Bianca belum mengingat hari apa yang Leo singgung. Jadi, Leo membantunya, “hari itu di café keluargamu. Saat kau beritahu aku kalian memutuskan untuk menikah.”
Pandangan Bianca sedikit tinggi. "Cafe?" gumamnya. Matanya mengerjap sebelum menatap kosong ke depan, mulai menerawang hari yang Leo sebutkan.
FLASHBACK
"Huft!" Bianca memasuki cafe dengan meniup nafas, dia menyapu ujung kepala yang sedikit basah karana hujan dadakkan sembari menggelap alas flastshoes di atas keset welcome. Setelahnya, matanya mulai mencari-cari seseorang dan senyuman hadir dikala berhasil menemukan pria itu di salah satu meja yang tersusun di samping dinding yang terbuat oleh kaca bening.
Bianca melambaikan tangan sebentar dan berjalan memghampiri pria yang sudah menyadari kedatangannya itu. "Hujan tiba-tiba turun deras, untung aku sudah dekat," kata Bianca sembari mengambil duduk di depan pria itu, meja putih setinggi dada memisahkan mereka.
"Syukurlah," kata pemuda itu sembari menyodorkan sapu tangan bewarna coklat muda.
"Terima kasih, Leo," ucap Bianca sembari menerima kain tipis itu. Dia gunakan untuk menggelap wajah yang sedikit basah sebelum mereka bersama-sama menatap keluar kaca. Langit dipenuhi awan gelap, sedikit guntur menyambar di sela-sela tetesan hujan. "Aku pikir Gavin tidak akan datang karena hujan."
Mereka tidak bertemu untuk hal penting, hanya makan siang bersama seperti yang sering mereka lakukan. "Haruskah aku meneleponnya? Dia akan datang jika aku memintanya," tawar Leo.
Bianca menatap Leo dan tersenyum kecut. "Kau benar. Gavin akan datang bila temannya memintanya datang, tapi dia akan beralasan hujan terlalu deras bila aku yang memintanya datang bahkan ketika dia punya mobil, payung dan jas hujan."
Bianca tidak membual dan itu adalah kenyataan. Gavin sudah seperti itu di awal mereka berpacaran sampai detik ini. Bianca mencoba memakluminya mengingat ini juga bukan pertemuan penting. Tiba-tiba Bianca tergelak kecil, mengingat hal-hal lucu bersama Gavin. "Aku bertanya padanya apa dia akan menerobos badai untukku, dia bilang dia akan … setelah badainya berhenti. Aku jengkel dengan jawabannya, tapi dia manusia yang logis."
"Kalau aku, aku akan menembus badai itu hanya dengan jas hujan untukmu." Leo menarik kedua sudut bibirnya menampilkan senyuman tipis. Dalam hati, dia berterima kasih pada hujan yang telah menahan Gavin hingga mereka bisa duduk hanya berdua, itu adalah hal yang hampir tidak pernah terjadi karena Bianca selalu memastikan Gavin ada di mana pun. "Kalian … benar-benar akan menikah?" Leo sudah sedari tadi ingin melontarkan pertanyaan itu, akhirnya bisa dia lakukan setelah kata-katanya dianggap guyonan oleh sang lawan bicara.
Bianca menilai raut wajah Leo sebentar sebelum menanggapi, "itu rencananya. Mengapa? Kau terlihat lebih ragu dariku." Bianca terkekeh setelah ejekan kecilnya.
"Tidak ... hanya kau selalu mengeluh soal Gavin." Leo ingat semua hal yang pernah Bianca katakan soal Gavin dan karena itu binggung mengapa Bianca malah ingin menikahinya. "Kau sendiri bilang kalian sudah terlahir berseberangan. Kalian tidak pernah cocok atau memiliki kesukaan yang sama bahkan untuk hal kecil pun. Kau suka pasta sementara Gavin suka indomie. Aku hanya belum bisa mengerti mengapa kau tetap bersamanya."
Bianca tergelak geli mendengar penjelasan Leo, cara Leo berbicara membuatnya terdengar seperti anak kecil yang sedang melontarkan protes. "Hm ... aku pikir alasanku tidak akan pernah berubah. Aku mencintai Gavin karena dia pria baik. Bahkan ketika dia hanya punya kebaikan dan tidak bisa memberi semua yang aku inginkan, aku tetap akan memilihnya. Aku tidak ingin menyakiti hatinya." Sebut Bianca baik atau bodoh karena di awal menerima Gavin sebagai kekasih, dia telah menerima semua kekurangan dan ketidakbahagiaan hanya untuk satu alasan, dia tidak sanggup menyakiti hati Gavin.
"Bahkan ketika ada seorang pria yang mencintaimu lebih dari dia? Ketika pria itu lebih tampan dan kaya dan akan memberimu segalanya? Kau yakin kau tidak akan berpaling hanya karena kau tidak mau menyakiti Gavin yang baik hatinya?"
"Huum. Mungkin aku akan menyesal tapi aku tetap tidak ingin berpaling." Bianca selalu berkata jujur kepada Leo karena hanya Leo yang bisa menerima pendapatnya secara baik, berbeda dengan Gavin yang kemungkinan besar akan tersinggung. Bahkan ketika semua yang Bianca katakan adalah pujian, dia tetap akan tersinggung entah bagaimana.
"Bagaimana jika kau tidak bahagia? Selama ini kau adalah orang yang selalu mencoba mengerti sementara Gavin bahkan tidak berusaha keluar dari zona amannya untukmu."
Bianca menanggapi dengan senyuman tipis. Di dalam otak, tidak ada yang berubah tidak peduli seperti apa Leo memberinya pilihan. "Aku hanya akan meninggalkan Gavin bila dia selingkuh. Hanya itu."
"Hanya itu ...?" Leo berusaha menyembunyikan rasa kecewa, dia tahu betul bahwa Gavin selingkuh adalah hal yang mustahil. "Gavin selalu bersikap tak acuh sementara kau terlalu bersemangat …”
Suara Leo terlalu pelan, tidak sampai di telinga Bianca. "Kau terlalu mencemaskan kami," kata Bianca sembari tersenyum geli. "Kami akan baik-baik saja. Gavin sangat mencintaiku, dia tidak akan membiarkan aku senggsara."
Namun, Leo melihatnya secara berbeda. Gavin tidak pernah berusaha keras karena Bianca sangat pengertian dan Bianca selalu sedih karena Gavin tidak bisa menjadi pasangan yang dia inginkan. Meski pada akhirnya Bianca memutuskan untuk bertahan, Leo menjadi orang yang sulit menerima kenyataan di sini. Bianca pantas mendapatkan pria yang lebih baik dari Gavin, itu yang Leo pikirkan.
"Kau benar-benar mencintainya? Maksudku, kau bersamanya setelah semua hal hanya karena kau mudah kasihan dan tidak mau menyakiti siapa pun. Apalagi Gavin hidup sendiri. Dia tidak punya orangtua atau sodara, kau yakin menikahinya benar-benar tulus dari hatimu?"
"Itu adalah pilihanku," jawab Bianca, ekpresi wajahnya begitu yakin.
Leo tidak puas pada jawaban Bianca, sebaliknya, menolak keras cara berpikirnya. "Oke, sekarang bayangkan, bagaimana jika kau bertemu pria lain terlebih dulu sebelum Gavin?" Leo terdengar tak sabaran, menambahkan, "contoh saja, sebut pria itu adalah aku. Bila kita terlebih dulu bertemu sebelum kau dan Gavin. Apa kau akan memilihku?"
Bianca tidak langsung menjawab tapi menjaga kontak mata tetap terkunci. Leo melihat keraguan, sepertinya Bianca tengah menimbang di antara menjawab jujur atau berbohong. "Aku akan memilihmu." Pada akhirnya dia menjawab sesuai kata hatinya. "Kau ingat aku pernah berkata kau adalah teman terbaik yang pernah aku kenal? Aku suka caramu menanggapi pembicaraan yang aku bawa, aku suka ketika kau mendengarkan dan aku suka kau memperhatikan hal-hal kecil. Kau adalah semua yang tidak bisa Gavin lakukan tapi kau tidak mencintaiku." Bianca mengakhiri kata-katanya dengan kekehan kecil. "Kau bahkan tidak pernah dekat dengan perempuan mana pun. Seleramu terlalu tinggi.”
"Hanya karena kau terlebih dulu mengenalnya ...," gumam Leo, lirih. "Ini tidak adil ..." Bianca terlampau keras kepala, karena itu Leo tidak berani mengungkapkan isi hatinya. Selain tidak mau memberi Bianca beban, dia pun takut pertemanan mereka akan hancur.
"Aku mungkin mengeluh terlalu banyak padamu, haha …" Bianca tertawa kikuk sembari mengelus tengkuk yang tak gatal. "Kau sepertinya lelah mendengar ocehanku soal Gavin, tapi terima kasih karena tidak pernah mengadu."
"Kau pikir aku akan mengadu? Tentu saja tidak! Gavin akan tersinggung dan aku tidak mau kau bertengkar dengannya," cicit Leo, berusaha keras untuk terlihat ceria dan baik-baik saja padahal hatinya sudah bagaikan kaca yang retak dan hancur berantakan.
"Terima kasih," ucap Bianca tulus, kemudian memalingkan pandangan ke langit gelap yang masih meneteskan jutaan air hujan.
Sorot mata Leo berbicara terlalu banyak ketika Bianca tidak lagi menatap. Cukup lama dia terdiam, kemudian berkata, "Bila Gavin membuatmu menangis lagi, aku tidak akan memaafkannya. Aku tidak akan pernah memaafkannya, aku bersumpah. Aku akan mempertaruhkan segalanya untuk menyeretmu keluar dari rumahnya. Bahkan jika itu membuatmu membenciku, aku tidak akan mengalah."
Bianca melirik sejenak dan tersenyum penuh ejek, menggangap kata-kata Leo tidak lebih dari candaan. Bianca terlalu percaya diri kalau hal itu tidak akan pernah terjadi lagi, padahal sekarang pun kesedihannya terus berulang. Selayaknya sebuah film, endingnya tidak pernah berubah tidak peduli seberapa sering seseorang menontonnya.
Bianca kembali menatap keluar, tapi Leo tidak tertarik pada hujan ataupun langit. Semua yang ingin dia lihat selalu adalah wajah Bianca. Perempuan manis nan menyenangkan untuk dipandang, si murah senyum, sedikit kekanakan, keras kepala dan selalu penuh semangat. Betapa gatal bibir Leo ingin mengungkapkan cinta, tapi keberanian itu tidak ada. Makanya, dia hanya bisa terdiam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments