat botol kaca parfum sekaligus menjadi pemisah untuk keduanya.
”someone palamu! Siapa coba, yang kemarin ngomel-ngomel mirip ayam kebelet nelor.”ejekku, seraya duduk tepat di sebelah pacar Vika, ia hanya melempar senyum atas ucapanku barusan. Berbeda dengan Vika yang langsung melotot dan mulai memasang wajah antagonisnya.
”gimana kabar? kerjaan aman Ren?”tanyaku pada pada lelaki yang berperawakan lebih tinggi dari aku. mengabaikan wajah Vika yang sudah mengerutkan kening juga alis yang naik sebelah, sinis.
Reno melepas nafas panjang.”namanya juga ikut orang mas, aman gak aman tetap bilang aman. Apalagi aku masih masuk kategori junior.”jawabnya sambil menawarkan sebungkus rokok padaku.
Kami sudah cukup akrab, karena dia lumayan sering ngapel ke toko, makanya dia sudah tidak kaget melihatku dan Vika saling ejek, tanpa takut menyinggung.
”dengerin Vik! Junior itu harus nurut sama senior, sini cium tangan kakak dulu.”bermodal jawaban Reno, aku menjulurkan tangan kanan ke arahnya dengan maksud kembali menggodanya.
”amit-amit!”sergah Vika tanpa kompromi sembari menampar keras telapak tanganku. Aku masih belum puas dan terus mencari bahan untuk mengejeknya. Adanya Reno disini membuat Vika mengontrol diri untuk tidak mengucap kata-kata kasar andalannya, aku menahan tawa karena hal itu.
Meski beberapa kali ia tetap kelepasan dengan jawaban kasarnya. Melihat hal itu, Reno hanya melempar senyum beserta sebuah lirikan dengan arti yang hanya dimengerti oleh mereka berdua. Wajah Vika terlihat jelas, sedang berfikir untuk membalas ku.
Obrolan kami bertiga terhenti, ketika terdengar suara khas yang sudah kami tunggu-tunggu.
”lama amat bang, niat jualan gak!!”Vika langsung bangkit, mendekati penjual bakso keliling langganan kami, bicara ketus tanpa berfikir, penjual bakso hanya tersenyum tipis karena sudah hafal dengan gaya bicaranya.
Aku dan Reno ikut bergabung menyusulnya. Bersiap memilih sekaligus meracik sendiri sesuai selera.
Sedang asik menyantap bakso sambil sesekali memaksa masuk dalam obrolan Vika dan pacarnya, satu pesan masuk dengan nama Pesek.
”mas, kapan main ke rumah?”
Pesek adalah nama yang sengaja aku sematkan untuk memanggil Ain, meskipun dia kerap kali protes karena hal itu.
“tumben chat, si pesek pasti punya niat terselubung.”balasku sambil menyertakan stiker anak kecil berlari.
Baru beberapa sendok aku lanjut menjamah bakso, Ain sudah kembali membalas.
“emang aku sejahat itu? Manggil Pesek lagi!!”balasnya diikuti dengan stiker anak kecil bermuka jeles.
“ku ralat. Ada apa mancung? haha.”balasku berniat menggoda. Karena faktanya Ain memang pesek.
“dahlahh. Marah aku!"Ain membalas dengan cepat, mungkin Ia mulai terpancing.
Botol berisi air dingin tiba-tiba Vika taruh dengan kasar disamping mangkokku.
”HP mulu, habisin dulu baksonya.”ketusnya berhasil mengagetkanku.
”diam!”jawabku cuek. Kembali fokus pada layar HP, mulai mengetik menggunakan tangan kiri karena tangan kananku masih memegang sendok.
“canda Pesek, ada apa? Kau di rumah?”
“gak jadi minta tolong!”balasnya ngambek. Stiker anak kecil memalingkan wajah manyun menjadi tandanya.
Aku mulai senyum sendiri membaca pesan darinya, kebiasaan usil ku kambuh.“huuhhh, untung gak jadi! Lagian aku juga sedang sibuk.”balasku, sekaligus mengirim foto bakso yang sedang ku santap.
“pamer lagi! Mas El jelek, bikin malas!”Ain tambah ngambek, stiker anak kecil menghajar boneka dia spam.
Aku tertawa sebelum kembali mengetik sebuah jawaban.“hahaha sudah-sudah, maaf sekk. Serius, ada apa?”
“nanti, mas El harus kesini! Aku pesan bibit parfum aroma angel heart, mix dengan greentea 30ml non alkohol.”balasnya mengutarakan maksud dan masih menambahkan satu pesan lagi.”tapi aku masih belum ngasih maaf!!”ia masih menggunakan stiker yang sama.
“hieekkkk. Curang!!”balasku masih senyum-senyum sendiri.
“biarin!! Salah sendiri selalu usil. Weekkk."
“terus...”balasku singkat.
“bungkusin bakso yang ada di sebelah lampu merah gak pake kubis!”
“kenapa jadi ada baksonya?!"
“salah sendiri pamer. Gak mau tau! Itu syaratnya, titik.”
“di palak, di paksa, masih dijadikan penjahat pula!”protesku, dengan stiker kartun gantung diri.
“biarin!! Atau aku tak akan mau lagi bikinin kopi. Selamanya!”ancam Ain.
Aku hanya membalas menggunakan stiker yang sama, kartun gantung diri.
“terserah. Gak ada nego. Gak ada protes!!”
Ternyata Vika mengamati raut wajahku, entah sejak kapan.“senyum-senyum sendiri, kau sedang jatuh cinta El?”suara Vika berhasil menyadarkan aku yang lupa dengan kehadiran mereka berdua karena terlalu asyik chat dengan Ain.
”jatuh cinta? Maaf, cintaku cukup mahal.”jawabku asal.
”songong! mana mangkokmu mau sekalian kubawa ke belakang.”timpalnya sembari sibuk membersihkan sisa kuah bakso yang tercecer di etalase menggunakan tisu.
”cinta terbaik hanya akan kuberikan pada dia, wanita dengan jari manis yang telah aku pasang cincin simbol pernikahan.”lagi, aku bicara asal dan berlagak keren, sambil mengusap bibirku dengan tisu.
”terus saja hidup dengan teori-teori indah mu itu. Sampai kau tersadar jika wajahmu saat ini, terlihat jelas! Sangat rindu dicintai.”ucap Vika tanpa menoleh ke arahku seraya pergi membawa mangkok, meninggalkanku yang terdiam tak mampu menjawab. Reno masih fokus dengan HP yang ada di tangan kanannya, dia tidak peduli dengan obrolan terakhir kami.
***
Pukul 19:02 aku tiba di rumah ibuk. Dari sepuluh kamar kos yang ada, mayoritas satu kamar dihuni oleh dua orang. Dulu aku kenal dengan semua penghuninya, tapi sekarang aku merasa asing karena tak ada satupun wajah yang ku kenali. Waktu terasa sangat cepat merubah semua wajah yang tinggal di kosan ini.
Meski berada dalam satu pekarangan, tapi rumah ibuk dan kamar-kamar kos memiliki halaman yang terpisah, banyak motor terparkir di halaman kos namun suasana begitu tenang.”lagi musim UTS kah.”gumanku sendiri.
”assalamungalaikum..”aku berdiri di depan pintu ruang tamu, setelah turun dan memarkir motor vario warna putih di halaman.
”wangalaikumsalam.”suara Ain terdengar dari balik pintu, tidak perlu waktu lama untuknya berjalan menuju pintu.
”krakk...”suara gagang pintu.
”mana pesananku Mas?”tanpa basa basi dia langsung menagih. Sesaat setelah pintu terbuka dengan mata yang tertuju pada kedua tanganku, kosong.
”malas! Aku kan penjahat, bebas dong ingkar janji.”jawabku cuek. Masuk ke dalam rumah melewati Ain yang masih berdiri memegang gagang pintu.
Aku menoleh ke arah Ain sebentar, sebelum melewatinya.”lagian niatku kesini karena kangen sama Ibuk, weekkk.”lanjutku bicara, menuju sumber suara TV yang ada di sebelah ruang tamu.
”maasssss!!”teriak Ain gemas, sambil membuka pintu dengan sempurna.
”emang aku gak bawa apa-apa.”lagi, jawabku santai dan terus berjalan.
”mana masss!!”rengek Ain mulai mengikuti ku dari belakang, mirip anak kecil menagih janji tentang mainan baru. Ia memasang wajah manyun, lalu menarik hoodie ku dari belakang.
Aku terhenti mendadak karena tarikannya, membuat Ain kaget dan menabrak punggungku, terkesan seperti dia sedang memelukku dari belakang. Untuk sesaat waktu terasa seperti terhenti. Hening, dengan posisi kami yang belum berubah.
”deg..deg..deg...”
Jantungku bereaksi, entah karena kaget, protes, atau malah menikmati sensasinya.
“Ain!! Pelankan suaramu, ada apa to.”Ibuk memecah hening dengan suara khasnya, dengan reflek pula Ain mendorongku, cukup kuat.
”tanya saja mas El yang jelek ini Bik. Usil terus!”protes Ain dengan suara tak kalah keras.
”kenapa aku?!”lagakku sambil menoleh ke arahnya. Sepintas aku melihat wajahnya seperti memerah, meski aku sendiri juga cukup salah tingkah karena moment barusan.
”halahhh. Ngaku!!”dia mencubit kuat lengan atasku. Aku meringis menahan sakit sekaligus tawa karena sukses menggodanya.
”ampun!! Sakit sekk, ambil sendiri di gantungan leher motor.”ucapku sembari mengusap lengan bekas cubitannya, tanpa menjawab Ain nyelonong menuju arah motorku yang terparkir di halaman.
Ternyata Ibuk sudah beranjak dari depan TV dan berjalan ke arahku.”buk.”sapaku sambil mencium punggung tangan beliau.
”dari mana le.. sehat?”tanya Ibuk mengajakku duduk di ruang tamu.
”alhamdulilah buk, dari toko bawain pesanan Ain.”jawabku duduk pada sofa panjang tepat di depan laptop Ain yang masih menyala, juga ada beberapa buku di atas meja yang sama. Sedangkan Ibuk, beliau duduk pada sofa kecil yang hanya muat untuk satu badan, disamping kiri depanku.
”Ain, bikinin kopi kakakmu.”perintahnya tanpa menggeser posisi. Dari dulu ibuk jarang sekali menyebut namaku, beliau selalu menggunakan kata kakak jika berhubungan dengan Ain maupun anak-anaknya, mungkin karena aku memang yang paling tua dari mereka.
Hanya saja saat ini kedua anak beliau masih dalam masa pendidikan, itu sebabnya rumah ini jadi terasa sepi.
”emooh!!”Ain menjawab lugas dari arah dapur.
Ibuk diam, beliau hanya menggelengkan kepala.
”adikmu pesan apa le..?”Ibuk kembali menoleh ke arahku yang sedang memandang wajah Ain pada wallpaper laptopnya.
”manis.”entah kenapa tiba-tiba hatiku berkata seperti itu.
”ehh...itu buk. Anu.. Ain pesan parfum.”jawabku kikuk karena kaget juga salah fokus.
Tidak lama berselang Ain bergabung di ruang tamu membawa dua porsi bakso yang sudah ia taruh pada mangkok, lalu ia duduk di sofa yang sama denganku.
”kok bakso?”tanya Ibuk pada Ain yang sudah menaruh bakso tepat di depan beliau. Ain tak menjawab, cuma cengengesan sendiri. Menyandarkan HP pada tempat tisu, sepertinya ia sedang menonton film.
”hasil malak itu buk! Aku di paksa.”sahutku melirik Ain.
”mulai lagi!!!”protesnya tanpa menoleh, sepenuhnya dia fokus pada layar HP, sambil mulai menyantap makanan kesukaannya.
“mana kopiku Sekk.”tanyaku, sengaja ingin menggangunya yang mulai makan.
”ambil sendiri di dapur.”jawabnya sewot, masih dengan posisi yang sama.
”hiss, Ain! Ambilin dulu kopi kakakmu.”ibu menyela, beliau juga mulai memakan semangkok bakso yang sudah di siapkan keponakannya itu.
”emohh bik!! Salah sendiri usil.”Ain tetap keras kepala.
aku tersenyum dengan sebuah ide.”gapapa buk, aku ambil sendiri.”
Aku berjalan lewat belakang sofa, dan tepat ketika sudah berada di belakang Ain. Tanpa aba-aba, kuambil paksa sendok yang sedang ia gunakan, berhasil.
”bibiikk!! lihat mass. Usil terus.”Ain menoleh ke arah ibuk, memasang wajah melas berharap mendapat pembelaan, di susul dengan bibir manyunnya yang semakin maju.
“lee...! Jangan ganggu adikmu yang sedang makan. Kalian itu, kalau bertemu selalu saja begini.”Ibuk menggelengkan kepala, lagi.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!