WADAL PESUGIHAN
Hari ini adalah hari yang sangat bahagia bagiku, bagaimana tidak setelah bertahun-tahun aku harus menjadi kuli bangunan akhirnya berakhir sudah.
Ku lihat bapak tersenyum menjemput ku di depan sebuah ruko yang belum jadi. Aku segera melepaskan helm dan membersihkan tangan dan kakiku yang dipenuhi dengan tanah dan semen.
Ku hampiri bapak yang sudah menungguku lumayan lama. Dia langsung memelukku erat membuat ku merasa terharu.
"Sekarang kamu gak perlu jadi kuli bangunan lagi nang, puji syukur bapak sekarang sudah dapat pekerjaan yang lumayan jadi kamu gak perlu jadi kuli lagi," ucapnya
Tentu saja aku sangat senang mendengarnya. Hampir lima tahun aku bergelud dengan adonan semen dan pasir demi membantu perekonomian keluargaku yang kacau. Beberapa hari sebelumnya aku memang mendengar desas-desus jika ayahku mendapatkan rezeki nomplok dari majikannya hingga dia bisa membeli rumah. Sebenarnya aku tidak percaya seratus persen sih, lagian mana ada sih orang sebaik itu yang memberikan uang tanpa cuma-cuma.
Meskipun begitu aku akhirnya percaya saja apalagi setelah mendengar cerita ayah.
Ku ajak bapak menuju bedeng tempat tinggal ku. Ia terlihat berkaca-kaca saat melihat tempat tinggal ku selama ini. Sebuah bedeng kecil yang sumpek, dipenuhi dengan baju yang tergantung dimana-mana. Belum lagi bau apek dan banyak nyamuk yang membuat siapapun tak nyaman tinggal di sana.
"Maafin bapak ya Nang, karena bapak kamu jadi hidup susah selama ini," pungkas bapak
"Bapak gak salah kok, keadaan yang memaksa aku jadi seperti ini," jawabku lirih
Bapak kembali memeluk ku erat. Tidak seperti biasanya kali ini aku merasakan ketulusan dan penyesalannya.
Tak butuh waktu lama untuk membereskan semua barang-barang ku, karena memang tidak terlalu banyak. Setelah semuanya selesai kami pun bergegas keluar meninggalkan tempat itu.
"Mas Narto!"
Ku dengar teriakan adik-adikku dari sebuah mobil bak.
Ku lihat senyuman sumringah dari keempat adikku yang ikut menjemput ku.
Aku segera naik ke atas mobil bak dan memeluk mereka satu persatu untuk melepaskan kerinduan pada mereka.
"Ibu ada di depan mas," ucap Dewi adikku yang pertama
"Iya dek, nanti mas salimnya kalau udah sampai aja,"
Sepanjang perjalanan adik-adik begitu antusias menceritakan tentang rumah baru kami. Meskipun mereka belum pernah melihatnya tapi mereka yakin rumahnya pasti bagus dan besar, apalagi bapak mengatakan kalau rumah kami sudah komplit dengan perabotannya.
"Itu sebabnya bapak gak mau membawa barang-barang kita yang lama ya!" celetuk Anggi
"Iyalah nok, masa rumah bagus di isi barang-barang butut, malu lah. Sekarang saatnya kita tunjukkan kepada orang-orang yang suka menghina keluarga kita, kalau kita juga bisa sukses melebihi mereka!" jawab bapak berapi-api
Ia terlihat begitu bahagia membuat aku ikut merasakan kebahagiaannya.
Wajar saja selama sembilan belas tahun ia mengabdi sebagai jongos juragan beras. Tiap hari ia harus mengangkat puluhan karung beras dan merangkap jongos dirumahnya.
Tubuhnya bahkan sampai habis karena bapak lebih suka tirakat untuk mengurangi pengeluaran keluarga.
Maklum saja kami adalah keluarga miskin dengan banyak anak sehingga bapak dan ibu harus ekstra irit untuk mengatur keuangan keluarga. Sebagai anak lelaki satu-satunya dan yang paling tua aku bahkan rela hanya lulus bangku sekolah dasar dan memilih menjadi kuli bangunan. Karena aku tahu bapak dan itu tidak mungkin menyekolahkan aku ke bangku smp karena masih ada 3 adik-adikku yang duduk di bangku sekolah dasar, dan yang dua masih balita.
Perjalanan terasa begitu cepat karena kami asyik bercerita. Kami tertegun saat mobil berhenti di depan sebuah rumah besar dan mewah.
Aku benar-benar tidak menyangka jika kami akan tinggal di rumah gedong yang selama ini tak pernah kami bayangkan.
"Ayo turun, aku harus memilih kamar yang paling besar!" seru Dewi langsung bergegas turun diikuti oleh keempat adik-adikku yang lain.
Aku masih berdiri termangu menatap bangunan mewah didepan ku. Entah kenapa aku seperti merasakan sesuatu yang aneh di sana.
"Kamu gak mau masuk nang!" Suara ibu membuyarkan lamunanku
Aku segera menoleh kearahnya dan mencium punggung tangannya. Orang yang paling aku rindukan selama di perantauan adalah ibuku. Aku selalu merindukan masakannya dan juga nasihatnya.
"Iya bu," aku segera mengikuti ibu memasuki rumah itu.
Aku begitu antusias saat memasuki halaman rumah yang dipenuhi dengan aneka bunga.
Tiba-tiba dari dalam terdengar suara teriakan adik-adikku yang membuat aku segera berlari masuk kedalam.
"Ada apa sih!" seruku dengan nada kaget
"Wah aku benar-benar gak nyangka mas kalau kita akan jadi orang kaya, liat saja semua perabotan di rumah kita, semuanya mahal-mahal dan sangat mewah!" seru Dewi
"Benar, pasti teman-teman sekolahku tidak akan menghinaku lagi kalau mereka tahu rumah baru kita ini!" sahut Anggi
"Coba saja kita punya hp pasti aku akan foto semua ini dan ku kirim kepada mereka yang selalu menghina kita ya dek!" imbuh Dewi
"Gampang itu nok, besok bapak akan belikan kalian hp satu satu!" seru bapak membuat keduanya langsung menjerit bahagia dan memeluknya erat
"Makasih bapak!"
"Sama-sama Nok," jawab Bapak mengusap kepala mereka
"Sekarang kalian pilih sendiri kamarnya ya, jangan berebut!" imbuh bapak
"Ok!" Dewi dan ke empat adikku langsung berlarian naik ke atas untuk memilih kamar mereka
Ditengah hiruk pikuk kebahagiaan ibu, bapak, dan adik-adik entah kenapa aku merasakan hal yang berbeda. Aku merasa ada yang aneh dengan rumah ini.
Padahal rumah ini sangat besar dan begitu banyak jendelanya. Namu. Kenap hawa rumah ini begitu pengap seperti banyak orang yang memenuhi seisi rumah.
Nafasku seperti tercekik saat memasuki ruang utama hingga aku kesulitan bernafas. Aku memegangi dadaku, ingin aku bersuara atau bergerak namun kaku. Untung saja Ibu memukul punggung ku dan menyuruh ku untuk segera membantunya mengangkat barang-barang di mobil.
"Jangan ngelamun saja Nang, tolong bantu ibu untuk membawa masuk semua belanjaan ibu terus bawa ke dapur ya!" celetuknya
Aku bengong sejenak dan setelah itu aku buru-buru berlari keluar untuk membawa masuk semua barang-barang milik ibu.
Hari itu Aku memilih untuk tidak menceritakannya kepada ibu ataupun yang lain. Selain aku tidak mau merusak kebahagiaan mereka, aku juga takut tak ada yang mempercayai ceritaku. Mungkin aku juga terlalu lelah hingga mengalami hal-hal seperti itu.
Selesai memindahkan barang-barang ke dapur aku pun buru-buru naik ke lantai dua namun bapak menyuruhku untuk turun.
"Kamarmu di bawah yang paling ujung!" ucap bapak
Aku segera turun setelah bapak menjelaskan dengan detail lengkapnya.
Aku berjalan menelusuri Selasar dimana terdapat tiga kamar yang berjejer. Yang pertama adalah kamar bapak dan ibu sementara kamar ke dua adalah kamar dengan pintu berwarna hijau dengan hiasan payung dan patung ular di depannya. Entah kenapa aku merasa merinding saat melewati kamar itu.
"Kamar siapa ini??" ucapku dalam hati
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments
Kiηg__ᴰ
ngeri kali
2024-10-30
0
putri cobain 347
absen kak, follback kak
2024-10-18
1
FiaNasa
pasti pake pesugihan
2024-10-16
0