Mimpi Ibu

Ini salah satu sore yang indah. Aku mengamati anakku yang paling besar sedang mengajari anak-anak kecil menari. Kesukaan putri sulung kami pada tarian Jawa mendorongnya mendalami seni tari klasik Yogyakarta, Solo, dan sekitarnya.

Kini ia bisa mencari uang sendiri lewat hobi dan minatnya itu. Kadang dalam satu minggu 2-3 kali ia mengajar anak-anak kecil di pendopo depan rumah kami. Kerap pula ia dapat tawaran pentas menari di acara-acara khusus. Sempat pula diundang beberapa kali untuk pentas di istana negara.

Nuri. Sanubari. Demikian aku dan suami menamainya. Parasnya cantik. Tuturnya halus, lemah lembut, walau bisa judes, jahil, dan penuh tawa saat bercengkerama dengan adik-adiknya. Nuri anak yang cerdas dan penyayang. Ia juga terbilang penurut. Sebagai anak paling tua, kebijaksanaan dan kedewasaan berpikirnya membuatku dan Mas Nung sungguh amat terharu dan bangga.

"1-2-3 seblak, sampurnya dijimpit, trisik... muter, terus masuk. Nahhh, pinter! Oke, sip! Latihan sore ini selesai. Sekarang adik-adik boleh minum dan makan kue di situ. Jangan lupa, cuci tangan dulu. Oke?"

Nah, itu, latihannya dengan anak-anak sudah selesai. "Nuri, sini Nduk! Sudah selesai, to? Sini, ada yang mau tanya kursus."

"O, ya Bu," katanya mengiyakanku. Kembali ia berbalik kepada anak-anak latihnya, "Adik-adik, nanti yang belum dijemput nunggunya di sini aja, lo ya!"

Mau tak mau aku tersenyum, menyadari betapa putri kami sudah dewasa dan penuh tanggung jawab. Katanya lagi kepadaku, "Bu, titip anak-anak sebentar, ya."

"Ya. Sudah, sana, itu yang tanya-tanya ditemui dulu."

"Siap, Bu. Kalau begitu aku ke depan dulu."

Mata dan senyumku terus mengikutinya menghilang di balik pintu. Ah, Nuri, betapa kami bersyukur memiliki putri cantik yang mandiri sepertimu.

"Wah, Nuri kian membanggakan dan tambah ayu, yo, Mbak? Pancen, kok, terbukti, anakmu membawa berkah."

Itu Ida. Tahu-tahu saja dia sudah berada di belakangku.

"Perempuan yo ayu. Kalau anak lanang yo bagus. Lagipula setiap anak itu yo berkah dari Yang Mahakuasa."

Namun pujian Ida rupanya bersambung. "Ahh, yo tidak semua, Mbak. Tidak semua anak bisa patuh, manis, sopan, hormat dengan orang tua, dan jadi kebanggaan seperti Nuri. Belum lulus kuliah saja, Nuri bisa mandiri. Dari hasil ngajar nari, dia bisa bantu-bantu ibu bapaknya cari duit. Apa bukan berkah itu namanya, Mbak?"

"Iyo, berkah, wis. Berkah," kataku singkat, berharap Ida berhenti menyanjung putriku. Kadang Ida sering berlebihan. Tak jarang ujung-ujungnya kebablasan.

Tapi rupanya Ida belum mau berhenti. "Iyolah. Lhaa, kalau yang satu itu, lain. Pemalas, pembangkang, tidak pernah betah di rumah, keluyuraaan terus. Dikasih tahu ndak pernah nurut. Apa mau dia mendengar omongan orang tua?"

Nah, 'kan, benar!

"Ida, kok bicaramu melantur jelek seperti itu? Pemalas, pembangkang, apa sih? Siapa yang kamu maksud?"

"Lha yo siapa lagi, to, Mbak? Tidak lain dan tidak bukan jelas anak pungut itulah! Tapi yah, aku juga sadar, sih, lha wong bapaknya saja kelakuannya tidak tahu adat kok. Mosok mau mengharapkan anaknya alim dan baik hati?"

Panas telingaku. "Ida, cukup! Sekali lagi kamu bicara begitu, Mbak nggak mau ketemu kamu lagi. Lebih baik kita nggak usah kenal. Hati-hati kalau bicara!"

"I-iya, Mbak. Maaf. Habisnya aku jengkel lihat kelakuannya. Kuperhatikan, anak itu semakin hari bukannya semakin hormat sama Mbakyu dan suami. Kelakuannya itu lho, Mbak! Muwangkelke! Kalau saja dia tahu, dia itu cuma anak pungut, apa ya masih mau bertahan tidak tahu diri?"

Wah, ini sudah keterlaluan.

"Jaga bicaramu, Ida! Tidak ada itu, anak kandung, anak pungut! Kami tidak pernah mempermasalahkan itu. Kasih sayang dan dukungan kami sama. Tidak sekali pun kami membedakan. Mereka adalah anak-anak kami. Dan tolong, kunci mulutmu dari pembahasan ini! Oke?"

Aku yakin, tampangku sekarang sudah segalak harimau betina yang marah melihat anak-anaknya diganggu. Kulihat Ida merunduk takut.

"Iya, oke, Mbak. Aku kunci mulutku rapat-rapat. Pokoknya, soal Fajar bukan anak kandung mbakyu dan suami kupastikan tidak bocor."

"Oo. Jadi, aku cuma anak pungut? Bukan anak kandung bapak dan ibu?"

"F-fajar?"

Kemunculan Fajar, anakku yang lain, adik Nuri, mengejutkan aku dan Ida. Kami tidak menyangka Fajar akan tiba-tiba muncul. Sejak kapan dia di sana?

"Benar, aku bukan anak dari Bapak dan Ibu? Kalian semua pembohong! Aku nggak mau lagi tinggal di rumah ini. Pembohooong!" Fajar pun lari.

Aku panik. "Astaga, Fajar! Fajar, tunggu, Nak! Fajaaar!" Aku berusaha sekuat-kuatku mengejar putraku. Tapi Fajar berlari lebih cepat dan kian menjauh. Dihiraukannya suaraku yang berulangkali memanggilnya. "Fajaaar!"

Namun, bukan Fajar yang menyahutku. "Bu? Ibu? Bangun, Bu! Ibu?"

Suara Mas Nung menyadarkanku yang kini membuka mata sambil berusaha mengatur napas yang terengah-engah. "Fajar..., Fajar...."

"Sadar, Bu, tenang. Ibu hanya mimpi."

Mimpi. Iya, aku hanya mimpi. Tidak ada Ida di sini. "Haduh, Pak..., Ibu takut." Dan Mas Nung pun memelukku.

...*...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!