Sekolah

"Apa? Kamu mau lanjut sekolah?" tanya pakde Janto dengan suara tinggi, dia adalah kakak kandung ayahku. Dia adalah anak sulung simbah, yang tinggal berdekatan dengan rumah simbah. Tetapi, meski dekat, pakde memang sangat jarang berkomunikasi denganku, maupun simbah. Apalagi ibuku, karena kabarnya, sejak awal pakde tak menyukai pernikahan ayah dan ibuku, hingga ayah memutuskan merantau, ke luar jawa, dan hingga kini belum juga kembali dan tak berkabar.

"Iya pakde." jawabku lirih dengan menundukkan kepala.

"Kamu tu apa ga mikir? Kamu itu siapa? Terus kamu punya apa? Wong tuwo wis ora duwe, kok aneh-aneh aja kamu ini. Mikir dulu dong, mikir! Kalau mau ambil keputusan, harusnya tanya dulu sama pakde, ga sak senenge dewe kaya gitu!" hardik pakde masih dengan emosi membuncah.

Entah, aku tak tau apa alasan pakde Janto suka marah-marah padaku, apalagi terkait pendidikan. Jika mengikuti kata pakde Janto, bisa saja aku tak jadi seperti ini, karena pakde Janto sempat memintaku untuk cukup sekolah dasar saja, karena dia berkali-kali mengatakan, 'Kowe ki sopo? Ra duwe bondo we gaya mau sekolah lagi." ketus pakde Janto.

Namun, aku tetap bersikukuh dengan pendirianku untuk tetap sekolah.

"Nggih pakde, Wangi mboten gadah nopo-nopo, tapi Wangi punya kesempatan dengan beasiswa ini pakde." kataku mendebat pakde Janto, untuk kesekian kalinya.

"Who lha, bocah ngeyel! Karepamu! Yen pingin tetep sekolah, sekolaho! Tapi ojo njaluk bantuan pakde!" kata pakde pada akhirnya, sama persis seperti saat aku awal akan lanjut sekolah SMP.

"Nggih pakde, maturnuwun." jawabku berusaha tetap sopan meski hatiku bergemuruh hebat, saat mendapat perkataan kasar dari pakdeku.

Dengan tekad bulat, aku melangkah pergi meninggalkan rumah pakde Janto, dengan ditatap oleh istri dan anaknya. Pakde Janto sudah hidup berkecukupan, bahkan anak sulungnya sudah sukses dengan jualannya dipasar, menjadi juragan beras, sedangkan anak bungsunya memang masih berusia di bawahku satu tahun, dan dikabarkan dia juga akan lanjut sekolah ke SMA favorit.

Aku pulang ke rumah dan disambut simbah dengan wajah prihatin nya.

"Piye, Nduk?" tanya simbah putri kepadaku.

Melihat wajah simbah yang sudah semakin menua termakan usia, lipatan-lipatan di wajahnya sudah semakin tampak. Aku berusaha menutup gejolak dalam hatiku, supaya simbah tidak menaruh kebencian yang mendalam pada pakde.

"Alhamdulillah, Wangi diijinkan mbah." jawabku dengan tersenyum, mencoba meneduhkan hati simbah yang lebih paham dengan tabiat anak sulungnya.

"Tapi, dengan syarat?" tanya simbah menebak.

"Mboten mbah, namung catatan kecil mawon. Pakde tidak bisa membantu biaya atau apapun itu yang berkaitan dengan sekolah Wangi." kataku jujur.

"Ya Nduk, gapapa. Ada simbah di sini. Simbah siap menjadi orang tuamu, yang akan mendukungmu terus sekolah. Sekolah lah, semangat ya." kata simbah.

"Nggih mbah, nuwun mbah." kataku sambil memeluk simbah.

Malam itu, aku bersimpuh disepertiga malam, memohon pertolongan Allah dengan keputusan yang sudah kuambil. Ya, aku mengambil tawaran beasiswa di Sekolah SMA Taman Siswa, yang menjadi penghargaan bagiku atas prestasiku di bangku putih biru.

"Mampukan aku yaa Rob." lirihku dengan linangan air mata.

Teringat olehku, saat om Bagas, anak bungsu simbah saat enam bulan yang lalu menyatakan bahwa dirinya sudah tidak bisa turut serta membiayai hidupku lagi, karena Om Bagas harus fokus dengan keluarga barunya. Hanya sekedar sedikit membantu kebutuhan pokok simbah, seperti membayar listrik, dan kiriman uang untuk membeli kebutuhan dapur saja. Selebihnya, om Bagas sudah angkat tangan jika harus membiayai sekolahku dan menjamin uang sakuku.

Perlahan, aku membuka kaleng tabunganku, yang berisi tabunganku semenjak ibu pergi. Setiap ada orang yang memberiku uang, aku selalu memasukkannya dalam kaleng ini, dan setelah ku hitung, aku berharap ini bisa menjadi modal awal bagiku untuk bersekolah di jenjang putih abu.

"Bismillah, aku ada sepeda biru peninggalan bapak, ada tabungan ini, semoga aku bisa menggapai cita ku. Ibu... aku akan berusaha wujudkan mimpimu. Ayah... suatu saat nanti, aku akan menemukan mu. Tunggu aku ayah... aku merindukanmu." lirihku dengan menatap masa depan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!