4. Debaran itu, kembali.

Tidak terasa sudah satu jam lebih. Aku, Ain, dan Ibuk duduk bersama. Hampir seluruhnya, Ibuk yang mendominasi pembicaraan, beliau banyak sekali bercerita tentang kedua anaknya, rasa kangen terpampang jelas pada wajah yang mulai memunculkan keriput itu.

Sedangkan Ain sibuk sendiri dengan laptopnya, ia hanya akan merespon ketika dengan sengaja aku menjahilinya. Merasa sudah mulai ngantuk, Ibuk pamit untuk istirahat.

Untukku sendiri, tak ada batasan harus pulang jam berapa, bahkan ibuk menyuruhku menginap, meskipun aku menolaknya.

Ain masih menatap laptopnya, posisi duduk kami juga belum berubah.

”banyak, tugasmu Sekk?”mataku mengarah pada jari Ain dengan kuku warna hitam kombinasi dengan merah tua, sedang menari-nari pada keyboard.

”banyak sekali mas, tapi karena deadline masih jauh, jadi malas ngerjain.”Ia masih sepenuhnya fokus pada layar.

Entah sudah berapa kali aku mencuri pandang pada wajah Ain malam ini. Parasnya biasa saja, kulit bersih tidak putih juga tidak bisa di bilang hitam, hidung mungil menyempurnakan tingkahnya yang mirip anak kecil, tapi hebatnya jika urusan mengingatkan waktu sholat, dia bisa berubah menjadi sangat galak. Kerudung warna kunir pucat serta terusan warna hitam melengkapi tampilannya malam ini.

”manis” lagi, kata itu terbesit dalam pikiranku.

”dapat jatah pulang berapa hari?”tanyaku, kali ini aku merasa lebih leluasa memandang wajahnya dari samping, karena ibuk sudah tidur dan juga Ain yang terlalu fokus pada tugasnya.

Apa karena tawaran ibuk kemarin, rasanya aku menjadi penasaran untuk lebih mengamatinya, padahal biasanya aku sama sekali tak terpikirkan untuk hal-hal seperti ini.

”besok sudah balik ke pondok mas. Habis ini mungkin aku bakal jarang pulang.”jawabnya menoleh ke arahku sebentar. Dengan cepat pula aku mengalihkan pandangan pada gadget.

Sesekali Ain menghentikan laju jarinya. Matanya berganti fokus pada buku yang sudah terbuka tepat di samping laptop, sebelum kembali lagi memainkan jarinya pada keyboard. Sambil terus bicara tentang Ia yang kini dijadikan salah satu pengurus pondok, hingga membuat jadwalnya terasa padat sekali. Aku hanya mendengarkan keluhnya, terus mengamati secara bergantian mulai dari lincah jarinya, juga matanya yang cekatan, serta gerak bibir tipisnya yang tak henti bicara. Aku tersenyum.

”deg..deg..deg...”

Hatiku kembali bereaksi, sebuah debaran yang sudah lama sekali tidak kurasakan. Karena merasa salah tingkah dengan resah ku sendiri, aku memutuskan untuk pamit, segera berdiri dan mengubah posisi.

”pulang dulu.”

”sudah jam segini, gak sekalian tidur sini mas?”Ain menoleh ke arahku bersiap menyambut tangan yang aku dekatkan padanya.

”malas, besok pagi bisa-bisa aku kena siram!”

”pastilah! Salah sendiri, susah di bangunin buat sholat.”jawab Ain tanpa kompromi seraya meraih tanganku, lalu menempelkan pipi kanannya pada punggung tanganku. Sejenak dia terdiam, tanpa melepas genggaman tangan kami.

”tambah sekali lagi mas. Karena waktu datang tadi aku lupa, hehehe.”

Entah suaranya memang terdengar manja atau cuma aku yang terbawa suasana. Kini giliran kening Ain yang menempel pada punggung tanganku.

”astaga! Harusnya ini hal biasa yang sering kami lakukan, kenapa sekarang terasa berdebar.”hatiku protes.

”jangan lupa pintu di kunci.”aku segera melangkah keluar tanpa berani memandangnya, takut jika ia menyadari perubahan raut wajahku.

”siap mas, makasih parfum sama baksonya.”ucap Ain bersamaan dengan pintu yang Ia tutup.

***

“terima kasih mbak. Lain kali temannya dikasih tau untuk lebih teliti!”seorang pelanggan melangkah pergi menuju motornya, ekspresi kesal jelas terlihat dari raut wajahnya yang masam. Vika masih berdiri di samping kasir, memaksakan senyum hingga pelanggan itu pergi.

”El! Ada apa denganmu.”Ia melepas nafas panjang disusul dengan wajah masam, persis seperti pelanggan barusan.

”Cuma ku tinggal break dua jam. Sudah ada dua pelanggan yang komplain!”wajahnya semakin masam.

”maaf Vik, hilang fokus.”singkatku menjawab, tak menggubris wajah masamnya. Aku mencoba kembali fokus pada lembar kertas di tangan kiri, menghitung barang yang ada di rak sepanjang lima meter, berjumlah tiga sap untuk kemudian menyingkronkannya pada data. Memasuki akhir bulan, Aku dan Vika bersiap untuk bergelut dengan banyaknya tugas pembukuan.

”kau ada masalah?”Vika bertanya. Ia pun mulai melakukan hal yang sama, hanya saja dia fokus pada berbagai jenis botol kaca yang ada dalam etalase.

”softener exotic setengah liter, tolong cek Vik, benar ada 79?”aku balik bertanya.

Vika segera menggeser sedikit badannya.”ngawur!! di sini ada 100 lebih.”jawabnya saat sudah melihat layar komputer. Segera kucoba hitung ulang, benar saja memang aku yang salah. Kutarik nafas panjang lalu melepasnya secara kasar.

”arhhh!!!” meremas kertas yang sedang kubawa lalu melemparnya asal.

”lanjut besok Vik, pusing kepalaku.”aku mendekat ke arahnya, duduk di kursi lalu menyandarkan dagu pada etalase sembari menggaruk rambut bagian belakang.

Vika melirik, mengamati gelagatku.”kau pasti sedang ada masalah.”ia mengulang pertanyaan, menghentikan sibuknya lalu berjalan mengambil minuman dingin.

”aku galau.. ”ucapku lemas, masih dengan dagu yang melekat pada etalase.

”hahaha, bahasamu El.”Vika menampol pelan kepalaku, menaruh minuman tepat di samping wajahku sekaligus merapatkan posisinya, bersiap mendengarkan curhatku.

Sudah hampir seminggu sejak aku duduk satu ruangan dengan Ain, namun wajahnya terus saja mengusikku dengan kondisi hati yang berdebar. Satu sisi aku mungkin merasa senang karena ini sesuatu yang sudah lama tak kurasakan, tapi di sisi lain skenario terburuknya juga muncul menghantui. Pikiran dan hatiku rasanya tidak sejalan, terus saja saling tumpang tindih. Lalu, di perparah dengan bayang kegagalan masa lalu, membuatku merasa takut. Bahkan ketika aku belum memulai apapun.

”sial! kenapa harus satu tahun lebih.” Pada akhirnya selalu kalimat itu yang jadi pemenang.

"El! Malah bengong.”Vika menempelkan minuman dingin pada pipiku. Kepalaku bangkit sekaligus menaikan bahu, kuraih minuman itu.

”aku ragu Vik, pada sebuah pertanyaan yang aku sendiri belum yakin dengan jawabannya.”kuteguk minuman dari Vika disusul sebatang rokok yang aku nyalakan.

”urusan hatikah??”Vika menebak dengan tepat. Aku hanya mengangguk tanpa menoleh ke arahnya.

”bagian ini yang selalu menjadi minus mu, El. Selalu penuh keraguan dan karaktermu kurang tegas jika menyangkut urusan pribadi, terlebih lagi masalah hati.”

lagi-lagi ucapan Vika benar.

”ikuti saja intuisi mu. Semua keputusan selalu bersanding dengan resiko El, apapun itu.”meski biasanya sifat Vika pemarah juga ucapannya yang terkesan tajam, namun saat ini, cara dia menyampaikan opini terasa pas. Meski secara garis besar dia mengatakan aku layaknya seorang pengecut tapi cara penyampaiannya mampu membuatku tidak merasa tersinggung, sayangnya obrolan kami terhenti karena ada pembeli yang datang.

***

Malam harinya aku memberanikan diri untuk menghubungi Ibuk, bermaksud untuk memberi sebuah jawaban atas tawaran beliau waktu itu, hampir satu jam kami berbicara. Ibuk memberiku banyak nasihat, juga mengutarakan kembali tentang kekhawatirannya. Yang membuatku cukup kaget adalah perkataan Ibuk tentang respon Ain, ketika beliau bercerita tentangku kepadanya. Sempat membuatku kembali ragu, meski akhirnya “belum bisa.” tetap menjadi jawabanku. Ibuk memahami alasanku, terlebih karena beliau juga lumayan mengerti tentang kesialanku dalam urusan percintaan di masa lalu.

”jangan memaksakan diri melepas, siapa tau itulah yang di butuhkan hatimu.”pesan Ibuk yang belum ku mengerti maksudnya. Sebelum akhirnya beliau menutup perbincangan kami dengan kata.

”tetap jaga adikmu.”

Aku merebahkan diri pada karpet hijau dalam ruang tamu, mataku penuh dengan langit-langit putih polos, memandang sekelompok serangga kecil berterbangan mengelilingi neon yang menjadi pusat cahaya dalam ruangan 4x4 meter ini. Terus meyakinkan diri dengan keputusan yang sudah kuambil, meski bayangan wajah Ain juga dengan debarannya masih terasa.

”dear, kawanan serangga kecil bersayap. Cahaya ataukah pasangan, tujuan kalian mengitari lampu neon malam ini.”tulisku pada status WA, sekaligus menutup aktifitas malam ini, memejamkan mata dan berharap besok sudut pandangku tentang Ain kembali seperti beberapa minggu yang lalu.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!