Momen itu, duduk berdua sama bapak di ruang tamu, bener-bener bikin hati aku dag dig dug. Kursi panjang itu rasanya jadi terasa lebih keras dari biasanya. Aku bisa denger suara TV yang lagi menyiarkan sinetron favorit mamak dan Aries di ruang lain, suasana rumah terasa beda banget.
Bapak menatap aku dengan tatapan yang sulit aku tebak. "Dari mana kamu?" tanya bapak dengan nada yang agak keras tapi tetap dalam volume yang rendah.
Aku agak kaget, tapi berusaha tetap tenang. "Main," jawab aku singkat, sambil pandangan aku mencoba menghindar ke cicak yang lagi merayap di papan rumah, mencoba mencari sesuatu yang bisa mengalihkan ketegangan ini.
"Kamu main enggak bilang dulu, bikin khawatir aja," lanjut bapak.
Suaranya pelan, tapi ada getaran kekhawatiran yang jelas terasa. Mendengar itu, jantungku jadi agak melemah. Aku nggak nyangka bapak bakal khawatir juga sama aku.
Bapak menambahkan, "Lain kali kalau mau main atau pulang telat bilang dulu, biar enggak khawatir." Suaranya masih serius, tapi aku bisa tangkap ada kepedulian di balik itu semua.
"Iya pak," jawabku singkat.
Banyak banget kata-kata yang udah tersusun rapi di otak, ingin aku sampaikan semua perasaan aku, tapi yang bisa keluar cuma kata-kata singkat itu.
"Kamu main ke mana sama siapa?" tanya Bapak tanpa basa-basi.
Dengan nada yang biasa-biasa saja. Aku jawab aja seadanya, "sama temen kelas ke rumah Caca."
Tapi jujur, aku tahu Bapak nggak pernah ngeh siapa itu Caca atau teman-temanku yang lain. Bapak tuh kayaknya punya gambaran aku ini anak anti-sosial yang cuma nyaman sama kucing di rumah.
Kemudian, dengan nada yang lebih serius, bapak bertanya lagi, "kamu enggak mau jelasin ke bapak?" Mendengar itu, aku langsung tahu ini bakal jadi lanjutan dari pertengkaran kemarin. Dan benar saja, aku harus ngadepin ini juga. Hari ini, pulang telat lagi, pasti bikin bapak tambah kesal.
Merasa nggak enak dan juga karena memang aku sadar ada salahku, aku memutuskan untuk minta maaf duluan. "Alisa minta maaf. Enggak seharusnya Alisa jadi anak ngelawan orang tua," kataku sambil menunduk, berharap ini bisa jadi awal yang baik buat memperbaiki hubungan kami.
Yang nggak aku duga, Bapak malah balik ngomong, "Bapak juga minta maaf."
Biasanya Bapak tuh tipe yang keras, jarang banget ngakuin kesalahan atau minta maaf duluan. Bapak bilang itu, langsung bikin suasana agak canggung sejenak, tapi di saat yang sama, lega banget rasanya.
Kita berdua jadi saling diam sejenak, nggak tahu harus ngomong apa lagi. Tapi dalam diam itu, aku rasakan ada semacam udara segar yang mulai mengisi ruangan—udara yang udah lama nggak aku rasakan.
\~\~\~
Pagi itu bener-bener bikin bingung banget deh. Bapak yang biasanya agak ketus, tiba-tiba lembut kayak gak pernah marah. Terus, mamak yang biasanya cuek, eh, tiba-tiba care banget sama aku, bikin aku merinding. Nggak mau sok nggak bersyukur atau apa, tapi kan, ya itu loh, aneh aja rasanya.
\~\~\~
Di sekolah, suasana hatiku masih agak off, kayak ada yang nggak nyambung gitu. Walaupun udah coba baikan sama Bapak dan Mamak, tetep aja rasanya kayak ada tembok yang ngelindungi perasaan aku dari mereka. Aku merenungi ini semua sambil duduk di bangku sekolah.
Miranda, yang perhatian banget sama temen-temennya, langsung nangkep ada yang nggak beres.
"Lu napa?" dia nanya sambil melototin aku yang lagi termenung.
Kebetulan jam pertama kosong, jadi kami—aku, Miranda, Hanum, Davina, Fifin, dan Caca—ngumpul melingkar di bangku.
Hanum, yang selalu lugas dengan pertanyaannya, langsung tebak situasi. "Lu kena omel sama ayah lu?" tanyanya langsung.
Aku cuma mengangguk lemas. "Ya seperti itu lah," jawabku. Terasa berat banget mengakuinya, even di depan teman-teman.
Davina yang terkenal dengan kebebasannya langsung nimbrung, "Sorry, biasanya kami main sampai malem malah," katanya santai.
Aku kaget, "Enggak di marah?" tanyaku nggak percaya.
"Enggak lah," tawa Fifin.
Caca, yang biasanya paling paham situasi, langsung menjelaskan, "Lagian orang tua kami tahu kami mainnya ya di situ-situ aja, sama orang itu-itu aja. Ya walaupun kami kelayapan sama cowok tapi kan bisa jaga diri dan mereka juga kenal kok sama cowok-cowok itu," jelasnya dengan santainya.
Mendengar cerita teman-temanku yang bisa main sepuasnya, jujur, itu bikin aku iri. Mereka bisa jalan sama siapa saja, kapan saja, tanpa harus merasa was-was atau takut kena marah di rumah.
Beda banget sama aku yang rasanya selalu ada di bawah pengawasan Bapak yang otoriter dan suka ngatur segala hal. Dan sejak aku berteman dengan mereka, itu makin membuat aku merasa bahwa aku juga ingin bisa merasakan kebebasan yang mereka punya.
Ketika pelajaran kosong berakhir, Caca tiba-tiba aja punya ide buat ngajak main lagi. "Nanti mau main lagi nggak? Kita bantu Fifin jual martabak di lapangan simpang empat," ajaknya dengan semangat.
Mendengar itu, hati kecilku langsung tergoda, kedengarannya seru banget!
Tapi Miranda, yang selalu jadi voice of reason di grup kami, langsung kasih saran realistis.
"Ngawur, kemaen dia baru kena omel. Lu malah aja lagi. Kapan-kapan aja," katanya sambil melirik ke arahku, menunjukkan kekhawatirannya. Miranda tahu betul situasi rumah aku, dan dia nggak mau aku tambah kena masalah.
Aku sendiri jadi bimbang. Di satu sisi, aku pengen banget ikut mereka, merasakan bebas dan kesenangan seperti yang lain. Di sisi lain, aku takut pulang malam dan berurusan lagi sama Bapak yang bisa jadi lebih ketat lagi.
"Yaudah, kapan-kapan aja deh," sahut Davina, penuh pengertian.
Aku cuma bisa mengangguk, menerima kenyataan dengan berat hati. Di sisi lain, aku sadar, aku juga baru baikan sama Bapak dan nggak mungkin aku buat marah lagi. Itu bisa membuat situasi rumah kembali tegang, sesuatu yang nggak aku inginkan.
Tiba-tiba Hanum, yang selalu punya cara untuk mengalihkan topik pembicaraan ke hal yang lebih ringan, nanya, "Oh iya gimana yang kemaren mau kamu coba jadi enggak?" Ia tampaknya ingin mengalihkan fokus kami semua dari kekecewaan itu.
"Yang tarik ulur itu loh?" timpal Fifin sambil ketawa. Dia tahu persis topik yang Hanum bawa itu adalah strategi mendekati cowok yang sebelumnya sempat kami diskusikan.
Miranda yang dari tadi cuma senyum-senyum akhirnya ikutan nimbrung, "Iya, coba aja. Seru kali."
"Bener tuh, coba aja sama Gilang. Kan dia jago matematika, pas banget sekarang lagi ada tugas juga. Pura-pura enggak ngerti, trus minta diajarin," Caca emberikan skenario yang bisa dipraktekkan.
Kekhawatiranku tentang Gilang yang terkenal galak di sekolah, membuatku agak ragu untuk menjalankan rencana tersebut. Aku tahu Gilang itu pintar, tapi aura serius dan sikapnya yang terkesan ketus kadang membuat orang lain agak takut untuk mendekat.
"Tapi dia galak," ucapku, mengungkapkan kekhawatiran ku.
Davina, yang tampaknya lebih peka terhadap hal-hal seperti ini, hanya tersenyum santai dan memberikan tanggapan yang cukup menenangkan.
"Aman aja kok, kita perhatikan tatapannya beda ke lu," katanya, seolah-olah dia sudah melakukan observasi cukup lama tentang bagaimana Gilang memandangku dibandingkan dengan yang lain. Davina selalu jeli melihat detil yang terlewat oleh kebanyakan orang.
Mendengar itu, semangatku mulai naik lagi. Mungkin memang benar adanya sinyal yang belum aku sadari dari Gilang, atau bisa jadi hanya Davina yang mencoba membuatku merasa lebih percaya diri.
"Tapi emang bener? Dia nggak se-serem itu kan kalau sama aku?" tanyaku lagi, mencari konfirmasi lebih lanjut agar benar-benar yakin sebelum mengambil langkah.
"Enggak kok, lu lihat aja nanti. Gilang itu kayaknya serem sama semua orang, tapi ke lu dia lebih... gimana ya, lebih lembut sedikit. Coba deh, nggak ada salahnya," kata Caca, menambahkan pendapatnya.
Mendapat dukungan dari mereka, aku mulai berpikir mungkin ini adalah kesempatan bagus untuk melatih keberanianku juga. "Oke, aku coba deh. Mau gimana lagi, paling nggak aku bisa lebih kenal dia," aku berkata, setengah bersemangat dan setengah bertekad.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments