Part 8

Pagi itu suasana rumah jadi canggung banget. Aku pengen banget minta maaf, tapi kayaknya Bapak belum siap ngomong sama aku. Jadinya, kita cuma diem-dieman, nggak ada yang buka suara. Rasanya hati ini mau nangis, aku jadi merasa makin jauh sama orang tua.

Dalam hati aku tanya-tanya, ini salah aku semua nggak sih? Kayaknya iya deh. Aku tuh kayaknya selalu dianggap salah di mata mereka. Kepikiran terus, aku harus gimana ya biar bisa baikan lagi sama Bapak?

Tapi, Bapak masih marah, dan aku juga bingung harus mulai dari mana. Mesti ada cara buat ngobrol dan ngelurusin semuanya, tapi kok ya sulit banget ngambil langkah pertamanya.

\~\~\~

Di sekolah, suasana hatiku udah flat dari pagi. Apalagi jam pertama adalah pelajaran olahraga, yang bikin aku makin males. Aku cuman bisa jalan pelan di lapangan, sementara yang lainnya lari kencang.

Pusing mikirin masalah di rumah, harus tambah pusing lagi ngeliat pak Bimo yang semangat banget nyuruh kita lari. Lari dari masalah aja belum kelar, ini harus lari beneran, bikin aku makin males.

Lia yang kebetulan lari di sebelah ku, tiba-tiba nanya, "Ngapa lu kayak banyak beban hidup?"

Aku cuma bisa jawab singkat, "Memang."

Iya sih, mungkin dari muka ku keliatan banget kalo lagi banyak pikiran.

"Semangat-semangat! Tiga putaran lagi!" teriak Pak Bimo dari kejauhan.

Aku cuma bisa geleng-geleng kepala mendengarnya, sambil tetap melangkah pelan.

Lia, yang ngelihat muka ku yang kusut itu, tambah penasaran. "Ya ampun, neng. Beban apaan sih? Lu tuh enak hidupnya. Berkecukupan, keluarga lengkap ditambah lu cantik. Apa kurangnya coba?" tanyanya

"Semua orang tuh pengen kayak lu. Tapi lu malah enggak seneng sama hidup lu sendiri," tambahnya lagi, heran melihat ku yang tampak murung.

“Dua remaja jompo, cepetan lari!” teriak Pak Bimo sambil nunjuk-nunjuk ke arah gue dan Lia.

Akhirnya, setelah beberapa putaran yang bikin kaki ku mau copot, kita semua disuruh baris lagi. Keringet bercucuran, napas ngos-ngosan, tapi Pak Bimo kayaknya masih bersemangat aja ngomong.

“Hari ini terserah kalian mau main apa. Jangan ada yang duduk-duduk, jangan ada yang ke kelas apalagi ke kantin sebelum jam istirahat,” ucap Pak Bimo tegas. Segelintir murid cuma bisa ngangguk-ngangguk kecapekan, termasuk aku.

Setelah Pak Bimo meninggalkan lapangan, aku punya rencana mau santai-santai aja di bawah pohon mangga yang adem itu. Pikiran ku cuma mau lepas dari segala masalah, entah itu lari tadi atau ribut-ribut di rumah kemarin. Tapi, rencana ku langsung berubah begitu rombongan Miranda datang mendekat.

"Yuk, Alisa, main voli aja. Kami kurang satu orang nih," ajak Miranda sambil melambai-lambaikan tangan ke arahku.

Aku sempet ragu-ragu, mataku melirik ke beberapa teman cewek lain, tapi mereka kayaknya sengaja menghindar. Bahkan Lia, yang biasanya selalu ada buat aku, kelihatannya juga pura-pura nggak lihat.

"Ah, tapi aku nggak gitu bisa main, lho. Kalau kalah gimana?" tanyaku ragu-ragu. Sebenarnya sih, aku bisa main voli, tapi ya standar aja, nggak terlalu bagus.

"Santai aja, nggak usah takut kalah. Yang penting fun," jawab Davina santai. Dia langsung narik tanganku, dan aku akhirnya mengikuti mereka ke lapangan voli.

Di lapangan, ternyata udah ada dua tim yang siap bertanding. Mereka ini temen-temen yang biasanya nggak akur sama rombongan Miranda. Jadi, ini bakal jadi pertandingan yang lumayan seru nih. Davina, Miranda, Fifin, Caca dan Hanum cepet-cepet nyusun strategi sementara aku coba menyesuaikan diri di posisi yang dikasih. Nggak terlalu depan, soalnya aku masih agak grogi.

Begitu peluit tanda mulai dibunyikan, permainan langsung panas. Davina dan Miranda jago banget. Bola voli itu lompat kesana-kemari, dan giliran bola dateng ke arahku, deg-degan juga sih. Tapi untungnya, bola-bola itu bisa aku tangani dengan cukup baik.

Giliran servis jatuh ke tanganku, semua mata tampaknya menatap, termasuk Gilang yang sedang duduk di ujung net sebagai wasit. Setelah dia meniup peluit, aku langsung menarik napas dalam-dalam dan mengirimkan bola melintasi net. Dan, wow, ternyata main voli bisa seru juga!

"15:14," teriak Gilang sambil mengarahkan tangannya ke arahku, menandakan poin untuk tim kami. Tapi, tentu saja, tidak semua orang setuju dengan keputusan itu.

"Woi lah, kalau jadi wasit yang adil ngapa? Bolanya tuh keluar!" protes Salsa dengan suara keras.

Dia dan teman-temannya, Yura dan Erna, yang terkenal sebagai 'geng Salsa', langsung nggak puas dengan keputusan Gilang.

"Iya, yang sportif dong," timpal Diana yang juga tidak mau kalah.

Dia bersama Gina dan Wulan, yang merupakan bagian dari kelompoknya, mendukung protes Salsa.

Gilang, yang mendapat banyak sorotan, coba menjelaskan dengan tenang. "Aku lihat dari sini bola masih di dalam garis. Lanjut, ya!" ucapnya, mencoba mempertahankan keputusan yang dia buat.

Situasi di lapangan voli makin memanas. Salsa dan Wulan masih ngotot ngomong kalau bola tadi itu keluar.

"Aku lihat sendiri kalau bolanya tuh keluar," teriak Salsa yang nggak mau mengalah.

Wulan yang berdiri dekat dengan dia menambahkan, "Iya, aku juga lihat."

Di sisi lain, Fifin yang emang suka teriak-teriak, langsung ngebela Gilang. "Woi lah, disini wasitnya Gilang. Enggak usah protes!" ucapnya keras.

Caca yang dikenal suka nyindir juga ikutan. "Kalau takut kalah enggak usah mainn," sindirnya sambil menatap ke arah rombongan Salsa.

Aku yang sekarang tahu kalau aku udah terlibat dalam geng Miranda, jadi merasa sedikit canggung. Rombongan Miranda dan Salsa memang sering cekcok, dan sekarang rombongan Salsa didukung sama geng Diana. Jadi kekuatannya hampir sama. Aku nggak nyangka kalau tanpa sadar aku udah masuk ke dalam salah satu geng di sekolah.

Permainan yang tadinya seru, kini jadi ajang adu argumen antar geng. Bola yang seharusnya jadi simbol sportivitas, kini malah jadi alat bukti pertikaian. Gilang yang coba tetap adil sebagai wasit, tampaknya juga mulai kewalahan dengan suasana yang makin memanas.

Situasi di lapangan voli yang tadinya cuma ribut soal poin, sekarang berubah jadi ajang cekcok personal. Yura, dengan tatapan sinisnya, langsung nargetin aku.

"Jangan karena Alisa cantik lu kasih poin untuk dia," katanya, membuat suasana semakin tegang.

Itu pertama kalinya aku ngerasa punya musuh di sekolah. Anehnya, daripada takut, aku malah ngerasa ini semacam tantangan yang seru. Otakku kayaknya lagi nggak normal.

Miranda dan yang lain langsung nanggepin komentar Yura dengan tawa. "Cantik?" tanya Miranda, sambil ketawa ngakak di ikutin yang lain.

Hanum, yang selalu siap dengan sindirannya, nggak mau kalah. "Kalah cantik ya lu?" ejeknya sambil nunjuk ke arah Yura dengan wajah tengilnya.

Suasana makin rame dengan teriakan "wahhhhh..." dari Gina yang mengepalkan tangannya, menambah tensi.

Tanpa diduga, rombongan Yura dan geng Miranda mulai maju mendekat, berhadapan hanya terpisah oleh net voli. Mau nggak mau, aku juga ikut maju. Dan nasibku, aku malah berhadapan langsung dengan Yura yang mata dendamnya nggak bisa disembunyiin.

Ada perasaan campur aduk di antara deg-degan dan kegirangan, entah kenapa situasi konflik ini malah buat adrenalin aku naik.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!