Ternyata sejak tadi, Kak Victor terus membaca ulang isi chat dari seseorang.
Ya! Gadis itu bernama Chairin Stevani.
Aku terus menatap layar ponsel yang Kak Victor pegang, memastikan kalau aku tidak salah lihat nama di atas chat itu.
Hingga tanpa sadar, tatapan tajamnya kini tertuju padaku. Seketika, layar ponselnya langsung ia matikan.
Aku terkejut setengah mati. Jantungku seakan mencelos, sementara pria berwajah putih dengan rambut lurus sedikit acak itu masih menatapku lekat-lekat. Tatapannya seperti pisau yang menusuk hingga ke dalam.
"Eh… e-emm… anu, Kak… Makanannya kok belum datang ya? Aku lapar, hehe," kataku gugup, berbicara asal dengan senyum canggung yang kupaksa melebar di bibirku.
Aku segera mengalihkan pandangan, berpura-pura melihat ke arah teman-temanku yang duduk di seberang.
Angin berembus lembut, tapi tubuhku justru terasa seperti cacing kepanasan. Aku bergerak ke sana kemari tanpa arah, berusaha menenangkan detak jantungku yang masih berdebar kencang.
"Kesy! Kenapa sih? Kok ekspresinya aneh banget?" tanya Mira keheranan, menatapku dengan alis berkerut.
Aku hanya tersenyum kecut sambil menggelengkan kepala, sesekali melirik ke arah Kak Victor.
Tak lama kemudian, Kak Nurul, anak pemilik kantin, datang membawa pesanan kami. Dengan cekatan, ia meletakkan satu per satu makanan di atas meja.
"Nasi sayur dan ikannya, Kak. Ini nasi telur, kuah pedas ya?" katanya sambil menyodorkan pesanan kami.
"Eh, mahasiswa baru ya? Kok belum pernah lihat makan di sini?" tanyanya lagi, kali ini menunjuk pria di sebelahku.
"Jangan genit, Kak Nurul. Dia Kakaknya Kesy," potong Leni, menunjuk ke arah kantin yang sedang ramai.
"Udah tuh, banyak pesanan lain yang belum diantar."
Aku tersenyum kecil, sementara Kak Victor tetap diam. Aku bisa menebak apa yang sedang dipikirkannya.
"Wah, ternyata Kesy punya kakak ganteng, ya! Pantes nggak pernah diajak ke sini," celetuk Kak Nurul sambil tersenyum lebar.
"Halo, aku Nurul. Anak Bu Rina, pemilik kantin ini. Salam kenal! Kalau makan di sini, bilang aja, aku pasti bantu."
Sambil mengulurkan tangan, Kak Nurul masih tersenyum manis, berharap mendapatkan balasan. Tapi, Victor tetap diam.
Tanpa sepatah kata pun, pria itu tiba-tiba berdiri dari kursinya, membuka dompet, lalu meletakkan uang dua ratus ribu di atas meja.
"Aku duluan, Kes," ucapnya dingin.
Tanpa menoleh ke arah kami, ia langsung berbalik dan pergi begitu saja.
Kami hanya bisa menatap punggungnya yang semakin menjauh, tubuh tegapnya berjalan dengan langkah yang mantap.
"Loh, kok kakaknya pergi, Kes?" suara Kak Nurul terdengar sedikit panik.
"Duh, apa aku salah bicara ya? Tolong mintakan maafku, Kes. Jangan kapok ke sini lagi, ya. Jadi nggak enak deh..."
"Iya, kenapa sih Kak Victor? Nasinya aja belum dimakan," tambah Mira dengan nada kesal. "Dingin banget jadi cowok."
"It's okay, lah," ujar Leni, malah tersenyum penuh arti.
"Cowok memang harus keren begitu. Jangan gampang deketin cewek-cewek. Ih, aku jadi makin suka, deh, sama Kakak kamu, Kes."
"Udah, udah! Dimakan dulu, Kes. Keburu dingin," timpal Putri.
Aku hanya diam. Pikiranku melayang ke mana-mana.
"Yasudah, aku permisi dulu ya," ujar Kak Nurul akhirnya.
Putri mengangguk sambil tetap asyik menikmati makanannya. Sementara itu, Leni dan Mira masih sibuk mengobrol ngalor-ngidul, sesekali tertawa lebar.
Aku menunduk, mengaduk-aduk makananku tanpa selera.
Kak Chairin… panggilku dalam hati.
Ternyata Kak Victor masih belum bisa menerima ini semua. Sama seperti aku. Hanya saja, mungkin aku lebih bisa mengikhlaskan keadaan ini. Sementara Kak Victor...
Tiba-tiba, suara Leni membuyarkan lamunanku.
"Kes, kenapa tadi kamu tiba-tiba gugup setelah melihat HP Kak Victor? Dia juga jadi berubah setelah itu. Pasti ada sesuatu, ya?" godanya dengan nada menggoda.
"Oooohhh… atau kamu memergoki Kak Victor lagi chat sama pacarnya, ya? Hayo ngaku!"
Aku terdiam sejenak.
Aku tahu, pada akhirnya aku harus menjelaskan ini kepada mereka.
Dengan suara yang sedikit bergetar, aku menjawab,
"Kak Victor masih sendiri. Dia belum punya pacar. Dia tadi sedang membaca ulang chat dari Kak Chairin."
Seketika, semua mata tertuju padaku.
"Chairin? Siapa itu?" tanya Mira penasaran.
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan emosiku yang kembali bergejolak.
"Kak Chairin… Dia adalah kakakku. Kakak pertama. Aku tiga bersaudara. Kak Chairin, Kak Victor, dan aku."
"Oh… terus?" Mira masih belum mengerti.
Aku menelan ludah, suara ini terasa berat untuk keluar.
"Bukan karena rindu biasa..." lirihku.
Aku menarik napas panjang sekali lagi sebelum akhirnya melanjutkan,
"Kak Chairin sudah meninggal beberapa tahun lalu. Waktu itu, Kak Victor masih kelas 3 SMP. Kak Chairin baru kelas 2 SMA."
Sejenak, suasana menjadi hening.
"Meninggal…? Karena apa?" tanya Leni, kini lebih serius.
Aku mengedipkan mata berulang kali, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mataku.
"Karena kecelakaan," suaraku nyaris tak terdengar. "Mama sangat terpukul waktu itu. Kak Chairin adalah anak kesayangan Mama. Dia anak yang baik, patuh, dan sangat ceria."
Aku tak bisa lagi menahan diri. Air mataku jatuh, mengalir deras membasahi pipiku. Aku terisak, suara tangisku tertahan di tenggorokan.
Aku merasakan tangan Putri menepuk pundakku pelan, memberikan sedikit kenyamanan. Tapi aku tahu, tak ada yang bisa meredakan rasa sakit ini.
Aku menunduk, menggigit bibir bawahku yang mulai bergetar.
"Kak Victor… Apa kamu baik-baik saja?"
Bersambung..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments