Kakak Atau Suami?
“Dia pasti sangat sedih, jika Romeo pergi.”
“Mm, kau benar. Tolong bujuk dia dengan benar Romeo. Atau akan sulit, jika dia menangis.”
Mendengar perkataan dua pria paruh baya itu, Romeo mengulum senyum tipis. Dia melepas ransel militernya, dan berjongkok membawa gadis kecil itu dalam pelukan.
“Senang bertemu denganmu Sela kecil, tapi Kakak harus pergi sekarang. Tidak tahu kapan kita akan bertemu lagi, tapi kau harus tumbuh dengan baik.”
“Ti-tida mauu, nanti seya sendiyii….”
“Tidak akan gadis kecil, kau tidak akan sendiri. Jika kakak ada waktu, kakak akan datang menemuimu.”
Wajah kecil dengan mata coklat terang itu, masih sedikit basah. Basah setelah menangis kepergian orang tuanya. Lalu kini sudah akan ditinggalkan, kakak tampan yang mau bermainnya. Tapi begitu, dia tidak menangis seperti yang ditakutkan yang dikatakan orang-orang tadi. “Kakak mauu janji?”
“Mm, Kakak janji.” Ujar Romeo, sambil melingkarkan jari manisnya.
Itulah percakapan terakhir mereka, sebelum janji untuk datang itu, baru bisa ditepati tiga belas tahun kemudian. Kali ini waktu membiarkan mereka bertemu, dalam situasi yang tidak pernah terduga.
•••
Romeo menatap lingkungan sekolah itu, sebuah yayasan swasta elit di kota M. Tiga belas tahun yang lalu, menjadi kali terakhir dia datang kemari. Saat kini dia akhirnya kembali, bukan hanya situasi atau keberadaan, tapi tujuannya juga berubah.
Sebuah perasaan bersalah merayapi hati Romeo, mengingat janji untuk datang berkunjung yang tidak pernah bisa dia tepati.
Dahulu sekali, dia datang untuk pemakaman orang tua gadis itu. Sementara kini, dia datang untuk menawarkan pernikahan kepada gadis itu. Sedikit malu untuk menawarkan janji suci, ketika janji kecil untuk datang saja tidak bisa dia penuhi.
Tapi alih-alih penawaran, ini lebih kepada perjodohan. Dibawah permintaan sang Ayah, dia diminta untuk menikahi gadis itu agar hubungan kekeluargaan yang terbangun tidak putus.
Awalnya tidak mudah bagi Romeo untuk setuju, dengan perbedaan usia yang mencapai tiga belas tahun. Tapi dengan beberapa alasan, dia akhirnya bersedia.
Pertama, dimulai dari Ayahnya dan kakek gadis itu dalam usia yang sama. Entah Ayahnya yang ketuaan, atau kakek gadis yang masih bisa dibilang muda, tapi yang jelas, mereka adalah sahabat yang mencoba mengikat tali kekeluargaan secara paksa.
Kedua, Ibunya. Ibu yang terus-menerus mendesak menikahi gadis itu karena rasa kasihan. Membuat Romeo semakin tak berdaya.
Ketiga, adalah janji. Janji pada dirinya sendiri. Sebenarnya semenjak patah hati terakhirnya, Romeo kehilangan niat untuk melangkah ke pernikahan. Wanita yang dia cintai, harus menikah penuh dengan keterpaksaan, akibat sesuatu yang sama, yakni perjodohan.
Sementara disaat itu, dia tidak bisa melakukan apapun untuk menghentikan, karena sedang dalam masa tugas. Ada rasa bersalah yang begitu besar. Sehingga meskipun wanita itu sudah menikah, Romeo masih mencoba untuk tidak mencintai orang lain.
Jadi meskipun dia sekarang akan ada dalam pembicaraan mengenai pernikahan, dia hanya bisa menjanjikan kesetiaan pada calon istrinya. Tapi tidak akan bisa memberikan hatinya.
Menghisap cerutu dalam-dalam untuk terakhir kali, Romeo akhirnya mematikan api di diujung cerutunya.
Dia menatap jam tangannya dengan kekhawatiran. Dia akan bertemu gadis itu untuk pertama kali setelah sekian lama. Takut, ini akan menjadi cerita perjodohan ala drama-drama, dimana gadis itu merengek, menolak hingga membenci. Padahal itu tidak perlu.
Karena Romeo hanya datang atas permintaan keluarganya, jadi jika gadis itu tidak mau, maka tidak ada paksaan. Pikirnya meyakinkan diri.
Banyak hal dibenaknya. Tapi belum juga selesai berpikir, tak lama bel tanda selesai sekolah berbunyi sampai diluar, membuat Romeo semakin was-was.
Tapi memikirkan ini, Romeo tiba-tiba tertawa kecil. Merasa aneh karena harus begitu waspada pada seorang remaja delapan belas tahun, ketika dia seorang pria dewasa tiga puluh satu tahun. Lebih dari pada itu, dia juga seorang Kapten militer angkatan laut. Jadi terasa tidak pantas baginya, untuk merasa khawatir disituasi kecil seperti ini.
“Astaga, ini sulit tanpa alasan. Jika dia memang tidak mau, maka tidak perlu.” Putus Romeo sekali lagi. Setidaknya dia sudah berusaha untuk melakukan apa yang diminta keluarganya, ya walaupun dia berharap gadis itu menolaknya.
Romeo baru akan bersiap turun, tapi ponselnya tiba-tiba berbunyi ..., “Ada apa?”
" ... "
“Lakukan sendiri, aku sangat sibuk. Ingat yang kuceritakan kemarin?”
Terdengar suara tawa keras dari ujung lain, membuat Romeo mematikan ponsel begitu saja. Walaupun dia sedikit kesal, tapi dia setuju terhadap yang dikatakan Jordan, sahabatnya.
Bahwa dibandingkan dirinya, gadis itu jauh lebih kasihan, karena harus menikahi pria tua sepertinya. Untuk itu, Romeo hanya bisa menjanjikan perlakuan terbaik, ketika cinta akan menjadi hal yang tidak bisa dia berikan.
Ketika dilihat sudah waktunya, Romeo pun turun dari mobil dan masuk di kafe depan sekolah. Ayahnya terlalu bersemangat, sampai-sampai membuat reservasi di kafe itu. Bukan reservasi meja lagi, ketika seluruh kafe kosong hanya untuk pertemuan keduanya.
Romeo melihat setiap siswa yang berlalu-lalang, mencoba mengenali gadis bernama Ansela itu.
Hingga akhirnya, ... seorang gadis cantik dengan rambut hitam panjang lurus, mata coklat yang cantik, mengenakan seragam sekolah dan beberapa aksesoris warna senada, masuk di kafe.
Romeo tanpa sadar berdiri dan memasang pose formal-nya. Semakin dekat gadis itu, semakin cantik dia dilihat dari dekat.
"Ansela?"
Dengan lesung pipi yang terlihat, Ansela sedikit menunduk menunjukkan tata krama.
"Ya, Ansela ... senang bertemu anda."
Romeo menatap tangan yang terulur itu, "Romeo. Romeo Graves."
Keduanya berjabat tangan dengan formal, lalu mendudukkan diri. Melihat reaksi dan ketenangan Ansela, Romeo jadi malu sendiri, karena sempat berpikir gadis itu akan menjadi rewel atau heboh.
"Jadi, kau sudah diberitahu soal alasan pertemuan ini?" tanya Romeo langsung.
Ansela mengambil waktu, sebelum mengangguk. "Mm.” Jawabnya tenang, seolah itu semua bukan apa-apa.
Reaksi Ansela, benar-benar kejutan untuk Romeo. Dia sampai memiringkan kepala, ingin memastikan reaksi Ansela bukanlah pura-pura. “Apa kau tidak keberatan?”
“Tergantung.”
Alis Romeo menyatu, tanda tak paham.
"... tergantung apa alasannya, apa rencana kedepannya, dan bagaimana kita menjalaninya."
Mendengar ini Romeo terdiam sebentar, sebelum terkekeh kecil. "Apa kau benar-benar gadis kecil waktu itu?" Usia Ansela terlalu muda, untuk bisa setenang ini. Namun mengingat dia yang kehilangan orang tua saat masih lima tahun, Romeo tidak terlalu terkejut. Gadis itu pasti telah menjadi dewasa sebelum waktunya.
Melihat Ansela yang masih sangat tenang, Romeo memutuskan pembicaraan akan dilakukan sekarang.
Disatu sisi, mengingat rasa kasihan terhadap gadis itu, Romeo memutuskan mengatakan segalanya, apa adanya. Agar Ansela, benar-benar bisa mengambil keputusan.
"Bisa aku katakan yang sejujurnya?"
"Ya, lebih baik."
"Untuk garis besar alasannya kira-kira sama sepertimu. Ayahku ingin aku segera menikah. Tapi alasan lainnya, karena kekasihku juga telah menikah oleh perjodohan. Sebenarnya setelah perpisahan kami, aku sudah tidak berpikir untuk menikah."
Romeo pikir Ansela akan bereaksi, atau menunjukkan protes. Karena walaupun mereka dijodohkan, tidak ada wanita yang bisa menerima bahwa dia hanya menjadi pihak kedua, atau pihak yang terpaksa dipilih.
"Lalu?"
"Sebenarnya aku berharap bisa melewati pernikahan seperti pasangan lain. Namun mengingat usiamu yang masih muda, dan kemungkinan besar untuk berubah pikiran, maka aku membebaskan mu."
"Membebaskan?"
"Ya, membebaskan seperti---"
Romeo tiba-tiba kehilangan kata-katanya di depan Ansela yang menatapnya serius, tapi nampak acuh bersamaan.
"... seperti, itu um---" dia masih berusaha menjelaskan, tapi terhenti dengan tawa kecil Ansela.
"Tidak apa-apa, santai saja. Bagaimana kalau aku membantu menjelaskan, ... apa itu, seperti sebuah janji, bahwa aku bisa mengakhiri hubungan ini jika sudah menemukan sosok yang tepat? apa begitu?"
Romeo mengangguk cepat, "Ya, kira-kira begitu."
"Baiklah."
Baiklah? begitu saja? pikir Romeo heran. Tidakkah dia ingin menanyakan hal lain, atau apapun yang mungkin. "Itu saja? apa kau tidak memiliki sesuatu untuk dikatakan atau tanyakan?"
Ansela berdiam sebentar, tampak serius.
"Uhm, ada. Soal panggilan. Sebaiknya seperti apa aku harus memanggil anda?"
Romeo melengos tidak percaya. Dari sekian juta pertanyaan, gadis di depannya, menanyakan hal tidak penting. Ternyata masih sangat kekanakan pikir Romeo. Tapi begitu, dia masih menjawab dengan baik. "Panggil aku Kakak saja. Apa masih ada pertanyaan lain?"
Setelah mendapatkan jawaban, Ansela menyandarkan punggungnya ke kursi dengan malas, mulai memangku sebelah kakinya.
"Tadinya punya, tapi sekarang tidak lagi. Penjelasan Kakak menunjukkan bahwa pernikahan ini hanya sementara. Jadi, tidak perlu ada pertanyaan penting untuk itu."
Romeo ikut menyandarkan punggungnya ke kursi dan menggaruk dahi yang tidak gatal. Gadis di depannya benar-benar diluar ekspektasi. Pembalikan kata gadis itu, membuat Romeo malu terhadap perkataannya sendiri. Seolah-olah dia adalah pria yang bermoral rendah.
Jadi sekali lagi, Romeo mencoba menjelaskan niatnya. "Sebenarnya bukan soal ini pernikahan sementara, tapi jika memang pernikahan ini berlangsung selamanya, juga tidak masalah. Tapi aku bisa menjanjikan segalanya, tapi mungkin tidak dengan cintaku."
Romeo merasa bersalah mengatakan hal seperti itu, pada wanita muda seperti Ansela. Tapi dia juga tidak ingin di salah pahami.
Tapi saat Romeo berpikir, mungkin ini saatnya Ansela akan mengeluh, ternyata dia salah lagi.
"Mm, baiklah. Lihat saja kedepannya."
"Itu saja?"
"Ya," Ansela memberi tangan untuk berjabat. Perjodohan telah disepakati. Hidup telah sulit, mari jangan persulit lagi, adalah prinsip hidupnya.
Romeo tidak mengerti arti dari jabat tangan itu, namun tetap dia lakukan. Rasanya seolah mereka mencapai kesepakatan bisnis.
Setelah dipikir Romeo, Ansela bukanlah pilihan yang buruk. Gadis itu berbeda, dia tampak tak akan membuat dirinya sakit kepala.
"Kalau begitu, bisakah Kakak pesankan aku makanan sekarang?" Kata Ansela yang sudah bersandar lagi. Dia seorang yang sangat senang dilayani tidak peduli sekecil apapun.
Jadi, … jika kini dia akan memiliki suami, yang sudah memperkarakan perpisahan, bahkan sebelum menikah. Maka Ansela tidak akan ragu untuk memanfaatkan semua pelayanan yang ada.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Umie Irbie
awal yg menarik 😀 mudah di fahami ceritanya 👍
2024-04-16
0