Rusdi masih berusaha mengatur nafas dan irama jantungnya yang belum normal sementara Kelvin sudah fokus pada soal yang ia berikan.
"Selamat siang Pak Rusdi, silahkan di minum" suara lembut terdengar di telinga Rusdi hingga membuyarkan lamunan pria itu.
"Ah i iya Bu...tidak usah repot-repot."
"Ah ..hanya air minum biasa dan kue camilan kecil."
Wajah Kesya terlihat sangat segar dengan rambut basah apalagi bibir sexynya yang berwarna merah menyala.
"Terima kasih Bu..."
"Oiya Pak Rusdi sudah memiliki putra?" tanya Kesya yang kini duduk di sebelah Rusdi.
"B belum Bu...kami baru menikah enam bulan" jelas Rusdi.
"Bahkan kami belum pernah bercinta Bu "ucap Rusdi tapi hanya ia ucap dalam hati.
"Maaf pak sebelumnya saya minta bapak bersabar kalau mengajari Kelvin, soalnya dia anak yang manja dan suka berbuat semau sendiri, maklumlah pak..mungkin kurang kasih sayang dari ayahnya yang hanya pulang sebulan sekali."
Rusdi hanya mengangguk mengerti begitupun penjelasan panjang dari Kesya yang hanya masuk ke telinga kanan dan keluar telinga kiri, yang ada di otak Rusdi saat ini hanyalah bayangan dua gunung indah Kesya.
Tak terasa waktu menunjukan pukul empat sore dan jam les usai, Kesya keluar dari dalam rumah sambil membawa satu kresek cukup besar lalu di serahkan pada Rusdi.
"Ini mohon di terima Pak Rusdi, kebetulan ada oleh-oleh dari teman saya yang baru pulang kampung, buat Pak Rusdi dan istrinya di rumah."
"Wah jadi ngerepotin."
"Sama sekali tidak pak."
"Terima kasih saya ucapakan pada bu Kesya dan saya langsung pamit Bu..."
"Mari pak.. silahkan, salam untuk istrinya."
"Baik Bu .."
Rusdi melajukan motor menuju kediamannya, suasana mulai sore, ia memacu dengan semangat, mungkin dengan membayangkan Kesya malam nanti ia bisa melaksanakan kewajibannya sebagai seorang suami, pikirnya.
"Na...Inara" panggilnya begitu turun dari motor.
"Ada apa si Rus ..pulang langsung cari istri, tuh dia di warung lagi ghibah mungkin, bukannya bantu beberes rumah, pulang kerja langsung ke rumah Kokom" sambar sela sinis.
"Di warung Bu?" ulang Rusdi dengan dahi mengerut.
"Heum, iya... apa itu Rus?" tanya Sela menunjuk lewat pandangan pada kresek di tangan Rusdi.
"Ini oleh-oleh dari Bu Kesya Bu...temannya pulang kampung."
Sela tersenyum senang lalu mengambil tas yang berisi kue dan makanan enak.
"Hmm coba kalau kau punya istri wanita karir, pasti tiap hari makan enak, baju bagus dan uang belanja nggak kekurangan" cicit Sela ketus, ia merasa Rusdi tak pantas mendapatkan seorang istri seperti Inara yang bisanya hanya kerja di dapur.
Rusdi memasuki kamar untuk membersihkan tubuh.
Makanan sudah siap tersaji di meja makan, dan seperti kemarin, hari ini pun ada opor ayam dan perkedel.
"Kamu dari mana Na?" tanya Rusdi.
"Aku dari tempat foto kopi Mas...bu Lurah minta KTP dan data diriku."
"Untuk apa?"
"Aku juga belum di kasih tahu bu lurah Mas..mungkin data untuk kelengkapan para pekerja di rumahnya."
Rusdi menghela nafas panjang lalu memandang Inara yang mengunyah makan dengan lahap.
Selesai makan malam Rusdi ke kamarnya, menyusul Inara yang sedang memijit betis di sisi ranjang, perlahan tangannya meraih kaki sang istri dan ikut memijit dengan lembut.
"Na...apa kau cape?apa tidak sebaiknya kau tak perlu kerja di bu lurah, mungkin uang dari ngajar lesku bisa buat nambah uang belanjamu dan tak perlu lagi mencari tambahan."
Inara memandang Rusdi dengan tatapan intens, andai suaminya tahu kalau selama ini uang belanja yang ia berikan selalu di minta kembali oleh ibu mertuanya dengan alasan takut jika Inara yang pegang maka akan boros, jangankan untuk memenuhi kebutuhan pribadinya, untuk membeli obat sakit kepala pun Inara harus mengurangi uang untuk belanja sayur agar bisa membeli obat warung tersebut.
"Kasihan Ibu yang masih harus cape mengerjakan pekerjaan rumah Na..." sambung Rusdi.
"T tapi aku berangkat kalau semuanya sudah aku selesaikan mas, nyuci baju, masak, nyuci piring dan menyapu halaman ..semuanya sudah aku lakukan jadi ibu tak harus mengerjakan apapun"protes Inara, jika selama ini ia diam maka kali ini ia tak mau lagi jika harus menerima prasangka buruk suaminya yang terhasut penuturan ibu nya.
Rusdi memandang Inara jengah, baru kali ini Inara membangkang perintahnya.
"Na..aku hanya menasihatimu...dan minta agar kau tak lalai akan kewajibanmu sebagai seorang ibu rumah tangga" bentak Rusdi sedikit meninggikan suaranya membuat Inara tersentak dan langsung menundukan kepalanya.
"M maaf Mas...tapi aku merasa tak enak hati dengan bu Lurah, aku sangat berhutang budi pada mereka..mereka sangat baik padaku Mas, semenjak Ayah meninggal aku selalu tidur di rumah Bu lurah karena ibu tiriku yang tak menerimaku tinggal dengan mereka"
Kisah hidup Inara memang sudah Rusdi tahu sebelumnya, dan pertama kali ia bertemu Inara pun saat ada pertemuan ibu PKK di kantor desa di mana Inara menjadi asisten Bu lurah.
"Baiklah ..kau boleh tetap kerja di sana" pungkas Rusdi lembut sambil mengusap puncak kepala Inara tak tega rasanya membuat sang istri murung, tak sampai di situ pria tampan itu mendaratkan ciuman di bibir ranum Inara namun saat ciuman itu mulai semakin intent suara ketukan pinti kamar membuat bibir keduanya terurai.
"Rusdi ...Rus, jangan lupa minum ramuan dari Abah."
Inara dan Rusdi saling pandang karena mereka baru sadar kalau Rusdi belum meminumnya.
"I iya Bu ..."ucap Rusdi lalu mengambil air di botol dan meminumnya tiga sendok.
Rusdi kembali ke ranjang di mana Inara sudah tampak bersiap, Rusdi pun tersenyum penuh arti, jika ia ingat bagaimana perkasanya juniornya siang tadi maka di pastikan malam ini mereka akan berhasil melakukannya, ia membatin.
Inara pun pasrah kala Rusdi memulai lagi aksinya, sengaja ia memakai parfum yang baru di belinya siang tadi agar ritual bercinta malam ini lebih berkesan.
Namun ciuman hangat dan belaian lembut rupanya tak membuat junior milik Rusdi berubah, adiknya tetap mengecil seperti tak bersemangat bahkan sudah satu jam lebih ia mencumbu Inara dengam berbagai rangsangan namun tetap tak ada kemajuan.
"Bagaimana Mas? Apa masih belum bangun juga?" tanya Inara penuh harap dan Rusdi menggeleng lesu.
"Maaf Na...mungkin lain kali" cicitnya lirih.
Meski hati mencelos tapi Inara tetap tersenyum lalu merapikan kembali bajunya yang sudah terbuka di beberapa bagian, ada rasa sesak di hatinya kala Rusdi kini merebahkan tubuhnya ke ranjang.
"Apa tubuhku tak menarik bagimu Mas" batin Inara lirih dan ikut merebahkan tubuh di samping Rusdi.
Dan untuk kesekian kali mereka gagal melakukannya.
Pagi hari seperti tak terjadi apa-apa, Inara bangun dengan penuh semangat, mencuci baju masak dan menyapu rumah.
Rusdi tersenyum masam lalu duduk di kursi ruang makan, ia sudah bersiap dengan baju seragamnya, begitu juga Inara yang rapi meski dengan celana kulot dan kemeja lengan pendek sederhana.
"Ayo Mas ..kita berangkat."
"Ya Na..."
Keduanya pergi beriringan, lalu berpisah di persimpangan jalan di ujung desa.
Pagi ini Inara mampir di warung bang Ujo untuk membeli bumbu dapur di tukang sayur untuk kegiatan masak di posyandu oleh bu lurah.
"Pagi Mbak Ina ....wah sudah rapi mau ke mana nih?" tanya Ujo ramah.
"Ehm mau ke rumah bu lurah bang...bu lurah minta saya bantu-bantu di rumahnya."
"Oh ..jadi pembantu lagi kamu In?" tanya salah satu ibu pembeli yang tak lain tetangga dekat rumahnya dan Inara hanya membalas dengan anggukan hormat.
"Udah mba ..apalagi?"sambung ujo.
"Udah bang itu aja....makasih bang."
"Iya mba ..."
Inara melanjutkan perjalanan namun rungunya masih sempat mendengar celoteh tetangga yang juga teman Sela ibu mertuanya.
"Ck..pembantu aja belagu, emang nasib Rusdi lagi apes...dapat istri seorang pembantu, pembawa sial lagi."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 109 Episodes
Comments