NovelToon NovelToon

To Be Your Mistress

01: Gadis Lusuh yang Begitu Cantik

“Ayahmu sudah pergi meninggalkanmu. Wanita yang kamu sebut Ibu hanyalah manusia tak tahu malu yang bahkan tak ingin melahirkanmu. Kamu itu tidak diinginkan!”

Omelan penuh teriakan emosi memang sering Olivia dapatkan, tapi kali ini sungguh membuatnya sedih dengan hatinya seperti baru saja disayat.

Kedua bibir gadis itu bergetar, ia menatap lurus ke wajah memerah bibinya dengan kedua mata berlinang.

“Apa maksudnya, Bi? Ibu sudah lama meninggal dunia saat melahirkanku," tanyanya.

Sarah, wanita berusia 41 tahun itu berkacak pinggang dan mendesah panjang. “Bukan meninggal dunia, tapi sengaja meninggalkanmu!”

Olivia tahu dirinya telah melakukan kesalahan dengan tidak membantu urusan restoran lantaran sakit menstruasi yang dialaminya sangat parah hari ini.

Ia pun tahu betul bahwa bibinya memang terbiasa mendapatkan semua yang ia inginkan dan akan meledak penuh amarah saat itu tak terpenuhi. Namun, dirinya merasa tidak bisa menerima amarah itu begitu saja.

Kedua mata Olivia memanas, bisa ia rasakan dirinya berkaca-kaca saat ini. Meski bergetar, ia mencoba mengeluarkan suaranya. “Bibi tidak boleh mengatakan kebohongan seperti ini hanya karena aku bolos untuk istirahat sebentar... “ Ia kehilangan suaranya beberapa saat. “Ini keterlaluan, Bi. Jangan begini lagi.”

Sarah mendongak dan membuang napas dengan kasar. “Wah, sulit dipercaya anak ini! Kamu dengar ya—“

“Sayang, sudah, tenanglah.”

Ketika kejadian ini hampir tidak dapat dikendalikan, Buditomo datang dan memeluk tubuh Sarah, membawanya menjauh dari Olivia.

Seakan ada tali besar yang mengikat dadanya, Olivia kesulitan bernapas. Kedua matanya mengikuti gerak kedua pasangan suami istri itu.

“Om Budi, aku minta maaf sudah tidak membantu hari ini. Aku janji tidak akan melakukannya lagi. Sekarang mohon izinkan aku kembali ke kam—“

“Dasar anak buangan! Tak tau diri! Kembali sana ke orang tua tak becusmu itu!” Meski Buditomo selalu menenangkannya, Sarah kembali kehilangan kontrol diri. “Tanya sama ayah tercintamu itu dan rasakanlah semua kebohongan yang telah dia katakan seumur hidupmu.”

Setelah kalimat terakhir yang dilontarkan Sarah, Olivia berlari ke arah belakang di mana kamarnya berada. Dadanya bergemuruh dan air matanya turun dengan deras, ia mengunci pintu kamarnya dan terduduk di lantai bersandar pada bongkahan kayu itu.

Entah bagian tubuh mana yang tidak terasa sakit, karena baginya sakit itu telah menjalar ke sekujur tubuh.

Hidup menumpang memang tidak mudah, merelakan setiap keinginan pribadinya apalagi. Namun, selama lebih dari separuh usianya, ia telah melakukan itu untuk bertahan.

Usia yang baru menginjak delapan belas tahun dan menstruasi pertama yang baru ia dapatkan selama hidupnya, sudah cukup menjelaskan betapa melelahkan hidup yang ia jalani, baik secara fisik maupun psikis.

Tidak setiap orang mendapatkan keberuntungan di hidup, Olivia paham betul dan ia sudah ikhlas dengan fakta ini, tapi rupanya ikhlas saja masih tidak cukup.

Satu-satunya hal manis di hidupnya adalah sang ayah, yang meski berada jauh darinya, tapi tidak sekali pun membiarkannya merasa kekurangan kasih sayang dan perhatian.

Aditomo–ayahnya tengah berada di Inggris. Ia bekerja demi menghidupi mereka berdua. Dua kali di setiap minggunya, secara rutin mereka selalu bertukar kabar dengan menelepon bahkan juga panggilan video. Tidak heran mengapa perkataan bibinya terdengar sulit dipercaya. Seakan tidak cukup, bibi yang selalu memperlakukannya tidak adil itu pun ingin menghancurkan satu-satunya harapan hidupnya.

“Astaga, sudah, Olivia," bisiknya pada diri sendiri.

Akhirnya Olivia mengatur emosinya, dadanya sudah terlalu bergemuruh hingga mulai terasa sesak, ia tak ingin keadaan fisiknya memburuk lebih daripada sebelumnya.

Perlahan, ia bangkit dari lantai dan mulai menyeka air matanya. Ia berjalan dan duduk di ujung ranjangnya, lalu terdengar suara ketukan pintu disusul suara Buditomo memanggilnya pelan.

Olivia menggigit bibirnya beberapa kali sebelum membuka pintu kamar. Ia membuka lebar pintu dan membiarkannya terbuka. Buditomo pun masuk dan dirinya tidak pernah menyangka hal yang akan dikatakan pria itu terdengar sama seperti perkataan bibinya.

“Dengan penuh pertimbangan, sungguh berat hati Om mengatakan ini padamu. Olivia, yang dikatakan bibimu tadi tidak sepenuhnya salah. Kakakku–ayahmu berada di London bertahun-tahun ini demi bersama dengan ibumu. Dan benar bahwa ibumu itu tidak menginginkanmu, bahkan sejak tahu dirinya hamil, ia mengancam untuk tidak akan melahirkanmu.”

Semua kosa kata yang ia tahu, semua kemampuan tubuh yang sehat, dan semua hak yang ia punya untuk mengamuk, tapi Olivia hanya mematung.

Perkataan yang keluar dari adik ayahnya, satu-satunya kerabat yang baik padanya dan tidak pernah terlintas sedikit pun di benaknya bahwa pria itu seorang pembohong, mengantarkan Olivia menjadi hancur berkeping-keping.

Kini tidak hanya mengunci diri di kamar, Olivia pun masih mengunci rapat kedua bibirnya.

Hingga saat hari sudah berganti, pada dini hari, ia meraih ponselnya dan menelepon sang ayah.

“Anak Gadis Ayah! Apa kabar, sayang?”

Tiba-tiba Olivia menelan ludahnya dengan susah payah. Semua udara yang masuk ke tenggorokannya terasa panas, ia merasa sangat tidak nyaman untuk sekedar bersuara.

“Olivia? Nak, kamu mendengarkan?”

Pikiran Olivia pun mengembara entah ke mana, membuat panggilan lembut dari sang ayah seakan lewat begitu saja di telinganya.

“Olivia, kamu baik-baik saja? Ayah mulai khawatir, Nak. Olivia... “

“Iya, Ayah, aku di sini.”

“Nak, Ayah sudah khawatir. Ayah kira kamu kenapa tadi.”

“Ayah, aku ingin menanyakan sesuatu. Aku mohon... jawablah jujur.”

“Tanya saja, Nak.”

“Ayah, bagaimana kabar Ibu?”

Terdapat sedikit jeda di antara pertanyaan Olivia dengan jawaban Aditomo. Namun, pria itu berhasil menanganinya dengan baik.

“Ibumu sudah tenang di sana, Nak. Ada apa? Kamu merindukan ibumu, ya?”

“Ayah, aku memintamu untuk jujur. Jadi, aku mohon jangan berbohong.”

“Nak, kita berdua tahu ibumu sudah meninggal—“

“Iya, dia meninggalkanku. Bukan karena meninggal dunia, tapi dia memilih untuk meninggalkanku dan membuangku.”

“Olivia, tidak begitu, kamu mendengar ini dari mana, Nak?”

“Om Budi yang bilang. Dan kita sama-sama tahu, bukan kepribadiannya untuk berbohong. Jadi, biar aku tanya sekali lagi. Apa kabar Ibu, Ayah?”

“Ibumu sudah meninggal, Nak.”

“Sudah cukup Ayah menyembunyikannya seumur hidupku. Aku... “ Jeda yang tercipta karena cekikan tak kasat mata yang terasa di lehernya. Olivia butuh beberapa waktu sebelum kembali melanjutkan. “Siapa yang bisa aku percayai lagi kalau ternyata Ayah juga tidak benar-benar ada di pihakku?”

Jeda itu bukan saja oleh Olivia, namun Aditomo pun membutuhkan beberapa saat untuk menjawab pertanyaan sang putri. Dari pengeras suara ponselnya, yang hanya terdengar adalah deru mesin pendingin ruangan. Suara yang lembut itu sekarang terdengar jauh lebih keras dibanding keheningan dan ketidakmampuan Aditomo menjawab pertanyaannya.

“Ayah percaya yang dibicarakan Ommu itu tidak berlebihan, itu benar. Tapi, tidak semuanya benar. Ibumu menghembuskan napas terakhirnya enam tahun lalu. Kini Ayah benar-benar di sini cuma untuk bekerja demi kamu.”

“Aku mau menyusul Ayah. Aku harus lihat sendiri makam wanita yang tidak menginginkanku itu, supaya bisa percaya dengan perkataan Ayah.”

“Baiklah, Nak... “

♧♧♧

Jalan setapak yang baru mereka lewati, semilir angin, dan cahaya matahari yang mengintip dari balik tebalnya awan abu-abu, Olivia yakin ia akan mengingat semua ini hingga hari kematiannya.

Bagaimana batu nisan yang bertuliskan nama ibunya, penjelasan langsung dari sang ayah, alasan dan pembenaran yang memang harus dilakukan. Semua itu dilakukan demi kebaikan dirinya.

Ibunya memang tidak menginginkannya pada awalnya, namun melakukan kebaikan setelah belajar dari keburukan bukanlah suatu hal keji, setidaknya ibunya melakukan itu.

Hal yang terjadi adalah Daphne Joceline Rhode–ibunya ialah seorang model pendatang baru yang sangat cantik dan penuh potensi. Di saat awal merintis karir, ia jatuh cinta dengan sangat dalamnya kepada Aditomo hingga memutuskan menikah, walaupun hanya pemberkatan tanpa satu pun pesta perayaan, tapi mereka sangat bahagia kala itu.

Kebahagiaan itu rupanya hanya sementara karena saat manajer Daphne mengetahui bahwa mereka telah menikah, semuanya menjadi runyam. Ketakutan yang ditanamkan sang manajer akan karier modelnya yang terancam gagal mulai mempengaruhinya.

Hingga itu semua memuncak saat Daphne menemukan dirinya memegang alat pengecek kehamilan dan dua garis di sana menjadi mimpi buruk paling menakutkan baginya.

Semua hasil kerja keras manajernya dalam menakut-nakuti Daphne berhasil membuat wanita itu bersikeras tidak akan melahirkan bayinya.

Aditomo mencoba semua cara untuk mengubah pemikiran sang istri, namun ketakutan akan gemilang karier yang hampir didapatkan bisa hilang begitu saja membuat Daphne tetap tak tergoyahkan.

Akhirnya dengan satu perjanjian terakhir, semua mendapatkan keuntungan bagi setiap pihak, yakni Daphne hanya perlu melahirkan bayinya saja dan setelah itu Aditomo akan menghilang bersama buah hati mereka tanpa mengganggunya lagi. Semua pun terjadi sesuai rencana, bahkan seakan tak pernah terjadi sama sekali.

Namun, beberapa tahun sejak mereka berpisah, karier Daphne tidak kunjung membaik. Ini membuat manajernya mengambil jalan pintas dengan menjodohkannya dengan seorang fotografer majalah populer demi kelancaran karier.

Semua berjalan lancar, kepopuleran itu meski tidak begitu besar, tapi berhasil diraih Daphne. Namun, rupanya harga yang harus dibayar adalah hidupnya.

Saat dokter mengatakan bahwa ia mengidap HIV diakibatkan kekasihnya yang diam-diam sering melakukan hubungan seksual dengan banyak model pemotretan dengan bualan akan membantu mereka dalam kesuksesan, seketika itu dunia Daphne jadi hancur berantakan.

Bukan masalah waktu hingga ia ditinggalkan oleh setiap orang yang ia kira akan mendukungnya di segala keadaan, ia hanya menemukan dirinya terbaring lemah di atas ranjang di tengah hunian kosong. Setiap orang kecuali Aditomo.

Semua yang telah terjadi, tetap terjadi. Olivia tahu itu. Maka, ia pun memaafkan perlakuan ibunya. Lalu dengan keyakinan kuatnya, ia pun meminta sebuah permintaan yang cukup berat untuk dipenuhi oleh Aditomo.

“Aku ingin tinggal di sini bersama Ayah.”

Begitulah, meski berulang kali kesusahan mengumpulkan keberanian untuk membujuk atasannya, akhirnya Aditomo diperbolehkan membawa Olivia tinggal bersama di kediaman besar nan mewah milik keluarga yang dilayaninya.

Kesetiaan dan kedisiplinan dirinya selama menjadi supir pribadi hampir sepuluh tahun ini membuat permintaan Aditomo disanggupi dengan senang hati.

Kehadiran Olivia dan cerita di balik kehidupan gadis itu membuatnya mudah diterima oleh seluruh staf dan penghuni kastel kadipaten. Ia bahkan memiliki julukan yang terkenal, yaitu gadis lusuh yang begitu cantik.

Semua orang akan setuju begitu mendengar julukan itu. Tak terkecuali oleh sang pewaris satu-satunya gelar kebangsawanan sekaligus semua kekayaan besar ini.

The Duke of Ainsworth, Simon Dominic-Ainsworth saat dari jauh ia melihat seorang gadis berkeliaran di kediamannya, sepasang kakinya yang semula berjalan cepat pun terhenti. Melihat ke belakang, ia bertanya pada sekretarisnya.

"Siapa gadis itu?"

...♧♧♧...

^^^** the picture belongs to the rightful owner, i do not own it except for the editing^^^

02: Pria Menawan Itu Bak Iblis

“Namanya Olivia Poetri. Dia anak dari Aditomo, sopir ayah Anda, Tuan.” Adalah jawaban yang cukup terlambat diberikan Benedict.

Sebagai sekretaris, ia harus berbalik dan menanyakannya pada kepala staf rumah, perjalanan bisnis ke Australia selama dua minggu membuatnya ketinggalan informasi kecil ini.

Simon dengan tenang membuka jam tangannya. Sebelum aksesori bernilai jutaan dolar itu menyentuh permukaan meja kerja, ia menghela napas dan mengangkat kepalanya. “Ibu atau Ayah yang memberi izin?”

Benedict meluruskan postur tubuhnya dan segera menjawab. “Keduanya, Tuan. Seperti yang Anda tahu, Aditomo telah melakukan pekerjaan dan membuktikan dirinya dengan sangat baik selama hampir sepuluh tahun ini.”

“Dengan menampung gadis itu begitu saja?” Kedua alis Simon terangkat kecil. Benedict menelan ludah menyiapkan diri, kedua mata berwarna hijau emerald milik Simon tampak menyorot dengan keberatan, ia jadi tahu dengan jelas betapa sang atasan tidak menyukai kedatangan gadis itu.

“Kepala Staf mengatakan bahwa gadis itu menawarkan diri untuk membantu membuat kue dan biskuit setiap hari sebagai bayaran sudah dibolehkan tinggal di sini,” tambah Benedict. Ia mengencangkan doa dalam hatinya, berharap Simon segera menyudahi pekerjaan ini dan membiarkannya beristirahat.

Suara dengusan napas dari tawa sarkas Simon membuat Benedict kembali menelan ludah. Besar kemungkinan istirahat yang diimpikannya itu tidak terjadi dalam waktu dekat. Namun, seperti biasanya, sikap Simon sungguh tidak dapat diprediksi.

“Untuk jadwal malam ini, saya akan pergi sendiri.”

“Anda yakin, Tuan?”

“Tidak ada bisnis yang bisa dibangun dengan Joe Johnson. Kamu bisa istirahat malam ini.”

Benedict menelan senyum lebarnya, tidak mungkin ia terlihat sangat bahagia saat atasannya membiarkannya bolos kerja. Sebagai ganti, ia menunduk kecil memberi hormat sebelum mengundurkan diri dari hadapan sang atasan.

Simon tinggal sendiri di kamarnya yang begitu luas lengkap dengan ornamen klasik khas kerajaan Inggris dahulu. Ujung jemari panjangnya menyentuh satu persatu kancing kemeja dan membukanya. Pikirannya entah bagaimana bisa begitu terganggu dengan sosok seorang gadis yang dilihatnya dari kejauhan beberapa saat lalu.

Rambut coklat yang panjang dan bergelombang itu? Atau wajah yang belum pernah kulihat sebelumnya?

♧♧♧

Jadwal Simon untuk malam ini adalah menghadiri pesta perayaan sebuah perusahaan musik yang dimiliki salah seorang alumnus kampusnya. Joe Johnson, seorang pecundang bermulut besar, semua orang di sekitarnya tahu betul kepribadian buruk pria itu.

Simon dikenal tidak pernah menyiakan sekecil apa pun kesempatan bahkan setiap situasi yang membuatnya harus menghadiri suatu pesta, ia akan membawa serta sekretarisnya dan menjalin bisnis dengan pihak-pihak yang dianggapnya penting.

“Yang Mulia, Duke Simon! Wah, siapa sangka pesta kecilku ini dihadiri seorang sepenting kamu,” racau Joe, terdengar sudah cukup mabuk.

Simon tersenyum, dengan penuh penguasaan diri, ia menjabat tangan Joe. Sorak riuh, tepuk tangan, dan puji-pujian seketika mengisi ballroom mewah ini. Tentu itu semua diperuntukkan kepada Simon. Bahkan para wanita cantik dan berpakaian seksi secara alami mulai mendekat.

Tawa mengejek keluar dari kedua bibir Joe, dengan gelap mata ia meraih gelas berisi sampanye dan meneguknya habis.

“Tidakkah kamu harus menjadi tuan rumah dengan baik?” pertanyaan yang dilontarkan Simon dengan suara cukup pelan sehingga terdengar hampir seperti bisikan membuat Joe sedikit tertegun. Bahkan bagi dirinya yang seorang pria berorientasi normal pun, sosok Simon sangat menawan.

Setelah menyadari betapa menggelikannya perasaan kagum itu, Joe kehilangan kendali dalam mengutarakan isi kepalanya. Suara yang lantang, dia memanggil semua tamu untuk mendengarkannya. Simon mundur satu langkah, dengan sebelah tangan dimasukkan ke kantung celana, ia menunggu tingkah sembrono apa lagi yang akan dilakukan pria itu.

“Haha, terima kasih atas kehadiran semua tamu yang begitu menakjubkan ini. Terlebih kepada sahabat dekat saya, Duke of Ainsworth, Simon! Sebenarnya hubungan pertemanan kami sempat renggang karena kesalahan saya, tapi rupanya sang duke mewariskan hati yang sangat luas sebagaimana ayahnya dan memaafkan saya.”

Simon tertawa sarkas, menyadari arah dari ocehan setengah mabuk Joe. Para tamu tampak masih menyimak dengan serius. Joe tersenyum puas melihat perhatian yang didapatnya saat ini. Ia lantas melanjutkan, “Iya, sebagaimana sebagian besar orang Inggris tahu betapa besarnya hati sang duke terdahulu bahkan mampu mencintai dua wanita sekaligus.”

Semua suara bahkan yang terkecil sekalipun tak terdengar lagi, topik pembicaraan ini adalah rahasia umum yang diketahui hampir seluruh rakyat Inggris. Sebagai salah satu anggota keluarga kerajaan dan berpangkat duke, tidak mungkin kisah keluarga terpandang itu tidak terdengar oleh khalayak. Namun, tidak juga memungkinkan untuk rakyat biasa membicarakannya dengan terang-terangan.

Simon tersenyum singkat, ia berucap dengan tenang, “Tutup mulutmu, Joe Johnson. Kamu tidak akan menyukai apa yang akan saya lakukan setelah ini.”

Meski tatapannya bergetar, Joe menyeringai. “Yang Mulia Duke of Ainsworth! Maafkan hamba yang sudah lancang mengatakan fakta. Sebuah fakta bahwa ayah terhormatmu itu tergila-gila dengan wanita simpanannya.”

Cukup sudah. Simon kembali tersenyum singkat.

Seorang pria bersetelan jas datang dengan terburuk dan menutup mulut Joe dengan tangannya. Ia tersenyum pahit dan pamit undur diri membawa atasannya sebelum membuat kekacauan lebih lagi.

Suara orang-orang mengobrol dengan canggung mulai terdengar, dengan ketakutan mereka menghindari tatapan Simon dan berlagak sibuk.

Kebalikan dari ketakutan para tamu bahwa sang duke akan marah dan mengamuk, pria tinggi itu hanya berjalan dan dengan santai meraih gelas sampanye. Membelakangi meja panjang berisi berbagai hidangan itu, ia menyandarkan tubuhnya di sana dan mulai menikmati sampanyenya dengan tenang.

Di saat itulah orang-orang menyadari betapa sempurna sosok sang duke. Mereka dapat merasakan kekuatan dan martabat yang terpancar dari pribadinya. Seorang pria menawan yang sempurna untuk menyandang gelar Duke of Ainsworth.

Simon dengan pelan mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Saat ia melihat ke arah persimpangan lorong ia dapat melihat dengan jelas Joe melangkah dengan gontai memasukinya.

Bibirnya menyentuh ujung gelas dan menyesap sampanye untuk terakhir kali, kemudian ia bangkit dan berjalan pelan mengikuti Joe barusan. Suara sepatunya yang memantul di seisi lorong panjang pun berhenti saat ia sampai di depan pintu toilet.

Ia mendorong pintu itu dan memasukinya. Pandangannya tertuju ke satu-satunya bilik yang diisi oleh seseorang. Menahan pintu masuk dengan tubuhnya, Simon menyandarkan badannya.

Benar saja, Joe memang masuk ke toilet ini dan begitu ia keluar dari biliknya, bahunya jatuh dengan kesadaran penuh bahwa ia tahu ia tidak akan baik-baik saja.

“S-Simon?” Ia tidak dapat mencegah suaranya tidak bergetar. Sedangkan Simon dengan setengah mengangkat wajahnya menatap lurus ke kedua mata yang ketakutan itu.

Satu senyuman miring yang samar, Simon menyandarkan sepenuhnya belakang kepalanya pada permukaan pintu. “Bukankah sudah saya peringatkan, Joe Johnson?”

Semenit yang lalu, Joe masih dapat merasakan efek keras alkohol yang membuat semua terasa buram, tapi saat ini, di hadapan Simon ia sepenuhnya sadar. Sebab itu, ia tanpa membuang waktu segera meminta maaf dan mengakhirinya dengan tawa canggung.

Sebelah alis Simon terangkat ringan, ia beranjak dan berjalan ke arah Joe.

“A-Ayolah, Simon. Kita sudah saling kenal sejak bangku kuliah. Bermurah hatilah denganku.” Joe mundur saat langkah Simon tidak kunjung berhenti. Saat Joe hanya tersisa satu langkah lagi dengan pintu bilik, Simon berhenti.

Menunduk dan membuang napasnya sebelum kembali berhadapan dengan Joe, Simon berucap pelan, “Kamu sungguh tidak akan menyukai ini, tapi mulut kotormu sendiri yang membuatmu begini."

Kedua mata Joe bergetar dan mengerjap, dengan tangannya, ia sudah bersiap akan memohon, tapi Simon lebih dulu menangkap dasi yang terkalung di kemejanya.

Tidak ada lagi belas kasihan atau pengampunan di sepasang mata hijau Simon. Pria adalah apa yang mereka katakan, rupanya sangat dipraktikkan olehnya.

Air mata Joe mulai jatuh saat sakit dan sesak yang dirasakan akibat dasi yang mencekik kencang bahkan tidak dapat mengubah apa pun, Simon hanya semakin menarik dasi itu, menambah tekanan yang sudah begitu tak tertahankan.

“Si-Simon... to-tolong.”

Mendengar itu, Simon mengerutkan dahinya. Dengan satu sentakan, ia menentang sebelah kaki Joe dengan sangat keras hingga pria itu tersungkur ke lantai. Kepalanya mendongak akibat tarikan dasi yang tidak kunjung dilepas.

Berusaha meloloskan dari, Joe meraih dasi itu dengan sebelah tangannya. Simon memiringkan kecil kepalanya dan tersenyum. Sebuah senyuman yang diiringi siksaan lainnya. Ia memelintir dasi itu ke tangannya, membuat Joe merasakan sakit yang lebih keras.

“Kamu tidak pernah belajar, Joe Johnson.” Simon menghela. “Dunia tidak akan merasa kehilangan dengan berkurangnya satu manusia tidak berguna sepertimu.”

Air mata yang sebelumnya murni karena rasa sakit kini menjadi tangisan penyesalan dan ketakutan. Joe menggelengkan kepalanya kencang. Tatapan memelas jelas tercetak di wajah pria itu. Namun, Simon tidak berencana berhenti.

Tidak sampai seorang pria tiba-tiba memasuki toilet dan berteriak terkejut. Simon menoleh ke arah pria muda berwajah Asia itu.

“Pak CEO!” seru pria itu melihat kondisi mengenaskan Joe. Simon mendecap, ia melepaskan dasi yang melilit tangannya dengan hentakan keras. Kepala Joe sontak menyandar ke pintu bilik, ia mulai batuk dan pria muda tadi segera menghampirinya.

Simon berniat berjalan dan keluar begitu saja, tapi terhenti.

“Hei, berhenti di sana! Kamu akan dituntut atas penyerangan ini.”

“Tidak, Paul. Biarkan dia pergi,” ucap Joe pada pria bernama Paul itu.

“Tapi, Pak—“

“Turuti saja, Paul.”

Tatapan khawatir Paul pada Joe membuat Simon muak. Ia lantas melangkah keluar, tanpa mengucapkan apa pun, tanpa menoleh ke belakang.

♧♧♧

Pesta adalah hal yang akan sering digelar dan dihadiri oleh kalangan bangsawan juga konglomerat di tanah Inggris ini.

Kedatangan Olivia berjarak tidak jauh dari pesta pengangkatan Simon setelah diakui secara resmi oleh pihak kerajaan sebagai penerus gelar Duke of Ainsworth setelah ayahnya memasuki usia dan mengidap penyakit yang membuatnya harus melepaskan gelarnya.

Dibutuhkan waktu dua hari penuh untuk menyiapkan pesta akbar itu. Kediaman keluarga sang duke pun bukan main luas dan mewahnya. Olivia telah melakukan semua yang ia bisa dalam membantu pekerjaan para staf.

Malam ini saat pesta itu akan digelar, Olivia diajak Betty–kepala pembuat kue untuk menghadirinya sebagai tamu bukan sebagai staf apalagi pelayan. Penolakan Olivia dengan alasan tidak memiliki gaun yang pas untuk pesta seperti itu pun gagal karena ia dipinjami sebuah gaun oleh Betty.

“Ini adalah gaun tiruan brand mahal. Kalau kamu yang pakai, pasti tidak akan ada yang menyadarinya karena kecantikanmu, Olivia.”

Itulah yang dikatakan Betty dan berhasil membuat Olivia percaya. Namun, keputusannya untuk memakai dan melangkahkan kaki ke pesta adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat seumur hidupnya.

Tepat di tengah taman, tempat di mana tidak ada tamu yang menginjakkan kaki, sepasang lengan berbalut jas memeluknya dari belakang.

Olivia terperanjat dan segera melepaskan diri. Ia menoleh ke belakang dan kedua matanya terbuka lebar.

“Maaf. Saya salah mengira kamu sebagai kencan saya.”

Tidak tahu harus mengatakan apa, Olivia dilanda kebingungan parah, ditambah lagi ia seperti pernah melihat wajah pria tinggi bermata hijau ini.

Sepertinya baru-baru ini aku sering melihat wajahnya.

“Gaunmu. Mirip sekali dengan gaun yang dimiliki kencan saya,” tambah Simon diakhiri senyum seringai singkat.

Satu hal pada akhirnya menjadi jelas bagi Olivia. Ia familier dengan wajah Simon karena foto pria itu tergantung di banyak sudut ruangan kediaman duke. Ia pun melangkah mundur dan menunduk kecil memberi hormat.

“Maafkan saya, Yang Mulia Duke.”

...♧♧♧...

^^^** the picture belongs to the rightful owner, i do not own it except for the editing^^^

03: Mau Berteman denganku?

...♧♧♧...

Simon menyesap rokoknya dan menghembuskan asap putih yang ketara di tengah remang pencahayaan taman.

Angin yang berhembus cukup membuat udara malam ini menjadi dingin. Sebuah malam di musim panas yang sempurna, pikirnya.

Gelar yang didapatkannya sebagai penerus tunggal sudah diresmikan oleh Raja Charles dan kesepakatan bisnis yang sangat menguntungkan telah berhasil ia pertahankan selama dua minggu lalu di Australia.

"Sungguh musim panas yang sempurna," gumamnya sebelum menaruh rokok telah habis separuh itu. Saat itu, bertepatan dengan ia yang sedikit mendongak untuk menghembuskan asapnya dari kedua bibir, seorang gadis berjalan keluar dari salah satu pintu di samping mansion tidak begitu jauh darinya.

Rambut panjang yang dibiarkan terurai, gaun beludru di bawah lutut dengan bahu terbuka hanya berlengan sebesar spageti. Simon memperhatikan Olivia dari ujung kepala hingga kakinya. Semesta pun seakan mendukung, gadis itu berjalan ke arah taman. Tepatnya ia berdiri tepat di depan kolam yang memiliki pancuran air bergaya klasik.

Simon terus memperhatikan, dengan sikap Olivia yang terus-menerus mengusap punggung tangannya dan menunduk menatap gaun yang dikenakannya, mudah sekali tuk membaca betapa risaunya gadis itu sekarang.

Tanpa ia sadari, Simon mengeraskan rahangnya dan membuang begitu saja sisa rokoknya. Ia mengambil langkah mendekat ke gadis itu.

Sengaja ia pastikan langkah dari boots sepatunya tidak menimbulkan bunyi yang dapat disadari Olivia. Namun, tinggal beberapa langkah di belakang, gadis itu tak kunjung menyadari kehadirannya.

Apa saja yang gadis ini pikirkan sampai tidak menyadari kehadiranku?

Jarak di antara mereka membuat Simon dapat dengan jelas mencium aroma segar dari tubuh Olivia. Aromanya seperti perpaduan apel dan limau gedang. Sebuah aroma yang menyeruak dengan nyaman di penciumannya. Namun, ketidakmampuan Olivia menyadari kehadirannya membuat dahi Simon berkerut samar.

Menghela pelan, Simon menghapus jarak di antara mereka dan menundukkan kecil badannya tuk memeluk tubuh Olivia. Kedua lengannya mengalung di sekitar bahu gadis itu untuk waktu yang sangat singkat.

Olivia yang terkejut dan segera menjauhkan diri, Simon yang menggigit singkat bibir bawahnya, keduanya menjadi berhadapan saat gadis itu membalikkan badan.

“Maaf. Saya salah mengira kamu sebagai kencan saya.” Simon mempertahankan wajah tenangnya. “Gaunmu,” ia melihat ke gaun beludru berwarna biru tua yang Olivia kenakan. “Mirip sekali dengan gaun yang dimiliki kencan saya.”

Kedua mata Olivia sedikit membelalak begitu menyadari sosok yang berdiri di hadapannya ini adalah anak satu-satunya sekaligus penerus gelar duke keluarga Ainsworth. Ia pun melangkah mundur dan menunduk kecil memberi hormat.

“Maafkan saya, Yang Mulia Duke.”

Simon tersenyum singkat, Olivia bahkan tidak menyadarinya. Gadis itu sibuk dengan perasaan tak karuan setelah apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdebar, yang ia tidak tahu bahwa ia bisa berdebar seperti itu.

Haruskah aku pamit pergi atau menunggu dia meninggalkanku lebih dulu?

Pertanyaan yang hanya dapat didengarnya, namun membuat Olivia hampir menganga lantaran kebetulan yang terjadi. Ponsel Simon bergetar, pria itu tampak mengeluarkan dan menerima panggilan.

Olivia sadar, ia tidak mungkin pergi begitu saja, jadi ia diam di tempatnya dan memperhatikan sang duke menyelesaikan panggilan itu.

“Saya ada di taman, dekat kolam.” Hanya kalimat yang dilontarkan Simon sepanjang panggilan yang cukup singkat itu. Namun, sungguh Olivia terkejut dengan bagaimana pria itu berbicara bahkan saat menelepon.

Simon sungguh memiliki kekuatan dan martabat yang dapat menguasai lawan bicaranya. Seorang duke yang sempurna, kini Olivia mengerti semua pujian yang didengarnya dari para staf selama beberapa hari ini.

Berselang beberapa saat sejak panggilan telepon berakhir, Simon hanya kembali menyimpan ponsel di kantung dalam jasnya kemudian berdiri diam menghadap ke mansion tempat kediaman keluarganya yang bersinar dan berhiasan dengan indahnya. Mengabaikan presensi Olivia, seakan ia tidak salah memeluk atau bahkan melihat gadis itu beberapa saat lalu.

Olivia mengingatkan dirinya bahwa Simon hanya salah mengira dengan kencannya, tapi perasaan hatinya yang seperti teriris tak dapat ia cegah saat melihat begitu acuhnya pria itu sekarang.

“Simon!” seru seorang wanita muda yang berada tidak begitu jauh dari taman, ia adalah kencan yang dimaksud sang duke, Charlotte Sabrina Bennings.

Perempuan itu sangat berbeda denganku. Bagaimana Tuan Duke bisa salah mengira aku adalah dia?

Simon tersenyum pada Charlotte dan wanita itu pun sama, sungguh menambah kecantikannya yang sangat paripurna.

Charlotte berjalan menghampiri Simon. Kini Olivia benar-benar terjebak, tidak tahu apa yang harus ia lakukan. Di hadapan Simon, cara ia tersenyum membuat sepasang mata birunya menyipit. Dari jarak ini, Olivia menyadari betapa cantiknya wanita itu.

Rambut pirang yang sangat natural digerai seperti tidak ada penataan sama sekali terlihat sangat indah, sepasang bibir tipis berwarna merah muda, dan semuanya, Olivia belum pernah melihat wanita secantik Charlotte sebelumnya.

Percakapan ringan antara keduanya tidak terdengar lagi lantaran pikiran Olivia terpusat pada kekagumannya akan kecantikan Charlotte. Namun, itu pun usai saat suara merdu wanita itu memanggilnya.

“Hei, siapa namamu?” tanya Charlotte lembut.

“Eng– Nama Saya Olivia.” Olivia menjawab dengan menunduk kecil. Charlotte berjalan ke arahnya dengan senyuman ia memperhatikannya.

“Namaku Charlotte, senang bertemu denganmu, Olivia. Aku dengar kamu bergabung menjadi baker baru. Semoga kamu betah kerja di sini, ya.”

Olivia membalas senyuman itu dengan canggung. “Iya, Nona.”

“Charlotte, bukankah kamu juga punya gaun biru itu?” tanya Simon.

Charlotte menoleh ke arah Simon sebelum melihat gaun Olivia. Ia menyadarinya sekarang, gaun itu adalah produk tiruan dari merek mewah Gucci, salah satu merek favoritnya.

“Iya, aku juga memilikinya, tapi kudengar gaun ini hanya ada tiga potong di Inggris dan aku mengenal semua yang juga membelinya.” Charlotte berhenti dan memerhatikan gaun kemudian wajah memerah Olivia. “Kamu membelinya tidak di Inggris tapi di negara lain, ya?” tanyanya antusias.

Olivia mengerjap, entah hanya dirinya atau memang benar kedua orang yang lebih dalam banyak hal darinya ini sengaja membuatnya terpojok.

“Ini pemberian seseorang, saya tidak tahu. Eng–saya izin undur diri.”

Simon menatap malas kepergian Olivia. Lagi, tanpa ia sadari rahangnya mengeras. Sebagaimana ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang berada tidak di tempat seharusnya.

Perasaan sialan ini.

♧♧♧

Paul Song menggantikan undangan yang seharusnya dihadiri pria yang beberapa hari lalu dihajar oleh Simon. Ia adalah salah satu penyanyi yang berada di bawah label rekaman Joe Johnson.

Adalah perasaan tidak terima yang mendorong Paul datang ke pesta Simon. Pria berusia 23 tahun itu mencari tempat duduk yang strategis supaya kehadirannya dapat dengan mudah disadari Simon yang nanti akan membuka acara.

Paul memiliki wajah blasteran Korea dan Amerika. Ia jelas tampan, tingginya pun pas. Sungguh seseorang yang mudah disukai, baik karena visual maupun kepribadiannya.

Musik yang dimainkan oleh orkestra secara langsung membawakan lagu-lagu modern yang terkenal membuat Paul menutup kedua matanya dan tersenyum menikmati suara indah yang menyenangkan telinga.

Pria brengsek itu memiliki telinga yang bagus rupanya.

Seseorang menempati kursi tepat di sampingnya, Paul membuka matanya untuk melihat sekilas siapa orang itu. Namun, ia terkejut dan tidak menyangka dengan wajah Olivia yang duduk di sampingnya. Ia yakin jika permen kapas adalah seseorang, maka gadis ini adalah salah satunya.

Olivia tampak memegang sebuah piring kecil berisi beberapa potong buah-buahan. Saat jemari mungil dan lentik gadis itu memegang sepotong stroberi dan menggigitnya, Paul tidak dapat melepaskan pandangannya pada kecantikan dan kelembutan gadis itu.

Paul berdeham, wajahnya menoleh penuh ke sosok Olivia.

“Hei,” panggilnya dengan intonasi ringan dan ramah.

Olivia sedikit terkejut dengan itu, ia menaruh piringnya ke atas paha dan membalas sapaan Paul.

“Iya?”

Paul berdeham, raut wajahnya seakan tengah membicarakan hal yang begitu penting dan serius. “Katanya sih tidak kenal maka tidak sayang.” Olivia tertegun dan refleks bergumam kebingungan.

“Loh, betul. Itu pepatah dari negara ayahku, Korea Selatan,” sambung Paul. Kini Olivia tertawa ringan. Ia familier dengan pepatah yang juga ada di negaranya, bahkan sangat populer di Indonesia.

“Di negaraku juga ada pepatah itu.” Akhirnya Olivia bersuara. Seperti dugaan Paul, bahkan suara gadis itu juga sangat manis dan lembut.

Raut terkejut Paul sengaja dibuatnya berlebihan. “Iya? Wah, kebetulan sekali.”

Olivia mengernyit kemudian kembali tertawa. Pria ini sungguh unik, pikirnya.

“Karena sama-sama akrab dengan pepatah itu, jadi tidak ada salahnya kalah kita kenalan, kan?” Paul menjulurkan tangannya. “Namaku Paul Song. Namamu?”

Olivia memandangi tangan yang memiliki jemari panjang itu. Ia kemudian tersenyum dan membalas jabatan tangannya. “Namaku Olivia Poetri Aditomo.”

Kali ini raut bingung yang murni dan tidak berlebihan tercetak jelas di wajah Paul.

“Namaku sangat jarang didengar, ya?” Olivia tersenyum. “Aku aslinya dari Indonesia.”

“Indonesia? Ah, Bali! Aku suka suasana pantainya.” Paul tersenyum lebar seakan berhasil menjawab pertanyaan penting yang akan membuatnya memenangkan hadiah.

“Bali hanya salah satunya. Masih banyak wisata alam yang tak kalah indah loh.”

“Boleh banget nanti aku berkunjung ke sana. Kamu bisa menjadi pemandu wisataku.” Paul tertawa dengan candanya dan Olivia pun sama.

“Sekarang sudah kenal aku, kan?" tanya Paul tiba-tiba.

Olivia mengangguk. "Iya."

Paul mencondongkan tubuhnya mendekat ke Olivia. "Terus sayang akunya kapan?"

Olivia membelalak. "Apa?"

Paul tersenyum. Ia menjauhkan tubuhnya dan membalas tatapan bingung Olivia. "Tak kenal maka tak sayang, kan? Kita sudah saling kenal, sekarang tinggal saling sayangnya lagi."

"Ha?" Olivia sampai mengaga kecil saking tercengan dengan selera humor pria itu.

"Ya sudah kalau begitu, kita berteman saja. Mau berteman denganku, Olivia?" Paul tersenyum menatap kedua mata Olivia.

Olivia juga ikut tersenyum. "Tentu."

Sebuah hubungan pertemanan sepasang manusia baru saja dimulai, dan pesta akbar sang duke pun akan segera dimulai.

Oleh karena itu, Simon berdiri di atas panggung kecil tepat di tengah ballroom mansion ini.

Mik yang dipegangnya, lampu yang menyorotinya, dan perhatian semua orang yang terpusat padanya, namun ia tak dapat melepaskan pandangan ke arah Olivia dan Paul yang saling melempar senyuman.

Tidak satu hal pun berada tidak di tempat seharusnya. Begitu pun denganmu, Olivia Poetri Aditomo.

...♧♧♧...

^^^** the picture belongs to the rightful owner, I do not own it except for the editing.^^^

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!