Ayu Ingin Berpisah

Rani begitu terkejut melihat seorang gadis cantik berpakaian sedikit seksi berdiri di halaman depan rumahnya.

Gadis cantik itu lantas tersenyum sambil berjalan melenggang menghampiri Rani.

"Maaf, apa benar ini rumahnya Bapak Devan?" Tanyanya sambil tersenyum ramah pada Rani yang masih berdiri mematung menikmati wajah si gadis yang menawan.

"Oh, benar Nona. Nona siapa ya?" Tanya Rani penasaran.

Sebenarnya Rani sudah bisa menebak, pasti gadis ini ingin bertemu dengan kakaknya Devan, karena selalu saja ada cewek cantik yang datang ke rumahnya untuk mencari kakaknya. Tapi gadis yang datang hari ini sedikit berbeda, selain cantik. Gadis ini terlihat seperti orang kaya, terlihat dari baju, tas dan sepatu yang di pakainya semua bermerk. Bahkan kulitnya gadis itu sangat mulus, wajahnya bersih dan terawat.

"Bapak Devan nya ada?" Tanyanya lagi.

"Ada ada! Tunggu ya?" Secepatnya Rani berlari masuk ke dalam rumah.

Rani langsung menuju kamar Devan.

"A!" Panggil Rani saat melihat Devan baru saja bangun.

"Ada apa?" Tanya Devan sambil menguar rambutnya.

"A, di depan ada seorang gadis nanyain Aa! Cepat Aa temui dia, Rani udah telat mau ke sekolah!"

Dahi Devan bertaut mendengar pangkuan adiknya.

"Gadis? Gadis siapa?'

"Mana Rani tahu. Sana cepet samperin dia A, wajahnya sangat cantik A, pasti gebetan baru Aa ya?" Goda Rani sambil cengengesan.

"Apaan sih! Aa gak punya gebetan! Aa lagi males maen cewek!" Dengus Devan.

Devan menghela nafas dalam, lalu bangkit dan turun dari atas kasur.

"A, Rani pamit dulu ya?" Rani buru- buru ke luar dari kamar Devan.

"Iya sana ah! Ganggu aja!"

Devan lalu mengambil kaus oblong dari dalam lemari.

"Siapa sih? Pagi- pagi ada cewek datang ke sini!" Dengan wajah kesal, Devan berjalan malas menemui gadis itu.

Tepat di ambang pintu, mata Devan membelalak saat mengetahui seorang gadis yang datang ke rumahnya.

"Hah? Nabila?"

Devan menelan ludah.

Gadis yang berkunjung ke rumahnya, ternyata Nabila. Putri atasannya.

"Ada apa gadis sialan ini kemari!" Dengus Devan dalam hati.

"Pak!" Panggil Nabila sambil mendekati Devan.

"Nona Nabila? Ada apa pagi- pagi datang kemari? Nona tahu darimana rumah saya?" Tanya Devan masih tak percaya dengan kedatangan Nabila yang secara tiba- tiba.

"Dari Papi," cicitnya sambil tersenyum nakal pada Devan.

"Tapi ini masih pagi Non, sebentar lagi saya pergi kerja!" Tanya Devan kesal.

"Boleh saya masuk?" Tanpa ijin dari empunya rumah, Nabila tiba- tiba menerobos masuk ke dalam. Melewati Devan yang masih berdiri menegang.

"Eh Non!" Sontak Devan kaget dengan tindakan tak sopan Nabila.

Nabila langsung duduk di sofa sambil melihat ke sekeliling rumah Devan yang tampak bersih.

"Bagus juga rumah Bapak," ucap Nabila.

Devan menarik nafas panjang, selain genit. Gadis itu tidak punya sopan santun sama sekali, tanpa di suruh masuk maen nyelonong saja masuk ke dalam, membuat Devan kesal.

"Cepat katakan? Ada perlu apa Nona datang kemari? Atau saya akan telpon ayah Nona!" Devan berjalan tergesa hendak masuk ke kamarnya, tapi perkataan Nabila membuat laju kakinya terhenti.

"Gak usah! Papi sendiri yang nyuruh aku ke sini!" Tegas Nabila.

"A-apa?" Devan kaget.

Kedua tangan Devan mengepal dengan rahang mengeras, gadis nakal ini, selalu saja mencari celah agar bisa mendekatinya. Sedang Devan sendiri kurang begitu menyukainya.

"Ada siapa Dev!" Suara Bu Hera terdengar dari arah dapur.

*****

Ayu memikirkan masalah yang tengah di hadapinya.

Dia memejamkan mata dan menghela napas, mencoba menahan gemuruh di dada. Ia benar-benar bingung bagaimana cara menjelaskan kepada kedua orang tuanya perihal kehamilannya ini.

“Pikirkan baik- baik Dek, bayi itu tidak berdosa! Adek jangan gegabah!" Bentak Herman saat dirinya mengetahui kalau Ayu ingin menggugurkan kandungannya.

Herman berusaha membujuk Ayu agar gadis manis yang telah sah menjadi istrinya itu tidak bertindak bodoh.

Setelah bicara dengan Herman, Ayu memutuskan untuk berpisah dengan suaminya.

Pagi itu, Ayu dan Herman sudah berada di rumah Pak Sugeng untuk membicarakan perihal perceraian

Ayu terlihat putus asa, dia tidak tahu harus berbuat apa.

"Saya dan Ayu ... sudah sepakat untuk berpisah."

Kalimat Herman sontak membuat kedua orang tua Ayu terkejut, terutama Ibu Salma.

"Apa... " pekik Bu Salma dan Pak Sugeng kompak.

Sontak saja pernyataan Herman, membuat Bu Salma menyapu dada. Hingga tekanan darah tinggi Bu Salma kambuh.

"Bu!"

Dengan sigap Herman membopong ibu mertuanya masuk ke kamar.

Cepat Herman memberi pertolongan pertama. Ayu cepat mengambil minum air hangat, Pak Sugeng segera membuka jilbab dan melonggarkan pakaian istrinya. Dan Herman sibuk mengipas untuk memberikan udara segar. Herman kemudian memijat kaki wanita yang masih menjadi ibu mertuanya.

"Ibu ... minum dulu, Bu," Ayu sudah datang dengan segelas air putih hangat di tangan. Perlahan Pak Sugeng dan Ayu mencoba membangunkan Bu Salma agar bisa duduk dengan punggung bersandar pada bantal di kepala ranjang.

Bu Salma akhirnya menurut dan meneguk air putih hangat hingga tinggal setengah. Napasnya sudah berangsur teratur, tapi tubuhnya masih lunglai. Hatinya terasa mencelos, napasnya mendadak sesak saat mendengar kalimat yang dilontarkan menantunya.

"Kamu kenapa, Nak? kenapa kalian ingin berpisah?" Ibu Salma akhirnya buka suara, meski dengan susah payah dan suara bergetar.

Herman hanya diam, menunduk. Ia ingin Ayu lah yang menjelaskan duduk perkara rumah tangganya. Karena dari awal, memang Ayu yang bersikeras meminta untuk berpisah.

"Kami sudah sepakat, Bu. Kami sudah nggak bisa melanjutkan pernikahan ini."

Pak Sugeng menoleh ke arah putrinya, termasuk Herman.

Herman hanya mengangguk lemah dan senyum yang dipaksakan. Sekuat tenaga pria dewasa itu menahan cairan luka yang bisa meluncur kapan saja dari matanya.

"Ayu ... " Ayu tak sanggup menuntaskan ucapannya, dirinya tidak punya kekuatan untuk mengungkapkan kebenarannya kepada kedua orang tuanya, kalau dirinya sedang mengandung anak dari Devan. Lelaki yang sangat di benci oleh kedua orang tuanya.

Akhirnya pertahanan Ayu jebol, air mata kini tumpah membanjiri pipinya. Bukan menangisi perpisahannya. Tapi, penyakit darah tinggi ibunya membuat Ayu merasa begitu berat untuk mengungkap segalanya.

Ayu pun menangis di pelukan ibunya

"Sudah kamu pikirkan baik-baik semua ini, Yu?" suara bariton Pak Sugeng menginterupsi isak tangis di dalam kamar.

"Sudah, Ayah," jawab Ayu mantap, yang membuat Bu Salma semakin melemah.

"Memangnya nggak bisa pakai cara lain selain bercerai?" Pak Sugeng masih penasaran.

Ayu hanya menggeleng.

"Ayu ..." panggil Bu Salma.

"Iya, Bu ..." Ayu mendekat.

"Maafin Ibu sama Ayah yah ..." kini Bu Salma menarik Ayu dalam pelukan.

Lagi-lagi hati Ayu melemah jika melihat ibunya menangis tersedu. Ia pun kembali menumpahkan segala rasa yang menyesakkan dada di pelukan wanita yang sudah ia sayangi.

"Maafin Ibu sama ayah nggak bisa didik Ayu dengan baik ..." Kini tatapan Bu Salma beralih pada Herman yang masih membisu.

Herman bingung harus mengatakan apa kepada ayah dan ibu mertuanya, Ayu sudah membuatnya berjanji agar tidak mengungkap kehamilan istrinya. Meski jauh di dalam hati kecilnya Herman ingin berkata jujur pada ibu mertuanya, kalau Ayu istrinya sedang mengandung anak orang lain.

Pak Sugeng hanya diam terpaku. Dia menghela napas dan menggeleng berkali-kali.

"Ibu nggak boleh ngomong gitu ... " Ayu mengusap air mata di pipi ibunya.

"Tapi mengapa kamu ingin bercerai Nak? Apa Pak Herman sudah berbuat salah?"

Ayu menggeleng.

"Bapak Herman orang baik Bu, kami tidak ada masalah apa- apa, hanya Ayu belum bisa menjadi istri yang baik untuk Pak Herman...." Ayu tersenyum, senyum yang membuat Bu Salma semakin merasa bersalah dan terenyuh.

Bu Salma merasa bersalah pada Ayu, terutama Herman karena dia dan suaminya sudah memaksa Ayu untuk menikah dengan duda ini.

"Mungkin Ayu belum siap untuk menjadi istri Bu." Herman menimpali, berusaha tegar

"Ayu masih sangat muda Pak, dan ibu maklumi itu, tapi tolong maafkan putriku jika dia ada salah. Untuk ke depannya saya akan didik Ayu agar menjadi istri yang berbakti kepada suaminya, tolong maafkan putriku Pak..." Bu Salma memohon pada menantunya Herman dengan isak yang tertahan.

"Sudahlah Bu. Ayu bukan wanita yang pantas untuk Pak Herman!" Ayu kembali membujuk ibunya.

"Tidak! Pokoknya kamu tidak boleh jadi janda! Apa kata tetangga nanti Yu, baru nikah udah cerai! Ibu malu!" Bentak Bu Salma, setelah mengatakan itu, Bu Salma kembali terkulai lemas dengan nafas tersengal.

Melihat reaksi ibunya dengan napas tersengal, membuat Ayu ketakutan yang amat sangat.

Ayu tidak mau ibunya justru semakin terpuruk karenanya.

"Dek." Herman mendekati Ayu.

Ayu menatap suaminya dengan ekor matanya.

"Pak, maafin Ayu," ucap Ayu sambil menunduk.

"Ayo kita pulang, biarkan ibumu istirahat."

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!