Dirundung dan Disayang

Jam bulat putih gading dengan angka-angka hitam yang bergantung di dinding salah satu kios kain di pasar Beringharjo menunjuk waktu. Baru juga pukul 11:27. Masih lebih dari setengah jam lagi menuju tepat tengah hari. Hawa gerah. Cuaca cerah. Tapi pasar tetap saja ramai.

"Fajar, ayo to, cepat! Nanti makin siang makin panas! Tambah item aku nanti! Hiih!"

Omelan Nuri membuat adiknya cemberut. Dengan kedua tangan penuh tas berisi barang-barang belanjaan kakaknya, Fajar mengekor kakaknya. "Cepaaat! Hiih, lama!"

"Iyo, sabar to, Mbak! Belanjaanmu ki lho, berat! Mana banyak lagi."

Nuri menoleh, menghadiahi adiknya tatapan tajam dan mimik kesal. "Alasan aja! Segitu doang berat. Aku lo biasanya bawa lebih banyak dari itu. Manja!"

"Holoh! Ora percoyo aku. Ya nyoh, ini dibawa sendiri!"

Wah, protes yang salah. Mata Nuri semakin melotot. "Lha ngapain aku ngajak kamu? Cowok kok lemah. Ayo, buruan!"

Sang adik pun tambah cemberut. "Sabar to, Mbak! Lagian kenapa ngajak aku, sih? Senja nggak dijawil!"

"Senja lagi sibuk, nanti mau ada proyek foto produk," kilah Nuri sewot, membela adik laki-lakinya yang lain yang disebut namanya. Senja adalah saudara kembar Fajar.

"Yo kan bisa ngajak Ibu?"

"Ibu juga sibuk, baru ada pesanan katering makan siang."

Terus mendapatkan bantahan, sang adik semakin cemberut. "Yo ngajak si bungsu!"

"Jam segini dia masih sekolah lah. Sehat nggak sih kamu? Dan nggak mungkin juga aku ngajak Bapak. Tahu sendiri toko Bapak ramainya kayak apa. Mbok kamu itu ikhlas berkorban demi kakak sendiri."

"Nye-nye-nye!" Fajar memble, menirukan kakaknya. "Makanya punya pacar, dong!"

"Berisik, ih! Ayo, cepat!"

"Sik ah, Mbak. Nggak kuat aku." Fajar memilih duduk di sebuah kursi kosong, tepat di bawah pohon rindang. "Kesel tenan, Mbak. Pegal tanganku. Hadehhh, sumukeee! Mataharinya ada berapa sih?"

"Ya udah, istirahat sebentar di sini," Nuri mengalah. Tidak tega juga dia melihat adiknya tampak kelelahan. Dalam hati ia sedikit menyesal, memaksa adiknya membawa banyak belanjaan di bawah sinar matahari yang sangat menyengat kulit. "Kalau saja bukan karena anak-anak mau pentas nari, aku juga nggak bakalan ngajakin kamu belanja sebanyak ini."

Fajar kaget. "Oalah, mau pada pentas, to? Lha mbak Nuri nggak bilang kok. Tahu gitu 'kan tadi aku bawa troli yang bisa dilipat itu, yang punya Bapak. Mborong apapun silakan. Tinggal ditaruh di troli, didorong, deh. Jadi nggak pegal bawa belanjaan seabreg begini."

"Yo maaf," sesal Nuri. "Tapi beneran kamu hari ini nggak ada cara, to, Jar?"

"Aman, Mbak. Paling nanti malam, latihan sama anak-anak band kampus," terang Fajar. "Eh, mbak, mumpung ingat. Ibu kayaknya akhir-akhir ini murung dan sering melamun. Mbak dengar kabar apa gitu, yang sekiranya jadi pemikiran Ibu?"

"Oh, kamu juga memperhatikan, to, Jar? Iya, sih, benar. Menurutku Ibu beberapa hari ini jadi pendiam. Biasanya kalau ada apa-apa Ibu suka cerita. Ini nggak ada angin gosip apapun je. Yo mungkin urusan orang tua lah. Kita nggak paham. Makanya kita nggak diajak cerita sama Ibu dan Bapak."

"Ahh, tapi sampai kapan, Mbak? Soalnya mood Ibu itu sangat berdampak pada kelangsungan hajat hidup orang banyak, Mbak. Aku udah hafal, kalau Ibu lagi banyak pikiran, mesti rasa masakan Ibu berubah. Kalau lagi mangkel jadi pedes banget. Kolak aja jadi puedes. Kalau lagi mellow, masakan apapun jadi agak anyep, nyaris tak berasa. Terus kalo Ibu lagi kepo, masakan jadi uwasiiin semuanya. Ahh, penderitaan itu ternyata sederhana ya?"

"Makanya, kamu jadi anak jangan bandel. Jadi kepikiran 'kan Ibu?"

Fajar terbengong, "Lho? Kok jadi aku? Emang aku salah apa?"

"Uwis, ah! Ayo, lanjut! Nanti aku traktir segelas es teh, wis!"

"Aseekk! Teh boba kapucino, yo, Mbak!" Mata Fajar berbinar. Minuman dingin dan manis adalah sesuatu yang menggiurkan kala cuaca sedang sepanas itu.

"Halah, teh yo teh. Nek kapucino ki kopi. Apalagi teh boba, kebanyakan gula, bikin diabetes. Mahal lagi. Udah, es teh angkringan aja. Enak tur murahhh. Ayo, cepat!" Nuri beranjak meninggalkan Fajar yang masih tercengang. Tawaran sang kakak tak sesuai ekspektasinya.

"Wooo! Pokilwati. Gimana mau dapat pacar pelitnya kayak gitu?" Namun Nuri pura-pura tidak mendengarnya. Kakaknya itu terus saja menjauh. Fajar pun mulai panik, takut tawaran kakaknya soal traktiran minum tidak lagi berlaku. Bergegas ia bangkit dari duduknya dan mengejar Nuri sambil merengek. "Mbak, teh boba to! Mbaaak!"

...*...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!