Bagaimana aku bisa berhadapan dengan Tuan Duke sendirian?
Sejak mendapat perintah dari Simon, Olivia tak kunjung berhenti memikirkannya. Tentang bagaimana ia bisa bertemu pria itu di ruangannya tanpa orang lain kecuali mereka. Meski begitu, dirinya tetap melangkahkan kaki ke ruangan itu.
Kediaman pribadi Simon berada di timur mansion, merupakan wilayah yang paling jarang dimasuki para staf karena kesibukan sang duke muda. Menginjak usia 27 tahun, ia terus dipersiapkan untuk menjadi penerus gelar yang sempurna. Bahkan saat ini, ia masih memiliki dua tahun lagi untuk lulus dan menyandang gelar doktor pada jurusan Manajemen Bisnis di Universitas Harvard.
“Baiklah,” Olivia berhenti di depan sepasang pintu kayu yang tinggi dan tebal. Menggigit bibir bawahnya, ia lantas membuang napas cukup panjang. “Aku harus bekerja dengan baik.”
Olivia mengetuk pintu beberapa kali sebelum lalu mendorong dan membukanya. Ia yang memakai sepatu tanpa hak membuat langkahnya tidak menghasilkan suara apa-apa bahkan ketika memasuki ruangan Simon yang luas dan beratap tinggi.
Mungkin karena itu Simon tidak menyadari keberadaannya, setidaknya itulah alasan paling positif yang bisa Olivia pikirkan. Ia tidak ingin terlalu memikirkan atau menilai kepribadian Simon. Fakta bahwa pria itu telah bermurah hati dengan membantu ayahnya membuatnya mengambil keputusan ini.
Mansion keluarga Ainsworth tidak memiliki ruangan yang kecil. Kediaman pribadi Simon bisa dibilang ruangan terbesarnya. Olivia berdiri di depan pintu dan sedikit jauh di seberang ruangan, Simon berdiri dengan kepala menunduk fokus pada map dan kertas dokumen di genggamannya.
Raut serius pria itu membuat Olivia menelan kembali niatannya untuk bersuara. Pencahayaan ruangan luas ini hanya mengandalkan sinar jingga mentari sore yang berasal dari beberapa jendela yang dibiarkan terbuka.
Manusia cenderung suka menatap hal-hal yang indah. Mungkin ini adalah satu-satunya pembenaran yang dapat Olivia katakan ketika ia menemukan dirinya cukup terhanyut dalam memerhatikan sosok Simon.
Wajah dan tubuh maskulin Simon adalah anugerah. Olivia kembali melakukan pembayarannya, bahwa merupakan pendapat yang objektif untuk mengaku betapa menawannya pria itu.
“Harusnya kamu mengabarkan kedatanganmu. Bukannya diam mematung dengan pandangan ke mana-mana, Olivia."
Olivia sontak terbelalak. Mulutnya sudah terbuka kecil hendak mengatakan sesuatu, tapi ia memilih menunduk cukup dalam. “Ma-maafkan saya, Yang Mulia Duke.”
Tidak ada tanggapan dari Simon, Olivia masih menunduk. Pria itu melangkah ke meja kerjanya, suara yang ditimbulkan dari map yang ia letakkan cukup kasar ke atas meja membuat Olivia sedikit terperanjat.
“Kemari, Olivia.” ucap Simon yang sudah menduduki kursi kerjanya. Olivia menggigit bibirnya sebentar sebelum mengangkat wajahnya. “Baik.”
Simon menyandarkan punggungnya ke kursi, ia menatap lurus pada wajah Olivia yang tertunduk kecil. “Jadi,” ia mengernyit sekilas. “kamu membantu para pembuat kue untuk tinggal di sini?”
Olivia meneguk ludahnya, masih dengan menunduk ia membuka suara. “Iya, Yang M–“
“Bukankah sebuah sopan santun untuk mengangkat wajahmu ketika berbicara, Olivia Poetri?”
Tertegun, Olivia mulai merasakan bibirnya bergetar. Meski begitu, ia tetap berusaha mengangkat wajahnya dan memasang raut tenang. “Iya, Yang Mulia Duke.”
Sebelah tangan Simon berada di atas meja, jemari panjangnya mengetuk-ngetuk pelan permukaan kayu berlapisan kaca itu. “Usiamu masih 18 tahun. Dari mana kamu mendapatkan spesifikasi itu?”
Secara alami, Olivia bergumam bingung. “Eng–saya tidak menempuh pendidikan formal apa pun dalam membuat kue, tapi saya memang terbiasa membuatnya. Sedari kecil saya membantu toko kue kerabat saya, Yang Mulia Duke.” Ia mengakhirinya dengan menunduk sekali kemudian mengangkat wajahnya kembali karena perkataan pria itu sebelumnya.
Simon tidak bersuara, merespons, bertanya, atau menyuruh Olivia pergi. Ia hanya menatap lurus pada gadis itu. Benar-benar sikap yang tidak dapat dimengerti oleh Olivia. Harus dipikirkan berapa kali pun, ia tidak menemukan jawaban yang masuk akal atas perilaku sang duke padanya.
Sebaliknya, Simon bermaksud memanggil Olivia untuk melihat dengan saksama gadis itu. Perasaan aneh sejak ia pertama kali melihat gadis itu, sungguh lebih baik mati daripada harus terus membingungkan alasannya.
Maka dari itu, Simon membuat Olivia mendatanginya sore ini. Di saat di sisi lain mansion ini sedang berbincang perkara serius antara ibunya dan wanita yang akan menjadi calon tunangannya, dengan kesadaran penuh, Simon membuat Olivia datang ke ruangan pribadinya.
Simon memerhatikan wajah dan tubuh Olivia. Gadis itu memiliki wajah cantik dan manis di saat bersamaan. Pipinya yang berisi, sepasang mata bulat yang sedikit sayu, dan postur tubuhnya hang mungil, secara keseluruhan ia tahu bahwa Olivia memang menarik.
Lucu sekali jika hanya itu alasannya tidak bisa berhenti memikirkan gadis itu dan terusik karenanya. Simon telah melihat banyak wanita cantik dan menarik sebelum kedatangan gadis itu.
Olivia menggigit bibir dalamnya, tidak tahan lebih lama lagi berada di hadapan Simon, ia memberatkan diri untuk bersuara. “Maaf, tapi apa yang harus saya lakukan, Yang Mulia Duke?”
Simon benar-benar mengambil beberapa waktu bahkan saat menjawab pertanyaan sederhana itu. Namun, sebelum dirinya menggerakkan bibir, suara ketukan pintu menunda semuanya. Olivia bernapas lega begitu mendengar suara seseorang memasuki ruangan.
Benedict datang membawa beberapa map kertas, raut wajahnya menjelaskan semua, bahwa ia sedikit terkejut bercampur bingung menemukan Olivia berdiri menghadap meja kerja Simon. Saat semakin dekat, gadis itu memberikan ruangan di hadapan Simon padanya.
Tatapan Simon mengikuti langkah gadis itu yang menepis ke sisi lain ruangan, tidak begitu jauh dari mejanya. Ia lalu membenarkan posisi duduknya dan menatap Benedict.
“Ada beberapa surat undangan dan dokumen-dokumen yang membutuhkan tanda tangan Anda, Tuan.” Benedict menjelaskan seraya memberikan seluruh map kertas yang ia bawa.
Simon melihat satu persatu map itu, Olivia menyaksikan tatapan serius kembali dikenakan pria itu sebagaimana saat ia pertama kali melihatnya di ruangan ini.
“Yang Mulia Duke,” panggil Olivia berusaha tidak terdengar bergetar. Baik Simon dan Benedict mengarahkan perhatian mereka padanya, ia menguatkan diri untuk mengutarakan keinginannya.
“Jika tidak ada yang perlu saya bantu. Saya mohon permisi lebih dulu, Yang Mulia Duke.”
“Olivia,” panggil Simon.
“H-hng?” gumam Olivia murni bertanya.
“Tetap berada di tempatmu, Olivia. Tunggu dan duduklah di sofa itu.”
Perintah Simon, entah bagaimana terdengar memiliki makna yang lebih dari sekedar menyuruhnya menunggu dan duduk. Seakan pria itu lagi-lagi mencoba membuatnya sadar akan posisinya yang sebenarnya, bahwa ia tidak boleh lupa diri.
♧♧♧
“Ayah, apakah Tuan Duke benar-benar orang yang baik?” tanya Olivia pada Aditomo.
Saat ini, jam hampir menunjukkan pukul delapan malam, ia dan ayahnya telah kembali ke tempat tinggal para staf, di ruang kumpul dan bersantai para staf lebih tepatnya. Ruangan ini cukup besar dan sangat nyaman. Beberapa staf lain tersebar di beberapa titik, menikmati istirahat setelah seharian bekerja.
Olivia sendiri telah dibiarkan pergi oleh Simon satu jam setelah menunggu, tepat saat diskusi antara pria itu dan sekretarisnya usai. Hasil dari penantian yang sangat canggung dan membutuhkan banyak kesabaran itu hanya Simon memerintahkannya untuk mengantar kue dan teh setiap sore ke ruangannya. Tampaknya pria itu tidak ingin menyanyikan waktu lebih lama dengan melakukan acara Afternoon Tea bersama anggota keluarganya.
“Beliau orang yang baik kok. Kamu masih ingat dengan cerita Ayah waktu itu, kan?” Aditomo menatap lembut pada putrinya yang tampak sedikit lesu.
“Tentu aku masih mengingatnya.”
“Ada apa, Nak? Ada sesuatu yang terjadi?”
Olivia dengan cepat menggeleng, ia menatap ayahnya. “Tidak kok. Bukan karena ada apa-apa. Aku bertanya hanya memastikannya sekali lagi saja.”
Aku ingin mencuci otakku sendiri dengan berpikir bahwa pria itu memang benar seorang yang sangat baik.
Aditomo tersenyum lembut, ia mengelus puncak kepala putrinya. “Syukurlah kalau begitu. Tapi, ingatlah, segera beritahu Ayah jika ada sesuatu yang mengganggumu, oke?”
Olivia melepaskan senyuman tulusnya. “Ok–“ Perkataannya terpotong saat ponsel di kantung celananya bergetar panjang, menandakan ada sebuah panggilan masuk.
Saat membaca nama dari sang penelepon, Olivia tertawa kecil. Aditomo ikut tersenyum melihat raut itu di wajah cantik putrinya.
“Temanmu menelepon?”
“Hn. Teman baruku, kami bertemu di pesta kemarin.”
“Dia perempuan?” tanya Aditomo lagi. Olivia menggelengkan kepalanya dan sontak itu membuat perubahan ekstrem di raut wajah Aditomo.
“Siapa cecunguk itu? Biarkan Ayah menjawabnya sekali ini, Olivia, atau Ayah tidak akan tenang seumur hidup Ayah.”
“Ayah, kok bicara begitu. Kami cuma berteman.”
“Nak, percayalah, Ayah hanya akan mengetes pria macam apa teman barumu itu. Jika menurut Ayah dia layak, kamu boleh tetap berteman dengannya.”
Olivia menghela pelan, ia memberikan ponselnya pada Aditomo. “Baiklah.”
Tanpa menunggu, Aditomo segera mengangkat panggilan itu dan ia membiarkan kontak bernama Paul Song itu bersuara lebih dulu.
“Halo, Olivia?”
“Ini dengan ayahnya Olivia. Ada perlu apa menelepon malam-malam begini?” Aditomo dengan ketus berbicara pada Paul. Sebaliknya, pria muda di seberang itu malah membuatnya tercengang.
“Pak Aditomo! Sebenarnya aku sudah sangat penasaran untuk bertemu Bapak sejak cerita Olivia di pesta kemarin. Bagaimana kalau kita mengobrol santai sambil minum kopi?”
...♧♧♧...
^^^** the picture belongs to the rightful owner, I do not own it except for the editing.^^^
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 40 Episodes
Comments
agnesia brigerton
Lo entar dipanggil cecunguk beneran sama ayahnya Olivia heh dasar Paul
2024-06-30
0
agnesia brigerton
Cecunguk 😭😭😭
2024-06-30
0
agnesia brigerton
/Whimper//Whimper/
2024-06-30
0