NovelToon NovelToon

Istri Sejuta Luka

Pengkhianatan

Jemari tangan yang rampai tampak telaten menoreh tinta di kertas kosong. Dokter Rea demikian ia disapa, tengah menulis resep obat untuk pasiennya.

“Bu, ini resepnya semoga Ibu cepat sembuh yaa!” Rea tersenyum sembari menyerahkan secarik kertas pada seorang wanita paruh baya yang duduk persis di hadapannya.

“Terima kasih, Dok.” Wanita paruh baya berpenampilan glamor itu pun balas tersenyum meski senjang, dari wajahnya jelas terlihat ia sedang tidak baik-baik saja. Gegas wanita itu pun berlalu setelah menerima resep yang diserahkan Dokter Rea kepadanya.

Sesaat setelah kepergian wanita itu Rea tersandar di kursi tubuhnya terasa penat karena tadi banyak pasien yang sudah ia layani.

Reana Arinda adalah seorang dokter umum di salah satu rumah sakit swasta di ibukota, namanya cukup terkenal di kalangan orang-orang kelas atas bisa dikatakan Rea adalah dokternya orang-orang kaya di kota itu.

“Masih banyak?” tanya Rea pada Irina yang berdiri di ambang pintu.

Irina adalah asisten dokter sekaligus partner kerja Rea. Gadis muda itu sedang mendekap map di tangannya.

“Tinggal dua lagi, Dok,” sahut Irina memaksa senyum, sebab ia pun sama penatnya.

“Dokter mau langsung dipanggilkan pasien berikutnya atau mau istirahat dulu sebentar?” sambung Irina bertanya.

Rea tercenung, lalu menggeleng.

“Tinggal dua lagi tanggung kalau mau istirahat, ayo panggilkan pasiennya!” Rea memberi perintah.

“Baik, Dok.” Irina mengangguk cepat.

Segera Irina menarik gagang pintu kemudian berteriak menyerukan sebuah nama yang terdengar indah di telinga.

“Nyonya Anina Jelita!”

Semula tidak ada yang janggal bagi Rea, seperti biasa saat pasien masuk ia akan disibukkan mengkonfirmasi nomor urut pasien di komputernya.

“Silakan duduk!” ucap Irina saat pasien melewati pintu dan ia pun segera menutup rapat pintu itu dari dalam.

Ketika dilihatnya pasien terus saja bergeming di depan meja membuat Irina sekali lagi bersuara.

“Nona Anina, silakan duduk!” pintanya.

Berhasil mencuri perhatian Rea, ia menghentikan kesibukan saat tidak didengarnya kursi ditarik oleh pasien, padahal Irina dua kali meminta pasien itu untuk duduk.

Rea angkat pandangan, betapa matanya membulat dengan sempurna dan seketika senyum punah di wajahnya tatkala didapatinya seseorang yang sangat ia benci berdiri tepat di hadapannya.

Rea buang muka, amarah membuncah membakar menghanguskan dada. Darah mendidih hingga nyaris menyembur di ubun-ubun kepalanya saat sepenggal kejadian di masa lalu kembali hinggap di benaknya.

Rea tersenyum jengah, lalu melepaskan kacamata yang mula bertengger di hidung runcingnya.

“Hm,” dengusnya melas.

“Jadi kamu di sini, Re? Sudah lama aku mencarimu semenjak kejadian itu.”

Wanita bernama Anina bicara dengan nada rendah, napasnya memburu bahkan terpacu sepuluh kali lebih cepat. Bukan karena marah melainkan rasa bersalah. Anina masih belum percaya ia bertemu Rea, padahal sebelumnya ia sudah mencari Rea ke mana saja, tapi hasilnya nihil tetap saja tak berjumpa.

“Re, ayo kita bicara! Banyak hal yang ingin aku jelaskan, semuanya tidak seperti yang kamu bayangkan. Aku dan Dev hanya, ...”

“Anna, cukup!” potong Rea marah. Ia menyebutkan nama panggilan Anina sehari-hari. Tidak banyak orang tahu nama panggilan itu hanya beberapa saja selain keluarga, Rea adalah salah satunya.

Suara Rea melambung tinggi menyentuh langit-langit ruangan yang bercat serba putih.

“Aku tidak peduli apa yang terjadi di antara kalian waktu itu!” Rea berdiri dari duduk dan melotot ke arah wanita yang dulu pernah menjadi sahabatnya.

“Tapi, Re, ...”

“Cukup!” potongnya kian marah. Ia tidak tertarik mendengar penjelasan Anna, juga tidak peduli raut menyesal di wajah cantik wanita itu.

“Kamu pergi atau aku yang akan ke luar dari sini?” ancam Rea muak.

Tiba-tiba Irina menimpali.

“Dok maaf, tapi di luar masih ada pasien.”

“Huhf,” Rea menghela napas panjang.

Ia tidak menjawab hanya tertunduk sembari memijit pelipis mata berharap rasa sakit di kepala enyah walau sebentar. Seandainya Anna adalah pasien terakhir sudah dipastikan Rea akan menginggalkan wanita itu di sana.

“Baiklah, Re. Aku tidak akan membahas itu sekarang.” Anna mengalah. Mengerti betapa marah dan muak Rea terhadap dirinya.

Bukannya langsung pergi Anna malah menarik kursi dan duduk sebagai pasien.

Rea melirik dengan ekor matanya, namun profesionalitas kerja mengharuskan ia melayani pasien walaupun pasien itu seseorang yang sangat ia benci.

Hanya pemeriksaan singkat dan Anna didiagnosa batuk pilek biasa, setelah menyerahkan resep obat gegas Rea meminta mantan sahabatnya itu segera keluar.

“Silakan, itu pintu keluar!” Rea menunjuk pintu, bicara tanpa menatap mata Anna.

Anna terdiam tanpa menimpali, wajahnya menggambarkan rasa bersalah. Sebelum pergi ia sempatkan kembali melirik Rea yang bersikap tak acuh, lalu setelah itu benar-benar berlalu.

Rea pandangi lekat punggung Anna saat wanita itu beranjak pergi.

Rasa sedih Anna atas sikap dingin yang Rea tunjukkan tidak sebanding dengan luka yang pernah diukirnya dulu di hati Rea. Andai Anna tahu bahkan sampai detik ini luka itu masih terasa basah. Betapa tidak, di malam ulang tahunnya yang ke-20 Rea mendapat kado yang teramat sangat istimewa. Kado yang tidak akan pernah bisa ia lupakan seumur hidupnya.

Flashback 7 tahun yang lalu...

Kamar apartemen milik Devan.

“Sebenarnya Dev ke mana? Sampai-sampai dia lupa kalau hari ini ulang tahunku?” Rea marah, ia menggerutu dalam hati.

Kebetulan hari itu Rea kuliah sampai malam dan tanpa ingin menunggu lebih lama ia langsung menemui Devan di apartemennya.

Ketukan sepatu high heels yang menghiasi langkah kaki jenjang itu terdengar nyaring berkesinambungan.

“Sudah lupa, ditambah tidak ada kabar seharian. Benar-benar keterlaluan kamu Devan!” lagi, Rea merutuk sendiri.

Sesampainya di depan pintu kamar apartemen tanpa ketukan ataupun aba-aba Rea langsung saja menekan memasukkan pin sehingga pintu digital itu terbuka dengan sendirinya.

Saat Rea melempar pandang hal pertama yang dapat ia lihat di ruangan super mewah itu adalah kue ulang tahun berbentuk hati di atas meja. Di sampingnya buket mawar berukuran besar berhasil membuatnya seketika melengkungkan senyum di sudut bibirnya.

“Jadi Dev sudah menyiapkan semuanya?” gumam Rea berbunga.

Amarah di hatinya ibarat kemarau dilanda hujan, pias seketika.

Di meja lain tidak jauh dari tempat Rea berdiri ia melihat sebuah kotak persegi berukuran besar, Rea kembali menautkan senyum sambil mendekati kotak itu.

“Jadi dia juga sudah menyiapkan kado?” Rea tersipu. Wajahnya bersemu.

Tapi satu hal membuat Rea menyipitkan mata saat dilihatnya tulisan ‘Untuk Sahabatku Rea.’

Rea sangat mengenali tulisan tangan itu.

“Anna juga menyiapkan ini untukku?” senyum mengambang saat sepintas wajah cantik Anna terlintas di pikiran.

“Jadi bukan Dev?” Rea merengut.

“Tapi kenapa kado dari Anna ada di sini?”

“Pantas saja tadi aku juga tidak menemui Anna di kampus.”

Rea mulai berpikir keras.

“Apa mungkin Dev dan Anna menyiapkan ini bersama?”

Rea mencoba terus berpikiran positif, walau curiga sempat menduduki sudut terdalam hatinya ia tidak terlalu menggubrisnya.

Tiba-tiba saja Rea kembali mengingat Devan.

“Di mana Dev? Kenapa sepi sekali?” dilemparnya pandang ke segala arah.

Pelan-pelan Rea susuri langkah. Ia terhenti, ada yang salah. Rea terdiam sejenak memasang telinga dengan konsentrasi penuh. Suara-suara aneh dengan lembut membelai telinganya, sesekali gelak tawa juga samar mengimbangi. Hatinya sanksi, kembali pasang pendengaran baik-baik, bukannya menghilang suara itu kian jelas dan nyata, tak ayal hiruk-pikuk lenguh dan desahan bersahutan dari balik dinding yang menjadi pemisah antara ruang tamu dan kamar tidur di apartemen itu.

“Tidak mungkin!” Rea menggeleng. Wajahnya memerah seperti tomat, detak jantungnya bertalu-talu, aliran darah di nadinya berpacu tidak beraturan. Rea hela napas dalam mencoba kuatkan hati.

Rea tetap diam dan berusaha tenang di tengah guncangan hati yang mulai tak menentu, seperti langit runtuh menimpa tubuhnya. Air mata tumpah dari telaga bening miliknya. Tungkai panjangnya seakan tidak mampu lagi jadi menyangga berat badannya sendiri. Rea bisa menebak apa yang akan dilihatnya nanti.

“Sayang, kamu begitu hangat,” bisik Devan dengan suara khasnya yang serak, didengar jelas oleh Rea yang mematung di balik dinding.

Rea tepis air mata tidak sabar untuk menangkap basah Devan. Adegan di balik sana sudah ada dalam benaknya sejak tadi.

Rea tidak ingin menunggu lebih lama dengan langkah besar ia gegas masuk.

Tap!

Langkah Rea terhenti. Benar saja, ternyata di ranjang ukuran luas sepasang anak manusia sedang asyik bergumul berbagi peluh dalam kenikmatan.

“Dev!” hanya sebuah gumaman kecil yang mampu keluar dari bibir Rea. Ke dua alisnya tampak turun seiring gerak tangan membekap mulutnya sendiri.

Namun kenikmatan yang sedang dirasa membuat telinga Devan tuli. Pria dewasa itu terus melanjutkan aksinya menghujani ciuman pada gadis yang berada di bawah kungkungannya.

“Dev! Anna!” pekik Rea mulai histeris.

Mata dan hatinya sudah tidak sanggup lagi terus menonton adegan demi adegan yang diperagakan oleh sahabat dan kekasihnya itu.

Barulah Devan dan Anna sadar jika di sana tidak hanya ada mereka berdua.

“Rea?!” Devan terkejut.

Mata pria itu terbelalak melihat Rea yang surut dan luruh ke lantai. Ia segera melepaskan pagutannya dari Anna.

“Re, Re, aku bisa jelaskan semuanya, ini hanya ...” kali ini Anna yang bicara, ia terbata. Wanita itu sibuk menyembunyikan tubuh bagian atasnya dengan selimut.

Baik Anna dan Devan kemudian mencari pakaian masing-masing.

Sementara itu Rea dengan tertatih mencoba bangkit, air mata tidak henti luruh membasahi wajah cantiknya yang memerah. Langkahnya gontai meninggalkan ruangan itu.

“Re, tunggu!” teriak Devan sambil mengenakan kembali celana.

Rea tidak menggubris ia terus berlalu meninggalkan Devan dan Anna yang mengejarnya dari belakang.

“Tega kamu Dev, kupikir tadi kalian sedang menyiapkan sebuah kejutan.” Rea usap wajahnya dengan telapak tangan, matanya memandang sayu ke depan.

Dalam tangis Rea menertawakan dirinya sendiri.

Tadi di tengah kecamuk yang ia rasa Rea sempat mengira suara desah dan rintihan di balik dinding hanyalah sebuah pancingan supaya ia gegas datang ke sana. Rea mengira Devan sedang mempersiapkan kejutan ulang tahun untuknya.

“Bodohnya aku sempat berpikir jika kamu dan Anna menungguku untuk sebuah kejutan ulang tahun. Ini baru kejutan yang sesungguhnya Dev!”

Rea meremas kuat dadanya sendiri berharap ngilu dan sesak di dalam sana pias walau sesaat.

“Terima kasih untuk kado ulang tahun yang tidak akan pernah bisa aku lupakan seumur hidupku.”

Rea sapu air mata di pipi gegas meninggalkan tempat itu sebelum Dev dan Anna berhasil mengejarnya.

Rumah

Mobil mewah hitam metalik perlahan menepi di depan sebuah rumah minimalis yang terlihat sangat modern. Rumah itu tampak asri dengan berbagai macam tanaman hias tumbuh di halamannya yang tak terlalu luas.

Sedikit empasan terdengar saat Rea menutup pintu mobil. Dilemparnya pandangan, lampu yang menyala pertanda suaminya sudah lebih dulu pulang.

Gegas Rea masuk dari pintu samping garasi tempat di mana ia memarkirkan mobil, tidak ditemuinya seseorang yang ia cari. Aroma harum masakan tanpa permisi menusuk indera penciuman, membuat Rea seketika mengulas senyum tipis di bibirnya. Mengerti jika itu suaminya yang sedang di dapur memasak makan malam untuk mereka.

Benar saja saat Rea muncul didapatinya pria dewasa yang tampan tinggi semampai sang belahan jiwanya sedang berkutat dengan peralatan memasak. Bukan sesuatu yang aneh dalam rumah tangga mereka Rea bersyukur punya suami pengertian.

“Hai, Sayang! Bu Dokter cantik baru pulang?” sapaan hangat saat pria itu menyadari kedatangan Rea di sana.

Seulas senyum melengkung di bibirnya yang seksi, perlahan pudar tatkala dilihatnya raut tak biasa dari wajah ayu wanita yang dicintainya.

“Re, Sayang? Kamu kenapa?” tanya pria itu lembut.

Rea tidak menjawab ia berbalik, berusaha menepis perasaan gundah di dada. Ia mendekati meja makan menaruh tas dan kemudian melepaskan rompi berwarna putih yang masih melekat di badannya.

Rea duduk sembari sesekali memutar dan menggelengkan kepala pertanda sedang mengusir lelah.

“Hei, kamu kenapa sih?” suara jenis bariton itu kembali terdengar.

Pria gagah yang rupawan itu mendekat seraya melepaskan cilemek yang masih ia kenakan.

Rea tersentak saat merasakan sentuhan lembut di pundaknya. Ia menoleh ke belakang, lalu tersenyum senjang. Kemudian dilihatnya pria itu duduk persis di hadapannya. Rea menatap dalam pada mata elang yang balas menatapnya sangat tajam.

“Re, Sayang! Ayo cerita!”

Rea tetap diam tanpa melepaskan sedetik pun pandangannya dari pria itu.

Setelah puas dibekap bisu.

“Dev, tadi aku bertemu Anna!” ucap Rea dengan nada datar yang sedikit ditekan.

Devan, ya, Devan. Meskipun pengkhianatan besar telah ia lakukan, tapi Rea berbesar hati memaafkannya. Devan datang bersujud di kaki Rea ia memohon ampun dan berjanji tidak akan mengulangi lagi kesalahan yang sama hanya mencintai satu wanita saja yaitu Rea.

Devan menunjukkan keseriusannya dengan mengajak Rea pindah dari kota tempat tinggal mereka sebelumnya. Dengan begitu artinya Devan dan Anna tidak akan pernah bertemu. Artian lainnya adalah Devan ingin meyakinkan Rea bahwa ia sama sekali tidak mencintai Anna.

Wajah Devan berubah serius, entah kenapa genggaman tangannya pun melemah.

“Re, aku benar-benar tidak tahu tentang itu.” Devan meyakinkan Rea lewat sorot matanya.

“Kenapa wanita itu muncul lagi setelah kita bahagia dan hidup tenang?” nada bicaranya sedikit tinggi.

Merasa sensitif saat mendengar nama Anna. Pria dengan garis rahang yang terlukis sempurna itu frustrasi, merasa takut jika kehadiran Anna kembali mengingatkan Rea pada kesalahan masa lalunya yang berujung pada retaknya keharmonisan rumah tangga mereka.

Sesaat Rea alihkan pandangan dari Devan yang terlihat mulai panik, Rea menatap pintu kamar putri mereka yang letaknya tidak jauh dari sana. Takut suara Devan membangunkan buah hati mereka.

Devan tersadar, aksinya tadi bisa saja membuat Rea kian marah.

“Re, maaf!” ucap Devan menyesal.

Rea menghela napas, dikuatkannya genggaman tangan yang tadi nyaris terlepas.

“Aku tidak menuduhmu macam-macam, aku juga tidak mengatakan kamu dalang di balik kembalinya Anna. Dev, aku hanya takut. Takut kejadian di masa lalu terulang kembali,” ucap Rea lemah.

Setidaknya sepenggal kalimat tadi berhasil membuat Devan merasa jauh lebih tenang.

“Sayang, maaf. Kupikir diammu curiga aku yang meminta Anna datang ke mari.” Devan menghela napas dalam.

“Re, kamu bisa periksa ponselku kalau tidak percaya. Aku dan Anna tidak pernah lagi berkomunikasi.”

Gegas Devan merogoh kantong celananya yang panjang, bahkan pria itu masih mengenakan kemeja kerjanya.

Sebelum Devan menyerahkan ponselnya Rea sudah lebih dulu menggelengkan kepala.

“Tidak, Dev. Aku percaya padamu,” tolak Rea.

Mengingat tadi ekspresi Anna sama terkejutnya saat mereka bertemu, Rea mengartikan wanita itu juga tidak tahu kalau sebelumnya ia dan Devan berada di kota yang sama.

“Maafkan aku, Dev. Aku berlebihan.” Rea merasakan mata dan wajahnya memanas. Tanpa ia sadari bulir bening luruh dari telaga cokelatnya yang indah.

Dev berdiri dari duduk untuk mendekati Rea segera ia memeluk tubuh ramping wanita yang sangat dikasihinya itu. Rea yang juga semampai membuat Devan dengan mudah mendaratkan ciuman di keningnya.

“Percayalah, Re. Kesalahan itu tidak akan pernah aku ulangi. Aku tidak ingin jatuh untuk yang ke dua kalinya di lubang yang sama. Kehilanganmu adalah mimpi terburuk dalam hidupku,” bisik Devan meyakinkan.

Rea mengangguk. Dilerainya pelukan Devan. Berusaha mengusir canggung yang tadi sempat ia ciptakan.

“Apa makanannya sudah jadi? Kamu masak apa, Dev?” tanya Rea mengambangkan senyum.

“Kesukaanmu,” jawab Devan singkat.

Setelah memastikan semuanya baik-baik saja ia kembali ke meja belakang dan gegas membawakan dua mangkuk sup lengkap dengan nasinya.

“Ini untukmu, Ratuku,” ucap Devan menyuguhkan sup yang masih mengepulkan asap di atasnya.

Rea berbinar melihat sup panas dihidangkan di hadapannya.

“Hanya dua mangkuk?” tanya Rea menautkan dua alisnya yang runcing.

Devan tersenyum.

“Tuan putrimu sudah makan tadi,” jawab Devan sembari menyerahkan sendok dan garpu.

“Makanan instan lagi?” sela Rea sembari meniup kuah sup di sendoknya.

Senyum simpul di bibir Devan menjawab segalanya.

“Ayolah, Dev. Jangan kasih dia makanan instan lagi, sudah berapa kali aku katakan makanan instan memicu berbagai penyakit,” oceh Rea.

“Iya, iya. Hanya kali ini.” Devan menurut.

“Pantas saja Airin senang kalau ditinggal sama aku, sama kamu banyak aturannya,” gumam Devan.

“Apa?” sela Rea yang tadi mendengar jelas kata-kata Devan. Matanya melotot nyaris jatuh ke lantai.

“Hehehehe, bercanda,” elak Devan sambil menuangkan air ke dalam gelas Rea.

“Ngomong-ngomong, supnya enak. Terasa lebih nikmat di makan saat hujan begini,” tidak sungkan Rea melayangkan pujian.

“Sungguh supnya enak?” tanya Devan.

“Hm,” angguk Rea sambil melahap sup di mangkuknya.

“Berarti kamu harus membayar mahal untuk sesuatu yang enak,” sambung Devan enteng.

“Berapa harus kubayar Pak Koki?” jawab Rea melirik dengan ekor matanya.

“Tentu dengan yang enak-enak pula!” bahkan kali ini terdengar jauh lebih enteng. Kata-kata Devan tadi diiringi tawa yang terdengar menggelitik.

“Hahahaha, selalu saja seperti itu.” Rea mencibir.

“Habis ini kamu langsung mandi, yaa. Tadi sudah aku siapkan air hangat untukmu di dalam,” Devan mengedipkan sebelah matanya diiringi senyum kemenangan yang terlukis di wajahnya.

Rea menghela napas panjang mendengarkan. Belum lagi penatnya hilang ia harus dihadapkan kembali dengan aktivitas yang akan menguras banyak tenaga. Setidaknya sekarang perutnya sudah tidak lapar lagi, Devan memasak sup enak untuknya tadi.

“Aku mencintaimu, Dev!” ucap Rea bergumam, sementara ia terus menyeruput kuah sup di sendoknya.

“Aku juga mencintaimu, Re,” sahut Devan yang mendengar jelas kata-kata Rea tadi.

Untuk sesaat tatap mereka terkunci di satu titik yang sama sebelum akhirnya saling melukis senyum di bibir masing-masing.

Trauma

Terengah-engah Devan jatuh dan terkulai di samping Rea saat mereka selesai menuntaskan hasrat. Satu kecupan hangat mendarat di kening Rea sesaat sebelum akhirnya pria gagah nan rupawan itu terlelap dan tenggelam dibuai lamunan malam.

Di bawah temaram malam Rea perhatikan wajah Devan lekat-lekat perlahan diusapnya lembut sepasang alis melintang yang menghiasi mata setajam elang.

“Banyak hal yang sudah kita lalui bersama, Dev. Harapanku jangan sampai Anna kembali menjadi momok menakutkan dalam hubungan kita,” gumam Rea dalam diam.

Jemarinya yang rampai kini turun menjamahi garis rahang yang terlukis begitu sempurna. Belaian kasih sayang tidak luput juga mendarat di sana.

Sialnya meski malam telah larut kantuk seolah enggan datang bertandang sudah berulang kali Rea mencoba untuk tidur, tapi tak juga terlena. Akhirnya memilih bangun dan mengenakan kembali lingerie yang teronggok di lantai.

Setelah kembali dari kamar mandi Rea melangkah mendekati jendela. Di pekatnya malam ia buka jendela untuk sekadar mencari udara segar. Dingin malam pun tanpa permisi menyentuh kulit lembut yang putih seputih kapas. Sesekali Rea mengusap lengannya mencoba mengusir dingin, seperti hati dan pikirannya yang sejak tadi juga berusaha mengusir bayang Anna di ingatan.

“Ayolah, Re, terus berpikir positif!” batin Rea.

Nyatanya gelisah tak kunjung bisa diredam, sebesar apa pun usaha Rea untuk mengenyahkan bayangan masa lalu, tetap saja ketakutan lebih kentara menyelimuti hatinya

Dingin semakin menusuk pori-pori membuat Rea akhirnya menutup kembali jendela dan menarik tirai indah berbahan sutera yang terpampang memperindah tampilan ruang kamar.

Langkahnya gontai menuju meja rias, karena kembali ke kasur pun rasanya mata masih enggan terpejam.

Sejenak Rea memperhatikan wajah cantiknya dari pantulan cermin, wajah ayu berbentuk oval dihiasi sepasang mata indah dan hidung yang runcing. Rea dikaruniai bentuk wajah yang cantik, hanya saja akhir-akhir ini ada banyak bintik merah sejenis jerawat tumbuh menghiasi. Jujur saja beberapa bulan ini Rea sudah jarang sekali merawat diri.

Tanpa diminta bayangan Anna datang menyalip di tengah kesibukan Rea yang sedang membersihkan wajahnya menggunakan micellar water. Pergerakan jari-jemari yang rampai itu pun seketika terhenti dengan sendirinya.

Kegelisahan yang Rea rasa makin menjadi-jadi saat diingatnya tadi Anna tampil jauh lebih cantik dibanding saat terakhir kali mereka bertemu.

“Makin hari aku makin kurus saja, wajahku juga sudah tidak terurus. Aku terlalu sibuk dengan pekerjaan.” Lekat Rea memperhatikan diri sendiri dari pantulan cermin.

“Bagaimana kalau Dev tiba-tiba berpaling? Bagaimana kalau seandainya tanpa sengaja Dev dan Anna bertemu di jalan? Anna sekarang jauh lebih cantik ia terlihat makin muda, sementara aku terlihat kurus dan tidak terurus,” batin Rea.

Rea seperti sudah kehilangan akal sehatnya. Ia yang biasanya realistis dan tidak suka memikirkan hal-hal semacam itu bisa berubah setelah bertemu dengan Anna.

“Bagaimana kalau ternyata Dev lebih tertarik pada Anna dan kejadian di masa lalu terulang kembali?”

Trauma di masa lampau datang untuk menyakiti sudut hati yang pernah terluka, seharusnya baring disembuhkan oleh waktu, tapi kini kembali dikikis dibasahi darah yang bercampur air mata.

Pergumulan panas antara Dev dan Anna di ruang kamar apartemen sejatinya tidak ingin diingatnya lagi, tapi malam ini bayangan itu begitu nyata menari-nari di ruang mata. Rea tidak sanggup lagi menahannya sendiri. Rea takut jika sampai rumah tangga yang sudah lama ia bina bersama Devan hancur hanya karena Anna.

“Aaaaaaaaaaaa!”

Rea menjerit sekuat-kuatnya saat sekelebat bayangan kelam itu kembali terlintas di benaknya. Bayangan ketika Devan mencumbu Anna di bawah kungkungannya, bayangan di mana ke dua anak manusia itu bergulat di lautan nikmat dan keringat.

Puas menjerit Rea kemudian mengusap wajahnya dengan telapak tangan, lalu perhatiannya tertuju pada benda kecil berbentuk pipih di atas meja, di antara banyaknya peralatan makeup yang tersusun di sana.

“Apa arti diriku di matamu, kalau memang mencintaiku kenapa harus ada Anna di antara kita?” racau Rea.

Diraihnya silet yang mengkilap, lantas kemudian menyayat tangannya sendiri. Bukan untuk bunuh diri, melainkan hanya ingin menyakiti diri sendiri.

“Uuuuuuuu...” Rea menangis histeris.

Sementara itu Devan yang terbangun dari tidur langsung menyadari jika sesuatu yang buruk telah terjadi pada Rea, ia berhamburan dan memeluk Rea erat. Secepat kilat disambarnya silet tadi dan dilemparnya ke lantai.

“Hei, kamu kenapa?” tanya Devan khawatir.

Kali ini ia berdiri persis di hadapan Rea. Memperhatikan lekat-lekat wajah cantik yang tertunduk sangat dalam.

Sementara darah segar mengalir di tangan yang halus putih seputih salju. Devan raih tangan itu dan dilihatnya luka Rea tidak terlalu dalam, meski begitu cepat ia cari kotak P3K.

Rea masih saja membisu, ia bungkam. Diperhatikannya Devan yang tengah sibuk membalut lukanya menggunakan perban.

“Apa masih hal yang sama, Anna lagi?” tanya Devan dengan suara yang sedikit ditekan.

“Re, please! Ini bukan kali pertama kamu menyakiti diri kamu sendiri kalau lagi ada masalah. Waktu itu kamu juga menyayat tanganmu. Tolong percayalah aku hanya mencintaimu! Harus berapa kali aku katakan Anna hanyalah sebuah kesalahan, sampai kini kesalahan itu selalu aku sesali, ketakutanmu tidak akan pernah terjadi, sama halnya kesalahan itu pun juga tidak akan pernah terulang lagi!” tekan Devan meyakinkan.

Rea berurai air mata mendengarkan. Kata-kata Devan tadi membuat ia terjaga dari mimpi yang sangat menyeramkan. Tersadar kalau Devan sangat mencintainya.

“Dev maafkan aku, aku juga tidak mengerti kenapa perasaan ingin menyakiti diri sendiri itu tiba-tiba datang saat aku lagi sedih. Maafkan aku Dev. Aku janji ini tidak akan terulang lagi,” sesal Rea.

“Hm,” angguk Devan masih dengan wajah yang terlihat kesal.

“Re, kamu juga harus ingat rumah tangga ini bukan hanya kita berdua, tapi juga ada Airin. Kamu mau Airin tahu hal ini? Bagaimana kalau seandainya nanti rasa itu memintamu untuk melakukan lebih seperti menyayat pergelangan tangan misalnya? Apa kamu mau Airin tumbuh tanpa seorang ibu?” tanya Devan.

Rea makin tertunduk, wajahnya terlihat begitu menyesal. Mata indah yang dihiasi telaga sebening kristal itu kini tampak seperti berkabut.

“Bagaimana bisa aku melupakan tentang Airin? Ya Tuhan, ampuni aku!” gumam Rea.

“Cepat atau lambat kita harus ke psikiater,” tegas Devan.

“Dev, please! Kamu berlebihan!” elak Rea.

“Mungkin terkesan berlebihan, Re. Tapi kalau tetap dibiarkan ini akan jadi masalah yang sangat besar untukmu nanti! Tolong jangan sangkal aku lagi!” sergah Devan.

Rea sudah tidak bisa berkata-kata. Sadar kalau apa yang sudah ia lakukan memang salah.

“Dev, maafkan aku.”

Sesaat Rea pandangi mata tajam Devan yang balas menatap lekat. Sehingga untuk beberapa detik tatap ke duanya saling terkunci di satu titik yang sama.

“Ayo sekarang tidurlah! Jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku mencintaimu dan selamanya akan tetap mencintaimu. Tidak akan kubiarkan satu orang pun merusak kebahagiaan rumah tangga kita. Kamu dan Airin adalah prioritas utamaku, tidak akan pernah ada orang lain termasuk Anna!”

“Re, Sayang. Aku hanya mencintaimu!” gumam Devan menatap sayu. Nada bicaranya melemah, amarahnya dikalahkan oleh perasaan cinta terhadap Rea.

“Aku juga mencintaimu,” Rea balas menatap sayu. Setidaknya kini merasa jauh lebih tenang setelah mendengar kata-kata cinta yang dilontarkan Devan untuknya.

Rea meninggalkan Devan menuju ranjang. Di sisi lain pria itu memperhatikan Rea dengan perasaan gundah, jauh di lubuk hatinya yang paling dalam Devan menyesal telah menggores trauma di hati Rea sehingga wanita itu nyaris mengalami depresi hanya karena dirinya. Devan menyadari gangguan mental yang dialami Rea berasal dari kesalahan masa lalu yang pernah ia lakukan dulu.

“Maafkan aku sayang,” hati yang dibalut rasa bersalah itu pun bergumam dalam diam.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!