Part 5

Jam pertama di sekolah itu adalah pelajaran IPA, dan untungnya gurunya asik banget, jadi suasana belajar nggak terasa membosankan. Aku bisa paham materinya dengan baik tanpa perlu berjuang keras ngelawan kantuk. Enggak kerasa, waktu cepet banget berlalu, dan tiba-tiba udah waktunya jam istirahat.

Awalnya, aku berniat mau gabung sama Lia dan temen-temennya, tapi pas aku ngelihat, dia malah nyengir dan langsung ngacir entah ke mana bareng rombongannya.

Tiba-tiba Miranda, ngajak aku, "Ikut ke kantin enggak?"

Aku menggeleng, "Kayaknya enggak dulu, aku belum selesai PR Bahasa Indonesia," jawabku jujur.

Memang sih, selain aku belum menyelesaikan PR itu karena materinya yang bikin aku pusing, ada alasan lain kenapa aku menolak ajakannya—uang jajanku cuma dua ribu, tidak cukup untuk bersenang-senang di kantin.

Miranda, tanpa menunjukkan raut kecewa atau apa pun, malah memberikan solusi yang tidak aku duga.

"Nih," katanya sambil memberikan bukunya kepadaku. Aku menatapnya dengan tatapan bingung.

"Salin aja. Cepetan nulisnya karena jam istirahat kita enggak lama," kata Miranda cepat-cepat, lalu dia berlalu ke kantin bareng gengnya.

Aku pun segera mengambil tempat duduk dan mulai menyalin jawaban dari bukunya, bersyukur atas bantuan tak terduga dari Miranda.

Meskipun dia dan gengnya terkenal dengan keusilannya, momen ini membuatku melihat sisi lain dari mereka, terutama Miranda, yang ternyata punya hati untuk membantu temannya di saat kesulitan.

Aksi kecil ini membuka mataku bahwa semua orang memiliki banyak lapisan, dan terkadang, kita hanya perlu momen yang tepat untuk melihatnya.

\~\~\~

Rasa malu campur lega bercampur jadi satu di dadaku saat aku buru-buru menyalin jawaban dari buku Miranda. Tulisanku masih rapi, berkat kebiasaan yang selalu kupelihara meski dalam keadaan terburu-buru.

Tak lama setelah aku menyelesaikan PR itu, Miranda dan gengnya datang kembali, dengan Caca yang langsung mengajukan pertanyaan.

"Udah selesai?" tanya Caca dengan nada penasaran.

"Udah," jawabku dengan suara kikuk.

Gelisah yang menggelayuti pikiranku, sebab nyontek bukanlah hal yang biasa kulakukan. Tapi di sisi lain, bagaimana lagi? Miranda sendiri yang menawarkan bukunya, dan dalam situasi seperti itu, sulit untuk mengatakan tidak tanpa merasa bersalah atas kebaikannya.

"Nih makan," kata Fifin sambil nyodorin sebungkus roti dan es cekek.

Es cecek itu sendiri khas banget di sekolah, macem-macem minuman bisa jas jus, Segar Sari, Marimas, teh Srisri, dan lainnya terserah kita maunya apa, yang disajikan dalam plastik bersama sedikit es batu. Lumayan terkenal karena harganya yang murah dan bikin seger di tengah terik.

Aku langsung ngerasa enggak enak, karena ya, gimana gitu, kemarin aja baru di traktir sama Davina dan sekarang Fifin ngasih makan.

Spontan aku nanya, "Berapa?"

"Gratis. Ini dari Rian," jawab Hanum sambil santai.

Dia terus mengemil biji bunga matahari, tanpa perhatian sedikit pun pada sampah yang bertaburan di atas mejaku. Aku hanya bisa melihat dengan ekspresi campur aduk.

Rian? Aku memutar otak, mencoba mengingat apakah ada sesuatu yang kuperbuat yang membuatnya merasa perlu memberikan ini sebagai rasa terima kasih atau apa. Aku dan Rian tidak dekat, bahkan baru kemaren kenalnya.

Merasa aneh dan bingung dengan situasi ini, aku cuma bisa bengong sebentar. Dalam hati ku heran, "Lah? Katanya jangan deket-deket sama Rian?" Kenapa sekarang malah mereka yang bawa titipan dari Rian buat aku?

Tapi Davina, yang kayaknya baca pikiran ku, langsung nyela dengan santainya, "Kita tahu lu mikir apa," katanya sambil nyomot biji bunga matahari dari tangan Hanum.

"Tinggal dikit," protes Hanum sambil mengerucutkan bibirnya, manyun.

"Aku balik kantin lagi ya. Mau berapa?" tanya Hanum sambil berdiri, siap-siap buat ke kantin lagi.

"Belilah enam bungkus," jawab Miranda tiba-tiba.

"Oke Nyi mohon ditunggu," ucap Hanum sambil pamit dan langsung cabut ke kantin.

Aku mikir, mungkin Hanum kesal karena Davina seenaknya ngambil cemilan dia. Tapi ternyata bukan itu. Hanum mau beli lebih banyak lagi untuk Davina. Situasi ini bikin aku semakin yakin, persahabatan ini kadang-kadang penuh teka-teki.

Sambil ngunyah roti dan menyesap es cecek, aku merenung. Kegiatan sehari-hari di sekolah ini penuh dengan dinamika yang tak terduga. Ada ketegangan, ada kejutan, dan ada juga kehangatan yang kadang kala muncul dari tempat yang nggak ku duga.

"Kembali ke masalah awal, sebenarnya kita hanya ingin kamu berhati-hati dengan Rian. Boleh berteman, tapi jangan sampai terlibat perasaan," jelas Caca.

"Intinya, kamu boleh dekat dengannya tapi jangan sampai baper," tambah Miranda.

Aku benar-benar bingung dengan apa yang mereka maksud. "Maksudnya gimana ya?" berharap dapat penjelasan yang lebih jelas.

Mereka ketawa, mungkin karena cara gue yang terlalu serius atau bisa jadi karena aku yang agak lambat ngerti situasi ini. Tepat saat itu, Hanum kembali dengan tangan penuh biji bunga matahari dan beberapa jajanan lain yang dia beli dari kantin.

"Apa-apa?" tanya Hanum, heran melihat semua orang ketawa.

"Si Alisa nih masih polos," keluh Davina, masih dengan senyumnya.

"Sayang banget sih," celetuk Fifin, nyengir.

Caca akhirnya mencoba menjelaskan lebih lanjut, "Jadi gini, Alisa. Kita semua tahu Rian itu orangnya asik dan perhatian. Tapi, kita juga tahu dia punya kebiasaan deketin cewek baru terus cepet bosen. Kita nggak mau lu kena dampaknya kalau sampe lu jatuh hati atau apa. Jadi kita bilang, temenan boleh, lebih dari itu jangan."

Miranda menambahkan, "Intinya, deket aja sama dia, tapi jangan bawa perasaan. Keep it light, gitu loh. Jangan terlalu serius."

Sambil ketawa-ketawa, Hanum nyelonong aja ngomong, "Lu boleh deket sama siapa aja, lu kan cantik, gampang banget bikin cowok kelepek-kelepek."

Cantik? Aku jadi bingung sendiri, nggak yakin aku termasuk cantik apa nggak. Tapi, di sekolah ini yang namanya cantik itu standarnya cewek yang kulitnya putih. Jadi kalau udah putih, nggak usah pintar-pintar amat, yang penting putih aja. Itu udah cukup buat bikin hidup lu tenang di sekolah ini.

Miranda ikut nimbrung dengan nasihat yang agak serius, "Biarin aja orang bilang lu PHP, yang penting jangan sampe lu kenal yang namanya pacaran."

Aku langsung bingung dengernya. "Hah?" Itu aja yang bisa keluar dari mulutku.

Serius, aku bener-bener nggak ngerti kenapa mereka udah mikirin hal-hal kayak gini. Padahal kita masih kelas VII, eh mereka udah ngomongin soal pacaran dan segala macem.

Di tengah kebingungan pikiranku, Fifin tiba-tiba melontarkan ide yang cukup membuatku terkejut.

"Lu cantik, lu harus manfaatin kecantikan lu buat deket sama banyak cowok tanpa ada status dan lu harus main rapi," katanya dengan nada yang agak serius.

Ini agak ngeri sih. Aku baru saja mulai berpikir kalau mereka mungkin nggak seburuk yang aku kira, tapi omongan mereka sekarang malah bikin aku mikir dua kali. Tapi anehnya, ada bagian dari diriku yang merasa tergoda oleh gagasan itu, meskipun aku baru akrab sama mereka dua hari ini.

Miranda, yang tampak menyadari kebingungan di wajahku, memberikan senyuman yang sedikit misterius.

"Kita bakal ajarin," katanya. Senyumnya terlihat nakal, tapi entah kenapa juga menarik.

Aku jadi bertanya-tanya, apa mungkin ini jalan yang bisa aku ikuti? Tentu, ini terdengar seperti petualangan yang menarik, tapi aku juga sadar bahwa ada risiko besar di balik semua ini.

Sejenak, aku mencoba menilai kembali situasi. Tawaran mereka terdengar menggiurkan di satu sisi, tapi di sisi lain, aku juga tahu kalau aku harus hati-hati.

Aku belum tahu banyak tentang mereka atau tentang apa yang sebenarnya mereka lakukan ketika berkaitan dengan "menggunakan kecantikan untuk mendekati banyak cowok." Apakah ini hanya sekedar bersenang-senang, atau ada sesuatu yang lebih serius di balik semua ini?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!