Apartemen

"Siang Nat, aku membeli oleh-oleh makanan untukmu, kurasa aku akan tiba di kantor 2 jam lagi".

"Nat, sebaiknya makanan ini kukirim ke kantor saja atau langsung ke apartemenmu?".

Aku sedang menunggu di bandara dari perjalanan dinasku. Selama diluar kota aku berpikir aku harus pindah 1 apartemen dengan Natalie agar aku bisa lebih mengenalnya, dan juga sebaliknya. Untuk itu, langkah pertama adalah aku harus mengetahui unit apartemen Natalie.

Aku penasaran dengan jawaban Natalie, apa dia mau menerima pemberianku di depan rekan-rekan kerjanya atau tetap menghindari gossip dan memberikan alamat apartemennya. Namun tidak ada jawaban dari Natalie, sampai aku mendarat kembali ke Jakarta pun tidak ada balasan darinya.

Sesampainya aku di kantor aku berjalan menuju divisi public relation, dengan sekotak kue berukuran kecil di tangan.

Baru aku mau membuka pintu divisi itu, kulihat Natalie berlari menuju ke arahku.

"Van apa yang akan kamu lakukan?".

"Memberikanmu ini", jawabku sambil menunjukkan kotak kue.

"Kupikir itu hanya WA iseng aja Van".

Lalu ia membawaku bergeser ke area yang lebih sepi.

"Van, ini ukuran personal, kamu membawanya khusus untukku saja?".

"Ya, aku hanya beli untuk kamu. Jadi kamu mau menerimanya sekarang atau aku kirim ke rumahmu saja? Aku masih ada urusan diluar kantor, aku khusus datang ke kantor hanya untuk memberikan ini", aku tau langkahku ini agak beresiko kataku dalam hati.

"Arrghhh Van, kamu tau kan aku tidak suka menjadi bahan gossip", katanya kesal.

"Jadi bagaimana Nat?".

"Kirim ke rumahku saja deh".

Aku tau, caraku membuatnya kesal, namun aku yakin bisa memperbaikinya di kemudian hari, yang terpenting kini aku tau unit apartemen Natalie.

Penghuni apartemen Natalie, sebagian besar adalah mahasiswa atau pekerja, yang sering keluar masuk menjadi penyewa, jadi cukup mudah untuk mendapatkan unit yang berada 1 lantai dengan kamar Natalie. Aku telah melakukan penawaran untuk membeli apartemen di seberang kamar Natalie, menurut pengelola, kamar itu akan habis masa sewanya bulan depan, jadi aku bisa melakukan pembelian dan segera menempatinya bulan depan.

Kini tinggal aku bilang pada orangtuaku kalau aku ingin hidup mandiri. Aku yakin mereka tidak keberatan, selama ini mereka membebaskan kakak kakakku tentang pilihan tempat tinggal semenjak mereka kuliah. Sedangkan aku dulu merasa malas untuk tinggal mandiri.

Aku mengutarakan niatku untuk tinggal di apartemen waktu makan siang bersama orangtuaku saat weekend. Mereka tidak mengajukan banyak pertanyaan. Apalagi mereka mendengar alasanku untuk hidup mandiri dan telah membeli apartemen dengan uangku sendiri, mereka berpikir aku akhirnya berpikir dewasa tentang masa depan, sesuai dengan harapan mereka. Orangtuaku mengijinkanku untuk pindah dan menawarkan bantuan untuk kepindahanku. Namun aku menolaknya, dengan alasan aku hanya akan membawa beberapa baju dan barang kecil, sisanya akan masih tetap berada di kamarku, sewaktu waktu aku bosan tinggal sendiri dan ingin kembali ke rumah.

Sejauh ini semuanya berjalan lancar, hanya tinggal menunggu waktu kepindahan saja.

Sedangkan Natalie, ia sudah tidak mempermasalahkan kejadian kue itu lagi, ia hanya memberi peringatan kepadaku, kalau kejadian seperti itu tidak akan terulang lagi atau ia akan menjauhiku. Setelah itu ia kembali bersikap biasa padaku.

Hari yang kutunggu datang juga, aku membersihkan apartemenku dan menata barang-barangku. Aku melakukannya saat weekend, sudah dari pagi aku berada di lantai yang sama dengan Natalie, namun aku masih belum memberitahukannya. Baru saat menjelang malam aku beres menata apartemenku, dan hendak mengajak Natalie makan bareng sambil memberitahunya. Saat kubunyikan bel pintu Natalie, tidak ada jawaban sama sekali, aku juga coba meneleponnya, namun tidak diangkat. Mungkin ia sedang pergi. Masih ada hari esok pikirku dalam hati.

Keesokan paginya, aku memencet bel pintu Natalie dengan roti di tanganku sebagai sebagai sarapan.

Klik...klik..., Natalie membuka pintu

"Pagi Nat".

"Evan ngapain pagi-pagi kamu udah disini, kok bisa sih naik ke atas?", tanya Natalie tampak bingung.

"Perkenalkan aku tetanggamu yang baru", kataku sambil menunjuk unit seberang kamar Natalie.

"Kamu sungguh sudah gila Evan", ia berkata sambil menggelengkan kepalanya.

"Apa aku tidak dipersilahkan masuk Nat?", kataku sambil memperlihatkan roti di tanganku.

"Dasar gila", katanya sambil membuka pintunya untukku.

Apartemen Natalie adalah jenis dengan 2 unit kamar seperti apartemenku, bahkan tata letaknya pun sama, begitu masuk maka akan langsung ada dapur dan ruang makan.

Aku duduk di kursi pantry nya. Natalie membawa piring untuk tempat roti dan air mineral.

Sambil menunggu Natalie, aku berkeliling melihat lihat foto di ruang TV.

"Nat apa orangtuamu sering berkunjung kesini?".

"Papa sudah ga ada semenjak aku kuliah Van, mmmmm.... mamaku, aku yang mengunjunginya setiap weekend".

"Oo maaf aku tidak tau soal papamu Nat".

"Ya, sudah lama juga kok Van".

"Boleh aku antar nanti kamu ke tempat mamamu? Aku ingat dulu mamamu suka memberiku makanan setiap kita bermain bersama".

"Mungkin ia sudah tidak mengingatmu lagi Van, jadi tidak perlu mengantarku Van".

"Ya wajar sih, aku saja tidak menyadari kamu adalah Nata kecil yang dulu suka bermain denganku", kataku tersenyum.

"Ya masa yang menyenangkan bukan", balas Natalie sambil tersenyum.

Akhirnya aku melihatnya tersenyum pagi ini, jujur sebenarnya aku takut Natalie akan memberikan respon yang negatif mengenai tingkah gilaku.

Selesai makan roti, aku pamit kembali ke apartemenku, agar Natalie bisa bersiap-siap untuk pergi. Akupun bersiap-siap untuk mengantarkan Natalie, aku tau ini sedikit memaksa, tapi lebih baik aku mencobanya.

Selesai dengan persiapanku, aku minum kopi sambil membuka pintu apartemenku, dengan demikian aku tau jika Natalie keluar kamar menuju lift.

"Nat ...", panggilku saat melihatnya melewati pintu kamarku.

"Oh ya ampun, jangan bilang kamu akan mengantarku".

Aku mengangguk tersenyum.

"Tidak ada kata tidak dalam kamusmu ya Van", kata Natalie sambil tersenyum.

"Hei aku melihatmu tersenyum, apa itu artinya aku boleh mengantarmu?".

"Apa aku masih punya kesempatan untuk menolak?", jawab Natalie.

Aku segera mengambil dompet dan kunci mobilku, lalu menutup pintu apartemenku.

"Ayo Nat", kataku tersenyum.

Dalam perjalanan Natalie memberikan alamat yang dituju, sungguh aku tidak menyangkanya, mamanya tinggal ditempat panti jompo. Belum sempat aku bertanya, Natalie sudah memberikan penjelasan padaku.

"Mamaku menderita alzheimer, saat ini panti itu adalah pilihan terbaik untuknya, disana ada dokter dan perawat yang akan rutin mengeceknya setiap hari".

"Sejak kapan mama dirawat disana Nat?".

"Sejak 2 tahun yang lalu, ia masih belum parah sih Van, saat ini ia suka lupa jalan pulang saat aku tinggal kerja. Sejak saat itu aku tidak berani meninggalkannya sendiri lagi. Aku takut kalau ia lupa mematikan kompor saat memasak atau hal-hal lainnya, aku teringat tentangmu saat mama pertama kali lupa mematikan kompor dalam waktu yang lama, beruntung tidak terjadi apa apa saat itu".

"Apa kamu baik baik saja selama ini tinggal sendiri Nat?"

"Tentu saja, apa aku terlihat tidak baik saat ini Van", katanya sambil tersenyum.

Aku balas tersenyum padanya.

"Dulu orangtuaku kecelakaan mobil, papaku tidak bisa diselamatkan oleh tim dokter dan mamaku harus dirawat selama 2 minggu. Dokter berkata mungkin salah satu penyebab mama menderita alzheimer adalah karena kecelakaan itu".

Satu tanganku refleks memegang tangan Natalie.

"Aku tidak apa apa Van", kata Natalie sambil menggeser tangannya dari tanganku.

"Ahhh maaf Nat", lalu kembali memegang setir mobil dengan kedua tanganku.

Tidak lama, kami tiba di depan gerbang panti. Aku memarkirkan mobilku.

"Van mau menyapa mamaku?".

"Tentu saja jika kamu tidak keberatan", jawabku sambil tersenyum.

Aku melihat gedung panti ini, panti ini terlihat rapi dan terawat, memiliki taman dan kebun sendiri untuk kegiatan para penghuninya menghabiskan waktu. Area tamu panti juga terdapat berbagai permainan seperti board game, catur, majalah, koran, juga ada area gym tidak jauh dari ruang tamu. Terlihat ini bukan panti jompo dalam benakku, kuingat dulu orangtua Natalie memang cukup mapan ekonominya, mungkin Natalie membiayai panti ini dari peninggalan orangtuanya, karena aku mengetahui gaji staff baru di tempatku, akan cukup sulit untuk membiayai panti ini.

"Mama...aku membawa tamu, apa mama masih ingat oma Rita, ini Evan, cucu oma Rita yang dulu suka bermain denganku".

Samar kuingat bagaimana penampakan mama Natalie saat aku masih kecil dulu, ia tidak terlihat berbeda jauh, ia juga masih cantik diusia senjanya.

"Selamat siang tante, saya Evan", sapaku ramah.

Kami bertiga berbincang hangat, menceritakan kejadian-kejadian masa kecil kami. Hingga tiba waktunya makan siang.

"Van apa kamu tidak lapar? Aku akan berada disini sampai sore. Kamu boleh pamit pada mamaku dan pulang Van, tidak perlu menungguku".

Pertanyaan Natalie membuatku sadar, mungkin ia akan lebih nyaman jika berdua saja dengan mamanya tanpa kehadiranku.

"Ya aku akan pamit setelah makan siang, apa kamu tidak mau keluar untuk makan siang dulu Nat?".

"Aku sudah pesan makan siang pada perawat disini, aku akan makan siang bersama mama".

"Baiklah kalau begitu aku pamit ya Nat".

Aku juga pamit kepada mama Natalie. Diam-diam, setelah makan siang aku kembali menunggu Natalie di ruang tunggu parkiran.

...----------------...

POV Natalie.

"Nat... apa kamu menyukai Evan?".

"Mama ngomong apa sih, kita cuma teman ma, kebetulan saja dia mengantarku hari ini".

"Kapan kamu terakhir memiliki pacar, saat kuliah bukan, semenjak kecelakaan itu, kamu selalu menghindar jika ada yang mendekatimu. Ini pertama kalinya sejak kuliah bukan Nat?".

"Wow mam... kamu mengingat hal yang tidak penting kali ini", kataku sambil tertawa.

Tapi dalam hati aku memikirkan perkataan mama, ya benar juga, ini pertama kalinya aku menurunkan sedikit tembok pertahananku, apa karena ia teman kecilku. Entahlah.

Setelah mama selesai mandi sore, aku pamit pulang sebelum langit mulai gelap.

Apa mataku salah lihat, itu mobil Evan kan, kulihat sekelilingku apa benar Evan masih disini, benar saja kulihat ia sedang mengobrol dengan para satpam panti sambil merokok.

"Evan", kupanggil namanya sambil mengangguk tersenyum menyapa para satpam yang berjaga disitu.

"Sudah mau pulang Nat?".

"Ya Van".

Kemudian kami berdua pamit kepada para penjaga di pos dan gerbang panti.

"Van ngapain kamu nungguin aku disini, tau gitu, kamu tunggu di ruang tamu saja".

"Kalau aku tunggu di ruang tamu, pasti kamu akan menyuruhku pulang kan Nat, lagipula supaya kamu lebih nyaman mengobrol sama mama kamu".

"Ok baiklah, terima kasih Van".

Dalam hati aku merasa senang dia memperhatikanku.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!