Pagi ini, adalah pagi ketiga Mewangi bersekolah di SMA Taman Siswa. Sedari jam tiga dini hari, Mewangi sudah terjaga untuk menunaikan sholat malam, lalu dilanjutkan mencuci bajunya, memasak air dan nasi, hingga saat adzan subuh, Mewangi sudah mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah.
"Mbah, Wangi pamit nggih." pamit Mewangi kepada simbah putrinya yang sedang memberi makan ayam.
"Lah Nduk, kok wis rapi?" tanya mbah Ngatini, simbah putrinya Mewangi.
"Nggih mbah, Mulai hari ini, Wangi mau naik sepeda saja mbah." jawab Mewangi.
"Naik sepeda? Lah? Pora adoh, Nduk?" tanya mbah Ngatini.
"InshaaAllah aman mbah."
"Sekolahanmu deket pasar wedus to?"
"Nggih mbah."
"Nduk, itu jauh. Kenapa ga naik bis aja to?" kata simbah tergopoh, sambil mengelap telapak tangannya yang basah pada jarik yang dikenakannya.
"Naik bis itu harus pake ongkos mbah, Sedangkan Wangi 'kan belum ada pemasukan yang pasti buat bayar ongkos bis, jadi mending Wangi nyepeda saja dulu. Uangnya bisa dipake untuk yang lain." jawab Mewangi.
"Nduk..."
"Wangi gapapa mbah." jawab Mewangi meyakinkan sambil memegang pundak simbahnya.
"Ya sudah, simbah namung isoh ngestoni." kata mbah Ngatini.
Pagi itu, Wangi mengayuh sepeda birunya menuju sekolah putih abu, setelah mencium punggung tangan simbah putrinya dengan takzim. Wangi menerjang embun pagi, dan gelapnya malam menuju pagi. Lampu-lampu di jalanan dan rumah-rumah masih menyala di sepanjang jalan, dan dedaunan masih basah oleh embun pagi. Jalanan masih lengang oleh kendaraan bermotor, hanya beberapa kendaraan yang lewat membawa sayur dan dagangan dari pasar dan para pegawai pabrik sift malam yang pulang ke tempat tinggal mereka masing-masing.
Sesampainya di sekolahan, bangunan gedung bercat hijau bertuliskan SMA Taman Siswa, Wangi segera masuk ke sekolahan dan menuju tempat parkir sepeda. Dia memarkirkan sepedanya, lalu turun dari sepeda, ternyata di sampingnya datang pula seseorang yang juga sedang memarkirkan sepeda federal nya.
"Anak baru ya?" sapanya.
"Iya kak." jawabku yang melihat laki-laki itu dengan seragam formal sekolah menengah atas ini yang dibalut dengan jaket berwarna hitam.
"Mujahid, panggil saja Jahid." katanya sambil mengulurkan tangan.
Mewangi pun menerima uluran tangan kakak kelasnya itu.
"Mewangi. Panggil aja Wangi." jawab Wangi.
"Sepagi ini sudah sampai di sekolah, memang rumahmu mana? Deket ya?" tanya Mujahid.
"Saya dari Tamansari kak." jawab Wangi.
"Tamansari?" tanya Mujahidin terheran, karena merasa asing dengan nama desa itu.
"Iya kak. Daerah waduk Kembang." jawab Wangi.
"Waduk kembang? Itu bukannya daerah Bagastara ya?" tanya Jahid.
"Iya kak, benar. Nah, Tamansari itu, dari pertigaan waduk Kembang, masih masuk ke perkampungan kurang lebih tiga kilometer." jawab Mewangi.
"What? Jauh bener. Dari rumah jam berapa Wangi?" tanya Jahid.
"Jam lima kak." jawab Wangi. Sedangkan Jahid melirik jam tangannya, di situ tertera jam menunjukkan pukul enam lebih duapuluh menit.
"Berarti kamu melakukan perjalanan kurang lebih satu setengah jam ya?" tebak Jahid.
"Iya kak, wajar sih, saya masih baru, nyari-nyari jalan, dan masih belum terlalu berani menyebrang jalan raya, sehingga agak lama. Mungkin nanti kalau terbiasa, saya akan bisa lebih cepat dari hari ini." jawab Wangi sambil berjalan bersama menuju ruang aula bersama Mujahid.
"Oh, ini baru pertama kalinya?" tanya Jahid.
"Iya kak."
Jahit tampak manggut-manggut.
"Sudah sarapan?" tanya Jahid.
"Belum kak, tapi ini saya bawa bekal, ini mau sarapan dulu." jawab Wangi.
"Okey, ya sudah. Kamu sarapan dulu saja, nanti MOS akan dimulai jam tujuh, masih ada waktu sekitar tiga puluh menit kan."
"Iya kak."
"Ya sudah, saya duluan ya, ada beberapa yang harus saya siapkan."
"Iya kak."
"Good luck." kata Mujahid sambil mengerlingkan satu matanya, dan tak lupa meninggalkan jejak senyum manis kepada Mewangi, yang membuat Mewangi merasa ada sesuatu yang hadir di hatinya.
Laki-laki jangkung dengan jaket hitam dan tas ransel berwarna hitam itu, segera melangkah pergi meninggalkan Mewangi di depan ruang aula, karena Mujahid akan masuk ke ruang panitia terlebih dahulu.
Mewangi hanya tersenyum canggung dengan kakak tingkat yang menjadi salah satu panitia MOS. Laki-laki jangkung dengan hidung mancung dan wajah yang putih bersih, dan mata yang bening itu adalah panitia yang memiliki banyak fans dari kalangan peserta putri. Tak disangkanya, ternyata laki-laki jangkung itu juga mengendarai kendaraan yang sama dengan Mewangi. Yaitu Sepeda.
"Astagfirullah." bisik Mewangi, saat dia menyadari akan dirinya yang memikirkan sesuatu yang tak seharusnya dipikirkan olehnya. Mewangi segera memasuki ruang aula dan duduk di kursi yang sudah menjadi tempat duduknya dua hari kemarin. Lalu dia buka kotak bekalnya, dan sarapan seorang diri di dalam aula.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 48 Episodes
Comments