Amarah Pak Sugeng

Sangat berat rasanya untuk membuka mata bagi Ayu. Kepalanya sangat sakit, perutnya kelaparan, dan matanya yang belum sepenuhnya terbuka bisa dirasakan kini membengkak. Keadaan tubuhnya yang lemah  belum sepenuhnya pulih, terasa semakin memburuk sekarang. Ini memang salahnya sendiri karena tidak makan seharian ditambah menangis sepanjang malam sampai dan tertidur.

Malam terkutuk itu, selalu muncul menghantui hidupnya. Dimana, Devan merenggut paksa kehormatannya dengan sangat keji.

Ketika matanya kembali terpejam dan hendak jatuh ke dalam tidur, Ayu baru merasakan sesuatu yang salah. Saat itulah ia membuka kedua matanya lebar-lebar dan mendapati sebuah tangan kekar yang menjadi bantalnya. Perutnya juga merasakan sebuah pelukan hangat. Ayu dengan cepat berbalik dan langsung berhadapan dengan dada bidang milik seorang pria. Merasakan aroma tubuhnya, tidak perlu mendongak untuk memastikan, ia sudah mengetahui siapa wajah ini.

Herman, pria yang menolongnya malam itu. Namun, sekarang dibandingkan marah atau kesal padanya, Ayu memiliki perasaan lain. Di samping kenyamanan, ia tidak bisa menyangkal bahwa kebingungan masih menghantui. Setengah hatinya ia akui memang menyukai Devan, tetapi hatinya yang lain masih tidak dapat menerima Herman sebagai calon suaminya kelak. Selain itu, entah akan sampai berapa lama ia menyembunyikan aib nya. Karena keperawanannya sudah di ambil Devan.

Ada pertimbangan lain yang harus Ayu pikirkan. Hidupnya bukan hanya soal Devan tetapi ia masih tidak terima kalau harus menikahi duda anak satu seperti Herman.

Kedua orang tuanya mungkin menunggu dengan putus asa kepulangannya setelah ia kabur dari rumah. Harus Ayu akui, Herman memang pria dewasa dan penuh perhatian.

Tangan Ayu tanpa sadar telah menyentuh dada pria itu. Ia secara tanpa sadar melakukannya ketika memikirkan pria ini. Diam-diam membuang napas berat sambil mendongak untuk menatap wajahnya.

Ayu tersentak dan membeku kala netra coklat miliknya bersitatap dengan netra abu abu itu lagi. Entah sejak kapan Herman memperhatikannya. Ayu menarik tangannya dari dada Herman dan mencoba bangun, tetapi pria ini lebih dulu mengeratkan pelukan mereka. Sehingga wajah mereka berdua semakin mendekat, hanya menyisakan sedikit jarak di antara hidung mereka yang hampir bersentuhan.

Tidak bisa menolak tenaga yang jauh lebih besar darinya, Ayu mengalah. Ia membuang wajahnya ke samping, tidak lagi bersitatap dengan mata yang menyesatkan itu lagi.

“Dek .…”

“Lepaskan aku,” ucap Ayu.

“Tidak,” jawabnya tegas.

“Aku tidak bisa bernapas!” seru Ayu mulai kesal.

Barulah Herman melepaskan pelukannya pada Ayu. Memunggunginya sebelum mengumpulkan tenaga untuk berdiri dan melangkah turun dari kasur. Mengesampingkan rasa lapar, pusing, dan wajah serta matanya yang perih membengkak dirasa. Enggan berdebat apapun dengan Herman pagi ini.

Seperkian detik, Ayu baru sadar. Bahwa ia bukan berada di kamarnya, melainkan di tempat asing.

"Dimana aku Pak?" Tanya Ayu kaget.

"Ini rumahku Dek," jawab Herman dengan lembut.

"Hah?!" Kedua mata Ayu melotot sambil menyusuri setiap ruangan di dalam kamar yang begitu luas dan megah.

"Kamu tadi malam tidak sadarkan diri di jalan, Bapak mencarimu kemana- mana. Dan akhirnya Bapak berhasil menemukan kamu Dek, apa yang terjadi denganmu Dek? Semalam keadaanmu sangat berantakan," tanya Herman sambil menatap penuh curiga pada Ayu.

"Pak, kamar mandinya dimana?" Ayu merasa seluruh tubuhnya kotor.

"Di sana Dek!" Herman lalu menunjuk kamar mandi yang tenyata ada di kamar itu.

Secepat kilat, Ayu berlari kecil menuju kamar mandi yang di tunjukkan Herman.

Satu jam berlalu setelah Ayu masuk ke dalam kamar mandi, membersihkan diri dan merapihkan pakaiannya.

Ketika Ayu keluar, Joko masih ada di dalam kamarnya. Kini duduk di sofa yang mana mejanya sudah dipenuhi menu sarapan.

“Kamu pasti lapar Dek, jangan menyiksa tubuhmu sendiri.” Di samping hubungan mereka yang canggung Herman tetap memperhatikannya.

“Aku tidak lapar,” jawab Ayu tidak ingin bersama Herman lebih lama.

"Makanlah sedikit Dek," tawar Herman lagi.

"Antar aku pulang Pak. Ibuku pasti cemas!" Ayu terlihat panik, berada di kamar besar dan megah berdua dengan pria pilihan kedua orang tuanya.

"Tenang Dek. Kedua orang tuamu sudah ku beritahu kalau kamu ada di sini."

"Tapi aku ingin pulang!" Ayu memaksa.

“Dek, ini bukan permintaan, tetapi–”

Sebelum perkataan Herman sempat selesai, bunyi perut Ayu sudah mendahului. Ia mengatakan tidak lapar, tetapi perutnya tidak bisa berbohong tentang kondisinya. Ayu yang sudah ketahuan dan tidak bisa mengelak, tidak bisa lebih malu lagi. Jadi, ia akhirnya memutuskan untuk duduk bergabung bersama Herman.

“Seperti hatimu, perutmu juga tidak bisa berbohong rupanya," batin Herman.

Malu- malu, Ayu lalu mengambil segelas susu putih yang ada di atas meja itu.

*****

Plak!

Prang!

Raga Devan terhuyung ke belakang karena tak siap dengan tamparan di pipi, sehingga bokongnya sukses mendarat di lantai dapur yang keras. Mangkuk kaca berisi sup daging pun melayang dan jatuh terburai. Isinya berserak bersamaan dengan kepingan pecahan kaca. Bahkan, pecahan dari mangkuk ada yang menyabet kakinya, Perih.

Devan kaget bukan kepalang mendapat perlakuan secara tiba-tiba dan kasar seperti itu.

"Mamah!'

"Kurang ajar kamu Dev! Berkali- kali Mamah bilang, jangan merusak gadis orang! Sekarang Ayu yang jadi korban! Mau taruh dimana muka Mamah! Kalau sampai Bu Salma mengetahui perbuatan bejad kamu terhadap putrinya, Dev!" Pekik Bu Hera setelah mendengar pengakuan putranya Devan, kalau dirinya sudah mengambil mahkota Ayu.

"Dev hilap Mah," ucap Devan sambil meraba pipinya yang memanas.

"Mamah malu Dev! Malu! Semua tetangga disini sudah tahu kelakuanmu!" Bu Hera lagi- lagi bertriak keras.

"Dev siap menikahi Ayu sekarang juga Mah, kalau keluarga Ayu sampai tahu," ucap Devan pasrah.

Bu Hera mengerat dada sambil menangis terisak.

"Ya Allah Dev! Kemarin saja Bu Salma menghina Mamah sampai segitunya, Ayu itu sudah di jodohkan dengan pria kaya! Kamu itu tidak ada apa- apa dibandingkan dengan pria kaya itu, Dev!"

"Devan tidak peduli Mah! Pria itu mau kaya atau tidak! Pokoknya hari ini Dev akan menemui keluarga Ayu untuk melamar putrinya!" Tantang Devan, pendiriannya sudah bulat. Ayu harus segera ia nikahi.

Setelah menodai Ayu di malam itu, perasaan bersalah terus menyerangnya. Ia mulai sadar, kalau Ayu lah. Gadis yang telah membuat dirinya jatuh cinta setengah mati.

"Ya Allah Dev...Mamah tidak tahu lagi harus berbuat apa! Sekarang terserah kamu saja! Mau ngelamar gadis itu atau tidak! Mamah udah tidak tahan lagi dengan tingkah laku kamu!"

Brakk!

Bu Hera lantas keluar dari kamar Devan dengan penuh amarah.

Devan masih berdiri terpaku, rasa menyesal karena telah menodai Ayu secara paksa, membuat pikirannya kalut.

Dengan segera, ia membuka lemari pakaiannya.

Devan lalu berdandan rapih berniat mengunjungi kedua orang tua Ayu. Apapun resikonya nanti. Devan siap dengan segala konsekuensi nya, yang pasti. Devan serius ingin memperistri Ayu.

Selesai rapih berpakaian, Devan buru- buru pergi ke luar rumah.

Saat dia hendak menyalakan motornya. Tiba- tiba Rani adiknya muncul di hadapannya.

"A. Mau kemana?" Tanya Rani sudah berdiri di depan Devan, menghalanginya.

"Bukan urusan kamu! Minggir!" Jawab Devan dingin.

"Aa pasti mau ke rumah gadis itu kan?"

Devan mengernyit menatap malas wajah adiknya.

"Kalau iya kenapa? Minggir!"

"A. Barusan Rani lihat, gadis itu baru datang dengan seorang pria. Yang Rani tahu, pria itu katanya calon suaminya, sebaiknya Aa jangan kesana," adu Rani sambil menatap sesal wajah kakaknya.

"A- Ayu bersama pria itu?" Tanya Devan kaget.

"Iya A. Rani lihat sendiri, makanya Rani pulang dulu untuk memberitahu Aa. Kabar yang Rani dengar dari teman Rani, pria itu katanya seorang duda beranak satu."

Mulut Devan menganga mendengar pengakuan adiknya.

"K- kamu tahu darimana Ran? Kalau pria itu duda," tanya Devan tak percaya. Ternyata Ayu di jodohkan dengan duda oleh kedua orang tuanya.

Sekilas, Devan mengingat kejadian malam tadi. Di mana Ayu terlihat frustasi dan sedih, rupanya calon suaminya seorang duda.

"Rani tahu dari Novita A. Dia masih bersaudara dengan keluarga Bu Salma, pria yang di jodohkan dengan Ayu adalah seorang pengusaha sukses A. Jadi sebaiknya Aa mundur saja, pria itu bukan saingan Aa, nanti Aa di kecewakan sama keluarga Ayu" terang Rani panjang lebar.

Untuk sesaat Devan membisu seribu kata. Bingung harus berbuat apa. Dirinya ingin mendapatkan Ayu apapun resikonya, tapi dinding pemisah begitu kuat menghalangi cintanya.

Devan sadar, apalah dirinya di mata Ayu, ia hanya punya cinta.

*****

Pria berperawakan tinggi dan tegap itu sedang bertolak pinggang menatap nyalang ke arah Ayu.

Plak

"A-Ayah?! Ada apa? Kenapa pulang-pulang malah nampar Ayu?" tanya Ayu dengan suara yang bergetar menahan rasa sakit di pipi sekaligus di hati.

Bekas tamparan ayahnya ditekan kuat. Rasanya panas dan sedikit perih.

Baru saja Ayu masuk ke kamar, Ayahnya tiba- tiba menamparnya cukup keras.

"Kau keterlaluan Ayu. Sungguh keterlaluan! Apa kurangnya Pak Herman di matamu sampai tega ngelakuin ini semua! Bahkan, kau sanggup mencoreng nama baik keluargaku! Kenapa, hah?!" bentaknya menuding Ayu dengan telunjuk tepat ke arah wajahnya.

Deg

Ada yang berdenyut di sudut hati Ayu saat Ayahnya dengan gamblangnya menyebut kata 'mencoreng keluargaku' padahal kejadian semalam saat Devan menodainya tidak ada seorangpun yang mengetahuinya termasuk Herman.

Netra lelaki yang biasa dipanggil Ayah itu memerah dan berair. Napasnya naik turun tak beraturan dengan cepat. Rahang yang tampak mengeras itu mengatup rapat. Ayu sangat takut.

Pulang di antar Herman, mengapa ia di sambut dengan penuh api kemarahan ayahnya, padahal ayahnya adalah sosok yang sangat lembut dan penyabar.

Sekesal apa pun ayahnya, dia tak pernah memasang raut muka semenakutkan itu. Jangankan memukul seperti ini meninggikan suara saja tak pernah ayahnya lakukan.

Tapi kini, tangan yang suka mengelus pipinya dan membelai rambut hitam legam panjang miliknya itu, tangan yang suka menautkan jari jemari jika Ayu sedang sedih, pagi ini mampu melakukan kekerasan terhadap fisiknya.

"T-tapi ada apa Ayah? Ayu beneran nggak ngerti kenapa Ayah bisa marah sampai segitunya. Beri penjelasan, Ayah," tanya Ayu dengan suara lemah dan bergetar sembari berusaha menahan tetesan bening dari pelupuk matanya. Ayu benar-benar syok diperlakukan seperti ini.

"Jangan banyak drama! Pura-pura nggak tau dan sok polos! Ayah yakin, kau sebenarnya sudah tau kenapa Ayah begitu marah dan sanggup menamparmu!" cebiknya menatap Ayu tajam.

"Ayah ... Ayu beneran nggak tau apa-apa. Kalaupun Ayu melakukan kesalahan, beritahunya, kan, bisa baik-baik."

Ayu menekan nada bicara selembut mungkin. Berusaha menahan gejolak di dada walau hatinya sudah terlanjur sakit. Bagaimanapun dia Ayah yang harus Ayu hormati. Ayahnya sebenarnya orang yang sangat lembut.

Tapi pagi itu, ayahnya menegur Ayu dengan kekerasan.

"Tadinya Ayah nggak percaya Yu. Ayah tepis semua kabar dan berita tantang tingkah lakumu di luaran sana. Tapi apa yang Ayah dengar! Pengkhianatan! Kamu berkhianat, Yu! Kau gadis ular! Kau gadis busuk!"

"Ayah!" teriak Ayu kecewa. Lelaki yang paling disanjung itu begitu tega mengucapkan kata-kata yang tak pantas padanya. Demi Tuhan, Ayu merasa tak pernah berkhianat.

Apa alasan Ayahnya bisa berkata dan berpikiran sepicik itu terhadapnya?

Buliran bening tak mampu lagi dibendung. Akhirnya jebol juga. Bagai curahan air dari langit buliran itu terus saja membanjiri pipi Ayu. Dalam mata mengabur, Ayu lihat ayahnya membuka tas kerjanya dengan tangan bergetar dan terburu-buru.

"Apa ini? Sudah berapa lama kalian saling berhubungan?!" teriaknya sambil memperlihatkan ponselnya ke Ayu.

Ayu yang masih bergeming di lantai dengan pikiran yang berkelana tiba-tiba tersentak kala dirinya menatap ke layar ponsel ayahnya. Pedas di pipi dan sakit di bokong tak lagi diperdulikan. Video dalam ponsel kini menjadi fokusnya.

Matanya membulat seketika begitu melihat adegan saat dirinya di ciumi oleh Devan di rumah kosong.

"Astaghfirullah. A-apa ini?"

Terlihat di sana Devan sedang menciumnya saat Ayu pulang sekolah waktu itu. Tangan Devan melingkar di pinggangnya. Wajah mereka saling berhadapan hingga tak ada jarak yang memangkas di antaranya. Intim. Itulah yang bisa dideskripsikan jika se-siapapun melihat video itu.

"A-apa maksudnya ini?" Ayu menjerit kecil membuang ponsel ayahnya seraya beringsut ke belakang. Tubuhnya gemetar begitu juga dengan kedua tangan, turut gemetar seraya menjambak rambut. Takut—Ayu benar-benar takut dengan apa yang barusan dilihatnya.

Siapa manusia usil yang berani mengambil adegan dirinya saat di cium Devan?

Tersadar, Ayu lalu meraih ponsel itu lagi Sama saja. Semua itu video yang menampilkan wajahnya dan Devan.

"Kau mau mengelak?! Seharusnya Ayah yang bertanya padamu, Yu. Apa ini!? Kau berani berhubungan dengan lelaki brengsek seperti Devan, hah?! Kau berani berbuat mesum lalu mengabadikannya seperti ini?! Menjijikkan Yu! Sangat menjijikkan! Ayah sangka kamu gadis penurut dan patuh sama orang tua, tapi ternyata kau tak ubahnya seperti gadis penjaja kenikmatan di luaran sana!"

Deg

Ayu terbelalak.

"Bagaimana kalau Pak Herman tahu, Hah?! Untung dia tidak mengetahui kelakuanmu yang kurang ajar ini!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!