Tumpukan kain batik pesanan orang memenuhi meja cantik dari akar kayu trembesi di teras rumah. Suamiku duduk santai. Namun aku tahu, pikirannya sibuk mendata barang-barang dagangannya. Toko batik yang dirintis Mas Nung kini semakin ramai. Dua toko cabang juga tak kalah ramai dengan toko pusat yang langsung dikelola olehnya.
"Parang, primisima.. 50 koli. Yang gurdo.. 60. Sip, cocok." Senyum puas tercetak pada wajah suamiku. Rambutnya masih tebal meski kini lebih banyak dihiasi warna putih keperakan.
"Pak, istirahat dulu." Kubawakan secangkir teh tubruk melati kesukaannya. Sepiring kecil pisang kukus turut kusajikan sebagai teman nge-teh-nya. "Monggo, tehnya, tawar ya. Tadi pagi 'kan sudah minum manis. Camilannya yo manis."
"Ya, Bu. Terima kasih." Perlahan ditiupinya minuman di cangkirnya. Ia menghirup aromanya perlahan, tersenyum. "Aroma teh racikan Ibu memang nggak ada tandingannya," ujar Mas Nung, membuatku tertawa kecil. Setelah dirasanya tidak terlalu panas, Ia pun menyesap tehnya. "Ahh, anget. Kok tumben, sepi? Anak-anak ke mana?"
"Fajar nemeni kakaknya beli keperluan pentas nari anak-anak di pasar," terangku, ikut duduk di kursi lain. "Senja baru ada pekerjaan motreti produk dagangan temannya. Lalu si bungsu tadi pagi sudah pamit, habis dari sekolah langsung ke tempat les. Pulangnya nanti agak malam."
"Walah, opo yo nggak kecapekan? Habis dari sekolah masih lanjut les sampai malam. Nanti biar Bapak minta Senja untuk menjemput adiknya. Kasihan anak perempuan pulang malam sendirian."
"Iya, Pak. Gitu ya malah bagus. Kita juga tenang. Ahh, anak sekarang, sekolah kalau nggak pakai les sepertinya nggak pede akan lulus ujian."
"Yah, beda generasi beda tantangan zamannya, Bu. Puji Tuhan kita ini dimampukan membayari anak-anak kita les segala macam. Pokoknya kita nggak usah mengeluh. Cukup berusaha sepenuh hati, berserah, pasti Tuhan mencukupkan. Sudah tugas kita sebagai orang tua untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan anak-anak."
"Iya, Pak," kataku mengiyakan suamiku. Dia mengambil sepotong pisang kukus, mengupas kulitnya, lalu menikmatinya perlahan. Ah, suamiku. Bahkan caranya menikmati apa yang kusajikan membuatku jatuh cinta berulangkali kepadanya.
"Anak-anak kita nggak ada yang bisa diam. Aktif semua, Pak," kataku melanjutkan obrolan. Tentang anak-anak, salah satu topik utama obrolan kami.
"Ndak bisa diam, asal positif dan mau diarahkan, biarkan saja Bu. Toh mereka juga sudah beranjak dewasa. Ya, to?" Mas Nung berkomentar sambil tersenyum. Senyuman yang membuatku dulu jatuh hati kali pertama melihatnya.
"Ndak terasa ya, Pak, mereka tumbuh secepat ini? Dulu waktu masih kanak-kanak, rumah kita mana pernah sepi? Mereka itu ada saja tingkahnya. Lari ke sana kemari. Yang satu nangis, yang satu teriak-teriak, yang lainnya berantem. Eeh, nggak lama kemudian sudah pada ketawa-ketawa bareng, akrab lagi." Aku tertawa sendiri mengenang masa kecil anak-anak kami. "Ahh, anak-anak ini."
Mas Nung ikut tertawa karena melihatku tertawa.
"Puji Tuhan, Ibu sudah bisa tertawa lagi. Gimana, Bu, sudah tidak lagi terganggu dengan mimpi-mimpi Ibu?"
"Emm, sebenarnya masih, Pak," ujarku ragu. "Ibu kadang cemas kalau teringat mimpi-mimpi itu. Tapi, sudahlah. Ibu memutuskan untuk mengikuti saran Bapak. Lebih baik fokus pada kehidupan nyata yang memang kita alami. Kenapa Ibu harus terpaku pada mimpi buruk?"
"Nah, begitu dong! Namanya saja mimpi, bunga tidur. Adanya ya hanya ketika kita tidur. Itu pun hanya dalam pemikiran kita, tidak sungguh-sungguh terjadi. Lebih baik kita fokus pada keseharian kita."
Dalam hati, aku setuju dengan Mas Nung. Perkataannya barusan menjadi pegangan untukku bertahan dari aneka prasangka dan pemikiran menakutkan yang terlintas di benakku. "Sebetulnya masih ada yang mengganjal di hati Ibu. Soal Ida, Pak."
"Ida... istri Yunus, adikmu? Memang kenapa, Bu? Ibu mimpi soal Ida?"
"Iya, Pak. Ibu takut Ida tiba-tiba muncul dan keceplosan. Tahu 'kan orangnya kayak apa? Ibu takut, Pak."
Mas Nung bergeser, duduk mendekati aku. "Bu, yang ditakutkan itu apa?"
"Ibu takut keluarga kita pecah, Pak. Kalau gara-gara Ida kita kehilangan anak-anak, gimana? Ibu takut pada reaksi anak-anak dan Yunus. Bukan tidak mungkin to, Pak, Yunus masih hidup dan mencari kita? Kalau Yunus muncul dan tahu apa yang kita rahasiakan, gimana? Apa kita salah menyembunyikan semua ini dari mereka?"
Itulah sebagian besar dari kecemasanku, ketakutanku. Aku yakin, Mas Nung pun merasakan hal yang sama denganku. Hanya, mungkin dia lebih dapat menyembunyikan kecemasannya dan bersikap lebih tenang.
"Yah, sebetulnya Bapak ingin sekali terbuka kepada Yunus. Bagaimana pun Yunus berhak tahu soal anak itu. Tapi kita sudah janji sama Ida untuk terus merahasiakannya. Pasti akan ada waktunya setiap rahasia terungkap, Bu."
Perkataan Mas Nung membuat kepala ini tertunduk. "Iya, Pak. Ida juga mungkin tidak tahu, anak itu masih hidup dan jadi bagian keluarga kita. Ibu bersyukur, kita boleh ada untuk mereka. Dan Ibu tidak pernah menyesal membesarkan mereka."
Baik aku maupun Mas Nung sama-sama menyetujui kebenaran perkataanku tadi. Bisa membesarkan dan menyayangi anak-anak dalam keluarga kami ini adalah anugerah membahagiakan yang tak terkira. Kami tidak peduli, mereka lahir dari rahim siapa. Pokoknya, hingga saat ini mereka adalah anak-anak kami. Bagi mereka, aku adalah ibu dan Mas Nung adalah Bapak. Bukankah itu cukup?
Ya. Mestinya cukup. Atau, kukira cukup. Helaan napasku dan suami kini lebih los dan teratur. Barangkali perbincangan ini membuahkan ketenangan bagi kami. Kini angin sore terasa menyejukkan. Hatiku juga lebih nyaman. Aku dan Mas Nung pun lanjut menyesap teh sore kami tanpa suara. Damai, rasanya.
Dering panggilan masuk pada gawai Mas Nung memecah keheningan. Barisan nomor muncul pada layar ponsel suamiku, tanda nomor penelepon tidak disimpan pada gawai milik suamiku itu.
"Hmm? Siapa ini yang telepon? Kok tidak ada namanya?"
"Angkat saja, Pak. Siapa tahu itu orang mau beli batik di toko kita," saranku.
"Oh, bisa jadi," Mas Nung mengangguk tersenyum. "Halo, selamat sore. ... Benar, dengan saya sendiri. Boleh tahu dengan siapa saya bicara? .... Siapa? ... I-ida? Ini Ida istri Yunus?"
Damai yang sempat kurasa langsung menguap dalam sekejap. Yang kudengar kemudian hanyalah denting cangkir yang pecah. Oh Tuhan, sore ini tak lagi indah.
...*...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments